Categories
Uncategorized

POLEMIK ISTILAH KAFIR

Menuju Pilpres April 2019 mendatang, berbagai hal hal kontroversial seolah-olah timbul tenggelam dan menjadi asupan publik setiap hari. Berbagai polemik terus bermunculan setiap saat,dan menjadi bahan perdebatan di kalangan akademisi, publik figur, maupun masyarakat awam sekalipun. Salah satunya mengenai penggunaan istilah “kafir” yang menjadi polemik dipusaran Pilpres kali ini.

Nahdhatul ulama(NU) sebagai salah satu organisasi Islam massa terbesar di dunia, tempo lalu membuat heboh jagat maya. Pasalnya, NU secara resmi menganjurkan anggotanya untuk tidak lagi menggunakan sebutan istilah kafir terhadap non-Islam, karena menganggap penggunaan istilah tersebut terlihat ofensif dan cenderung mengambil konotasi yang buruk (menghina). Dalam rapat pleno Munas NU yang dilaksanakan di Banjar beberapa minggu yang lalu, organisasi itu menjelaskan penyebutan istilah kafir tidak dikenal dalam sistem negara bangsa. Karena dalam negara kebangsaan setiap warga negara dianggap sama dimata hukum (konstitusi), oleh karena itu, NU menganjurkan para anggotanya untuk menyebut non-muslim sebagai muwathin atau warga negara.

Berbagai reaksi muncul ditengah masyarakat, sebagian sepakat atas keputusan hasil munas NU tersebut. Keputusan itu dinilai sejalan dengan asas bangsa Indonesia, yang menghargai keberagaman beragama. Apalagi, Indonesia negara yang berdasarkan pada falsafah Pancasila bukan formalisasi Islam. Keputusan NU tersebut juga menemukan momentumnya beberapa tahun belakangan ini, yaitu ketika ujaran kebencian berbau agama telah menjadi suatu momok yang memperihatinkankan dalam wacana politik di tanah air.

Pun demikian, tidak sedikit masyarakat muslim yang menolak keputusan NU tersebut. Pihak yang menolak membangun argumen bahwa apa yang dilakukan oleh “organisasi sarungan” itu telah menyalahi aturan kaidah dalam agama Islam karena berusaha mengamandemen al-Quran dan menghilangkan kata kafir. — satu istilah kafir yang tertera di dalam ayat al-Quran. Bahkan salah satu surat dalam al-Qur’an bernama surat al-Kafirun (orang-orang kafir). Di sisi lain, sebagian masyarakat juga menilai adanya kepentingan terkait kontestasi politik, lantaran NU dianggap pro petahana. Keputusan NU itu dianggap bertujuan untuk menggalang suara dari pemilih non-muslim, pada Pemilu 2019.Tudingan bahwa NU pro petahana bukan tanpa alasan, pasalnya, Joko Widodo pada ajang Pilpres 2019 ini menggaet Ma’ruf Amin yang menjabat sebagai rais aam PBNU, sebagai pendampingnya.

Ketua konferensi Abdul Moqsith Ghazali, mengatakan, penggunaan istilah kafir mengandung “kekerasan teologis” dan sering digunakan oleh oknum-oknum tertentu sebagai alat mendiskriminasi kaum minoritas (non-muslim). Dia juga menegaskan bahwa NU tidak bermaksud untuk mengubah makna dan istilah kafir dalam al-Qur’an.

Tidak dapat dipungkiri, dengan meningkatnya ekstremisme Islam – oleh golongan tertentu, penggunaan istilah kafir tidak lagi pada konteksnya. Malah menjadi semacam suatu batasan penutup dan alat untuk mengintimidasi dalam masyarakat Indonesia yang pluralis dan heterogen. Kata “kafir” dengan mudah mengalir dari mulut kemulut untuk ditujukan kepada mereka yang dianggap tidak sepemahaman dan yang berbeda pendapat.

Ditambah, ini adalah tahun-tahun dimana dunia politik yang paling kacau, pasca jatuhnya rezim Orde Baru. Terjadinya berbagai perubahahan tatanan arah perpolitikan di Indonesia, mulai dari munculnya berbagai partai-partai politik baru, yang mengusung berbagai ideologi. Selain itu berbagai kebijakan mulai disusun secara lebih sistematik sesuai alur demokrasi. Kebebasan berpendapat di ruang publik terbuka. Namun, tampaknya kebebasan tersebut, member ruang pula untuk tumbuh pesatnya perkembangan ormas ormas Islam ekstrim, seperti HTI maupun FPI,yang beberapa tahun terakhir ini mulai menunjukan sikap yang radikal terhadap sistem yang ada. Hal yang tidak akan kita temukan di zaman Orde Baru. Di mana ormas maupun parpol yang yang tidak sejalan dengan pemerintah cenderung dibungkam dan kehilangan eksistensinya sama sekali. Berkembangnya paham radikal golongan islam konservatif menjadi sesuatu yang amat mengkhawatirkan terhadap kedaulatan NKRI dikarenakan mereka berusaha meraungkan paham khilafah yang notabene bertentangan dengan konstitusi maupun sistem negara Indonesia.

Hal ini pula yang menjadi perhatian serius para kyai NU,yang dalam pandangan mereka Pancasila merupakan suatu landasan final dan tidak dapat diganggu gugat. NU yang merupakan ormas yang lahir tahun 1920 ini punya pandangan yang lebih moderat, terbuka dan pluralisBahkan sering dicap liberal oleh kelompok ormas ekstrim lainnya.

Hal yang harus direnungkan, dalam cara kita bernegara adalah bahwa perbedaan pendapat dalam suatu negara demokrasi merupakan hal yang lumrah dan lazim . Malahan hal itulah yang menjadi ciri khas dalam sistem demokrasi, sebagai perwujudan kebebasan beraspirasi baik secara individual, kelompok serta golongan dalam masyarakat yang plural. Sehingga tidak mengherankan munculnya pro-kontra bahkan konflik dalam masyarakat sekalipun, yaitu manakala suatu masalah dilihat dari persepsi dan sudut pandang yang berbeda,yang diiringi dengan sikap tidak toleran. Perihal benar atau salahnya adalah kembali kepada tingkat kemampuan individu meninjau permasalahan sesuai konteks dan konsep yang diterapkan.

Alhasil terlepas dari berbagai stigma yang bermunculan, patutlah kita sadari, bahwa intisari serta tujuan dalam merumuskan persoalan polemik istilah kafir tersebut, apalagi dalam subtansi keagamaan yang relatif sensitif, tentu perlu pengkajian yang lebih serius dan matang. Melalui pembacaan referensi keagamaan yang disandingkan dengan konsepsi Pancasila sebagai ideologi yang final di negeri ini.

-Sahirdin*-

Sahirdin – Mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Langsa dan Pegiat di Kelompok Diskusi Bawah Pohon

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Categories
Penulis Tamu

“THE SMILING FACE” ISLAM INDONESIA: MEMBACA TUNISIA*

PENDAHULUAN

Mencermati perkembangan yang terjadi di Islam Indonesia sepanjang tahun 2016, terutama beberapa peristiwa yang terkait dengan persoalan soisal-politik-keagamaan, penulis menjadi kembali ingin membaca tulisan Martin Van Bruinessen yang memunculkan istilah conservative turn in Indonesia. Apa sebenarnya pesan yang ingin disampaikan oleh Martin melalui istilah itu. Apakah ia ingin mengatakan bahwa pemahaman keagamaan Muslim Indonesia sebelumnya adalah konservatif, lalu berevolusi dan keluar dari konservatisme itu dan kini konservatisme itu terulang kembali? Istilah conservative turn yang pertama sekali digunakan oleh Martin tahun 2013 dalam asumsi penulis menjadi suatu prediksi akademik yang terbukti kebenarannya hari ini, meski dalam pemahaman penulis conservative turn yang dimaksudkan Martin adalah adanya sejumlah gejala bahwa pemahaman Muslim terhadap agamanya semakin menguat, kalau tidak ingin dikatakan mengarah kepada kekerasan berjamaah (communal violence) dengan mengatasnamakan agama mengutip istilah Duncan. Kasus-kasus di mana pemahaman keagamaan Muslim, terutama konservatisme mereka membaca teks-teks suci terbuka untuk ditunggangi oleh aktivitas politik. Tulisan ini dibagi atas dua pembahasan. Pertama, tentang hasil penelitian lembaga riset dan sejumlah pakar tentang Islam Indonesia dengan perdebatan seputar kecenderungan ke arah konservatisme, sebagai the outsider’s perspective. Kedua, mengenai konservatisme Islam sebagai tunggangan politik: pengalaman Tunisia.

HASIL RISET TENTANG ISLAM INDONESIA SEPANJANG TAHUN 2010-2014

Freedom House menggambarkan perubahan Indonesia sebagai “model dari integrasi yang sukses antara demokrasi dan Islam” menjadi negara dengan “merosotnya pluralisme” akibat peristiwa-peristiwa yang terjadi sejak satu dasawarsa lalu. Penilaian lain atas kondisi Muslim di Indonesia kontemporer kerap juga diungkapkan sebagai meningkatnya “political Islam”, “radical Islam”, atau “Islamist political violence”.

Martin Van Bruinessen, tahun 2011 menulis artikel di salah satu jurnal ilmiah RSIS Singapura. Dalam tulisan itu, terlihat kecemasan dan kegelisahan Martin terhadap perubahan umat Islam Indonesia yang terbesar di dunia secara kuantititatif, terutama pasca Orde Baru. Ia menulis judul: “What happened to the smiling face of Indonesian Islam?”. Ia menilai Islam Indonesia yang ia kenal melalui studinya sepanjang tahun 1970-an sampai tahun 1980-an yang selalu menampakkan wajah yang manis, penuh senyuman (the smiling face), mulai berubah menyeramkan, tidak enak dipandang dll. Era ini melahirkan Cak Nur dan Gusdur sebagai representasi tokoh Islam paling brilian. Namun berakhirnya masa orde baru, mereka mulai kehilangan “power” dalam debat-debat publik dengan munculnya Islam radikal dengan tampilan yang lebih kuat.

Tahun 2013, ISAS Singapura merilis hasil studi lapangan Martin dkk sepanjang tahun 2007-2008 dengan judul: “Contemporary Developments in Indonesia Islam: Explaining the Conservative Turn”. Dalam buku ini, Martin dan Baqir masih meyakini adanya wajah non-konservatif Islam di Indonesia. Namun posisi saya setelah menyimpulkan tulisan Martin dan Baqir justru menegaskan bahwa konservatisme Muslim di Indonesia semakin mengkristal, menguat, membaja. Conservative turn dalam bahasa mereka hanya masih sebatas kecenderungan.

Beberapa catatan Martin dalam buku Contemporary Developments in Indonesia Islam: Explaining the Conservative Turn bahwa (1) Demokratisasi politik telah menarik banyak orang yang sebelumnya terlibat dalam organisasi atau lembaga-lembaga yang mendukung perdebatan intelektual ke dalam karier di partai politik atau institusi, sehingga melemahkan landasan sosial bagi wacana Islam liberal dan progresif, (2) Asumsi bahwa mayoritas itu bersifat konservatif atau cenderung berpandangan fundamentalis tidak bisa diyakini begitu saja, (3) Pemikiran Islam liberal hanya bisa berkembang apabila dilindungi oleh rezim otoriter, (4) Conservative turn di Indonesia sebagian disebabkan adanya pengaruh dari Timur Tengah, khususnya Semenanjung Arab, dalam bentuk kembalinya para lulusan dari perguruan tinggi di Arab Saudi, institut pendidikan yang didanai Arab Saudi dan Kuwait untuk mensponsori penerjemahan sejumlah teks “fundamentalis”, dukungan ideologis dan keuangan untuk gerakan Islam lintas negara, (5) Menonjolnya keturunan Arab yang memegang kepemimpinan gerakan radikal tampaknya mengarah kepada peran mereka sebagai perantara proses Arabisasi Islam Indonesia. Tak bisa disangkal, pelaku keturunan Arab dan dana Arab memang meningkat, tetapi pengaruh mereka tidak secara khusus bekerja dalam arah anti-liberal maupun fundamentalis.

Istilah conservative turn di Indonesia juga digunakan oleh Hamayotsu (2014) dalam bukunya Conservative Turn? Religion, State and Conflict in Indonesia. Dia mengatakan bahwa ketika ada konflik yang melibatkan etnis dan identitas lainnya, maka yang yang menjadi pemicunya itu adalah bukan persoalan etnis dan identitas lain tersebut, tapi kompetisi politik antar elit terkait pembagiaan sumber-sumber kekayaan negara dan tanah (political competition among elites over distribution of state resources, land. Ethnicity and other identities were not the primary cause of the conflict)”

Berbeda dengan Hamayotsu, Duncan mengatakan bahwa…”the essential source and character of the communal violence is religion..” (agama adalah sumber penting dan karakter kekerasaan komunal). Berdasarkan observasi dan interview lebih dari 17 tahun pada internal masyarakat yang dibuang dan terdampak kekerasan, ia menyimpulkan bahwa the communal violence diakibatkan oleh kompetisi politik antar elite terhadap pembagian sumber-sumber kekayaan negara dan tidak ada kaitannya dengan agama. Oleh mereka, agama dijadikan alat untuk mencapai kekuasaan yang kemudian menjadi pemicu kekerasan (political competition among elites over distribution of state resources, land and other religious issues). Kemudian dia menyimpulkan bahwa agama sebagai identitas bersama dan klaim, lebih mendapatkan ciri khas bagi orang-orang yang terlibat dalam konflik (…religion as a collective identity and claim has gained more salience among participants in the conflict…). Duncan menyimpulkan bahwa…”the essential source and character of the communal violence is religion..” (agama adalah sumber penting dan karakter kekerasaan komunal). Kesimpulan Duncan ini perlu diperhalus lagi untuk mengatakan bahwa bukan agama yang sebagai ajaran itu yang menjadi pemicu kekerasan komunal itu. Lalu apa kaitan antara konservatisme dengan kekerasan komunal?

