Categories
Penulis Tamu

FRIDAY FORUM IAIN LANGSA DAN KEMBALINYA PERBINCANGAN INTELEKTUAL DI ACEH

Publik Aceh telah mengenal lama Darussalam sebagai pusat pendidikan. Kehadiran Unsyiah dan UIN Ar-Raniry telah membuat kawasan Darussalam menjadi poros utama dalam pengembangan pengetahuan di Aceh. Sulit membayangkan Aceh memiliki poros lain dalam soal pengembangan pengetahuan.

Darussalam memang dirancang sejak awal sebagai pusat pendidikan. Kondisi ini sangat berbeda dengan Meurandeh yang tidak dibuat atas desain tersebut. Alih-alih sebagai pusat pendidikan, Meurandeh pada awalnya hanya terdiri dari semak-semak dan pohon sawit. Namun kini, Meurandeh mulai berjuang menjadi produsen pengetahuan selayaknya Darussalam. Keberadaan IAIN Langsa dan Unsam Langsa di Meurandeh perlahan mulai memperlihatkan terbukanya poros baru pengembangan pengetahuan di Aceh.

Terbukanya poros baru di Meurandeh dapat terlihat pada Friday Forum IAIN Langsa. Forum yang baru dimulai 3 minggu belakangan. Meski masih berumur sangat muda, forum ini telah menyerap perhatian besar kalangan intelektual Aceh. Selain, karena tema-tema yang diperbincangkan cukup berani, kehadiran forum ini seperti oase ditengah keringnya forum-forum ilmiah di Aceh.

Setidaknya ada 2 cara pikir yang mencetuskan ide Friday Forum. Pertama, kurangnya komunikasi serta sharing pengetahuan diantara akademisi dalam forum-forum intelektual. Kedua, minimnya produktifitas publikasi yang dapat dikatakan cukup mampu bersaing dengan akademisi luar Aceh.

Padahal, secara sadar Aceh diakui merupakan wilayah yang paling banyak digali oleh para akademisi. Kita dapat melihat banyaknya tulisan yang menjadikan Aceh sebagai sebuah studi pada jurnal ternama. Namun situasi demikian kontras dengan capaian akademisi asal Aceh. Sulit menemukan akademisi asal Aceh yang menjadi kontributor dalam jurnal-jurnal ternama tersebut. Studi Aceh sampai saat ini masih dikuasai oleh akademisi dari luar Aceh.

Kesadaran seperti diatas mulai tumbuh di kalangan akademisi IAIN Langsa. Untuk itu dibutuhkan rangkaian tindakan bersama agar dapat keluar dari situasi tersebut. Tercetus sebuah ide awal untuk membuat kelas pelatihan penelitian dan penulisan artikel jurnal bagi para dosen muda di Fakultas Syariah IAIN Langsa. Harapannya agar budaya menulis berbasis penelitian mulai tumbuh dan tertanam sejak muda. Penulis dan beberapa rekan mulai membuat rangkaian materi yang akan disampaikan dalam kelas tersebut.

Akan tetapi, dalam diskusi selanjutnya muncul kesadaran baru yang pada akhirnya menggeser ide awal tersebut. Ada 2 kesadaran yang muncul dan menjadi sangat krusial dalam perbincangan penulis dan beberapa rekan. Pertama, bagaimana cara meningkatkan minat menulis dikalangan dosen-dosen muda jika tidak di imbangi oleh literasi yang baik?. Pertanyaan itu penting, mengingat IAIN Langsa bukanlah wilayah yang cukup baik dalam hal distribusi buku-buku maupun jurnal-jurnal yang bersifat akademik. Kedua, bagaimana bisa mengharapkan karya-karya yang dituliskan oleh akademisi IAIN Langsa dapat bersaing dengan tulisan luar ketika isu-isu yang saat ini sedang menjadi perbincangan akademisi di luar tidak menjadi perhatian serius di IAIN Langsa?

Melalui 2 pertanyaan diatas, penulis dan beberapa rekan mulai merubah format tindakan bersama ini. Format yang awalnya merupakan kegiatan semi-kelas, diubah menjadi forum diskusi. Namun, tujuan dari tindakan bersama ini tetap tidak berubah. Tindakan bersama ini masih bertujuan untuk membangun komunikasi dan berbagi pengetahuan yang pada akhirnya menaikkan minat publikasi tulisan-tulisan ilmiah di IAIN Langsa. Untuk itu, format forum diskusi dirasa lebih baik. Nama Friday Forum pun dipilih karena kegiatan forum diskusi dilakukan setiap hari Jum’at.

Semangat untuk berkomunikasi dan berbagi pengetahuan menjadi ruh Friday Forum. Forum ini tidak bisa didominasi oleh satu bidang ilmu ataupun satu cara pandang tertentu. Friday Forum dapat dikatakan hanya merupakan sebuah wadah yang kosong. Untuk mengisi wadah kosong tersebut, diperlukan beragam jenis pengetahuan yang berasal dari beragam bidang ilmu. Diharapkan nantinya akademisi yang berada di Meurandeh dapat mengolah pengetahuan yang berasal dari wadah tersebut untuk dikonsumsi oleh publik.

Perguruan tinggi harus kembali menengahkan perbincangan intelektual (intelectual discourse) yang bermutu dan dapat dikonsumsi oleh publik. Jangan sampai karena terlalu gersangnya intelectual discourse, berakibat pada kejumudan berpikir publik.

Harus diakui perbincangan intelektual telah lama hilang di publik kita. Aceh lebih khusus menggambarkan kehilangan tersebut. Hampir-hampir perbincangan dikuasai oleh opini publik yang saat ini mulai sulit disaring kebenarannya.

Tokoh-tokoh publik yang lahir dari media sosial kini mengambil peran besar dalam membentuk narasi publik. Mereka dibesarkan oleh media sosial dengan menyasar market-market yang sudah lama tidak mendapatkan perhatian intelektual.

Melalui peran mereka media sosial yang sejatinya memberi ruang dan kesempatan orang luas untuk dapat berbincang, justru telah mematikan perbincangan. Opini publik mendapatkan posisi strategis dalam memenangkan diskursus pengetahuan. Untuk mengatasi kondisi tersebut tidak ada cara lain kecuali merebut kembali perbincangan di media sosial.

Keberanian Friday Forum berupaya kembali menghadirkan intelectual discourse ditengah-tengah kondisi seperti sekarang ini patut dicontoh oleh perguruan tinggi lain di Aceh secara khusus. Kini, sudah saatnya masyarakat kembali disuguhi oleh perbincangan intelektual.

Perguruan tinggi harus menjadi role model narasi masyarakat. Perbincangan jangan sampai ditutup oleh kejumudan berpikir hanya karena para intelektual mulai takut berhadapan dengan publik.

– Yogi Febriandi –

Yogi Febriandi – Kurator Friday Forum IAIN Langsa

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Sumber gambar tajuk sebelum olah digital: muslimheritage.com

 

 

Categories
Penulis Tamu

Belajar Dari Kepemimpinan Khulafaur Rasyidin

Jika kita lihat dalam sejarah pasca Rasulullah wafat terjadi suksesi kepemimpinan yang selanjutnya disebut Khulafaur Rasyidin. Pertama ada Sayyidina  Abubakar yang dibaiat kaum Ansar dan Muhajirin, kala itu Abubakar menjabat sebagai khalifah dalam usia tak lagi muda, beliau wafat setelah dua tahun menjabat. Beliau dibaiat oleh beberapa kabilah, dalam teori politik kabilah-kabilah di Arab kala itu bisa disamakan dengan parlemen dimasa sekarang (Shalah Abdul Khalidi; 2010). Sehingga legitimasi kepemimpinan Abubakar adalah sah dari segi hukum.

Abubakar memerintah di akhir usianya selama lebih kurang dua tahun. Artinya usia Abubakar tak lagi muda. Tren memimpin di usia tua masih terawat sampai sekarang. Persoalan tua-muda tak menjadi masalah besar jika yang dinilai adalah produktifitas individual. Bukankah Abubakar lebih senior dari sahabat lain. Apatah lagi Abubakar bukanlah sosok yang suka kepada jabatan (Ibnu Hisyam; 1920).

Literatur sejarah kemudian mencatat  pasca wafatnya Abubakar, terjadi pergantian kepemimpinan dibawah kendali Umar bin Khattab. Ada karakter berbeda antara dua sahabat ini. Bagaimana kemudian karakter Umar yang terkenal dengan gagah dan keras memimpin selama enam tahun.

Umar tampil pasca wafatnya Abubakar. Di satu sisi karakter Umar yang idealis, sederhana dan tampil membela prinsip-prinsip Islam sangat cocok memimpin di tengah gurun pasir. Alhasil puncak kejayaan Khulafaur Rasyidin ada pada masa pemerintahan Umar (Sami Abdullah; 2004).

Reshuffle kabinet juga terjadi manakala Amru Bin Ash di Mesir diganti  dengan alasan penuh professional. Realita ini kemudian menunjukkan bahwa Umar sosok merakyat dan idealis. Umar berhasil mempraktikkan sistem pemerintahan terpusat. Yaitu sistem yang berfokus satu kepemimpinan dibantu oleh para gubernur di berbagai provinsi kala itu. Kenyataanya dalam sistem Khulafaur Rasyidin tidak dikenal dengan istilah wakil khalifah, sehingga tidak terjadi dualisme kekuasaan.

Pada masa Umar memerintah, proses musyawarah berjalan dengan sehat. Prinsip ketaatan kepada ulil amri berjalan dengan baik. Di tengah kenyamanan itu ada munafik yang ingin membalas dendam, seorang masyarakat kelas atas dari Persia yang kemudian ditawan pihak Islam dan menjadi rakyat biasa. Hal ini membuat Lukluah balas dendam,  Umar syahid terbunuh setelah ditikam belati beracun ketika menunaikan shalat. Perilaku Lukluah ini kemudian dipraktikkan juga dalam kekuasan-kekuasaan pasca Umar.

Selanjutnya Sayyidina Usman bin Affan dibaiat sebagai khalifah dan menjalani tugas khalifah selama 12 tahun. Di akhir kekuasaannya banyak sekali pemberontakan yang terjadi. Terpilihnya Usman sebagai khalifah tak terlepas dari semangat kolektif sahabat, walaupun terpilihnya Usman dipengaruhi Umar yang menjelang wafatnya menyodorkan beberapa nama untuk menjadi bakal khalifah.