Sebenarnya, kecenderungan konservatisme tidak selalu negatif, karena masyarakat muslim membutuhkan itu untuk menjaga harmoni dalam masyarakat. Namun, jika kecenderungan konservatisme itu menjadi opini publik, ini sangat mengkhwatirkan sebagaimana yang dikatakan oleh Syarafi (2011), bahwa menghadapi opini publik yang dikuasai kekuatan konservatif itu jauh lebih sulit dari pada menghadapi kekuatan politik yang despotik. Despotisme juga bisa lahir dari konservatisme yang mendapat sokongan politik. Menguatnya konservatisme di Indonesia bisa jadi seperti yang dikatakan Baqir (2013) bahwa ketika pemerintah tampak seperti tidak peduli untuk menjaga batas-batas wacana publik, beberapa varian kelompok konservatif itu seperti mendominasi. Karenanya, tidak selalu negatif jika dalam tulisan ini penulis merekomendasikan untuk penguatan pemerintah untuk mengontrol conservative turn dalam wacana publik.

KONSERVATISME ISLAM SEBAGAI TUNGGANGAN POLITIK: PENGALAMAN TUNISIA

Beberapa kasus di Indonesia, sekilas mirip dengan dalam sejarah Tunisia modern, di mana konservatisme Islam ditunggangi oleh politik. Haddad dan Bourguiba adalah contoh di mana politik menunggangi konservatisme di Tunisia. Haddad yang oleh Tha’alibi diberi signal untuk meneruskan kepemimpinan dalam partai harus menghadapi tragedi “penggulingan” agar ia tidak mewarisi kepemimpinan pendahulunya Tha’alibi. Berawal dari pergumulan dalam tubuh partai, kemudian dipolitisasi menjadi provokasi berbalut isu penistaan agama melalui masterpiece Tahir Haddad dalam bidang sosial-keagamaan, yaitu Imra’atuna fi al-Syari’ah wa al-Mujtama’. Ibn Milad (1991) menggarisbawahi peristiwa itu dengan sebuah ungkapan: Siyasatun qabla an-takuna diniyyatan. Berawal dari persoalan politik kemudian melebar menjadi persoalan keagamaan.

Haddad terjun langsung dalam gerakan kebangsaan sejak awal berdirinya partai al-Dustur pada saat statusnya masih sebagai pencari ilmu di Jami’ Zaytuna. Dia aktif dalam surat kabar milik partai. Dia banyak menulis di situ. Dia juga mendirikan organisasi yang diberi namaiMuqawamah al-Bida’ wa al-Israf di bawah pimpinan Husayn al-Jaziriy (pemilik surat kabar al-Nadim) yang didirikan dengan misi perlawanan terhadap zawiyah dan tarekat sufi, serta life-style sebagian besar masyarakat Muslim Tunisia yang dikenal boros saat itu. Pada saat ia ingin mendirikan serikat buruh/pekerja (al-niqabat al-‘ummaliyyah), dengan keyakinan bahwa pendirian serikat ini akan dapat membuka jalan bagi kemerdekaan buruh, dan mengajukan proposal kepada partai untuk bersedia mendanai serikat tersebut, namun niat dan usaha dan permintaannya tersebut tidak dikabulkan oleh pengurus partai lainnya. Pasca penolakan itu, Haddad mengurangi aktivitasnya di kepartaian. Ia bersama-sama dengan Muhammad al-Dar’i memberitakan ke publik bahwa partai tidak berkeinginan mendukung serikat buruh. Haddad lalu dinilai telah memecah-belah internal-partai dan merusak perjuangan partai. Di tempat lain, lajnah tanfidziyyah partai juga masih menyimpan konflik dengan Haddad. Maka saat Haddad meluncurkan bukunya Imra’atuna fi al-Syari’ah wa al-Mujtama’, kalangan partai yang tidak bersimpati dengan Haddad semakin melihat adanya penyimpangan yang dilakukan oleh Haddad sebagai kader partai, meski dalam buku tersebut terdapat pemikiran-pemikiran progresif dan berani, jika dibandingkan dengan tulisan-tulisan dalam tema yang sama pada periode ini.

Kalangan partai kemudian memanfaatkan pemikiran-pemikiran Haddad ini sebagai jalan untuk merusak ketokohan Haddad. Prahara pun terjadi, sebab partai akhirnya mengeksploitasi isu ini menjadi isu keagamaan di masa itu. Konflik yang terjadi antara Haddad dan orang-orang di internal partai digiring kepada persoalan agama untuk menutupi akar konflik sebenarnya. Konflik politik internal partai bermetamorfosa menjadi konflik keagamaan, syariah, hukum Islam. Karya Haddad kemudian diserang oleh banyak sekali penulis saat itu, di antaranya adalah Syaikh Raji Ibrahim, anggota lajnah tanfidziyyah, bukan cuma itu, masyayikh Zaytuna juga turut meramaikan pergumulan ini. Mereka mengkitik, menerbitkan sejumlah karya yang meng-counter pikiran-pikiran Haddad. Pimpinan tertinggi Jami’ Zaytuna juga mengeluarkan rekomendasi untuk “membredel” karya Haddad sekaligus mencabut gelar akademik yang pernah diraihnya dari Jami’ Zaytuna. Anehnya, pasca pecahnya partai pada tahun 1934, tokoh-tokoh partai kubu al-diwan al-siyasiy mengklaim bahwa Haddad adalah bagian dari mereka yang mereka dukung serta mereka anggap sebagai “tumbal” politik lajnah tanfidziyyah.

Pasca kepemimpinan Tha’alibiy, al-Hurr al-Dusturiy menciptakan dua sayap di internal partai. Sayap pertama dimotori oleh Bourguiba yang menguasai al-diwan al-siyasi atau Bourgibiyyun di mana ke-Tunisan (al-huwiyyah al-tunisiyyah) sebagai ideologinya yang tidak pro-Timur atau pro-Barat (la syarqiyyatan wa la gharbiyyah). Dan sayap kedua, Salih Bin Yusuf yang memotori al-amanah al-‘ammah atau Yusfiyyun yang menggunakan kekuatan Arab-Islam sebagai ideologinya, menimbulkan ketegangan di internal partai. Pergolakan politik ini mendesak Bourguiba menentukan pilihan politik liberal-sekular. Pada saat yang sama, Bin Yusuf bergabung dengan kekuatan Islam tradisionalis dan tokoh-tokoh yang berafiliasi dengan nasionalisme Arab dan Timur Tengah. Pedagang dan petani kaya yang berasal dari dua wilayah Sfax dan Jerba juga berada di belakang dan mendukung keputusan politik Bin Yusuf, termasuk juga masyarakat dari Selatan Tunisia. Bin Yusuf juga tercatat menghadiri KTT Asia-Afrika di Bandung tahun 1955. Di sini ia mempertegas posisi politiknya dan aliansinya dengan Jamal ‘Abd al-Nasir Presiden Mesir saat itu. KKT Bandung ini mengeluarkan sejumlah rekomendasi yang kontra terhadap Barat. Di tahun yang sama, pada tanggal 14 Oktober, Bourguiba menghadiri pertemuan di Kairo. Pertemuan itu mempertegas posisi politik Bourguiba untuk berafiliasi kepada Barat. Pertemuan Kairo ini melahirkan sejumlah keputusan diantaranya yang paling penting adalah sayap al-diwan al-siyasiy pimpinan Bourguiba menarik dukungan dan memisahkan diri dari partai al-hurr al-dusturiy. Konflik dengan Bin Yusuf dan al-Yusfiyyun mendorong Bourguiba mempercepat dan meneguhkan aliansinya dengan Perancis, bukan saja dalam masalah politik, tapi juga dalam masalah budaya. Karenanya, pasca konflik itu, Bourguiba melakukan sterilisasi sebanyak mungkin terhadap pengaruh Arab-Islam.

Ketegangan politik antara Bourguiba dan Bin Yusuf juga memantik sentimen konservatisme di Tunisia. Saat Majallat al-Ahwal al-Sykhshiyyah (MAS) dirilis tahun 1956 yang merupakan produk undang-undang pertama masa pemerintahan Bourguiba dalam masalah hukum keluarga, Salih Bin Yusuf, menurut catatan Kenneth J. Perkins, yang menjadi rival politik Bourguiba, menuduhnya melakukan pengharaman terhadap sesuatu yang dihalalkan Tuhan dan sebaliknya, terutama dalam pasal 18 tentang pelarangan poligami MAS 1956. Menurut keterangan Mastiri, ketegangan antara Bourguiba dan Bin Yusuf berawal dari persoalan politik di internal partai al-hurr al-dusturiy. Keduanya berkompetisi untuk merebut kekuasaan sebagai ketua partai pada permulaan tahun 1954. Sebagaimana diketahui secara umum bahwa Salih Bin Yusuf tidak menerima menjadi orang nomor dua di Republik Tunisia. Secara kepartaian, Bin Yusuf merupakan al-amin al-‘amm dan Bourguiba sebagai ketua al-diwan al-siyasi yang mengeksekusi program kerja partai. Selain itu, keduanya juga bersitegang dalam hal kesepakatan kemerdekaan dalam negeri Tunisia. Pasca Bourguiba menjadi presiden, kompetisi itu berlanjut menjadi serangan-serangan terhadap pemerintahan Bourguiba (al-tanafus alladzi tahawwala ila shira’ a’a al-hukm).

Kelompok salafi juga memanfaatkan isu agama untuk menyerang Bourguiba yang mereka cap sebagai pemimpin yang mengganti wajah Tunisia yang dahulu merupakan sebuah negara Islam menjadi negara sekular-kafir jika dibandingkan dengan negara-negara Arab lainnya. Meski konstitusi Tunisia tahun 1959 dalam Bab I tentang Aturan Umum Pasal 1 dengan tegas menyebut bahwa Tunisia merupakan negara Islam di mana bahasa Arab menjadi bahasa resmi negara, dan republic sebagai sistem pemerintahannya (tunis dawlatun mustaqillatun, dzatu siyadatin, al-islamu dinuha, wa al-‘arabiyyatu lughatuha, wa al-jumhuriyyatu nizamuha), namun terlihat bahwa kelompok salafi belum merasa puas sebab pasal satu konstitusi Tunisia tahun 1959 tidak menyebut syariat Islam sebagai landasan konstitusi dan sistem pemerintahannya. Bagi Bourguiba, sebagaimana pidato yang disampaikannya tertanggal 23 Februari 1965, bahwa Islam adalah sebagai perekat kuat yang menyatukan seluruh elemen umat, menjadikannya seperti satu tubuh meski mereka berbeda. Bourguiba menunjukkan bahwa ia mampu menyatukan masyarakat dengan meunifikasi hukum dan peradilan dalam satu undang-undang dan peradilan di mana warga negara dari suku, agama, ras, dan agama apa pun tunduk pada pada aturan di dalamnya. Pernyataan Bourguiba ini senafas dengan Bhinneka Tunggal Ika di Indonesia. Menurut penulis, Bourguiba berhasil memenangkan perdebatan sekitar sistem pemerintahan yang tercantum dalam konstitusi Tunisia tahun 1959 Bab I tentang Aturan Umum Pasal 1 untuk sebuah negara baru pasca kemerdekaannya. Fadhil ibn ‘Asyur secara resmi pernah menyusun draf rancangan konstitusi negara baru Tunisia. Dalam draf tersebut disebutkan bahwa Tunisia merupakan negara Islam dengan menerapkan manhaj Islam atau syariat Islam dalam pemerintahannya. Namun, faktanya meski mereka sepakat bahwa Islam adalah agama resmi negara Tunisia, namun syariat Islam tak pernah ada dalam konstitusi Tunisia tahun 1959 itu.

Di level global, Bourguiba difatwakan kafir dan murtad oleh Syaikh Bin Baz. Luthfi Hajji mengutip fatwa Bin Baz tahun 1401 H yang berjudul: al-radd ‘ala al-ra’is Abi Bourguiba (hakadza) fi-ma nusiba ilayhi min dzalik. Selain memfatwakan kafir dan murtad terhadap Bourguiba, Bin Baz juga menyerukan kepada seluruh pemimpin di negara-negara Muslim untuk memutuskan hubungan diplomatik-politik dengan Bourguiba sampai Bourguiba mau bertaubat atas pandangannya yang melarang poligami dan kesetaraan dalam pembagian waris.

Meski banyak kritik terhadap relasi Bourguiba dan Islam, namun pembelaan terhadap Bourguiba selalu disuarakan oleh masyarakat dan ulama Tunisia. Ketika banyak orang yang menyalahkan Bourguiba karena pidatonya tentang kebolehan berbuka bagi bagi sejumlah profesi di Tunisia, sejumlah Imam di Bizerte justeru mengeluarkan keputusan bersama untuk mendukung Bourguiba. Ahmad al-Mastiri menegaskan perlunya pembacaan ulang terhadap sejarah pemerintahan Bourguiba bagi generasi hari ini. lembaran-lembaran kelam tentang sejarah Bourguiba banyak ditulis di masa presiden selanjutnya, dan semakin menguat terutama pada tahun 2000 pasca wafatnya Bourguiba. Sejumlah tulisan itu hanya memuat sisi gelap dari kehidupan Bourguiba tanpa menampilkan sisi positif dari seorang Presiden pertama Tunisia tersebut dengan target generasi baru Tunisia. Muhsin Marzuq (Ketua Organisasi Arab Demokrat) mengatakan bahwa Bourguiba adalah seorang Muslim moderat-reformis. Ini menyangkal pernyataan yang mengatakan bahwa Bourguiba adalah sekularis, berseberangan dengan agama. Bagi Amal Musa, Bourguiba bukanlah seorang kafir, dia juga bukan seorang ateis. Bourguiba menurut Musa, melihat Islam sebagai agama yang harus memiliki pemahaman kontemporer tanpa melepaskan turath. Umat harus memiliki pemahaman baru terkait dengan hubungan antar manusia di era modern.

KESIMPULAN

Peristiwa sejarah di Tunisia, paling tidak dapat menggambarkan kepada masyarakat di Indonesia, betapa sebenarnya politik itu sangat mungkin sekali menunggangi konservatisme Muslim Indonesia. Membersihkan politik untuk tidak menunggangi konservatisme Islam bukanlah persoalan mudah. Namun, jika itu dapat dilakukan, tidak tertutup kemungkinan munculnya kembali wajah ramah Islam Indonesia. Semoga. Wallahu a’lam bi al-shawab.

– Budi Juliandi –

* Makalah ini disampaikan pada diskusi Friday Forum IAIN Langsa, 23 Februari 2018
Budi Juliandi – Dosen IAIN Langsa

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Sumber gambar tajuk sebelum olah digital: flickr USArmyAfrica, lisensi CC By 2.0

Categories
Diskusi

Aceh Pasca 2005: Ruang Politik untuk Syariat Islam*

Mesjid di pusat kota Beureuneun, Pidie, belum selesai dibangun. Compton yang datang dari Banda Aceh, melihat bangunan itu dari jauh, dan membayangkan perasaan yang sedang dialami oleh Daud Beureuh. Tujuannya datang ke kota itu untuk menemui Daud Beureuh, ulama sekaligus pemimpin politik Aceh. Beureuh sedang gusar dan frustasi. Negeri yang dia bela mati-matian di zaman revolusi fisik, ternyata tidak seiring sejalan dengannya kemudian hari. Compton hendak melihat kegusaran itu dari dekat. Kegusaran, yang dibaca dari Jakarta akan menimbulkan gesekan yang tidak kecil.

Dari dekat, Compton menyaksikan, Daud Beureueh yang ditemuinya lebih mirip pensiunan tentara ketimbang ahli agama. Badannya kurus dan kokoh. Compton memperhatikan betul gesture pemimpin yang paling dihormati sejak tahun 1930-an itu. Memperhatikan apa yang akan dilakukannya ketika Aceh yang berjasa, tidak mendapatkan balasan setimpal. Balasan yang diyakini oleh pemimpin Aceh kala itu, dapat mengembalikan daerah ini jaya seperti dalam masa lalunya

“Kami ingin Aceh ini seperti zaman Iskandar Muda,” kata Daud Beureuh dengan masygul. Ucapan disampaikannya dengan mendalam, sampai-sampai membuat pengikutnya yang hadir pada pertemuan itu menjadi menjadi kikuk.

Fragmen menarik ini dapat dibaca di buku Boyd R. Compton, Kemelut Demokrasi Liberal: Surat-surat Rahasia Boyd R. Compton (1992). Buku yang diterbitkan oleh LP3ES ini adalah kesaksiannya, atas peristiwa politik di zaman ketika nasion sedang dibangun. Buku ini memuat banyak cerita, tentang hiruk pikuk politik. Tentang Aceh dan Daud Beureuh. Mengenai Sukarno. Islam yang terus mencari jalan. Dan, Indonesia yang terus mencari keseimbangan. Buku yang sebenarnya berasal dari surat-suratnya itu, kemudian menjadi warisan Compton.

Compton berada di Indonesia untuk menyelesaikan studinya, namun gagal. Sehingga dia tidak dikenal sebagai ahli politik. Namun surat suratnya itu menjadi penting karena menjelaskan hal yang luput dari peneliti lain tentang Indonesia.

“Kendatipun Compton gagal menulis disertasinya — analisa-analisa politik Indonesia tahun lima puluhan –dalam bentuk surat-surat panjangnya –toh sangat berharga untuk disimak,” tulis Fachry Ali dalam pengantarnya.

Dari Compton kita melihat Beureuh sebagai perwujudan imaji terdalam dalam masyarakat Aceh: bahwa kembali ke masa lalunya yang agong adalah pra-syarat untuk kemajuan di masa mendatang. Iskandar Muda tentunya dimaknai sebagai raja besar yang memiliki kekuatan dan menjalankan syariat Islam. Apalagi dengan cerita, bahwa dia telah menghukum putera mahkotanya, karena melanggar syariah. Sebuah tindakan heroik yang dikenang melalui hadih maja “mate aneuk meupat jeurat, gadoh adat pat ta mita.” Adat di sini ditafsirkan sebagai penegakan syariah Islam.


Aceh oleh generasi Beureuh dibangun dengan imaji dan ingatan kolektif mengenai Islam, ketika generasi Beureuh berada di zaman yang saling silang. Hal yang diakibat bertemunya Aceh dengan kemajuan yang dibawa oleh bangsa Barat atas praktik kolonialisme. Perjumpaan itu yang dinamakan dengan modernisme. Sebuah ide yang menolak dan mengambil dari Barat sekaligus. Dari jalan Barat, generasi Beureuh memahami tentang Aceh yang baru. Lalu membangun apa yang diyakini dari masa lalunya; Islam. Tanpa Islam, maka bukan Aceh. Konstruksi itu dilakukan dengan baik oleh generasi Beureuh, dan diceritakan melalui kisah epos perang suci Aceh melawan Belanda, yang diwakili sosok Tgk. Chik di Tiro.

T.A. Talsya, wartawan cum sasterawan menyebut sosok ini yang memiliki perasaan meluap-luap untuk memimpin perjuangan melawan kaphe Belanda. “Dengan penuh kesadaran dan semangat anti Belanda (kafir) yang melupa-luap, beliau bersedia untuk memimpin perjuangan suci ini,” tulisnya.

Sosok ini pula yang menjadi inspirasi generasi Beureuh ketika mengobarkan semangat jihad, melalui maklumat ulama, 15-10-1945, untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan Indonesia,

“…bahwa perjuangan ini adalah sebagai sambungan perjuangan dahulu di Aceh yang dipimpin oleh Almarhum Tgk. Chik di Tiro dan pahlawan-pahlawan kebangsaan yang lain.” (Hasjmy, 1984)

Bahkan atas nama Tgk. Chik di Tiro pula, PUSA menyusun sebuah memorandum politiknya, di tahun 1950, mengenai keabsahan ulama untuk memegang posisi kepemimpinan di Aceh yang kosong, akibat perang yang berkecamuk.

“…Karena itu, pendirian PUSA adalah jawaban terhadap kekosongan kepemimpinan. Maka PUSA mengambil alih kepemimpinan Aceh. Berdasarkan kenyataan bahwa ulama Tiro yang akhirnya memegang hak kepala negara Aceh, kebangkitan PUSA sebagai organisasi ulama telah sekaligus menjadi pewaris langsung dari kekuasaan sultan.” (Ali dkk, 2008)

Namun ironi, dengan nama Tgk. Chik di Tiro pula, Sukarno meyakinkan Daud Beureueh untuk mempertahankan proklamasi 1945. Bahwa peperangan yang berkobar-kobar dalam revolusi nasional, merupakan maksud perang yang digelorakan oleh Tgk. Chik di Tiro.

”Kakak! Memang yang saya maksudkan adalah perang yang seperti telah dikobarkan oleh pahlawan-pahlawan Aceh yang terkenal seperti Tgk. Chik di Tiro dan lain-lain…” Pungkas Sukarno dalam dialognya dengan Daud Beureuh di tahun 1947 (El Ibrahimy, 1984).

Disebut ironi karena fragmen itulah yang menjadi titik anjak kemarahan berdekade antara Aceh dengan Jakarta. Maksud Aceh membantu mempertahankan proklamasi kemerdekaan Indonesia, guna mengembalikan Islam di Aceh seperti zaman Iskandar Muda. Dan apa yang telah ditunjukkan oleh Tgk. Chik di Tiro dalam peperangan suci. Namun yang terjadi, Aceh dilebur ke dalam provinsi Sumatera Utara. Hal yang kemudian memulai narasi perlawanan Aceh terhadap Jakarta.

Perlawanan pertama melalui Darul Islam, dipimpin oleh Daud Beureuh. Meletus tahun 1953 dan berhenti di tahun 1962, melalui upaya damai dan bermartabat, baik melalui Ikrar Lamteh dan Kongres Kerukunan Rakyat Aceh. Darul Islam adalah gerakan politik menuntut apa yang belum diberikan, hak untuk melaksanakan Syariat Islam. Hak tersebut diberikan melalui skema Daerah Istimewa Aceh.

Perlawanan kedua, melalui Gerakan Aceh Merdeka, 1976-2005, dipimpin oleh murid Daud Beureuh, Hasan Tiro. Berbeda dengan Darul Islam, perlawanan kali ini adanya perpindahan gagasan, dari islamisme ke (etno)nasionalisme. Gagasan yang dibangun dengan letupan bedil itu, akhirnya juga berhenti di meja perundingan. Berdamai di Helsinki. Lalu, kembali, otonomi khusus diberikan untuk Aceh. Perbedaannya, kali ini lebih besar wewenangnya yang diberikan, dibandingkan setelah penyelesaian peristiwa Darul Islam. Ada kebebasan untuk menampilkan eskpresi politik dan budaya lokal, penguasaan sumber daya alam, pembagian alokasi dana yang lebih besar dan wewenang luas untuk melaksanakan syariat Islam.

Pendeknya, perdamaian dari Helsinki telah membuka ruang politik yang lebar untuk segala ekspresi yang ada. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa ide Syariat Islam malah semakin mendapatkan ruang politiknya, paska 2005, di saat ruang itu dibuka oleh gerakan yang tidak mengusung gagasan islamisme.


Tulisan ini[ref]Bagian ini telah dipublikasi di http://www.bung-alkaf.com/2017/12/08/gam-setelah-41-tahun-demokrasi-dan-ruang-politik-untuk-syariah/[/ref] hendak menjawab pertanyaan di atas melalui penelusuran secara genealogis.

Sejak memasuki abad kontemporer, Aceh telah membuka ruang untuk melakukan perbincangan antara gagasan Islam dengan nasionalisme. Cita-cita mengenai kejayaan Islam Aceh di masa lampau, kemudian dicoba terapkan dalam eksperimen politik modern. Melalui pertemuan dengan gagasan baru yang bernama Indonesia. Untuk itu, Aceh menjadikan Islam persyaratan utama ketika mendukung proklamasi Indonesia. Sehingga ketika Darul Islam Aceh itu terjadi, hal tersebut haruslah dilihat sebagai ungkapan politik untuk memasukkan Islam dalam kehidupan bernegara.

Perjumpaan Islam dan nasionalisme menjadi lebih tajam, ketika Hasan Tiro melakukan revisi terhadap gagasan kebangsaan Indonesia. Dia memasuki, bahkan berpindah dari gagasan islamisme kepada apa yaang disebut sebagai etnonasionalisme (Damanik, 2010). Untuk memperkuat gagasannya itu, Tiro menjadikan analisa sejarah dan hukum sebagai dasar pijakannya (Ali dkk, 2008).

Dua seting politik di atas penting sebagai cara membaca Aceh lebih utuh. Apalagi wajah Aceh tidak lagi sama setelah 41 tahun GAM dan 12 tahun kesepakatan damai di Helsinki. Perdamaian politik Helsinki itu telah menghentikan cita-cita kemerdekaan GAM dan berganti dengan jalan demokrasi.

Namun, ternyata, demokrasi memunculkan masalah berikutnya.

Ketika demokrasi hanya meniscayakan satu hal, yaitu, diskursif, ternyata tidak dapat diikuti sepenuhnya oleh para mantan kombatan. Karena demokrasi menyediakan ruang deliberatif, meminjam frasa dari Habermas, yang memungkinkan setiap ide, gagasan melalui proses yang diskursif dan melewati uji publik (Hardiman 2009).

Demokrasi yang meniscayakan diskursif dan uji publik demikian, tidak dikenal dalam tradisi pergerakan politik Aceh Merdeka. Demokrasi jelas menghendaki ruang percakapan publik yang luas, tentu tidak efektif dalam masa perang. Sebab perang, harus dibangun dengan agitasi dan propaganda. Sehingga yang terjadi adalah mantan kombatan, yang sudah berpolitik itu, malah gagal memanfaatkan ruang politik yang terbuka lebar sejak tahun 2005.

Dalam keadaan demikianlah, kita kemudian dapat mulai memahami, mengapa gagasan etnonasionalisme, sebagai ide utama organisasi GAM, itu kalah dengan gagasan islamisme, yang merupakan ide utama di Aceh sejak zaman revolusi nasional. Padahal, kedua topik pernah itu menjadi perdebatan sengit di masa-masa awal reformasi, tentang apakah Aceh lebih menghendaki formalisasi hukum syariah atau keadilan (baca: merdeka).