Beliau adalah menantu Rasulullah, sahabat mulia yang memiliki rasa malu yang disanjung malaikat. Jika kita lihat  isu nepotisme yang dituduh kepada Usman tidaklah benar, bahkan Mu’awiyah yang menjadi sepupu Usman sudah menjadi khalifah di Syam semenjak Umar bin Khattab. Usman juga terbunuh di rumahnya oleh pemberontak.

Menariknya kaum pemberontak ini pun mendukung Sayyidina Ali sebagai khalifah. Posisi Khalifah Ali saat itu benar-benar sulit. Bagai buah simalakama karena para sahabat besar lainnya juga membaiat Ali sebagai khalifah. Ali kemudian menjalankan kebijakan dengan menganti seluruh kabinet Usman, termasuk Muawiyah. Terjadilah ketidaksepahaman antara Ummul Mukminin, Aisyah dan juga kelompok Muawiyah.

Dua kubu ini bukan bermaksud untuk melawan Khalifah sah Ali bin Abu Thalib, melainkan menuntut pembelaan atas darah Usman, supaya Ali memproses secara hukum pembunuh Usman. Lebih lanjut putusan Ali untuk berdamai dalam tahkim membuat pendukung Ali kecewa, mereka beralih menjadi khawarij. Yang akhirnya membunuh Ali ketika menunaikan shalat. Tindakan Ali melakukan sebuah resolusi konflik direspon secara biadab oleh khawarij yang mengusung jargon keadilan.

Kejadian fitnah ini dijadikan bahan untuk menjatuhkan Islam oleh barat dan islamophobia. Ada pelajaran mulia yang mesti kita ambil selaku generasi hari ini, bahwa politik sebagaimana kaidah Fiqhiyyah harus selalu mengutamakan mashlahah. Plato jauh-jauh hari sudah menggaungkan kaidah etika politik, maka dalam segala hal masyarakat untuk memenangkan kemashlahatan, kebenaran, keadilan dan kesejukan sebagaimana gaung Khulafaur Rasyidin. Semoga!

Oleh : Azmi Abubakar

Azmi Abubakar, Lc. MH,  Alumnus Universitas Al-Azhar Mesir, dan  Lulusan Magister Hukum Keluarga Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry. Peminat Hukum Keluarga dan Sejarah Islam.

Email: azmiabubakarmali@gmail.com.

Categories
Penulis Tamu

POLITIK UNTUK KEMANUSIAAN

Rabu, 17 April 2019 merupakan hari bersejarah bagi Rakyat dan Bangsa Indonesia. Setiap 5 tahun sekali, para pemimpin bangsa ini dipilih oleh seluruh rakyat Indonesia melalui Pemilihan Umum (Pemilu) yang Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia (Luber) serta Jujur dan Adil (Jurdil).

Setiap daerah maupun Kabupaten/Kota juga tak luput dalam mengambil bagian dari moment bersejarah ini. Para calon wakil rakyat atau Calon Legislatif (Caleg) seperti DPR, DPD dan DPRD juga menikmati peran dalam menyemarakkan pesta akbar demokrasi republik ini dalam menyongsong menuju Indonesia yang lebih baik.

Bagi para Caleg (Calon Legislatif) baik DPR, DPD atau DPRD yang telah menyiapkan dirinya menjadi anggota dewan/wakil rakyat, sebaiknya memulai kembali dalam membangun pondasi pemikiran dan implementasi politik yang segar lagi jernih.

Terutama, memupuk kembali benih-benih politik kemanusiaan yang pro-rakyat, tanpa berpolitik pragmatis (proyek abal-abal), tanpa kolusi-nepotisme, tanpa intimidasi, bersih, bersyariat serta memenangkan hati rakyat.

Sehingga pemilu Luber ini bisa dikatakan sukses apabila para calon pemimpin dan wakil rakyatnya sama-sama membangun serta menjaga kesepahaman dan pemahaman yang utuh dan menyeluruh; Caleg tidak berpolitik pragmatis dan rakyat tidak golput (golongan putih/netral).

DILEMA POLITIK INDONESIA

Dalam berbagai pandangan politik memiliki banyak makna dan kebanyakan dari makna itu berkaitan dengan kekuasaan, tahta dan jabatan. Tidak salah, namun dalam sudut pandang yang berbeda pula, sejatinya pemahaman politik itu adalah sebagai industri atau bursa pemikiran yang bertugas memberi arah yang “super positif” bagi kehidupan masyarakat banyak untuk kehidupan yang lebih baik dan bermartabat.

Politik sering dianggap sebagai medan aktualisasi sehingga ia kerap hadir tanpa nilai ataupun substansi yang sebenarnya. Kemudian muncul lah berbagai opini masyarakat (publik) yang berasumsi bahwa politik itu sangat kotor atau kejam. Namun, kita tidaklah serta merta menyalahkan opini tersebut karena masyarakat hanya mendefinisikan politik dari apa yang mereka tangkap serta berbagai informasi yang beredar ditengah mereka.

Berbagai indikator yang membuat masyarakat beropini politik itu licik/kotor sehingga mereka menjadi golongan apatisme terhadap pelaku di dunia politik praktis ialah sebuah keresahan dan kekecewan bukan hanya stigma negatif yang mereka dengar namun seringkali gambaran politik yang mereka lihat itu sangat bertolak belakang dengan hati nurani.

Keresahan dan kekecewaan mereka timbul karena banyaknya faktor internal maupun eksternal yang terjadi baik di masyarakat maupun sesama Parpol (partai Politik) seperti politik tidak pro-rakyat, intimidasi, saling menjatuhkan sesama Parpol/Caleg, kolusi-nepotisme, janji manis tapi palsu, dan lain-lain.

Sangat wajar jika muncul sebuah keresahan dan kekecewaan terkait stigma negatif tersebut meski stigma tersebut tak sepenuhnya benar, tapi juga tak sepenuhnya salah. Oleh sebab itu, sesama masyarakat perlu ditegaskan bahwa hingga sekarang ini masih ada politisi langka yang tulus dan ikhlas bekerja serta berkontibusi untuk rakyatnya. Tidak melulu bahwa politik itu kotor dan tidak bisa dibersihkan lagi.

Dalam pandangan Islam, berpolitik juga diperbolehkan. Namun politik justru bukanlah rimba belantara yang senantiasa memberi kebebesan bagi penguasa (diamanahi kuasa) untuk bertindak sewenang-wenang bahkan membabi-buta. Sehingga bagi si pemegang kuasa, jabatan maupun tahta senantiasa menjadikannya sebagai senjata/alat dimana yang kuat menghardik yang lemah serta bawahan selalu menjadi korban penindasan.

Menurut Ibnu Al-Qayyim, “Politik merupakan segala aktivitas yang mendekatkan manusia kepada kemaslahatan dan menjauhkan mereka dari kerusakan.” Meskipun tidak pernah ditegaskan oleh Rasulullah SAW dan tidak pernah disinggung oleh wahyu yang diturunkan, sebab semua jalan yang ditempuh untuk mengantarkan kepada keadilan, kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat, maka jalan itu adalah bagian dari agama ini (Islam). Termasuk jalan politik yang mencita-citakan keadilan, kesejahteraan dan kemaslahatan ummah.

Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tindakan politik mesti mendapat legitimasi dari hukum agama Islam.” Oleh sebab itu, inilah yang menyebabkan kekuatan spiritual, moral dan intelektual menjadi pilar utama bagi penyelenggara negara untuk menunjukkan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat sehingga memiliki parameter yang jelas dalam mendukung atau menjadi penguasa negeri ini.

Oleh karena itu, peran politik yang menjadi generator dalam menopang dan membangun agama sebagai kesatuan utuh dan menyeluruh dapat diimplementasikan dalam praktik politik edukatif dan kontruktif sebagai gagasan segar dalam membangun pemahaman politik yang substansinya untuk keluar dari bingkai mainstream politik yang kerap dipandang oleh sebahagian masyarakat dengan stigma-stigma yang negatif. Maka, dibutuhkanlah mereka para generasi muda yang dipupuk dengan ideologi yang berbasis dan mengakar dalam berspiritual, bermoral sekaligus berintelektual.

SUARA ADALAH AMANAH

Dimasa Khulafaurrasyidin, indikator pemimpin terbaik itu tidaklah dipilih dan diukur melalui banyaknya suara melainkan seorang pemimpin yang berkepribadian arif, bijaksana, bersahaja dan mampu membangun negeri demi kemaslahatan ummat.

Sangat berbeda di era demokrasi saat ini, kita harus mengikuti mekanisme yang ada dimana seseorang yang diklaim sebagai pemimpin bangsa apabila memegang hak/suara terbanyak.

Melalui suara dengan prinsip one man one vote sebagai legitimasi kekuasaan, setiap warga negara tanpa mengenal level dan kasta juga berwenang dalam “menghakimi” siapa saja yang berhak dipilih sebagai pemimpin.

Sebaliknya melalui suara, kita juga bukan hendak memuja mereka yang berada dalam kebenaran. Namun impian kita adalah bagaimana menggeser paradigma suara murni kuantitas menjadi suara yang berbasis kualitas. Sebab saat ini hakikat demokrasi kita sangatlah simplistis bahwa “suara” yang terbanyak dan terbesar yang dapat “bergemuruh” dalam setiap pengambilan kebijakan.

Namun, apabila konten ini dapat dimaksimalkan dengan bobot dan pengaruh kapasitas yang mampu menjadi solusi di tengah-tengah masyarakat, jadilah suara ini menjadi yang berkualitas.

Kita berharap seorang pemimpin harus menyadari bahwa ia berperan sebagai ‘wakil’ Allah untuk mewujudkan kehidupan semesta ini lebih beradab. Dasar pemahaman ini menjadi indikator perilaku politik yang diartikan melalui berbagai kebijakan pemahaman yang berdimensi moral dan integritas yang tinggi dalam menyelaraskan suara aspirasi masyarakat dan bangsanya.

Kesadaran yang tinggi inilah yang dapat membangun identitas demokratis dengan segala kemajemukannya demi menciptakan visi dan misi yang harmoni/sinergi tatanan sistem ideologi, politik, sosoial, pendidikan, hukum, sosial dan ekonomi masyarakat bangsa Indonesia yang lebih stabil, mapan dan mengakar.

KONTRIBUSI KEMANUSIAAN

Dewasa ini, tantangan terberat bagi setiap parpol sebagai pilar demokrasi bangsa ini adalah dengan menyiapkan kader-kadernya bukan hanya ketika hendak pemilu tapi jauh-jauh hari sebelum pemilu, baik dalam mempersiapkan aktor sebagai agent of change (agen perubahan) dalam setiap diri kader-kadernya maupun membentuk ideologi yang memiliki nilai-nilai kepribadian, baik intelektualitas, moralitas, maupun sosial bermasyarakat.

Tanpa menyiapkan aktor sebagai generator yang mampu bekerja, secanggih apapun ideologi yang dimilikinya akan lumpuh. Hanya saja, ia akan menjadi sebagai simbol hiasan dialektika yang dikenal masyarakat sebagai sosok pemimpin citra namun kurang memiliki idealisme dan integritas diri yang berbasis dan mengakar.

Hingga pemilu tahun ini terlepas dari beragam partai yang ada, masyarakat Indonesia sangat mendambakan baik tokoh legislatif maupun eksekutifnya mampu menjalankan mandat dan amanah masyarakat dengan baik, santun dan jujur.

Tidak hanya sekedar memenangkan perlombaan pemenangan kekuasan melalui suara pemilu saja, namun bisa berkontribusi nyata terhadap kesejahteraan, kemakmuran dan kemaslahatan ummat.

Dalam pencapaiannya dalam memenangkan simpati dari masyarakat hendaknya para pemimpin dan calegnya memiliki karakter dan kepribadian yang profesional, kreatif, populis dan mampu bersosial masyarakat untuk membawa bangsa ini menuju ke arah perubahan yang lebih baik.

Tulisan ini terilhami dari buku bacaan karya Tamsil Limrung yang berjudul Politik untuk Ummat. Sebagai catatan akhir dalam mengembalikan gagasan atau makna filosofis, moral, dan etika politik ke dalam praktek yang sebenarnya diperlukan ide orisinil politik yang memiliki nilai substansial, baik yang berbasis dan mengakar di tengah gurun sahara demokrasi Indonesia demi menyelamatkan kembali generasi muda dari siklus lubang hitam yang nihil ideologi yang berbasis adalah tanggung jawab kita bersama.

Sehingga dapat mempersiapkan dan melahirkan generasi pemimpin muda yang ideal dan politisi berkarakter kuat untuk menghancurkan penguasa zalim dan palsu, wakil rakyat yang tidak pro-rakyat, serta para koruptor yang menyedot hasil alam dan bumi Indonesia.

– Riri Isthafa Najmi * –

Riri Isthafa Najmi – Koordinator Forum Aceh Menulis

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Photo copyright of macrovector from freepix.com

Categories
Featured Penulis Tamu

THE RISE OF MOTHER DAN KEMATIAN KUASA LANGIT

“Bagi tradisi kami, kematian bukanlah akhir dari segalanya. Kematian adalah landasan penyambutan, bast dan sekhmet yang akan membimbing anda menuju ke padang hijau dimana anda dapat berlari (bermain) selamanya” – Black Phanter

Categories
Penulis Tamu

Bersyariat Dari Pinggir

Artikel ini terinspirasi dari tulisan Muhammad Alkaf tahun 2016 yang berjudul Nasionalisme dari Pinggir. Dalam hal ini, Alkaf mengajukan kritik terhadap narasi nasionalisme yang dinilai terlalu terpusat. Narasi tersebut terkesan meminggirkan peran daerah dalam menjaga status kebangsaan nasional Indonesia. Bagi Alkaf, Indonesia adalah gabungan dari berbagai kultur, sejarah, narasi dan etnik. Sehingga, mengesampingkan “narasi pinggiran” adalah kecacatan yang bertentangan dengan semangat integrasi dan kebangsaan (lihat Alkaf 2016).

Artikel ini kemudian juga mempersoalkan gagasan syari’at Islam yang terlalu terpusat. Kesan regulasi syari’at dalam bentuk qanun misalnya tidak lebih dari gagasan intelektual elit Banda Aceh, yang berdiri di menara gading dan tidak mampu melihat syari’at secara mengakar dan substantif.

Jika Alkaf menulis bahwa nasionalisme yang terlalu terfokus kepada Jakarta hanya akan mengabaikan kaum pinggiran dan menafikan sumbangsih mereka (Muhammad Alkaf 2016), maka syari’at disini – dan hari ini – pun memiliki kesan yang sama. Bahwa pembangunan narasi syari’at yang bersifat banda-sentris pada akhirnya hanya akan meminggirkan dan mengesampingkan kontribusi daerah dalam membangun peradaban keislaman melalui jalan syari’at.

Narasi banda-sentris dalam syari’at misalnya terlihat dari pembangunan qanun (khususnya qanun jinayat) yang terlalu mengadopsi teks-teks abad pertengahan dan mengesampingkan fenomena keislaman dan kearifan yang telah mengakar dalam diri masyarakat Aceh sejak abad ke-16. Persoalan ini juga dapat dibuktikan dengan rendahnya kesadaran masyarakat akan urgensi bersyari’at versi qanun. Dimana masyarakat kemudian merasakan perbedaan antara syari’at yang dibangun oleh pemerintah dengan implementasi syari’at yang telah mereka praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Keadaan yang sama juga terlihat dari regulasi yang tertatih-tatih dan penghukuman terhadap pelaku pelanggaran syari’at yang terlalu tebang pilih.

Ketika pemerintah kemudian abai dalam memperhatikan “sumber daya aparatur” dan “kesadaran masyarakat.” Seolah, persoalan apakah pemerintah mampu menjalankan suatu aturan? Ataukah apakah masyarakat kemudian bersedia untuk mengikuti aturan tersebut? Tidak pernah dijadikan pertimbangan. Dialog syari’at yang menghabiskan “anggaran” di gedung-gedung pemerintahan, di kampus-kampus dan di lembaga-lembaga formal pada akhirnya hanya akan menghasilkan konsep syari’at yang melangit. Akibatnya, kemunculan peraturan baru selalu menimbulkan polemik dan polemik tersebut sering kali tidak mampu diselesaikan.

Sulit kita pastikan apakah sebelum membuat qanun, pemerintah dan pemangku syari’at pernah terjun ke lapangan, melakukan survei, memperhatikan model keislaman di wilayah pinggiran, kawasan pedalaman dan daerah perbatasan? Sulit untuk dipastikan apakah sebelum mengimplementasikan syari’at, pemerintah benar-benar melakukan peninjauan yang dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah, ke luar kawasan Banda Aceh? Sulit untuk dipastikan apakah syari’at Islam yang hari ini dipraktekkan telah direstui bukan saja oleh ulama fikh dan akademisi Islam kampus, tapi juga oleh ulama sufi yang tinggal di luar wilayah Banda Aceh?

Akibatnya, syari’at tidak mampu mengadopsi empat komponen spiritualitas yang mengakar dalam masyarakat Aceh yakni syari’at, tarikat, hakikat dan ma’rifat. Bersyari’at sebagai syari’at pada gilirannya hanya akan mengantarkan narasi keberislaman dalam satu step yaitu step birokratik semata, tanpa sampai kepada kesadaran, substansi dan pengakraban. Dengan kata lain, menghentikan makna syari’at sebatas fikih-birokratik, hanya akan mengkooptasi makna syari’at itu sendiri.

Bersyari’at dari Pinggir

Syari’at dari Pinggir kemudian mencoba hadir untuk memastikan, apakah pergerakan syari’at bersifat bottom up, yaitu aspirasi dari bawah, kemudian diimplementasikan oleh pemimpin, bukan nyanyian para pemimpin (top down) yang kemudian membebani dirinya dan memperburuk suasana hati rakyatnya?. Kita masih ingat bagaimana pemuda Langsa beberapa tahun yang lalu menyerang kantor WH di wilayah tersebut. Atau bagaimana oknum WH di sebuah wilayah tersandung kasus pelecehan dan tindakan amoral.

Kita juga masih ingat bagaimana syari’at menjadi “stigma negatif” yang memperburuk citra Aceh di mata nasional dan internasional. Kita juga dapat melihat bahwa syari’at tidak memberi pengaruh yang signifikan bagi prilaku dan akhlak manusia Aceh. Kita wajib melihat mengapa Aceh gagal menerapkan regulasi syari’at dan lebih jauh lagi, gagal menciptakan kesejahteraan? Artinya kita harus jujur untuk mengakui bahwa kita gagal dalam mengimplementasikan syari’at dan kita harus berani mengevaluasi tanpa perlu malu-malu kucing.

Syari’at Otonom

Dalam sosiologi hukum ada tiga model hukum yang berkembang yaitu hukum represif, hukum otonom dan hukum responsif (Nonet dan Selznick, 2016:18). Hukum represif artinya hukum dibuat bukan berdasarkan kebutuhan masyarakat yang diperintah akan tetapi lebih memperhatikan kepentingan penguasa (Sabian Usman, 2010:06). Adapun hukum otonom artinya hukum yang memuja legalitas (sifat transenden) suatu aturan tanpa memperhatikan perubahan sosiologis yang berkembang. Terakhir, hukum responsif yaitu hukum yang mengimajinasikan sifat responsif yaitu hukum yang merepresentasikan kebutuhan masyarakat yang dilingkupinya (Lihat Meri Andani, 2018). Tujuan hukum responsif adalah untuk membuat hukum menjadi lebih respon terhadap kebutuhan dan perubahan sosial dalam masyarakat (Nonet – Selznick, 2015: 82-83).

Jika mengacu kepada ketiga konsep sosiologi hukum tersebut, maka syari’at Islam di Aceh sepertinya lebih bersifat otonom. Dalam arti, bahwa Syari’at Islam lebih mengutamakan regulasi dan legitimasi semata yang pernah disandarkan kepada aturan masa lalu dan telah pernah dipraktekkan di dunia Islam dalam rentang ruang dan waktu yang berbeda. Syari’at Islam tidak dapat dikatakan sebagai hukum represif karena ia bukan datang dari ide penguasa lokal di Aceh. Buktinya, banyak diantara elit yang diam-diam, enggan dan bahkan menolak untuk menjalankan syari’at. Selain itu, syari’at juga tidak dapat dikatakan sebagai hukum responsif mengingat aturan-aturan yang dibuat masih terkesan janggal dan asing serta kurang mendapat apresiasi dari masyarakat. (Meri Andani, 2018: 27-28).

Syari’at otonom pada gilirannya berangkat dari paradigma tekstual “Seandainya penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa kepada Allah, niscaya dibukakan kepada mereka, berkah dari langit dan bumi.” (Al A’raaf: 96). Sehingga ada kesan bahwa jika teks-teks syari’at ditegakkan, maka otomatis kemakmuran akan datang begitu saja. Darimana datangnya? Tidak ada yang tahu!” Kata Fuad Zakaria, seorang Ulama Mesir (Charles Kurzman: 2001:xliv)

Syari’at otonom kemudian menjadi sangat tidak mengakar. Ia bukan sepenuhnya kehendak dayah, karena bertahun-tahun dayah mempelajari syari’at, dalam prakteknya mereka tidak terlalu terfokus apakah syari’at harus diregulasikan atau tidak? (KBA & Hasbi 2013:94) Justru syari’at kemudian didesain oleh intelektual kampus yang justru, maaf, juga tidak mengerti mengapa regulasi syari’at harus dibuat?