Formalisasi hukum syariah sendiri merupakan gagasan yang lama mengendap setelah berakhirnya peristiwa Darul Islam Aceh, yang terus dicoba dalam berbagai kebijakan pelaksanaan hukum syariah. Misalnya, apa yang dilakukan oleh Gubernur Hasby Wahidy, yang pernah menjadi aktivis pemuda PUSA , dengan membentuk Biro Unsur-Unsur Syariat Islam di tahun, yang berujung pada pergantiannya oleh Pemerintah Pusat oleh Muzakkir Walad di tahun 1968 (Nashir, 2013). Namun, cara rezim Orde Baru menangani Aceh demikian, dalam pandangan Sjamsuddin (1989) telah membuat Beureuh kecewa. Lalu, karena sentimen itulah terjadi perjumpaan antara veteran Darul Islam dengan Hasan Tiro, yang lebih menjadikan isu pengelolaan kekayaan alam, sebagai bentuk ketidakadilan Pemerintah Pusat kepada Aceh, sebagai alasan untuk melakukan perlawanan kembali.

Namun, ketika Tiro mulai bergerak kepada gagasan etnonasionalisme, ide islamisme masih kuat mengendap di kepala elite politik dan intelektual Aceh. Kelompok bahkan bergerak dari tengah untuk mendorong agenda politiknya itu.

Oleh elite politik, hal itu ditunjukkan dengan mendukung penuh kepada PPP untuk mengalahkan dominasi Golkar. Dukungan kepada PPP dijadikan sebagai tempat pertujukan komitmen Aceh terhadap Islam (Ali, 1996). Sedangkan oleh golongan intelektual, yaitu para sarjana dari IAIN Ar Raniry, Darussalam, lebih mengisi ruang-ruang birokrasi, seperti menjadi pengajar di perguruan tinggi, bekerja di Kementerian Agama dan menjadi pengurus di Majelis Ulama Indonesia. Selanjutnya gagasan-gagasan tentang Islam juga mendapatkan ruang diskursusnyanya di media Sinar Darussalam, sebuah majalah ilmiah yang terbit secara rutin sejak tahun 1969 sampai akhir tahun 1990-an.

Proses yang sistematis dari golongan elite politik dan intelektual tersebut, kemudian ikut menjelaskan mengapa setelah Aceh mendapatkan otonomi khusus di tahun 2001, untuk menjalankan Syariat Islam, maka produk hukum di bidang aqidah, ibadah, syiar Islam dan jinayah mampu dilahirkan dengan cepat.

Lalu, ketika ide islamisme bergerak dari tengah, di saat yang bersamaan, gagasan etnonasionalisme berada di pinggiran. Di saat pendukung gagasan islamisme menulis buku yang sistematis, mengadakan pengajaran dan seminar secara regular. Pendukung gagasan etnonasionalisme hanya mampu berpidato di tempat terpencil, mendengar ceramah dari kaset secara diam-diam, mencetak pamflet dan mengedarkan stensilan ceramah secara terbatas. Baru setelah rezim Orde Baru tumbang, ada peluang politik untuk membangun framing tentang etnonasioanalisme secara luas.

Ada euforia di sana-sini. Salah satunya dengan aksi-aksi kolosal, seperti referendum, mogok massal dan perayaan hari milad GAM secara terbuka. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama. Operasi militer dari pemerintah pusat berhasil membuat gagasan etnonasionalisme kembali ke pinggir. Bahkan setelah MoU Helsinki pun tidak mampu membawa gagasan itu kembali ke tengah, hatta mantan kombatan menduduki posisi politik yang strategis di Aceh.

Bahkan kini, produk hukum syariah lebih banyak lahir dan mendapat sambutan masyarakat, seperti Jinayah dan Hukum Acara Jinayah, Bank Syariah, Dinas Dayah dan keterlibatan ulama dalam memberi pertimbangan pada setiap kebijakan. Berbanding terbalik dengan produk hukum bercorak etnonasionalisme yang tidak mendapat dukungan penuh bahkan memunculkan riak-riak perlawanan, seperti kelembagaan Wali Nanggroe, bendera, lambang dan himne Aceh.

Perubahan sosial politik ini tentulah tidak ajeg. Namun bila ditelusuri secara genealogis, dapat dikatakan, bahwa gagasan islamisme dalam bentuk formalisasi hukum Islam di Aceh, telah memenangkan pertarungan narasi. Dan akan semakin kuat posisinya dalam membentuk identitas politik dan budaya di Aceh di kemudian hari.

* Makalah ini disampaikan pada diskusi Friday Forum IAIN Langsa, 2 Maret 2018

 

Gambar sebelum olah digital diambil dari : republika.co.id.

Categories
Penulis Tamu

Anies dan Pribumi

Seperti lagu-lagu dalam film India yang umumnya antara cerita dan nyanyian tidak punya hubungan, begitulah pengutipan pribahasa-pribahasa dari berbagai daerah di Indonesia yang dikutip Anies Baswedan dalam pidato pelantikannya sebagai Gubernur DKI Jakarta baru-baru ini. Tujuan Anies mengutip pribahasa dari berbagai daerah untuk menunjukkan bahwa Jakarta adalah milik seluruh bangsa di Indonesia. Dia ingin menegaskan itu. Dia menegaskannya dengan mengatakan Jakarta adalah melting pot (titik kumpul) bagi seluruh warga Indonesia. Sepertinya istilah itu baru populer setelah buku Islamic Populism in Indonesia and Middle East yang ditulis oleh Vedi R. Hadiz.

Anies dikenal sebagai seorang retoris yang menggunakan bahasa secara sangat sistematis dan efektif. Dia mampu menggunakan diksi yang baik dan pemilihan kosakatanya sangat efektif dan efisien. Tetapi itu dilakukan oleh seorang Anies Baswedan sebagai akademisi. Dan itu tidak terlihat pada Anies Gubernur DKI. Dalam pidato sambutannya itu, kecerdasan Anis terintimidasi oleh hutangnya yang sangat besar. Dia bukan pilihan warga DKI. Dia terpilih hanya karena kaum Islamisme Ibu Kota membenci Ahok. Sebuah kebencian yang muncul dari propaganda Habib Rizik. Padahal secara positif, apa yang diucapkan Ahok adalah sebuah pernyataan abstrak. Tetapi kaum Islamisme menyeretnya ke ranah konkrit.

Menimbang hutang-hutangnya itulah, kecerdasan Anies harus berselingkuh dengan emosionalisme kaum Islamisme. Perselingkuhan itu menghasilkan anak pertama yang sama-sama kita saksikan yakni Pidato Sambutan Anies sebagai Gubernur DKI. Secara keseluruhan pidato Anies itu bagus: masih menunjukkan bekas kecerdasan seorang akademisi cari aman. Tetapi ketika dianalisa secara detail, pidato tersebut adalah dilema. Dilema bagi oratornya. Pada satu sisi Anies ingin mengesankan bahwa dirinya dapat diandalkan oleh seluruh rakyat Indonesia sebagai pemimpin Ibu Kota yang akan mampu memberikan rasa aman, nyaman dan tentram. Dia ingin mengesankan bahwa dirinya adalah orang yang sangat Pancasilais, menghormati dan menjunjung tinggi keberagaman. Pada sisi lain dia ingin sedikit mencicil hutangnya pada kaum Islamisme.

Beberapa pesan yang dapat dikatakan sebagai usaha mencicil hutang adalah dengan menjanjikan ruang seluas-luasnya bagi setiap acara pengajian, sebuah acara yang dibelenggu oleh musuh kaum Islamisme bernama Ahok. Tetapi sepertinya pemberi hutang menuntut banyak. Atau setidaknya Anies merasa harus membayar banyak. Dan stigma keburukan Ahok menurut saya dikiaskan dengan Kolonialisme. Terma Kolonialisme yang beberapa kali diulang Anies secara literal memang bermakna penjajah Belanda dan Jepang. Tapi tidak semua orang Indonesia bodoh. Sebagian besar orang tahu membahas kolonialisme, apalagi di Jakarta tidak relevan lagi. Sehingga orang banyak yang pajam bahwa kolonialisme yang dimaksud adalah rezim-rezim kepemimpinan Jakarta sebelum dirinya. Ketika memakai terma kolonialisme, maka otomatis terma itu menuntut kata ‘pribumi’ sebagai antonimnya.

Merujuk kias, maka pribumi itu adalah dirinya dam kaum Islamisme. Terma ‘pribumi’ otomatis menjadi “santapan” dan “gorengan” pengamat dan kritikus. Terma itu menjadi senjata makan tuan bagi seorang Anies Baswedan. Semua orang tahu bahwa Baswedan adalah marga bagi orang Arab. Sehingga, merujuk kias kembali, maka muncullah kesan pribumi adalah Arab dan Cina adalah Kolonial. Tentu saja ini adalah sebuah bahan tertawaan bagi orang yang bernalar.

Dengan terma-terma analogis yang dipakai Anies, maka itu menuntut orang untuk melihat bahwa pertarungan DKI 2017 adalah pertarungan Arab dan Cina. Merujuk sejarah Batavia dan Indonesia umumnya, persaingan Arab dan Cina adalah salah satu tema utamanya. Pertarungan Cina dan Arab adalah persaingan ekonomi. Pedagang Arab dan pedagang Cina tidak berhenti bertarung sepenjang sejarah Batavia dan Jakarta. Dan selalu Arab punya beberapa keberuntungan. Keberuntungan utamanya adalah mereka sama-sama beragama Islam, sehingga sangat mudah mereka diterima warga Betawi yang memang fanatik dalam beragama.

Bila teorema di atas diterima, maka tentu Anies hadir untuk membela kepentingan Arab di DKI. Sebagaimana umumnya, Arab selalu membawa kepentingan-kepentingan mereka atas nama agama (Ibn Khaldun, 2011) Sehingga Anies hadir untuk mengawal proyek-proyek pengajian para Habib dan proyek-proyek agama lainnya. Di Jakarta, jangankan pengajian besar, menjadi guru privat mengaji untuk anak usia dini saja sudah memberikan uang yang melimpah. Karena itu, pengajian-pengajian besar yang dikoordinir Arab adalah proyek-proyek besar.

Tentu saja Anies tidak sepakat dengan proyek reklamasi karena itu tidak menguntungkan Arab dan kaum Islamisme. Orang-orang Arab di Jakarta tidak punya keuntungan dengan proyek-proyek pulau itu. Pengusiran-pengusiran bangsa Arab yang menjual kurma, perlengkapan shalat dan haji oleh rezim Ahok tentu saja tidak dapat dilepaskan dari diskursus ini.

Yang perlu dikhawatirkan adalah nasib etnis Cina dalam kepemimpinan Anies. Tapi mereka tidak punya sejarah sebagai orang yang terpinggirkan oleh rezim. Cina selalu dekat dengan rezim. Mereka selalu mampu merangkul rezim untuk memuluskan usaha dagangnya. Semoga dengan kehadiran Anies, tidak membenarkan apa yang dikatakan Ibn Khaldun (2011) bahwa setiap bangsa yang dipimpin orang Arab akan menuai kehancuran.

– Miswari* –

*Penulis adalah pengajar Filsafat Islam
di IAIN Zawiyah Cot Kala Langsa
dan Penulis buku Filsafat Terakhir.

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Sumber gambar asli sebelum olah digital: world economic forum dengan lisensi by-nc-sa 2.0.

Categories
Penulis Tamu

Oasis Perumusan Agapol

Dapat dipastikan bahwa kajian dan permasalahan tentang agama dan politik tidak akan pernah habis selama manusia masih beraktivitas di permukaan bumi. Ontologi aktivitas manusia secara tidak langsung bersinggungan dengan berbagai kompleksitas alam semesta. Sebagai ciptakan Allah Swt. Alam semesta tidak mampu menjelaskan dan memberi informasi (iktibar) kepada manusia sebagai khalifah di permukaan bumi, dan manusiapun dengan kecanggihan akalnya juga tidak mampu untuk memahami hakikat Alam semesta. Kompleksitas alam semesta tersebut diartikan sebagai nilai-nilai ilahiah yang dapat bersentuhan dengan manusia, baik dalam bentuk teoritis (abstrak) maupun dalam bentuk praktis (konkret). Dalam bentuk teoritis misalnya studi tentang keagamaan, politik, ekonomi, sosial hingga kesehatan. Dan dalam bentuk praktis misalnya teknik cara beribadah atau kemampuan dalam beradaptasi dengan lingkungan.

Categories
Penulis Tamu

REFORMA AGRARIA NEGARA KAPITALIS, DEVELOPMENTALISME NEGARA SOSIALIS

Locked in Place: State-Building and Late Industrialization in India Book Cover Locked in Place: State-Building and Late Industrialization in India
Vivek Chibber
History
Princeton University Press
2006
360

Buku Locked in Place: State Building and Late Industrialization in India (Princeton University Press, 2006) merupakan studi ilmu politik pasca colonial India. Menariknya, si penulis, Vivek Chibber membandingkan masa pemerintahan Jawaharlal Nehru Perdana Menteri pertama di India dengan rejim Park Chung-hee, di Korea Selatan. Korea menekankan pada kebijakan ELI (Export Led Institution), sebaliknya India menggunakan kebijakan ISI (Import Substitution Industrialization).