Syari’at otonom kemudian tidak lebih dari re-regulasi hukum-hukum abad pertengahan yang diambil dari fikh syafi’i yang nyatanya juga dibentuk menurut konteks dan situasi yang berbeda. Kenyataannya, paradigma ilahiyat (transedental) lebih mendominasi hukum syari’at daripada aspek muamalat-nya sendiri. Padahal untuk membuat sebuah rancang bangun syari’at, perlu melalui metode historical approach. Karena jika selama ini hukum Islam dianggap sebagai hukum keilahian yang final maka sejatinya ia hanyalah fenomena historis yang terkait dengan realitas sosial (asbabun nuzul atau asbabul wurud) (Akh. Minhaji, 1992: 19-20) Sehingga perlu untuk mengembangkan konsep hukum Islam berbasis pendekatan sejarah dan realitas.

Akhirnya, dengan menetapkan hukum syari’at yang responsif dalam bingkai kesadaran fenomena historis (zaman) dan realitas sosial (makan), syari’at lebih merasuk dalam hati dan fikiran rakyat. Penegakan syari’at dengan memperhatikan kultur dan narasi sufisme yang berkembang, pada gilirannya akan mengembalikan sifat imanensi dalam syari’at. Sehingga, syari’at dapat mendongkrak kualitas moral dan kesejahteraan bukannya menjadi rentetan wajah buruk dan rapor merah bagi pemerintah dan rakyat Aceh.

– Ramli Cibro* –

Ramli Cibro, Penulis Buku Aksiologi Ma’rifah Hamzah Fansuri (2017) dan Dosen Ilmu Agama Islam STIT Hamzah Fansuri – Kota Subulussalam

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Foto featured image diolah digital dengan sumber diambil dari: pixabay.com dan freepik.com

Categories
Penulis Tamu

ISLAM NUSANTARA DALAM PANDANGAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS (BAGIAN 2 DARI 2)

PENGARUH PARA SUFI DALAM BEBERAPA FASE ISLAMISASI NUSANTARA

Untuk mengukuhkan Islam pada jiwa masyarakat Nusantara dalam pandangan al-Attas membutuhkan proses panjang hingga beberapa abad. Proses tersebut sebut adalah Islamisasi, maksudnya adalah proses pengenalan, pemahaman, serta pengukuhan terhadap makna Islam yang sebanarnya sehingga melekat pada diri manusia. Islamisasi di sini merupakan perjuangan kaum sufi serta para muballig Islam dalam menyebarkan dan sekaligus memberi pemahaman kepada masyarakat Nusantara yang masih terpengaruhi oleh mitologi, alam seni, dan metafisika kabur. Para sufi, mendoktrin Islam dengan memperhatikan tingkat kemampuan masyarakat Nusantara. Islamisasi dalam gambaran al-Attas tersebut merupakan bentuk nyata, dan sampai saat ini masih dirasakan keberlanjutannya. Dengan metode sufistik tersebut, Islam bukan hanya sekdar doktrin melainkan telah menjadi bagian amalan utama bagi masyarakat Nusantara sekaligus meruntuhkan pengetahuan lama yang terpengaruh dengan mitologi sesat ke alam baru yang lebih rasional dan saintifik.

1. Periode Awal, Pengenalan Akidah dan Syari’at Islam (578-805 H/1200-1400 M)

Menurut al-Attas pada periode awal ini, pengajaran yang sangat berperan penting dalam proses Islamisasi menuju corak Islam Nusantara adalah pengajaran aqidah dan fiqh. Proses ini merupakan kontribusi dalam menafsirkan hukum agama Islam (syari’ah) dalam menarik orang-orang Melayu Nusantara ke Islam. Siapa saja yang memeluk Islam pada tahap ini cukup diajari dengan keimanan saja, tidak mesti diikuti oleh suatu pengertian tentang implikasi-implikasi rasional dan intelektual yang terbawa oleh perpindahan agama tersebut. Pada tahap awal ini konsep-konsep Islam yang sangat fundamental tentang keesaan Tuhan (tauhid) dalam pandangan seutuhnya masih sangat kabur dalam rasio orang-orang yang bertaubat itu. Konsep-konsep yang lama sebelum memeluk Islam semua tumpang tindih, dan memberi ketidak-jelasan bahkan membingungkan dalam menerima konsep-konsep yang baru1).

Kedatangan agama Islam ke Nusantara menurut al-Attas mesti dinilai sebagai suatu pembangunan dunia baru, harapan baru, cita-cita serta kebudayaan dan peradaban baru. Islam memberikan ajaran yang lebih maju terutama dalam bidang teologi monoteismenya yang membebaskan pandangan masyarakat dari belenggu ketahayulan dan kemusyrikan. Pada tahap awal ini masyarakat Nusantara diperkenalkan dengan konsep-konsep dasar tentang Tuhan yang satu. Para pemuka agama memberikan pemahaman yang mendasar mengenai teologia monoteisme dengan sempurna, bagaimana sikap hidup pribadi manusia dalam berhubungan dengan Tuhannya. Islam membentuk konsep bagaimana manusia memiliki etika dalam berhubungan dengan sesamanya juga hubungannya dengan alam bendawi. Aturan-aturan dalam hal ibadah dan syariat pada hakikatnya adalah tidak dapat diceraikan dari yang lain mulai diperkenalkan dalam setiap aktivitas kehidupan masyarakat2).

Islam mengatur hubungan vertikal dengan Tuhan dan horizontal sesama manusia. Kehadiran Islam yang disebarkan besar-besaran oleh kaum sufi tersebut memberikan semangat baru, sehingga menyebabkan kesadaran hidup yang Islami, yaitu suatu hidup masyarakat yang berdasarkan pada logika rohani yang mengarah pada pokok-pokok hubungan individi, sosial, dan Tuhan. Islam memberikan kemerdekaan pada setiap individu, dan meruntuhkan sistem kasta dengan konsep kesamaan dan kesetaraan. Islam memberikan doktrin keseimbangan antara materi dan immateri, yakni tidak menjauhkan realitas wujud yang bisa dirasakan, dan immateri yang bersifat abstrak sebagai suatu substansi yang memiliki eksistensi dalam alam wujud. Penjelasan manusia sebagai ciptaan yang merupakan fitrah yang substansi jiwanya berasal dari substansi Tuhan, substansi jiwa manusia bersifat immateri, dan jasad manusia bersifat materi memberi pemahaman tersendiri dalam jiwa mereka. Penyatuan keduanya merupakan proses Sunnatullah, sehingga Islam menganjurkan menuntut ilmu pengetahuan yang bersumber pada wahyu dan Sunnatullah3).

Menurut al-Attas para sufi berusaha menanamkan konsepsi kepercayaan terhadap Tuhan yang tunggal ke dalam jiwa masyarakat Nusantara. Pandangan tentang keesaan Tuhan, jika ditilik dari sudut pandang filosofis melalui ilmu kalam dan tasawuf, mengemukakan suatu ontologi, kosmologi, dan psikologi tersendiri dalam suatu konsep agung yang biasa disebut dengan istilah keesaan wujud atau Waḥdat al-Wujūd. Konsep ini tegak atas dasar-dasar Al-Qur’an yang tidak dapat disamakan dengan filsafat Hindu yang mengikuti pandangan Vedanta. Konsep inilah yang ingin diperkenalkan pada keseluruhan tahap awal ini. Jiwa masyarakat Nusantara masih tumpang tindih dengan keyakinan lamanya, sehingga keseluruhan tahap awal dalam jurisprudensi dan syari’at ini dapat kita katakan sebagai sebuah tahap dalam pertaubatan “raga”4).

2. Periode Kedua, Kelanjutan dari Periode Awal yaitu Pengajaran Syari’at Berlanjut ke Metafisika Sufi (Tasawuf) (803-1112 H/1400-1700 M)

Periode ini merupakan kelanjutan dari pengenalan syari’at yang telah teruraikan pada tahap awal di atas. Tahap ini masih ada hubunga dengan tahap yang awal, tahap pengajaran ini dapat berlanjut ke pengajaran agama di ranah mistisisme filosofis (tasawuf). Selain itu, unsur-unsur rasional dan intelektual lainnya seperti teologi rasional atau ilmu kalam memberikan kontribusi sebagai fundamen pada periode ini. Selama tahap ini berlangsung, para sufi serta karangan-karangannya berperan penting, begitu juga tulisan-tulisan para ahli kalam berperanan dominan pula, sehingga tahap ini tertuju pada tahap yang lebih maju yaitu ketaubatan “roh”. Konsep-konsep fundamental Islam memperkenalkan pandangan dunia Islam yang begituh luas dan sesuai dengan apa yang dipahami saat itu masih kabur dalam memahaminya. Masyarakat Nusantara masih terpengaruh oleh pandangan dunia lama walau sudah mulai terkikis, namun terus-menerus diterangkan dan dijelaskan sehingga mengerti dengan jelas dan setengan jelas kedua-duanya5).

Pengaruh Hindu-Buddha sangat kental dalam aspek-apek kesenian, dongeng-dongeng, cerita-cerita, dan keyakina-keyakinan mistis. Metafisika Hindu-Buddha diubah menjadi pujian-pujian dan nyanyian-nyanyian kesenian yang tidak tampak kehalusan metafisikanya. Misalkan dalam Kitab Veda Parikrama yang diterjemahkan oleh G. Pudja, tertuliskan bahwa:

“Tuhan dipuja dengan nyanyian-nyanyian, nada-nada, dan alat-alat musik dan memakai mantra-mantra dalam tiruan bunyi suara-suara yang dimunculkan buunyi-bunyi itu. Tiruan-tiruan itu berupa bunyi baka-baka, paca-paca, nati-nati, baja-baja, nide-nide, dan cini-cini. Keseluruhannya diiringi oleh alat musik kesenian untuk memuji-muji Tuhan Atman. Pujian-pujiannya juga berupa lagu-lagu erotik yang membawa hanyut perasaan hingga mencapai puncaknya yaitu tingkat trans”6).