Penekanan pada ELI di Korea Selatan berhasil karena campur tangan pemerintah dalam mendisiplinkan bisnis-bisnis besar. Keberhasilan ELI jelas didukung dengan kualitas birokrasi yang bagus dan Negara yang kuat. Korea mempunyai rasionalitas birokrasi yang koheren dimana Negara bekerja sama dengan asosiasi industry mobil, sepatu, listrik, elektronik. Tangan Negara yang kuat dengan penciptaan bank-bank pemerintah merupakan upaya awal Negara dalam menciptakan kredit kepada pengusaha lokal. Nasionalisasi bank di Korea tahun 1960 an bertujuan untuk mencegah rent seeker (pengusaha yang melobi ke pemerintah/ kongres) dan mengontrol dunia finance. Tujuan dari nasionalisasi bank adalah untuk mengontrol belanja tahunan dan mengontrol arus finansial dan arus kredit industri di bawah pengawasan menteri keuangan. Berbeda dengan India, untuk memulai proyek-proyek industri, businessman tidak perlu mendapatkan ijin dari menteri keuangan dan parlemen, mereka hanya memerlukan ijin dari nodal agency atau komite dagang yang dibuat oleh pemerintah dan menteri keuangan sebagai penanggung jawab implementasi dari nodal agency. Komite dagang mempunyai kekuatan utama untuk menyediakan kredit dan pembelanjaan. Menteri keuangan tidak bisa menganulir kebijakan-kebijakan kamar dagang. Pemerintah mempunyai legitimasi untuk mengontrol modal dan menghukum bisnis yang tidak sejalan dengan agenda pembangunan. Berbeda dengan Park Chung-hee, Nehru tidak mempunyai keterlibatan langsung dengan kamar dagang. Ia bahkan tidak mempunyai kuasa penuh terhadap kongres.

Sebaliknya dari Korea Selatan, di India, tidak ada kerjasama yang koheren antara agen pemerintah dengan asosiasi-asosiasi perdagangan. Sifat red tape bureaucracy (regulasi birokrasi yang berlebihan) India di bawah Nehru yang sosialis malah acak adut mendisiplinkan pengusaha-pengusaha besar dan berakhir dengan menekankan kebijakan ISI. National congress di bawah Nehru kacau balau. Negara memberi subsidi kepada firma-firma, tapi banyak firma susah dikendalikan. India menggunakan kebijakan impor yang justru menyebabkan protes besar di tingkatan pemilik modal lokal dan para buruh yang ditekan upahnya. Hal ini berbeda dengan kebijakan ekspor di Korea yang mendapatkan dukungan penuh oleh pihak pemilik modal lokal yang sebagian besar bergerak di sektor manufaktur. Korea menyadari bahwa penekanan ekspor harus menjadi hasrat kelas pengusaha bukan hasrat negara, sebaliknya, kebijakan impor cenderung menjadi hasrat Negara. Sebaliknya India di bawah Nehru melalui proyek sosialisme “Bombay Plan” (BP) nya gagal untuk menekan kelas pengusaha. Para birokrat tetap mempertahankan elit-elit lamanya. Elit birokrat cenderung benci pengusaha dan menekannya. Bombay Plan menasionalisasi semua perusahaan dan menekan pajak yang tinggi kepada klas pengusaha. BP juga mengontrol upah minimum buruh dan training-training buruh. Industri Negara menguasai sektor-sektor yang berkenaan dengan sistem pertahanan, infrastruktur, seperti rel kereta api sampai proyek energi atom. Miskinnya investasi diperburuk dengan ketidaksambungan antara pihak kongres dan menteri-menteri di bawah Nehru. Masing-masing punya kepentingan. Pihak kamar dagang India kebingungan hendak mengajukan lobi ke menteri atau ke kongres. Kamar dagang terus berseteru dengan menteri keuangan soal kebijakan investasi. Sedangkan menteri-menteri menciptakan sel-sel kekuasaannya tersendiri. Ketidakkoherenan antar instansi ini diperburuk dengan berganti-gantinya kebijakan di setiap rencana pembangunan lima tahunan. Konsul-konsul pembangunan didominasi oleh aparatus birokrasi yang gagal untuk melobi target investasi. Tidak seperti di Korea Selatan, birokrasi India tidak mempunyai pendisiplinan yang efektif terhadap bisnismen yang secara mudah memonopoli sektor-sektor bisnis. Tidak ada tekanan secara langsung. Setelah mendapatkan lisensi investasi, pihak businessmen tinggal menjalankan operasinya. Bisnismen yang menjalankan investasinya dipastikan adalah segelontor elit yang mempunyai kedekatan dengan para birokrat pemberi ijin usaha. Hal ini tentu mematikan usaha-usaha kecil yang tidak mampu berkembang dikarenakan kerumitan birokrasi.

Di ranah agrikultur, ELI berhasil melakukan penguatan produksi agrikultur. Pemerintah Korea melakukan reformasi agraria, sehingga berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas pertanian. Reformasi agraria tentu saja sangat penting karena dapat mencegah impor bahan kebutuhan pokok. Tentu saja harus diakui bahwa reformasi agrarian ini juga tidak lepas dari desakan Amerika Serikat untuk mencegah menjalarnya ketidakpuasan petani yang berujung pada tumbuh suburnya ideologi sosialisme. Penguatan produksi agrikultur juga sangat signifikan untuk mencegah inflasi mata uang karena impor bahan pangan dapat menyebabkan penurunan nilai tukar mata uang. Selain itu, harga kebutuhan pokok dapat ditekan. Park juga sadar bahwa stabilisasi pangan adalah stabilisasi upah karena upah buruh pasti mengacu pada hal yang paling mendasar yakni konsumsi bahan pangan.

Negara yang kita lihat sangat kapitalistis, seperti Korea Selatan, bahkan Taiwan, berhasil menjalankan program-program yang esensinya merupakan agenda Negara sosialis, seperti reformasi agraria. Sebaliknya, Negara-negara yang menjalankan program sosialisme di tahun 1960an, seperti India, termasuk juga Indonesia, berakhir dengan program “developmentalisme” yang dijalankan secara masif.

India tidak mempunyai state managerial yang bagus dan tidak mempunyai asosiasi sektoral yang memonitor kebijakan-kebijakan ekonomi seperti di Korea Selatan. Di bawah Nehru, kapitalisme tidak dapat dibungkam karena Negara tidak demikian kuat. Sementara di bawah Park Chung-hee di Korea Selatan, kapitalisme dapat berkembang dengan baik justru karena adanya negara yang kuat. Namun demikian, saya tidak mengatakan bahwa campur tangan negara perlu dihilangkan, kasus India dan Korea Selatan justru sekaligus menunjukkan gagalnya pasar sebagai sistem “self regulatory” karena ketika tidak dikekang oleh Negara, harga-harga komoditas menjadi naik tinggi, sebagai misal harga gula dan harga tekstil di India yang melonjak di akhir tahun 1940an. Gagalnya pasar untuk mengatur dirinya sendiri menyebabkan kaum industrialis mengandalkan peran Negara, yang ironinya ternyata berjalan dengan sistem birokrasi kacau balau.

Buku Vivek Chibber ini merefleksikan dua hal besar. Pertama, mengajak kita beranjak dari debat lama soal pelemahan Negara dan penguatan pihak pengusaha swasta. Korea Selatan menunjukkan bahwa salah satu syarat dari pertumbuhan eksport led industrialization adalah karena rasionalitas birokrasi dimana terjadi koherensi antara kerjasama menteri-menteri dengan pihak pemilik industri. Dengan demikian, untuk melakukan pembukaan investasi, justru dibutuhkan negara yang kuat, khususnya secara hukum dan koherensi antar birokrasi. Pertumbuhan ekonomi jelas merupakan kebijakan memerlukan Negara yang kuat, bukan sebaliknya . Intervensi negara jelas diperlukan untuk mencegah instabilitas pasar, naik nilai tukar mata uang, menciptakan tingkat upah yang stabil, meregulasi arus modal yang masuk dan mendisiplinkan kapital. Negara, seperti Korea, tidak berperan sebagai pemberi subsidi (seperti yang selama ini dilakukan oleh Indonesia) yang menyebabkan jatuh terjebak ke dalam hutang. Kedua, buku ini sekaligus merefleksikan kondisi pasca ideologi. Negara yang selama ini kita anggap menjalankan sistem kapitalisme mutakhir, seperti Korea Selatan, Taiwan dan Jepang, justru sangatlah sosialis. Parameternya pada pembagian tanah secara merata pada penggarap. Sebaliknya, negara yang dulunya menjalankan program sosialisme justru menyerah dengan menjalankan berbagai macam program pembangunan (developmentalisme) dan menjadi sasaran empuk berbagai proyek politik neoliberalisme.

Namun demikian, di buku ini, Chibber tidak menggambarkan skala politik regional. Mengapa India cenderung gagal? Mengapa Korea Selatan justru sukses?

Yang patut diperhatikan adalah pada negara-negara disekitarnya sebagai penunjang kerjasama. Secara regional, kasus India karena tidak ada negara-negara pendukung industri yang kuat. India dikelilingi oleh Bangladesh, Srilanka, dan Pakistan. Bandingkan dengan Korea yang disekitarnya didukung oleh Taiwan dan Jepang. Kondisi regional jelas terhubung dengan konteks waktu. Tahun 1960an, Amerika memaksa Korea untuk lebih menerapkan ekspor karena pada saat yang Amerika membutuhkan ekspor tekstil dalam jumlah besar. Hal paling terpenting adalah aliansi Jepang dan Korea. Amerika melakukan proteksi ketat terhadap ekspor dari Jepang. Namun Jepang menanamkan investasi industry offshore ke Korea yang nantinya di ekspor Amerika. Jepang memperbaharui mesin-mesin tekstil di Korea yang sudah menua demi meningkatkan kualitas ekspor. Di bawah rejim Park Chung-hee, kurang lebih terdapat 15 firma Jepang di Korea yang sampai 86% mendominasi ekspor ke Amerika. Tentu saja Park Chung Hee gembira karena ia juga mendapatkan pajak dari firma-firma Jepang tersebut.

– Hatib Abdul Kadir* –

* Hatib Abdul Kadir, Mahasiswa PhD jurusan antropologi University of California, Santa Cruz. Juga seorang dosen antropologi di Universitas Brawijaya.

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Categories
Penulis Tamu

UUPA DAN ASAS AUDI ET ALTERAM PARTEM

Asas Audi et Alteram Partem adalah sebuah kalimat bahasa latin yang artinya “dengarkan sisi lain”. Kalimat ini merupakan sebuah ungkapan dalam bidang hukum demi menjaga keadilan. Agar sebuah persidangan berjalan seimbang maka dikenal adanya asas Audi et Alteram Partem yang bermakna “mendengarkan dua belah pihak” atau mendengarkan juga pendapat/argumentasi lain sebelum menjatuhkan suatu putusan agar peradilan dapat berjalan seimbang. Pengertian ini Penulis kutip dalam sebuah buku yang berjudul Hak Uji Materiil yang ditulis oleh Dr. H. Imam Soebechi (mantan Hakim Agung RI). Lantas bagaimana hubungannya dengan Pasal 269 ayat (3) UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) jika dikaitkan dengan dengan penerapan asas ini?. Pasal 269 ayat (3) UUPA menyebutkan “Dalam hal adanya rencana perubahan Undang-Undang ini dilakukan dengan terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapatkan pertimbangan DPRA”. Hal ini akan Penulis uraikan lebih lanjut dengan menggunakan beberapa teori yang relevan khususnya yang berlaku dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam pembentukan atau perubahan suatu undang-undang DPR dan Pemerintah memiliki kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD, maka dari itu setiap pembentukan atau perubahan suatu undang-undang memerlukan persetujuan dari kedua lembaga Negara tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap rancangan Undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”. Yang untuk menjalankannya menjadi tugas Pemerintah sedangkan DPR berperan untuk melakukan pengawasan terkait dengan implementasi suatu undang-undang yang dijalankan oleh Pemerintah. Maka dari itu DPR dan Pemerintah disebut sebagai positif legislator.

Selanjutnya dalam studi Hukum Tata Negara kita juga mengenal adanya Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai salah satu lembaga kekuasaan kehakiman yang kewenangan konstitusionalnya mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Konsekuensi dari putusannya apabila dikabulkan akan berdampak pada perubahan suatu undang-undang, kewenangan MK inilah yang dikenal sebagai negatif legislator yang merupakan antitesa dari positif legislator.

Pasal 8 ayat (2) juncto Pasal 269 ayat (3) UUPA merupakan suatu diskursus menarik untuk diuraikan terkait dengan teori positif legislator dan negatif legislator sebagaimana Penulis kemukakan diatas. Pasal 8 ayat (2) secara gramatikal menyebutkan frasa “rencana pembentukan undang-undang”, sedangkan Pasal 269 ayat (3) secara gramatikal pula menyebutkan frasa “rencana perubahan Undang-Undang ini”. Hemat Penulis Pasal 8 ayat (2) merupakan bagian dari positif legislator, sedangkan Pasal 269 ayat (3) merupakan bagian dari positif legislator dan juga dapat merupakan bagian dari negatif legislator. Karena Pasal 8 ayat (2) lebih menekankan pada rencana pembentukan undang-undang. sedangkan Pasal 269 ayat (3) lebih menekankan pada rencana perubahan undang-undang ini. Yang bunyi lengkapnya dapat kita bandingkan sebagai berikut : Pasal 8 ayat (2), “Rencana pembentukan undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA”. Pasal ini menunjukkan semua RUU yang memiliki hubungan dengan UUPA. Selanjutnya Pasal 269 ayat (3), “Dalam hal adanya rencana perubahan Undang-Undang ini dilakukan dengan terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapatkan pertimbangan DPRA”, Pasal ini menunjukkan khusus dalam kaitannya dengan perubahan UUPA. DPR dapat mengubahnya melalui political review sedangkan MK dapat mengubahnya melalui judicial review.