Al-Attas memandang bahwa mistik Hindu-Buddha telah diubah oleh para raja-raja dan para petinggi istana sesuai dengan keinginan mereka. Kehalusan metafisikanya tidak tampak secara jelas dalam penyampaiannya kepada masyarakat sehingga tidak berbekas dalam jiwa masyarakat Nusantara. Aspek-aspek seni yang lebih dominan menimbukal ketidak-jelasan dalam diri mereka sehingg ajarannya tidak tampak begitu jelas. Islam mengedepankan metafiska, ontologi, psikologi, konsep wujūd dan pengaruhnya memberikan pemahaman tersendiri pada jiwa masyarakat Nusantara. Konsep-konsep Islam meruntuhkan alam ketahayulan, mistik, mitologi-mitologi, digantikan dengan konsep Islam yang falsafi.

Melalui perbandingan keduanya, dapat dikatakan bahwa metafisika sufi sangat unggul terhadap proses Islamisasi masyarakat Nusantara, setidaknya hingga berakhirnya abad ke tujuhbelas. Metafisika sufi dengan segala pemahaman dan penafsiran mistisnya terhadap Islam, dalam berbagai segi tertentu, sangat sesuai dengan latar belakang masyarakat Nusantara yang terpengaruh oleh asketisme Hindu-Buddha dan sinkretisme kepercayaan anak negeri.

Islam datang ke Nusantara dalam versi sufistik berlandaskan tasawuf falsafi, memberikan semangat religius yang begitu intelektual dan rasional hingga begitu mudah masuk ke dalam alam pikiran dan jiwa masyarakat Nusantara. Metafisika sufi ini membentuk revolusi baru, menyebabkan kebangkitan rasionalitas dan intelektualisme pada tubuh masyarakat yang tidak ada pada masa-masa pra-Islam7). Para sufi memberikan pemahaman yang mendalam tentang kebenaran Tuhan sebagai realitas yang sebenarnya dari wujud dalam konteks metafisika dan merujuk kepada suatu Zat Absolut yang memanifestasikan diri-Nya dalam semua tingkatan wujud. Tuhan adalah dasar dari segala penciptaan dan Maha Tinggi dan Maha Berkuasa. Tuhan merealisasikan kemauan-Nya melalui penciptaan, penghancuran, dan penciptaan kembali secara terus-menerus tanpa batasan pada diri-Nya. Pengetahuan sufi sangat berpengaruh besar pada masyarakat Nusantara karena tidak hanya berdasarkan rasio semata, akan tetapi lebih kepada bentuk yang lebih tinggi dari itu yaitu pengalaman spiritual yang telah mencapai tahap tertentu dari realitas8).

Semangat religiusitas Islam yang begitu esensial tertuang dalam konsepsi monoteistik terbentuk dalam konsepsi yang tidak ada bandingnya. Konsep kesatuan wujud (Waḥdat al-Wujūd), kosmologi dan psikologi dirumuskan dengan logis sehingga memberi bekas pada jiwa masyarakat Nusantara. Ontologi, kosmologi dan psikologi ini tidak dapat disamakan semata-mata dengan konsep Hinduisme dan Buddhisme, karena memiliki landasan Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam yang tiada bandingnya sehingga membekas pada setiap sendi masyarakat pada saat itu9).

Pengaruh Al-Qur’an di Nusantara bersamaan dengan masuknya Islam membuat para pemuka agama khususnya kaum sufi yang menyebarkan Islam menggunakan Al-Qur’an sebagai pedoman utama dalam misi Islamisasi. Al-Qur’an mengandung unsur ontologi, wujud, tawhid, kosmologi, dan tentang keadaan Sang Pencipta. Al-Qur’an ini memberikan kesan yang mendalam bagi segi akidah pada setiap aspek keAl-Attas, Islam dalam Sejarah…, hlm. 49.hidupan mansia. Berbeda dengan konsep ontologi Hindu-Buddha yang memandang manusia memiliki kasta atau derajat dalam kehidupan. Konsep Al-Qur’an memberikan kesamaan dalam kehidupan tiada kasta maupun strata dalam diri manusia10).

Sufisme merupakan salah satu sumbangan pikiran yang bernilai tinggi dari para pemikir Islam terhadap humanisme. Sufisme tumbuh sebagai reaksi dan pemberontakan terhadap formalisme korup dalam dunia Islam, yang kekuasaanya digenggam oleh tiraninya para penguasa. Sufisme adalah antitesa daripada jiwa kecongkakan, jiwa intoleransi, jiwa kemunafikan, dan jiwa korupsi yang melanda zaman. Doktrin sufisme menekankan kepada manusia untuk menjauhkan diri dari kesenangan dan perhiasan dunia, hidup sederhana, jauh dari kelezatan, kekayaan, dan kemegahan yang merupakan keinginan banyak manusia11). Ajaran-ajaran Islam yang dibawa oleh mereka mengakomodir suatu pandangan religius monoteistik yang lebih maju dan lebih menarik dibandingkan dengan pandangan yang ada, karenanya merupakan suatu kekuatan pembebasan spiritual (“a spiritual liberating force”) terhadap berbagai macam dan bentuk mitologi yang tidak jelas12).

Faktor lain yang menurut teori sebahagian ahli mengakibatkan Islam cepat diterima menjadi dominan ialah adanya “kesamaan” antara bentuk Islam yang pertama sekali datang ke Nusantara dengan sifat mistik dan sinkretis kepercayaan nenek moyang setempat. Dalam teori ini, Islam dalam versi metafisika sufi (tasawuf falsafi) secara murni dapat diterima oleh banyak kalangan. Terhadap batasan-batasan tertentu, terutama pada tahap pertama penyebaran Islam, teori ini mungkin bisa diterima. “Kesamaan” itu mempermudah terjadi konversi agama kepada Islam secara besar-besaran. Proses pekembangan Islam lebih lanjut, ketika proses intensifikasi ajaran Islam semakin meningkat, yang terjadi adalah penghilangan proses “kesamaan” tersebut dengan berbagai konflik yang mengikutinya untuk menuju Islam yang diyakini lebih murni13).

3. Periode Ketiga, Pengekalan dari Periode Awal dan Kedua di Tengah Pengaruh Budaya Barat (1112 H/1700 M)

Periode ini merupakan penentu sejauh mana periode awal dan kedua berpengaruh dalam tubuh masyarakat Nusantara. Kelanjutan dari tahap awal dan penyempurnaan pada tahab dua yang sebahagian besarnya dapat dikatakan berhasil. Tahap ketiga ini merupakan sebagai periode pengekalan dari semangat rasionalitas, individualitas, dan intensionalitas yang telah ada landasan dasar-dasar filosofisnya telah diletakkan terlebih dahulu oleh Islam.

Tahap ketiga ini, Barat mulai memainkan peranannya dalam menghadang proses Islamisasi. Pengaruh-pengaruh kultural yang mulai meluas seiring datangnya peradaban Barat ini terus merasuki tubuh masyarakat pada saat itu. Pada periode ini muncul apa yang disebut dengan “westernalisasi” (upaya untuk membaratkan masyarakat Nusantara), akan tetapi masyarakat Nusantara telah mapan dalam memahami dasar-dasar filosofis Islam yang telah terdoktrin terlebih dahulu oleh Islam sebelum Barat berpengaruh.Kedatangan imperialisme dan kebudayaan Barat dari abad keenambelas dan ketujuhbelas hingga seterusnya memang telah memperlambat proses Islamisasi14). Kedatangan imperialisme Barat dan pengaruh kebudayaannya jelas menimbulkan suatu tantangan besar bagi proses Islamisasi di kepulauan Nusantara sehingga memudarkan proses intensifikasi Islam.

Sebelum periode ini terjadi, ada kekuatan-kekuatan lain yang beroperasi di dunia Islam sebagai suatu keseluruhan seperti pertentangan-pertentangan politik internal dan kemunduran kekuatan politik serta ekonomi. Lebih jauh lagi, kemajuan dalam bidang ilmu-ilmu tehknologi di Eropa, bersamaan dengan kebangkitan intelektual Barat melemahkan peranan Islam. Hal lain yang menyebabkan pudarnya proses Islamisasi di Nusantara ialah pengaruh sisa-sisa agama Hindu-Buddha yang masih dipertahankan oleh sebagian kecil penduduk pribumi. Sisa-sisa agama tersebut masih bercampur dengan ajaran dan keyakinan dasar Islam sehingga mengakibatkan kurang sempurnanya dan melemahnya intensifikasi Islam di Nusantara. Pemerintah kolonial mengendalikan perkara-perkara keagamaan, memilih pemimpin agama sesuai dengan utusannya. Utusan agama mendapatkan pengawasan penuh dari para kolonial sehingga keputusan apapun harus berdasarkan aturan kolonial. Puncaknya, unsur agama harus terpisah dari persoalan kenegaraan15). Pengaruh Barat juga kolonial memberika kekacauan pada semua lapisan masyarakat. Pengaruh ini membuat keseimbangan proses pengislaman terganggu oleh adanya ekspansi Barat tersebut16).

Sejauh ini tidak semestinya ada kekhawatiran yang sangat mendalam pada jiwa masyarakat Nusantara, karena pengaruh sufistik akan terus berjalan. Islam telah mempersiapkan masyarakat Nusantara untuk dunia modern yang akan datang. Perlu diketahui bahwa Islam bukan mempersiapkannya untuk menunjuk dunia yang disekulerkan, melainkan dunia yang di-Islamkan. Suatu dunia yang di-Islamkan yang sesungguhnya adalah suatu dunia yang tersadarkan atau terbebaskan dari tradisi magis, mitologis, animistik, dan dunia yang kulturnya kabur, kemudian terbebas dari sekulerisasi. Dunia Islam yang dimaksud adalah dunia yang berlandaskan syari’at, dimana aturan dan otoritasnya ada pada Tuhan, mengikuti Nabi-Nya, berlandaskan pada nilai-nilai kebaikan, menjunjunng nilai-nilai dalam bermasyarakat menurut Islam, bersih dari berbagai kedengkian dan kecongkakan, suatu dunia yang telah dilihat, diketahui, dialami, ditata, dan dibuat sadar oleh Nabi Muhammad SAW17).

KESIMPULAN

Islam Nusantara adalah Islam yang dapat menyesuaikan diri dengan budaya Nusantara, dengan karakteristik toleran, lemah lembut, membimbing, dinamis dan bersahabat dengan lingkungan kultur, sub-kultur, dan agama yang beragam. Islam Nusantara dapat memberikan dampak positif terhadap dinamika masyarakat yaitu ramah, terbuka, inklusif, mewarnai budaya masyarakat Nusantara untuk mewujudkan sifat akomodatifnya yaitu rahmat untuk semua umat manusia. Tahapan selanjutnya, Islam Nusantara merupakan sebuah upaya untuk melabuhkan nilai-nilai Islam dalam konteks budaya serta karakteristik masyarakat Nusantara yang beragam. Islam Nusantara bukan sekedar sebuah konsep geografis melainkan konsep filosofis yang membentuk nilai, cara pandang, pola pikir dalam melihat tatanan budaya dan antropologi. Islam Nusantara juga merupakan sebuah pola pikir, tata nilai, dan cara pandang dalam melihat dan menghadapi berbegai budaya yang datang ke Nusantara. Definisi yang lebih mengerucut mengenai Islam di Nusantara tidak jauh dari pembahasan tentang Islam yang membudaya, berdialog, disesuaikan, dibumikan, diadaptasikan ke dalam budaya Nusantara.

Al-Attas berpandangan bahwa Islam Nusantara adalah Islam yang mencoba masuk dalam budaya masyarakat Nusantara, merangkul, menyesuaikan diri dengan kebiasaan magis masyarakat Nusantara, kemudian menyaring dan menghilangkan praktik-praktik keyakinan magis tersebut digantikan dengan pemahaman Islam yang sesungguhnya. Islam Nusantara yang menyesuaikan diri dengan budaya Nusantara tersebut berasal dari manifestasi Islam sufistik. Islam sufistik merupakan doktrin keislaman yang dibawa oleh kaum sufi pengembara ke Nusantara yang mencapai puncaknya pada abad ke 17 M.

Para sufi pengembara menggunakan tasawuf sebagai fondasi filosofisnya untuk menyebarkan Islam di Nusantara. Islam model sufistik tersebut tidak hanya merubah pandangan masyarakat Nusantara pada dimensi estetis semata, namun lebih jauh mengubah struktur batin, pola pikir dan jiwanya. Peradaban Nusantara yang semula kental dengan unsur-unsur seni mengalami revolusi menuju pandangan hidup yang lebih rasional. Islam sufistik meletakkan pondasi pandangan hidup baru yang lebih maju dari pemahaman yang telah ada sebelumnya, meruntuhkan sistem kasta yang telah lama ditegakkan oleh agama Hindu-Buddha sehingga menjadi sistem kesamaan sesama manusia pada level zahirnya. Islam membangun sistem kesetaraan bagi seluruh umat manusia dan membedakan derajatnya dengan manusia lain adalah tingkat keimanan dan ketakwaan pada level batinnya dalam berhubungan dengan Allah Swt. Tidak hanya pengaruh itu, Islam mencapai puncaknya dengan menyebarnya risalah-risalah Islam yang terangkum dalam bahasa dan tulisan Melayu. Bahasa dan tulisan ini merupakan suatu pengantar ilmiah bagi metafisika Islam guna menyebarkan Islam ke seluruh pelosok Nusantara. Risalah-risalah tersebut sangat kental dengan konsep al-Wujūd dan metafisika sufistik yang meletakkan nilai-nilai rasional dan saintifik. Metode serta kreatifitas sufistik melekat dalam jiwa masyarakat Nusantara sehingga menjadikan Islam sebagai dasar keyakinan. Sampai saat ini, Islam sufisme masih mengakar dalam jiwa masyarakat muslim Nusantara meskipun berbagai paham asing terus berdatangan.

Perlu ditegaskan disini bahwa sebelum adanya perdebatan mengenai Islam Nusantara, jauh sebelum argumentasi ini muncul, Al-Attas telah mengantarkan teori mengenai apa itu Islam Nusantara dengan menjembataninya dengan teori Islamisasi untuk mengambarkan apa itu Islam Nusantara. Teori yang digagas Al-Attas kekinian cukup berpengaruh dalam mengembangkan model serta bentuk Islam yang ada di Nusantara. Dengan adanya teori ini maka diharapkan term Islam Nusantara bukanlah mencoba mereduksi Islam itu sendiri melainkan menguatkan Islam yang utuh sebagai Rahmatanlilalamin bagi masyarakat Nusantara.

– Mulyadi –

* Makalah singkat ini dipresentasikan pada Friday Forum Discussion, di Pepustakaan IAIN Langsa, 16 Maret 2018.
Mulyadi – Pengajar IAIN Langsa

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com


*Pastinya ada banyak perbedaan pendapat maupun persepsi bahkan kontra-versi mengenai makna dan arti Islam Nusantara sendiri. Ekspektasi para peserta Friday forum belum tentu dapat dikemukakan diwakilkan semua dalam malakah ini, mengingat tulisan ini sangatlah singkat dalam muatannya yang seharusnya sangatlah luas dan menjurus. Meskipun demikian, tulisan ini mencoba membuka wawasan kita untuk memberikan pengetahuan ilmiah dalam kajian ini sebagai sebuah teori yang dapat ditelaah secara berkelanjutan.

Gambar diambil dari http://jadeluwakcoffee.com

Categories
Diskusi

Islam Nusantara Dalam Pandangan Syed Muhammad Naquib Al-Attas (Bagian 2 dari 2)

Pengaruh Para Sufi dalam Beberapa Fase Islamisasi Nusantara

Untuk mengukuhkan Islam pada jiwa masyarakat Nusantara dalam pandangan al-Attas membutuhkan proses panjang hingga beberapa abad. Proses tersebut sebut adalah Islamisasi, maksudnya adalah proses pengenalan, pemahaman, serta pengukuhan terhadap makna Islam yang sebanarnya sehingga melekat pada diri manusia. Islamisasi di sini merupakan perjuangan kaum sufi serta para muballig Islam dalam menyebarkan dan sekaligus memberi pemahaman kepada masyarakat Nusantara yang masih terpengaruhi oleh mitologi, alam seni, dan metafisika kabur. Para sufi, mendoktrin Islam dengan memperhatikan tingkat kemampuan masyarakat Nusantara. Islamisasi dalam gambaran al-Attas tersebut merupakan bentuk nyata, dan sampai saat ini masih dirasakan keberlanjutannya. Dengan metode sufistik tersebut, Islam bukan hanya sekdar doktrin melainkan telah menjadi bagian amalan utama bagi masyarakat Nusantara sekaligus meruntuhkan pengetahuan lama yang terpengaruh dengan mitologi sesat ke alam baru yang lebih rasional dan saintifik.

Categories
Penulis Tamu

ISLAM NUSANTARA DALAM PANDANGAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS (BAGIAN 1 DARI 2)*

Perdebatan mengenai proses pembumian Islam di Nusantara selalu hangat diperdebatkan di kalangan intelektual hingga sampai saat ini. Beberapa tulisan beberapa waktu lalu sempat memperdebatkan mengenai Islamisasi serta Islam apakah yang sebenarnya yang ada di Nusantara. Meskipun bukanlah hal yang baru, namun perdebatan ini selalu hangat diperbincangkan hingga terus-menerus memunculkan berbagai argumentasi ilmiah. Satu pendapat menyebutkannya bahwa Islam Nusantara adalah Islam permukaan, yaitu Islam yang dipahami dan diartikan hanya sebatas kulit luar dari ajarannya, berupa syiar, dan hiruk-pikuk seremonial yang disandingkan dengan aktivitas ibadah formal Islam. Hal ini dijadikan suatu tolak ukur kecemerlangan, kejayaan, dan heroisme Islam dalam masyarakat penganutnya1). Pendapat lain mengenai Islam di Nusantara adalah Islam Fansurian yaitu sebuah proses pengislaman yang dibungkus dengan sufisme dan membangun tamadun masyarakat dengan konstitusi akhlak sosial (bio-etik) dan akhlak personal (revolusi mental)2).

Di sisi lain, Teuku Zulkhairi memberikan tanggapan yang berbeda mengenai Islam yang memakai embel-embel Nusantara, sebab menurutnya dapat berpotensi mereduksi ajaran Islam karena harus menyesuaikan diri dengan tradisi Nusantara3). Selain hal di atas, Islam Nusantara merupakan Islam yang berwajah konstektual dengan berbagai aspek budaya, kesenian, proses belajar maupun pergaulan. Analisis spekulatif tersebut memunculkan perdebatan yang signifikan terhadap bagaimana sebenarnya Islam di Nusantara. Argumentasi-argumentasi tersebut menjadi suatu masalah terhadap bagaimana sebenarnya Islam di Nusantara dan bagaimana proses, hakikat Islam Nusantara, serta pembumiannya sehingga masyarakat Nusantara memiliki identitas keislamanya yang utuh.

Pedebatan mengenai Islam Nusantara kembali hangat akibat ada pengaruh dari Istana Negara Republik Indonesia yang mencoba memperkenalkan Islam bercorak Nusantara dalam bentuk lantunan ayat Al-Qur’an yang menggunakan langgam Jawa. Hal ini mengindikasikan bahwa Islam Nusantara memiliki suatu sisi bangunan epistimologis tersendiri dalam menerapkan nilai-nilai Islamnya. Argumentasi tersebut memberikan pandangan bahwa corak Islam Nusantara dapat didefinisikan sebagai Islam yang dapat menyesuaikan diri dengan masyarakatnya. Nusantara dalam perspektif ini bukan hanya sebagai sebuah konsep geografis (kawasan) semata, melainkan Nusantara merupakan encounter culture (pusat pertemuan budaya) sehingga memunculkan tata nilai yang khas.

Menurut Said Aqil Siroj bahwa Islam Nusantara bukan merupakan sebuah konsep geografis semata melainkan konsep filosofis yang membentuk nilai, cara pandang, pola pikir dalam melihat tatanan budaya dan antropologis4). Pola Islam yang telah menyesuaikan diri dengan masyarakat Nusantara tersebut serta campuran berbagai latar belakang budaya, menyebabkan Islam yang datang mesti dapat menyesuaikan diri dengan budaya Nusantara. Hal ini secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa Islam Nusantara lebih bersifat lembut, sosial, serta toleran dibandingkan dengan Islam orang Arab yang terkesan keras, panas, dan jauh dari toleransi5).

Perdebatan mengenai Islam di Nusantara terus berkembang sampai saat ini. Perdebatan tersebut semestinya tidaklah langsung mencari serta menemukan definisi Islam Nusantara, akan tetapi mesti melihat kembali fakta sejarah tentang bagaiman Islam masuk serta menjadi bagian dari masyarakat Nusantara. Menelaah hal tersebut dibutuhkan diskursus panjang serta dukungan data sejarah untuk menemukan bagaimana proses Islam masuk serta membentuk pemahaman religius yang dominan di Nusantara.