Dalam perkembangan sistem pemerintahan di Aceh selama ini ada warga masyarakat Aceh yang melakukan uji materiil UUPA ke Mahkamah Konstitusi, diantaranya ada dua yang telah dikabulkan yaitu Pasal 256 terkait dengan calon persorangan dan Pasal 67 ayat (2) huruf g terkait dengan mantan narapidana untuk ikut dalam Pilkada (Putusan Nomor 35/PUU-VIII/2010 dan Nomor 51/PUU-XIV/2016). Dalam kedua putusan tersebut MK tidak meminta keterangan dari DPRA sebagaimana bunyi Pasal Pasal 269 ayat (3). Khusus terkait Putusan Nomor 51/PUU-XIV/2016 (perkara Abdullah Puteh) terkesan MK terlalu menyederhanakan persoalan, karena mengenyampingkan Pasal 54 UU MK sendiri tanpa perlu mendengar keterangan dari DPR dan Pemerintah selaku pembentuk undang-undang, boro-boro meminta keterangan dari DPRA. Kongkritnya dalam perkara tersebut MK telah melakukan perubahan makna Pasal 67 ayat (2) huruf g secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.

Dalam hal ini seyogyanya MK juga dapat mengikutsertakan DPRA agar dapat menggali secara subtantif nilai-nilai yang terkandung dalam UUPA sesuai dengan asas Audi et Alteram Partem (dengarkan sisi lain). Sejauh yang penulis baca kedua putusan tersebut DPRA tidak terlibat sebagai Pihak Terkait yang seharusnya bagian dari sahabat peradilan (amicus curiae). Padahal dalam Pasal 11 UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan perubahannya membuka ruang untuk itu, karena untuk kepentingan pelaksanaan wewenangnya MK dapat memanggil pejabat negara, pejabat pemerintah, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan lisan maupun tertulis termasuk dokumen yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa. Sehingga oleh karena itu tidak jarang dalam praktik beracara MK selain mendengarkan keterangan dari Pemerintah dan DPR juga mendengarkan argumentasi dari Pihak Terkait. Ketentuan Hukum Acara MK sendiri sebenarnya secara jelas mengatur hal ini khususnya ditegaskan dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, expressis verbis menyebutkan Pihak Terkait langsung dapat diberikan hak yang sama dengan Pemohon dalam memberikan keterangan dan alat bukti, apalagi DPRA merupakan pihak yang hak dan/atau kewenangannya terpengaruh langsung oleh pokok permohonan.

Apabila kita membaca dengan seksama kandungan UUPA memang tidak bisa sembarangan untuk mengubahnya. Setidaknya ada beberapa pasal yang mirip antara satu dan lainnya yaitu Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 23 ayat (1) huruf i, Pasal 42 ayat (2) dan Pasal 269 ayat (3). Bila kita renungkan pasal atau norma yang dituangkan secara berulang-ulang pastilah memiliki nilai penting karena dirumuskan dalam suasana yang penuh dengan duka konflik, gempa, dan tsunami. Padahal MK juga memahami dua pasal yang pernah diuji tersebut sangat erat kaitannya dengan Pilkada Aceh, yang dalam uji materiil UU Pemerintahan Daerah dan UU Kekuasaan Kehakiman (Perkara Nomor 97/PUU-XI/2013) sebelumnya MK menegaskan bahwa Pilkada merupakan rezim pemerintahan daerah bukan rezim pemilihan umum, dalam hal ini DPRA adalah lembaga perwakilan rakyat yang secara konstitusional merupakan bagian dari penyelenggara pemerintahan daerah sejatinya harus didengar keterangannya sebagai pihak terkait.

Kesimpulan Penulis memang pengujian undang-undang terhadap UUD merupakan hak konstitusional setiap warga Negara dan putusan pengadilan harus dihormati. Akan tetapi kedepan MK juga harus lebih jeli melihat urgensi kelahiran UUPA dengan menjadi hakim yang aktif sesuai dengan kaidah hukum acara agar dapat menemukan keadilan subtantif sebagaimana yang MK dengungkan selama ini. Selanjutnya para pemangku kepentingan di Aceh khususnya DPRA harus berperan aktif untuk mengajukan diri sebagai Pihak Terkait langsung maupun tidak langsung jika dikemudian hari UUPA kembali di uji materiil, agar tidak satu persatu norma UUPA saling berguguran seperti sekarang ini. Disinilah sejatinya letak penerapan asas Audi et Alteram Partem untuk mendengarkan keterangan pemohon dan pihak terkait secara seimbang. Semoga tulisan ini dapat menjadi sumbangsih pemikiran bagi kita yang masih memiliki kepekaan dan semangat untuk menjaga purifikasi Undang-Undang Pemerintahan Aceh.

– Hesphynosa Risfa, S.H., M.H. –

Hesphynosa Risfa, S.H., M.H., Advokat
(Email : hesphy_nosa@yahoo.co.id)

Sumber :

  1. Buku Hukum Acara Pengujian Undang-Undang (Prof. Jimly Assiddiqie)
  2. Buku Hak Uji Materiil (Dr. H. Imam Soebechi)
  3. UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan perubahannya
  4. UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh
  5. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Sumber foto asli sebelum olah digital: pixabay dengan lisensi CC0.

Categories
Kolom Pendiri

RESENSI BUKU – THE ORDINANCES OF GOVERNMENT

The Ordinance of Government (Al-Ahkam al –Sultaniyah w’al Wilayat al-Diniyya) Book Cover The Ordinance of Government (Al-Ahkam al –Sultaniyah w’al Wilayat al-Diniyya)
Al-Mawardi
Agama
Garnet Publishing, United Kingdom
2010
301

Bicara tentang kinerja pemerintahan dan aparatur yang terlibat didalam pelayanan publik, tidaklah bisa dilepaskan dari konsep maupun prinsip-prinsip tata-kelola, aturan dan ketentuan yang ada dalam penyelenggaraan pemerintahan (good governance). Jika istilah good governance yang dikampanyekan (ulang) oleh IMF (International Monetary Fund) dan Bank Dunia (World Bank) dan badan-badan PBB (Perseikatan Bangsa-Bangsa) atau UN (United Nations) seperti misalkan UNDP (United Nations for Development Project) di akhir dekade 90-an merupakan terma yang sekarang secara meluas diberbagai negara, khususnya negara-negara yang dianggap belum dan sedang berkembang di ‘dunia ketiga’ seperti Asia, Afrika dan Amerika Selatan (Hout, 2007) dan melulu dikaitkan dengan politik bantuan 1) ke negara-negara tersebut maka tata-kelola dan prinsip aturan pemerintahan sudah lebih dulu diterapkan oleh peradaban Islam. Zaman kepemimpinan Muhammad SAW dan khalifah yang empat menjadi saksi sejarah bagaimana Piagam Deklarasi Madinah benar-benar menjadi dokumen tata-kelola pemerintahan pertama yang bisa dijadikan model dalam pengaturan pemerintahan demi mencapai masyarakat yang bertransformasi secara mandiri dalam hal administrasi kota dan segenap perangkatnya. Beberapa abad kemudian, Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Habib al-Mawardi (untuk kemudian disebut dengan Al-Mawardi) atau di dunia Barat dikenal dengan nama Alboacen (972-1058 M) mencoba merangkum, memadukan dengan pengalaman barunya, dan menerapkan konsep tata-kelola pemerintahan baik secara agamis, juridis, filosofis maupun administratif Piagam Madinah ditengah kekacauan politik pada masanya, sesuai dengan latar belakangnya sebagai ulama, filusuf, hakim dan juga pengambil keputusan di masa Dinasti Abbasiyah tersebut. Tata-kelola pemerintahan ala Al-Mawardi bisa dibaca dalam buku berjudul Al-Ahkam al-Sutaniyya w’al-Wilayat al-Diniyya yang sudah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa. Dalam Bahasa Inggris buku itu diterjemahkan menjadi The Ordinance of Government atau ‘Aturan-Aturan Penyelenggaraan Pemerintahan’ oleh Prof. Wafaa H.Wahba dan diproduksi berkali-kali untuk kepentingan kajian politik dan administrasi pemerintahan di Barat oleh The Center for Muslim Contribution to Civilization2). Buku klasik ini ternyata masih cukup relevan dan populer dengan kondisi aktual dinamika sekarang dan menjadi salah satu literatur yang paling banyak dirujuk secara konsep awal oleh banyak ilmuwan dalam kajian studi good governance di dunia. Dalam konteks inilah, buku yang dimaksud juga secara fundamental bisa sesuai dengan kondisi kekinian yang ada di Aceh sebagai salah satu provinsi yang mengadopsi aturan syariat Islam dalam tata-kelola pemerintahannya. Buku ini akan menjadi sangat menarik bagi peminat kajian administrasi pemerintahan, baik mahasiswa, maupun para pejabat publik, pemimpin pemerintahan atau politisi, peminat diskursus good governance seperti aktivis LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan lembaga-lembaga non pemerintahan yang concern dengan tema-tema ini.

Dalam bukunya yang terdiri dari 20 bab, Al-Mawardi memulainya dengan perlunya kepemimpinan (imamah) dan juga kriteria bagaimana mendapatkan pemimpin yang baik bagi masyarakat. Dalam hal kriteria kepemimpinan, ia menyebutkan ada paling tidak tujuh indikator: adil dan jujur, berilmu dan independen, terbuka terhadap kritik, sehat secara fisik, bijaksana dan hati-hati, berani, dan terakhir berasal dari kalangan Quraisy. Sementara dalam hal mengangkat pemimpin pemerintahan, ia menyarankan dua metoda: pemilihan dan penunjukan/pengangkatan langsung. Bab kedua sampai dengan bab keenam, Al-Mawardi masih membicatakan kriteria dan model pengangkatan pejabat publik lain dibawah pemimpin tertinggi suatu negara atau wilayah. Pengangkatan menteri, hakim, panglima militer, komandan atau pemimpin ekspedisi dari pasukan yang menjalankan operasi khusus demi kepentingan publik.

Kemudian bab ketujuh ia berbicara mengenai bagaimana menyelesaikan permasalahan diantara dua pihak berkonflik oleh pejabat publik yang berwenang. Bab kedelapan ia mengusulkan agar pemerintah mempunyai satu lembaga yang mengatur agar kelompok dari kalangan terhormat dalam masyarakat tidak diperintah oleh seorang pejabat publik yang berasal dari kalangan dibawahnya. Hal ini penting menurutnya dikarenakan bisa jadi mereka yang dari golongan ’atas’ tidak mau tunduk secara psikologis atas keputusan dalam permasalahan tertentu. Kelompok ’atas’ ini sebaliknya harus menerima apapun keputusan dari salah satu diantara tiga ofisial berikut: khalifah sendiri, sesorang yang didelegasikan oleh khalifah untuk menyelesaikan konflik dimaksud, atau perwakilan khalifah yang diberikan tugas dengan kewenangan tertentu yang terbatas. Menariknya di bab kesembilan Al-Mawardi kembali ke kriteria dan metode penunjukan imam shalat, setelah diselingi dengan dua bab mengenai penyelesaian sengketa publik.

Pengelolaan kegiatan publik seperti administrasi jemaah haji, zakat dan harta rampasan perang menjadi perhatiannya pada bab-bab berikutnya. Selain itu ia juga mengupas mengenai bagaimana mengelola pajak hasil bumi dan bangunan yang ditujukan kepada pihak non-muslim. Dengan lugas ia secara bertahap membagi kategori-kategori dan tata cara pemungutan pajak, dan yang menarik adalah ketentuan bahwa ’pajak tidak bisa sama sekali dipungut sebelum waktunya jatuh tempo.

Di bab selanjutnya, bab keempat belas, Al-Mawardi membagi kategori yang disebut wilayah (kedaulatan) otorita pemerintahan Islam. Pada bab kelima belas ia kembali membahas bagaimana mengatur adminsitrasi pelayanan publik, yakni berkenaan dengan reklamasi tanah/pembukaan lahan dan pembagian pasokan air bersih. Di bab keenam belas ia fokuskan pada pembahasan mengenai pembukaan sarana dan fasilitas publik, perlindungan terhadap tanah tidak tergarap dari kepentingan individu non-publik. Hibah tanah dan pemberian hak pengelolaan tanah dan hasilnya merupakan fokus Al-Mawardi di bagian bab ketujuh belas. Ia mendefinisikan tanah dalam tiga pengertian: tanah mati dan tidak tergarap, tanah yang sudah diolah/tanah garapan, dan tanah yang jadi sumber pertambangan.

Perhatian figur cendikia asal Basra ini kemudian beralih ke persoalan status dan ketentuan pengelolaan lembaga atau pusat adminsitrasi negara (semacam LAN/Lembaga Administrasi Negara). Ia mengatakan bahwa lembaga ini diperlukan untuk menjaga keamanan dokumen dan properti pemerintahan dan kemiliteran beserta personil yang terlibat didalamnya. Lembaga itu diberi nama Diwan. Lembaga administrasi negara ini harus dibagi kedalam empat departemen yaitu: departemen arsip dan gaji kemiliteran, departemen arsip pajak dan kewajiban keuangan daerah, departemen catatan penunjukan dan pemberhentian pejabat publik, dan yang terakhir, departemen arsip penerimaan negara dan pajak dari baitul maal. Ia juga menjelaskan secara rinci dan panjang bagaimana klasifikasi data dan arsip negara disimpan secara rapi. Di akhir penjelasan, ia menekankan dua kategori wajib bagi kepala lembaga pusat administrasi dan arsip negara, yaitu: jujur dan punya kompetensi.