Pendapat sebahagian besar akademisi dalam dan luar negeri serta orientalis secara historis dalam merumuskan Islam di Nusantara masih menjadi perdebatan. Mereka menilai Islam Nusantara merupakan manifestasi dari lapisan tipis peradaban yang telah ada sebelumnya. Sarjana Belanda seperti Van Leur dan Schrieke berpandangan bahwa agama Hindu dan Buddha memiliki pengaruh yang besar ketimbang Islam. Seperti yang dikutip oleh Azra, Van Leur berpendapat bahwa masuknya Islam di Nusantara tidak membawa perubahan mendalam sehingga tidak memengaruhi kondisi peradaban yang telah ada sebelumnya, baik secara sosial, ekonomi, tatanan negara maupun perdagangan6).

Kutipan yang sama dilakukan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas bahwa Van Leur melihat tingginya suatu peradaban terletak pada ketinggian nilai seni dan estetik. Pada berbagai peninggalan seperti candi, pahatan-pahatan batu, tugu-tugu, dan berbagai jenis wayang tersimpan kehalusan seni yang mencirikan peradaban yang bernilai tinggi7). Analisis Van Leur terkesan sangat melemahkan peranan Islam di Nusantara. Al-Attas menambahkan bahwa Winstedt mengatakan pengaruh yang ditanamkan Islam sangatlah terbatas, itu pun sudah tercampur dengan keyakinan agama Hindu dan Buddha. Sebagaimana dikutip oleh Azra, London mengatakan bahwa Islam di Nusantara hanyalah lapisan tipis yang terdapat di atas kebudayaan lokal8).

Para orientalis di atas banyak terpengaruh oleh tulisan-tulisan Snouck Hurgronje sehingga mereka terkesan memerkecil peranan Islam Nusantara9). Beberapa sarjana ini melihat bahwa Islam Nusantara bercorak Hindu-Buddha yang sudah melewati proses Islamisasi yang belum selesai. Al-Attas mencoba mengklarifikasi asumsi besar dari tradisi kesarjanaan orientalis di atas.

Al-Attas tidak menafikan kesenian sebagai satu-satunya sebuah ukuran terhadap ketinggian suatu peradaban, namun menurutnya bahwa suatu pandangan hidup yang berdasarkan atas tingginya nilai-nilai seni tidaklah berarti memiliki keluhuran budi dan akal serta ilmu pengetahuan. Al-Attas memberikan tanggapan dan sanggahan yang sangat serius dalam hal ini dengan mengatakan bahwa kesan sebuah peradaban yang tinggi dari suatu bangsa tidak dilihat pada perkara-perkara lahiriahnya saja melainkan jauh tertanam dan tersembunyi dalam pandangan hidupnya.

Ketinggian suatu peradaban tidak hanya dilihat pada ketinggian nilai seni dan estetika seperti pada corak candi-candi, tugu-tugu, pahatan-pahatan batu, dan pewayangan, akan tetapi pada sesuatu yang tersembunyi dalam bahasa Arab Melayu dan tulisan Arab Melayu yang mengungkapkan akal budi dan merangkum pemikiran10). Jika dianalisis secara ontologis, bahasa Melayu merupakan huruf Arab yang dibaca dengan model dan corak bahasa Nusantara yang merangkum akal budi dan pemikiran karena memiliki struktur terbaik dalam rumpun bahasa semantik.

Jika dilihat dari segi makna, bahasa Arab Melayu tampak lebih sesuai dalam menerima kandungan ajaran-ajaran Al-Qur’an yang tidak tersentuh oleh perubahan-perubahan yang dialami oleh bahasa lain. Bahasa Arab Melayu meletakkan arti rasionalitas sebagai kemampuan untuk percakapan. Lebih dari itu, bahasa Melayu mengalami perubahan revolusioner dengan diperkaya sebahagian besar pembendaharaan kata-katanya dari Arab dan Parsi. Bahasa ini juga menjadi media utama untuk menyebarkan Islam ke seluruh Nusantara, sehingga pada abad ke 16 M telah mencapai kedudukan sebagai bahasa religius menggantikan hegemoni pengaruh Hindu-Buddha11).

Islam sufistik yang datang ke Nusantara telah memberikan rumusan intelektualisme dan rasionalisme pada kesusasteraan Nusantara di abad keenam belas dan ketujuh belas12). Konsep sufistik tersebut memiliki pola tasawuf falsafi yang tersebar luas mempengaruhi masyarakat Nusantara13). Tasawuf falsafi merupakan landasan filosofis Islam Nusantara secara ontologis mengandung konsep-konsep fundamental yang dihubungkan dengan konsep sentral tentang keesaan Tuhan. Metafisika sufi, melalui golongan ahli pikir, ulama-ulama, para misionaris Muslim telah merumuskan sebuah konsep yang mendalam mengenai metafisika falsafi, tasawuf dan ilmu kalam juga merupakan hasil dari metafisika sufi Nusantara. Bentuk metafisika sufi sangat jelas terlihat pada penjelasan dan tulisan rasional tentang konsep wujūd, pemaparan tentang ontologi, kosmologi, teologi, keadaan, eksistensi, konsepsi tauhid, adalah suatu hal yang memainkan peran fundamental dalam menarik masyarakat Nusantara ke Islam14).

Metafisika sufi sangat jauh dari nilai-nilai politik dan keinginan untuk berkuasa sehingga mendapat pengaruh besar pada masyarakat Nusantara. Metafisika sufi memiliki tujuan untuk membentuk konsepsi religius Islam yang esensial terhadap psikologi yang berlandaskan Al-Qur’an dalam jiwa masyarakat Nusantara. Ulama sufi dengan menggunkan fondasi Al-Qur’an tersebut memiliki landasan yang tiada bandingnya sehingga berbekas pada jiwa masyarakat Nusantara. Oleh sebab itu pengaruh metafisika sufi yang memiliki basis ruh Al-Qur’an telah mengakibatkan kesadaran masyarakat Nusantara terhadap Islam, sehingga membawa peralihan dari tradisi non-rasional kepada kesusasteraan tertulis yang falsafi. Metafisika sufi memainkan peran penting untuk membuka jiwa masyarakat Nusantara untuk lebih mengenal aspek-aspek ontologi Islam berlandaskan falsafah dan rasionalitas sehingga terhindar dari mitologi15).

Menurut al-Attas, Islam telah mengubah pola pikir masyarakat Nusantara baik dalam hal-hal yang bersifat empiris maupun bersifat rasional metafisis. Islam tidak hanya memberikan perubahan pada struktur lahiriah semata melainkan perubahan yang mendalam pada struktur bathinnya16). Islam mampu mengubah pandangan hidup masyarakat Nusantara yang sebelumnya bersifat seni dan estetis menjadi lebih falsafi yang berteraskan pada harmonisasi akal dan jiwa. Al-Attas mengatakan bahwa proses Islamisasi di Nusantara didefinisikan sebagai “the historical and cultural impact of Islam upon the Malay world which revolutionized the Malay vision of reality and existence into distinctly Islamic worldview”.17)(pengaruh sejarah dan budaya Islam atas dunia Melayu (Nusantara) yaitu dengan merevolusi pandangan masyarakat Nusantara atas realitas eksistensi menuju pandangan hidup Islam yang berbeda). Islam di Nusantara ini harus ditinjau sebagai sebuah corak atau bentuk sufistik yang merelevansikan dirinya dengan konstektualitas masyarakat Nusantara yang begitu berkesan dalam membawa perubahan “pemoderenan”18).

Peradaban Nusantara sebelum Islam sangat kental dengan pengaruh Hindu-Buddha. Pengaruh agama tersebut menurut al-Attas telah tercampur dengan agama anak negeri. Agama Hindu dan Buddha tidak begitu berpengaruh dalam diri masyarakat Nusantara secara mendalam karena ajaran agama tersebut termodifikasi sedemikian rupa sehingga tidak memiliki kemurnian falsafah yang mendalam. Ketinggian metafisika Hindu-Buddha tidak mampu ditangkap oleh para raja dan bangsawan, karena mereka lebih cenderung kepada nilai-nilai seni dan estetik seperti kisah-kisah pewayangan, cerita Mahabarata, dan mitologi dewa-dewi. Di sisi lain para pendeta yang diharapkan mampu merangkum dan menyebarkan kehalusan metafisika Hindu-Buddha yang bersifat falsafi terhalang oleh otoritas para raja yang hanya cenderung pada nilai seni dan estetik.

Watak agama Hindu-Buddha tidak bersifat misionari sehingga agama tersebut tidak tersebar secara masif ke tengah-tengah masyarakat luas19). Ditambah lagi pendeta Buddha tersebut bukanlah merupakan penduduk asli pribumi melainkan para rahib yang datang dari India Selatan dengan misi pencarian sudut-sudut kawasan sunyi untuk tempat persemedian mereka dalam candi-candi yang terisolasi dari masyarakat20). Agama Hindu-Buddha tersebut pada mulanya hanya menjadi agama penyucian diri personal.

Bagi masyarakat Nusantara falsafah agama Hindu tidak membawa pengaruh yang sangat mendalam terhadap spiritual diri mereka. Mereka tidak dapat merangkum kehalusan metafisika Hindu-Buddha. Unsur logika dan pemikiran rasional dari kehalusan metafisika tidak tampak secara jelas. Oleh karena itu keagungan metafisika mereka ubah menjadi kesenian yang tidak bernilai falsafi. Apa yang mereka terima dari Hindu-Buddha hanyalah terbatas pada hal-hal yang sesuai dengan watak asli masyarakat pada saat itu dengan kecenderungan pada seni dan estetika21), meskipun di Sriwijaya Sumatera pada abad ke 5 H./11 M, tersohor sebagai salah satu pusat agama Buddha sehingga banyak dikunjungi oleh para pendeta khususnya dari negeri Tibet, termasuk di antaranya pendeta Atisha yang kemudian dikenal sebagai pendeta pembaharu Tibet. Atisha ke Sumatera untuk belajar kepada guru sekaligus pendeta agung Buddha, Dharmakriti22). Akan tetapi pengaruh metafisika Buddha yang bersifat falsafi tidak mewujudkan dirinya secara otentik. Falsafah ajaran Buddha terjewantahkan dalam seni dan estetika. Hal ini tampak pada kemegahan Candi Borobudur sebagai citra empiris manifestasi seni dalam lingkup arsitektur23).

Al-Attas memandang bahwa masyarakat Nusantara tidak mampu menangkap kehalusan metafisika Hindu, hal ini karena masyarakat lebih cenderung diarahkan pada hal-hal yang bersifat estetis daripada falsafi. Oleh sebab mendasar tersebut, agama Hindu tidak banyak mengubah pandangan masyarakat Nusantara yang telah memiliki Weltanschauung yang didasarkan pada seni tersebut24).