Sebelum menutup penjelasan panjangnya di bab keduapuluh tentang proses pengangkatan petugas dan lembaga pengawas pasar dan perdagangan (sejenis Ombudsman3) dan hisba4) ) dan memastikan semua aktivitas pelayanan publik dari negara berjalan sesuai standar ia menyinggung tentang administrasi dan prosesi penjatuhan hukuman secara gamblang di bab kesembilan belas. Beberapa kasus yang disebutkan dalam penjelasannya adalah kasus perzinahan, pencurian, pemabuk, fitnah dan pencemaran nama baik (terkait kasus asusila dan zina), kompensasi dan hak balas dalam kasus kematian dan hukuman mati, serta terakhir berkaitan dengan hukuman non-legal terkait pelanggaran disiplin dan hukuman non-publik. Sementara di bagian akhir, Al-Mawardi menjelaskan panjang lebar mengenai pentingnya lembaga pengawas dan penjaga moral ofisial negara dalam menjalankan tugas sebagai penyedia jasa layanan publik agar tidak melakukan tindakan diluar kewenangan, penyelewengan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme yang merugikan masyarakat.

Apa yang sudah ditawarkan oleh Al-Mawardi tentunya menjadi demikian penting ditengah memuncaknya rasa ketidakpercayaan publik terhadap administrasi pemerintahan kita saat ini. Meskipun konsep yang dikemukakannya sedikit klasik, namun tidak dapat dipungkiri bahwa ia telah memberikan inspirasi secara langsung dan tidak langsung terhadap penyelenggaraan aparatur pemerintahan. Konsep pengawasan pasar yang bisa dilacak jauh ke masa Khalifah Umar bin Khattab sekarang dipakai dimana-mana. Dalam pemaknaan lebih luas, konsep pengawasan pasar berkembang secara aplikatif dalam hal pengawasan moral pejabat publik. Konsep yang dibarengi dengan aturan yang sangat jelas, lugas dan tegas. Penyelesaian sengketa publik, pengadaaan fasilitas publik oleh negara, ataupun metoda dan kriteria seleksi pengangkatan pejabat publik akan terus menjadi topik hangat dalam transformasi administrasi. Latar belakang yuridisnya juga menyebabkan ia sangat paham tentang bagaimana menjaga rasa keadilan publik dan membuat aturan-aturan yang empirik berbasis kejadian sehari-hari masyarakat kedalam aturan dan hukum administrasi pemerintahan. Demikian juga dengan ide pembentukan lembaga pusat administrasi negara tidak bisa tidak adalah terobosan formal yang ternyata sudah ada sejak masa Al-Mawardi hidup. Gaya paparannya yang empirikal, kategorikal, numerikal, filosofikal , jelas, tegas, dan lugas dalam hal-hal mendasar publik (fundamental) membuat buku ini menjadi semakin dibutuhkan ditengah ‘kegalauan publik’ akan kemampuan aparatur daerah dan negara saat ini.

Namun demikian, meskipun Al-Mawardi sudah berupaya kuat untuk membukukan pengalamannya selama mengabdi sebagai hakim, politisi sekaligus ilmuwan pada masa itu, bukunya meskipun fenomenal dan fundamental juga tidak sepenuhnya komprehensif. Barangkali kondisi masyarakat pada masa itu membuat kriteria seleksi kepemimpinan, khususnya poin tentang calon pemimpin harus dari kalangan Quraisy tidak bisa sepenuhnya diterapkan saat ini. Meskipun demikian, filosofi pentingnya adalah kalau bisa memilih pemimpin yang merupakan putra lokal/pribumi jika ingin mudah diterima oleh masyarakat yang awalnya biasanya apatis dan tidak partisipatif. Hal lain yang perlu jadi catatan adalah tidak adanya tawaran mekanisme promosi aparatur publik dalam buku ini. Benar bahwa ia sempat menyebutkan prosedur pemberian hukuman bagi pelanggar aturan agama dan publik, namun bab mengenai mekanisme promosi dan degradasi pejabat juga dirasa perlu ditambahkan disini. Idenya tentang pembagian wilayah jelas tidak sesuai dengan kondisi kita disini, dimana ia membagi tiga klasifikasi daerah: daerah Haram5), Hijaz dan daerah diluar Haram dan Hijaz. Demikian juga halnya dengan penyeleggaraan badan negara yang secara khusus menyelesaikan problem antar kelas di bab delapan. Kritik lain terhadap bukunya adalah meskipun fokus dalam tema-tema tertentu, kelihatannya bukunya tidak disusun dalam urutan kronologis tematik yang membuat pembaca mudah mengikutinya. Sebagai contoh misalkan, setelah berbicara detil tentang mekanisme dan kriteria pengangkatan pejabat publik di bab-bab awal, tiba-tiba beralih ke topik penyelesaian sengketa publik di bab ketujuh. Atau misalkan saat mendeskripsikan mengenai administrasi pelayanan publik dan pengadaan fasilitas publik, mendadak beralih ke permasalahan hukuman dan kriminalitas di bab kesembilan belas untuk kemudian kembali ke tema mengenai perlunya kantor atau dinas pengawasan perdagangan dan standar pelayanan publik di bab terakhir (bab keduapuluh).

Apapun itu, buku ini telah memberikan efek serta kontribusi luar biasa bagi khasanah dan praktik tata kelola pemerintahan negara sampai saat ini. Apalagi sebagian besar tawaran Al-Mawardi cocok dengan negara-negara dan daerah yang mayoritas penduduknya muslim dan atau mengadopsi sistem pemerintahan Islam atau hukum Islam. Getaran keilmuan buku ini masih hangat diperdebatkan, diterapkan dan diperkaya saat ini. Penulis merasa berkewajiban membagi informasi ini mengingat terbatasnya akses terhadap buku-buku klasik bertemakan administrasi pemerintahan, dan kinerja aparatur publik (bernuansa Islam) di nusantara. Meski konsep Al-Mawardi jelas-jelas berorientasikan hukum Islam dan dilegkapi dengan referensi kuat dari Al-Qur’an dan Hadist, namun teori dan ide fundamentalnya sangatlah universal dan compatible untuk diterapkan di negara non-muslim sekalipun. Di beberapa negara, konsep Al-Mawardi langsung atau tidak langsung sudah berjalan dengan sangat baik. Oleh karena itulah penulis sangat merekomendasikan kepada pembaca untuk menyerap inspirasi dan belajar banyak dari buku yang satu ini.

Tulisan ini pernah diterbitkan di Jurnal Transformasi Administrasi LAN, Vol.III, Issue I, Hal. 517-521, Tahun 2013 Penerbit: PKP2 A Lembaga Administrasi Negara, Jakarta.

.

Categories
Penulis Tamu

Mencari Format Ideal Sistem Kepartaian dan Sistem Pemilu Ddalam Kerangka Demokrasi Presidensial

Menyongsong Pemilu 2019, kembali muncul wacana kembali untuk mencari format ideal sistem kepartaian dan Pemilu di Indonesia. Hal ini bisa tergambar dari alotnya proses penyusunan RUU Pemilu yang saat ini sedang dibahas di DPR.

Isu mendasar yang tidak pernah usang adalah mencari hubungan format sistem pemilu dan kepartaian yang memiliki representasi politik yang baik, demokratis, akuntabel, dan melahirkan sosok wakil rakyat yang kompeten dan berkualitas. Format desain kepartaian dan pemilu saat ini, dinilai belumlah ideal dan sesuai dengan ciri dan corak kebangsaan Indonesia. Memang dari segi penyederhanaan partai -terlihat sejak pemilu pasca reformasi hingga pemilu 2014-terjadi tren penyederhanaan partai. Namun arah penyederhanaan partai pun belum dapat dikatakan benar benar sederhana. Karena setiap terjadi pemilu, selalu ada partai baru yang terbentuk. Sebagian dari partai tersebut adalah merupakan pecahan/friksi dari kelompok dalam sebuah partai yang tidak terakomodir kepentingan politik di partai sebelumnya.

Selain itu timbul persoalan lain setelah pelaksanaan pemilihan presiden secara langsung sebagai amanat amandemen ketiga UUD 1945, dimana proses pelaksanaan desain sistem pemilu, kepartaian dan pemilu presiden secara langsung, justru tidak saling berhubungan.

Hubungan secara parsial yang terjadi, khususnya dalam hal tata cara pencalonan presiden, dimana partai-partai yang memperoleh suara tertentu atau gabungan partai-partai yang dapat mencalonkan calon presiden dan wakil presiden yang berhak mengajukan calon. Tidak ada jaminan bahwa presiden terpilih preferensi suaranya sama dengan perolehan suara partai di legislatif. Pengalaman Pilpres 2004 justru menunjukkan calon presiden/wakil presiden yang diusung oleh partai kecil justru menjadi pemenangnya.

Bayang-bayang presidensial yang rapuh, terjadi selama rentang periode 2004-2009, dimana presiden terpilih memiliki dukungan politik yang rendah, sehingga demokrasi presidensial tidak berjalan secara efektif.  Tidak ada jaminan koalisi pemerintahan memperoleh dukungan politik di parlemen.  Ada problematika koalisi-koalisi pemerintahan yang dibentuk pada masa Presiden Wahid, Presiden Megawati, maupun Presiden Yudhoyono, yang polanya bukan hanya bersifat longgar namun juga cenderung semu. Koalisi belum dibangun dengan platform politik bersama atau kesepakatan minimum diantara pihak-pihak yang berkoalisi, dan penegasan disiplin partai untuk mendukung presidensialisme. Dampaknya, apa yang dialami oleh Presiden Wahid, Presiden Megawati, maupun Presiden Yudhoyono hingga Presiden Jokowi, pemerintahannya bukan hanya digugat oleh partai di luar pemerintahan (partai pengimbang, partai oposisi), namun juga kurang didukung oleh partai-partai koalisi pendukung pemerintah yang memiliki kursi di dalam kabinet.

PROBLEM KLASIK INDONESIA: SISTEM PRESIDENSIAL YANG TIDAK KOMPATIBEL DENGAN MULTIPARTAI

Terdapat Tiga alasan kombinasi sistem presidensial dengan sistem multipartai bermasalah (Scott Mainwaring, 1993: 198) . Pertama, sistem presidensial berbasis multipartai cenderung menghasilkan kelumpuhan (immobilitas) akibat kebuntuan (deadlock) eksekutif-legislatif, kebuntuan itu akan berujung pada instabilitas demokrasi. Kedua, sistem multipartai menghasilkan polarisasi ideologis ketimbang sistem dwipartai sehingga seringkali menimbulkan problem komplikasi ketika dipadukan dengan sistem presidensial. Ketiga, kombinasi sistem presidensial dengan sistem multipartai berkomplikasi pada kesulitan membangun koalisi antarpartai dalam demokrasi presidensial sehingga berimplikasi pada rusaknya stabilitas demokrasi.

Makin rendah fragmentasi dan polarisasi ideologi antar partai maka semakin memperkuat proses pembentukan pemerintah yang efektif dalam pengambilan keputusan keputusan politik, karena akan melahirkan koalisi yang menguasai kursi mayoritas di parlemen. Sebaliknya kian tinggi fragmentasi dan polarisasi ideologi antar parpol, maka berkonsekuensi kian mempersulit melahirkan konsensus dan koalisi kian tak terjaga dengan disiplin. Akhirnya melahirkan ketidakefektifan dalam melakukan keputusan keputusan politik baik di dalam pemerintahan maupun di parlemen.

Pangkal problematik demokrasi presidensial di Indonesia adalah tidak didukung dengan sistem kepartaian yang kompatibel. Sistem multi partai ekstrim dinilai tidak cocok di terapkan di negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial. Hal ini karena stabilitas yang dikehendaki dalam sistem presidensial hanya dapat terwujud jika tidak terlalu banyak partai yang merebutkan kekuasaan. Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah reformasi terkait penyederhanaan sistem kepartaian, serta melakukan perubahan terhadap sistem pemilu legislatif dan presiden.

TAWARAN SOLUSI

Sistem kepartaian di Indonesia yang ideal dalam hubungan dengan sistem ketatanegaraan adalah sistem kepartaian pluralisme moderat yang jumlahnya 5-7 parpol. Perlu dilakukan penyederhanaan jumlah parpol dengan mengikuti pembelahan ideologi partai partai dalam tradisi politik di Indonesia. Tipologi ideologi kepartaian Indonesia terbagi dalam tiga ideologi besar, yaitu nasionalis, moderat, dan agama. Ketiga ideologi besar tersebut kemudian terdapat varian yang berada di tengah antara ketiga ideologi yaitu nasionalis moderat dan agama moderat.

Langkah penyederhanaan Parpol idealnya dilakukan melalui mekanisme alamiah.  Diantaranya dengan penataan ulang Daerah Pemilihan (Dapil).  Idealnya Dapil pemilu mendatang diciutkan menjadi 3-6 kursi. Model tersebut akan menjadi ambang batas tersembunyi (hidden treshold) dalam pembatasan parpol di DPR. Dengan Dapil yang lebih kecil, diyakini anggota DPR akan lebih dekat dan bertanggung jawab kepada konstituen yang diwakili.

Meskipun jumlah dapil dikurangi (diciutkan), suara seluruh pemilih tetap terakomodasi prinsip keterwakilan (representation) tetap terjaga dengan menerapkan sistem pemilihan umum campuran (Mixed Member Proportional/MMP). Sistem MPP ini adalah upaya mengambil sisi positif dari dua sistem, yaitu sistem FPTP dan PR. Model MMP ini akan dapat mewadahi pelembagaan sistem kepartaian karena memberi ruang kepada pengurus parpol untuk berperan menentukan nomor urut melalui proporsional dari sisi yang lain yang memberi kesempatan pada calon calon untuk merebut hati pemilih melalui distrik. Pemilih juga diberi ruang untuk berdasarkan seleranya.

Kemudian perlu dilakukan dilakukan rekayasa sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden agar dapat terbentuk koalisi yang bersifat permanen dalam kerangka pemerintahan presidensial di Indonesia.

Menurut penulis sedikitnya Ada 4 (empat) varian pemilihan presiden yang bisa diterapkan untuk konteks indonesia, yaitu Pemilu Presiden Tunggal, Pemilu Presiden  dan Wakil Presiden dua putaran (second round election), Pemilu Presiden  dan Wakil Presiden terpisah  (vote splitting) dan Wakil Presiden diajukan oleh presiden terpilih untuk dipilih oleh DPR.

1. Pemilu Presiden Tunggal

Pada Pemilihan Umum Presiden tunggal, Presiden dan Wakil Presiden  tidak lagi satu paket. Yang dipilih hanyalah Calon Presiden. Presiden adalah pemenang pemilu Presiden yang meraih suara terbanyak pertama dengan ketentuan 50 % + 1. Sedangkan posisi wakil Presiden di isi oleh kandidat dengan suara terbanyak kedua (runner up).

Sistem pemilihan model ini pernah diterapkan di Amerika Serikat pasca berakhirnya suksesi kepemimpinan George Washington pada Pemilu Presiden 1796. Ketika itu kaum federalis mendukung wakil presiden masa George Washington, John Adam untuk menjadi Presiden. Sementara kaum Demokrat Republikan mendukung Thomas Jefferson. Dalam pemilihan yang dilaksanakan oleh Electoral College John Adam memperoleh 71 suara, sementara Jefferson 69 suara. Konstitusi Amerika ketika itu menyebutkan bahwa calon yang memperoleh suara tertingggi akan menjadi presiden, sementara suara runner up akan menjadi wakil presiden. Atas dasar itu secara otomatis John Adam terpilih sebagai presiden dan Thomas Jefferson sebagai wakil presiden.

2. Pemilu Presiden  dan Wakil Presiden dua putaran (second round election)

Variasi kedua adalah, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dua putaran.  Putaran pertama adalah pemilu presiden. Presiden adalah pemenang pemilu Presiden yang meraih suara terbanyak dengan ketentuan 50 % + 1. Sedangkan kandidat yang yang tidak berhasil meraih suara 50 % + 1, dapat mengikuti putaran kedua, yaitu Pemilu Wakil Presiden yang dilaksanakan dalam rangka  memilih wakil presiden yang akan mendampingi Presiden. Penentuan pemenang pada putaran dua didasarkan pada prinsip First Past to Post atau suara terbanyak.

3. Pemilu Presiden  dan Wakil Presiden terpisah  (vote splitting)

Varian ketiga, Sistem Pemilu Presiden dan Wakil Presiden terpisah. Jabatan presiden dan wakil presiden dipilih secara terpisah, sehingga dua calon pemenang bisa berasal dari partai politik yang berbeda, sebagaimana yang diterapkan di Filiphina dan sebagian negara di  benua Africa yaitu Kenya, Zambia, Malawi, and Zimbabwe. Kelebihan pemilihan model ini adalah kemungkinan koalisi yang bersifat strategis jangka panjang antara partai politik pendukung calon presiden dan parpol pendukung calon wakil presiden. Namun kelemahan adalah, apabila antara presiden dan wakil presiden terpilih ternyata tidak sepemahaman dalam platform kebijakan dan ideologi politik.

4. Wakil Presiden diajukan oleh presiden terpilih untuk dipilih oleh DPR

Varian Keempat, Presiden dipilih melalui Pemilu. Wakil Presiden diajukan oleh Presiden terpilih kepada DPR. Selanjutnya DPR akan memilih wakil presiden. Yang berhak memilih wakil presiden di parlemen adalah partai yang tergabung dalam koalisi opisisi, bukan partai yang tergabung dalam koalisi pemenang pemilu presiden. Dengan format seperti ini maka koalisi kedepan akan sangat kuat, permanen serta menciptakan stabilitas pemerintahan yang baik. Kelemahannya adalah, bisa saja terjadi deadlock ketika penentuan wakil presiden ekses konsesi politik yang tidak tercapat antara presiden terpilih dan parlemen yang menentukan wakil presiden.

Perlu dilakukan rekayasa sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden agar dapat terbentuk koalisi yang bersifat permanen dalam kerangka pemerintahan presidensial di Indonesia.  Dengan merubah mekanisme pemilihan presidensial diharapkan dapat tercapat koalisi dengan bentuk sebagaimana dijabarkan Lipjhart (1995), yaitu minimal range: koalisi berdasarkan kedekatan pada kecenderungan ideologis dan  minimal connected winning: koalisi yang terjadi antara partai-partai yang memiliki persambungan orientasi kebijakan. Walhasil, Format pemilu presiden dan wakil presiden tidak dalam satu paket pasangan calon adalah format yang terbaik dan bisa membangun koalisi yang bersifat permanen dan strategis dalam sistem pemerintahan presidensial Indonesia

–  Teuku Harist Muzani* –

Teuku Harist Muzani – Pegiat Pemilu dan Demokrasi.
Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Ilmu Politik
Universitas Padjadjaran Konsentrasi Tata Kelola Pemilu

Teuku Harist Muzani – Pegiat Pemilu dan Demokrasi. Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Konsentrasi Tata Kelola Pemilu

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Hak cipta gambar oleh padebooks

Categories
Penulis Tamu

Anies, Tegakkanlah Keadilan

“Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan”, – Pramodya Ananta Toer, Bumi Manusia.

Anies adalah sosok yang terpelajar. Ia adalah seorang intelektual dan akademisi. Pendidikan kesarjanaannya dienyam pertama kali di Fakultas Ekonomi UGM, kampus yang banyak melahirkan pejabat negara. Selanjutnya ia meneruskan pendidikan master di bidang keamanan internasional dan kebijakan ekonomi di School of Public Affairs, University of Maryland, College Park. Di sanalah ia dianugrahi William P. Cole III Fellow.

Setelah lulus dari Maryland, Anies kembali mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliahnya dalam bidang ilmu politik di Northern Illinois University pada tahun 1999, ia lulus dengan judul disertasi Regional Autonomy And Pattern of Democracy in Indonesia. Keilmuan yang ia miliki ini menjadi bekal untuk mengajar di Universitas Paramadina hingga menjadi rektor pada usia 38 tahun, ia tercatat sebagai rektor termuda di Indonesia.

Keterpelajaran Anies bukan hanya dari keilmuan semata. Semasa sekolah ia telah aktif di berbagai organisasi. Sejak sekolah di SMP Negeri 5 Yogyakarta, Anies telah bergabung di Organisasi Siswa Intra Sekolah, dan menduduki jabatan sebagai pengurus bidang humas.

Saat meneruskan pendidikannya di SMA Negeri 2 Yogyakarta, dia tetap aktif berorganisasi hingga terpilih menjadi Wakil Ketua OSIS, dan mengikuti pelatihan kepemimpinan bersama tiga ratus orang Ketua OSIS se-Indonesia. Hasilnya, ia terpilih menjadi Ketua OSIS se-Indonesia pada tahun 1985. Bahkan pada tahun 1987, dia terpilih untuk mengikuti program pertukaran pelajar AFS dan tinggal selama setahun di Milwaukee, Wisconsin, Amerika Serikat.

Saat kuliah, Anies juga bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan salah satu anggota Majelis Penyelamat Organisasi HMI UGM, organisasi yang banyak melahirkan politisi ulung negeri ini. Di UGM dia juga terpilih sebagai Ketua Senat Universitas pada kongres tahun 1992, dan membuat beberapa gebrakan dalam lembaga kemahasiswaan.

Dari riwayat pendidikannya tersebut, tambah lagi dengan gebrakannya melahirkan program Indonesia Mengajar, dan posisinya yang pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, maka patutlah disebut bahwa Anies adalah sosok terdidik yang pendidik. Karenanya, keadilan harus melekat dalam dirinya, terutama sejak terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta dalam hasil perhitungan Quick Count oleh beberapa lembagai survey.

Sulit untuk menepis bahwa kemenangan Anies menjadi Gubernur di DKI Jakarta adalah kemenangan “rasis” dan sentimen agama. Bahasa yang kerap terdengar selama masa kampanye adalah “Jangan pilih Ahok, dia Cina, dia kafir, dan dia penista agama, siapa yang memilihnya berarti kafir”.

Agama memang kerap dijadikan bahtera untuk berlayar gemilang menyebrangi lautan politik guna menduduki singgasana kuasa. Sifatnya yang sakral membuat para elit politik gemar mendandani diri berpenampilan agamais. Simbol-simbol kesalehan sering dipakai di ruang publik. Parade ritus digebyarkan. Semuanya dilakukan untuk memikat konstituen seagama.

Pada saat yang sama, agama juga dijadikan sebagai alat sentimen guna melumpuhkan lawan-lawan yang tak seagama. Ironisnya, ketika tampil di hadapan pemeluk agama yang berbeda, mereka berlagak seperti manusia paling nasionalis, pluralis, toleran, serta anti rasisme dan radikalisme.

Pola-pola kampanye yang mengedepankan fanatisme dan membakar rasa sentimen agama paling disenangi oleh kelompok-kelompok islamis. Dan Anies memiliki kekuatan politik yang digemuki oleh kalangan tersebut. Padahal pergerakan kaum islamis cukup berbahaya bagi masa depan rawatan keragaman di Indonesia.

Gerakan dan doktrin mereka dikhawatirkan akan memperlebar kanal konflik antar agama. Terlebih di alam demokrasi, yang justru semakin membuat mereka lebih “liar” untuk menebar dogma-dogma agama yang konservatif sampai ke pelosok desa di seluruh penjuru nusantara. Militansi, pengorbanan, dan komitmen spritual yang tinggi membuat mereka lebih gampang terpaut di hati dan pikiran umat.

Sayangnya, kaum islam moderat sebagai paham pribumi negeri ini–untuk tidak mengatakan semua–telah tercerabut dari akar sosialnya, sehingga tidak dapat membendung gerakan kaum islamis.

Kaum moderat yang berepisentrum di kampus hanya berkutat dengan setumpukan karya jurnal dan buku yang sarat dengan kata-kata melangit, sulit dimengerti penduduk awam mayapada. Sedangkan ormas moderat seperti NU, Muhammadiyah, dan Alwashliyah telah lama mengalami kemerosotan kader, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.

Bahkan, di era post modernisme sekarang ini, tekstur keagamaan islamis mulai laku keras di kalangan masyarakat urban. Sebab, masyarakat urban sudah jenuh melihat morat-maritnya kehidupan bangsa yang tak kunjung usai. Ideologi-ideologi modern dianggap gagal menghantarkan rakyat pada kemakmuran dan kesejahteraan. Bahkan asa mulia dalam pancasila sendiri mulai diragukan. Mereka menjadi lebih spritualis dan konservatif.

Titik rawan dari kondisi ini adalah terjadinya kesepahaman apik antara kaum urban, masyarakat desa, dan para pemufakat khilafah berserta “cukong” politiknya. Kalau ini terjadi, bisa-bisa Jakarta akan menjadi “toa” dari pengumandangan gerakan penggusuran Pancasila dan rumah besar demokrasi Indonesia. Padahal Jakarta adalah rahimnya pancasila dilahirkan untuk merawat kemajemukan bangsa.

Bangsa ini harus dirawat keragamannya. Membiarkan bangsa retak adalah perbuatan kufur nikmat, sama dengan mengundang azab dari Sang Maha Pencipta, seperti kata Yudi Latif (Suara Pembaruan, 17/4/2017)–bahwa persembahan kebangsaan Indonesia ialah ekspresi rasa syukur atas desain sunnatullah (hukum Tuhan).

Fenomena rasisme dan intoleransi yang mengotori hiruk pikuk Pilkada DKI Jakarta sudah saatnya berakhir. Persaingan-persaingan sengit yang sempat menimbulkan gesekan harus segera dicairkan.

Anies sebagai calon gubernur yang telah memenangkan Pilkada DKI Jakarta harus berdiri tegak di atas semua golongan. Tidak ada lagi dukung-dukungan. Tidak ada lagi atribut kepartaian. Tidak ada lagi kafir-mengkafirkan dan sesat-menyesatkan. Tidak ada lagi sentimen SARA. Tidak ada lagi tamasya al-Maidah. Tidak ada lagi rumah lembang dan roemah joeang, Jakarta adalah rumah semua warga, juga untuk Indonesia.

Anies harus memastikan hadirnya keadilan di Jakarta. Keadilan akan membawa pada kemakmuran yang berkeadaban (civilized). Keadilan akan meniadakan kemiskinan, ketidakmerataan pendidikan, kesenjangan sosial, pastinya, keadilan akan meniadakan ketidakadilan itu sendiri.

Keadilan yang diinginkan warga bukanlah keadilan yang dipidatokan dan diperdebatkan. Seperti kata Iwan Fals dalam bait lagunya: “keadilan bukan untuk diperdebatkan.” Karenanya keadilan harus menjadi ruh kepemimpinan dan kebijaksanaan seorang Anies.

Ia harus menghadirkan keadilan bagi segenap warga, mulai dari mereka yang mengisi gedung tinggi perkantoran dan pertokoan, rumah-rumah gedongan, sampai pada mereka yang ada di kolong jembatan, hingga penduduk terluar di kepulauan.

Dengan demikian, sebagai kaum terpelajar, Anies adalah sosok yang tepat untuk menjadi teladan kepemimpinan yang berkeadilan. Di tangannya, Jakarta harus menjadi jangkar peradaban nusantara. Di tangannya pula, Jakarta adalah tempat di mana pancasila menjadi kompas nilai dalam menata keragaman yang berkeadilan.

– Mustamar Iqbal Siregar*

*Pengajar di IAIN Zawiyah Cot Kala Langsa-Aceh, sekaligus pemerhati dan pegiat pendidikan multikultural di Aceh.

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Gambar fitur diambil dari youtube.com