Para sufi mengajarkan Islam di tengah-tengah masyarakat luas sebagai sebuah pandangan hidup yang rasional dan intelek. Islam berhasil menggulingkan berbagai mitologi dalam tradisi kepercayaan sebelumnya. Agama Islam dipahami secara rasional dan mendalam pada berbagai strata sosial baik di kalangan para raja dan bangsawan maupun lapisan bawah masyarakat25). Konsep ontologi Tuhan yang memiliki kekuatan untuk mengatur dan membina alam semesta dengan bijaksana serta kreatif dipahami melalui perenungan akal yang mendalam. Islam memberi penghargaan tertinggi pada manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna dalam mengatur kehidupan alam. Sistem kasta yang ditopang oleh mitologi dari agama sebelumnya diruntuhkan oleh Islam menjadi sebuah konsep kesetaraan pada level kemanusiaan secara zahir. Namun Islam membangun hirarki spiritual pada otoritas keilmuan dan ketaqwaan26).

Risalah-risalah Islam yang ada di Nusantara mengandung metafisika ilmu tasawuf yang dikupas secara ontologis telah mencapai taraf nilai luhur dalam sejarah pemikiran umat manusia. Islam membangun semangat intelektualitas yang tidak dapat dibandingkan dengan tulisan-tulisan sastra Melayu-Jawa zaman Hindu-Buddha yang hampa dari perbendaharaan rasionalitas dan intelektualitas (‘aqlīyyah)27).

Bukti nyata terjadinya revolusi akidah terhadap masyarakat Nusantara setelah datangnya Islam yaitu terdapat banyak karya-karya akademik yang memperdebatkan secara serius tentang konsep ontologi wujūd. Diskursus tentang ontologi wujūd memunculkan pemahaman intelektual yang memuncak pada abad 15 M hingga 17 M. Perdebatan ini merupakan penyempurnaan bagi proses Islam Nusantara. Proses tersebut melangsungkan klarifikasi, intensifikasi, dan standarisasi pada tradisi lama yang dipengaruhi oleh Hindu-Buddha sebelumnya, hingga menghasilkan perubahan yang benar-benar berbeda pada elemen-elemen kunci pandangan hidup masyarakat Nusantara. Al-Attas menyatakan:

“Sufi metaphysics did not come, contrary to what is held even by some Muslim scholar, to harmonize Islam with traditional beliefs grounded in Hindu-Buddhist beliefs and other outochthonous traditions; it come to clarify the difference between Islam and what they had know in the past”28).

Islam Nusantara sejauh ini juga identik dengan kegiatan religiusitas seperti tahlilan, peringatan haul, ziarah kubur, selamatan, dan segenap pengamalan dalam ruang lingkup Nahdlatul Ulama (NU). Argumentasi ini menurut saya sangat berimplikasi bahwa Islam Nusantara identik dengan Islam NU semata. Boleh jadi pula demikian adanya, sebab Islam model NU sering disebut-sebut sebagai Islam yang ramah terhadap budaya Nusantara. Jika lebih cermat maka permasalahannya menurut saya ialah kata “Nusantara” itu sendiri, sebab kata ini lebih kepada kategori wilayah geografis dan budaya, bukan merupakan kategori nilai dan sifat. Bagaimana menisbatkan Islam ke dalam Nusantara sehingga menjadi sebuah definisi yang jelas.

Berangkat dari berbagai argumentasi tersebut, al-Attas mencoba melihat terlebih dahulu muatan awal yang muncul di Nusantara sebelum mendefinisikan apa itu Islam Nusantara. Al-Attas masuk dengan konsep Islamisasi yang mengedepankan pengaruh ontologi sufistik untuk menjawab problematika Islam Nusantara. Sebelum Islam Nusantara kembali diperdebatkan, al-Attas telah membuat sebuah teori untuk mengantarkan corak serta bentuk Islam Nusantara. Al-Attas mengembangkan teori itu berdasarkan konsep Islamisasi yang kemudian menjadi jembatan penghubung untuk menemukan substansi dari Islam Nusantara.

Islam Nusantara yang dipahami dalam kerangka berpikir al-Attas ialah Islam yang mencoba masuk dalam budaya masyarkat Nusantara, merangkul, menyaring dan kemudian menghilangkan praktik-praktik mistik budaya lokal yang diperoleh dari hegemoni Hindu-Buddha. Islam model tersebut menurut al-Attas berasal dari manifestasi Islam sufisme. Islam sufisme merupakan doktrin keislaman yang dibawa oleh kaum sufi pengembara ke Nusantara yang mencapai puncaknya pada abad ke 17 M. Berbagai teori yang telah disebutkan di atas menyatakan bahwa gelombang sufi Islamlah yang berhasil mengislamkan masyarakat Nusantara secara besar-besaran. Teori tersebut tidak hanya diakui oleh sarjana dalam negeri, akan tetapi para sarjana luar serta orientalis juga mengakui teori tersebut.

Islam Nusantara yang toleran, ramah, lemah lebut, tidak ekstrim, serta menyesuaikan diri dengan budaya Nusantara serta menerima dengan baik berbagai budaya yang kemudian berbaur dalam masyarakat tidak lain hanyalah manifestasi dari Islam sufisme. Amalan kaum sufi yang murni beribadah kepada Allah SWT., dan mendoktrin amalan terhadap lingkungan sosial dan memberikan pemahaman yang berbeda secara substansi.

Sebagaimana diketahui bahwa kaum sufi jauh dari nilai-nilai keingin berkuasa, berpolitik, nafsu dunia, berpengaruh pada sikapnya yang kemudian disebut dengan toleransi, menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar, penuh kesabaran, tidak radikal atau ekstrim, merangkul, menyaring dan menghilangkan sesuatu yang tidak sejalan dengan ajaran Islam. Pada akhirnya hal tersebut merupakan manifestasi nyata dalam menentukan definisi Islam Nusantara, yaitu Islam yang termanifestasikan dari “ruh” ajaran dan amalan sufistik. Al-Attas menyebut proses penyesuaian Islam pada penduduk Nusantara dan menggantikan pratik-praktik kepercayaan dan keyakinan lama digantikan dengan pandangan hidup yang baru dengan “teori Islamisasi Nusantara”. Melihat hal tersebut maka harus didasarkan pada literatur Islam Melayu-Nusantara dan sejarah dunia Melayu yang terlihat pada perubahan mendasar terhadap konsep-konsep dan itilah-istilah kunci dalam literatur Melayu-Indonesia pada permulaan abad 10-11 H/16-17 M29).

– Mulyadi –

* Makalah singkat ini dipresentasikan pada Friday Forum Discussion, di Pepustakaan IAIN Langsa, 16 Maret 2018.
Mulyadi – Pengajar IAIN Langsa

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com


*Pastinya ada banyak perbedaan pendapat maupun persepsi bahkan kontra-versi mengenai makna dan arti Islam Nusantara sendiri. Ekspektasi para peserta Friday forum belum tentu dapat dikemukakan diwakilkan semua dalam malakah ini, mengingat tulisan ini sangatlah singkat dalam muatannya yang seharusnya sangatlah luas dan menjurus. Meskipun demikian, tulisan ini mencoba membuka wawasan kita untuk memberikan pengetahuan ilmiah dalam kajian ini sebagai sebuah teori yang dapat ditelaah secara berkelanjutan.

Categories
Diskusi

Islam Nusantara Dalam Pandangan Syed Muhammad Naquib Al-Attas (Bagian 1 dari 2)*

Perdebatan mengenai proses pembumian Islam di Nusantara selalu hangat diperdebatkan di kalangan intelektual hingga sampai saat ini. Beberapa tulisan beberapa waktu lalu sempat memperdebatkan mengenai Islamisasi serta Islam apakah yang sebenarnya yang ada di Nusantara. Meskipun bukanlah hal yang baru, namun perdebatan ini selalu hangat diperbincangkan hingga terus-menerus memunculkan berbagai argumentasi ilmiah. Satu pendapat menyebutkannya bahwa Islam Nusantara adalah Islam permukaan, yaitu Islam yang dipahami dan diartikan hanya sebatas kulit luar dari ajarannya, berupa syiar, dan hiruk-pikuk seremonial yang disandingkan dengan aktivitas ibadah formal Islam. Hal ini dijadikan suatu tolak ukur kecemerlangan, kejayaan, dan heroisme Islam dalam masyarakat penganutnya[ref]Muhibuddin Hanafiah, “Islam Permukaan”, Serambi Indonesia, 13 Juli 2015, hlm. 18.[/ref]. Pendapat lain mengenai Islam di Nusantara adalah Islam Fansurian yaitu sebuah proses pengislaman yang dibungkus dengan sufisme dan membangun tamadun masyarakat dengan konstitusi akhlak sosial (bio-etik) dan akhlak personal (revolusi mental)[ref]Affan Ramli, “Islam Nusantara Fansurian”, Serambi Indonesia, 31 Juli 2015, hlm. 18.[/ref].

Categories
Penulis Tamu

MENGENAL HABITUS DAN INTERAKSI SOSIAL*

Habitus sebagai gagasan tidaklah diciptakan sendiri oleh Bourdieu, namun merupakan gagasan filosofis tradisional yang ia hidupkan kembali. (Ritzer & Goodman, 581) Dalam tradisi filsafat, Habitus diartikan dengan kebiasaan yang sering diungkapkan dengan habitual yakni penampilan diri yang tampak; tata pembawaan terkait dengan kondisi tipikal tubuh. Jika kita ingat teori kategori yang dicetuskan Aristoteles, habitus dapat kita kategorikan sebagai kategori yang melengkapi subjek sebagai subtansi.

Sebelum lebih jauh mengenal habitus dalam teori sosiologi dan antropologi. Penulis akan memaparkan siapa dan bagaimana Bourdieu dalam menemukan gagasannya hingga dikenal dan digunakan banyak peneliti sebagai landasan teoritis setiap penelitian. Gagasan Bourdieu tidak lahir dengan sendirinya dalam alam pikirnya, namun Bourdieu menghasilkannya dari berbagai interaksinya dengan para guru dan pengalaman hidup yang dilewatinya.

Pierre Felix Bourdieu adalah nama lengkap Bourdieu muda yang kemudian dikenal sebagai pemikir prancis paling terkemuka dalam bidang ilmu sosiologi dan antropologi—Bourdieu muda ini sempat dikenal sebagai jawara pergerakan antiglobalisasi. Sangat tradisionalis memang pemikiran yang menjadi gagasan ketika awal perjalanan keilmuannya. Bourdieu lahir pada tanggal 1 Agutus 1930 di barat daya Prancis. Pada umur 20 tahun, keuletan Bourdieu menyempatkan dirinya untuk belajar filsafat pada Louis Althusser—pada titik ini ketekunan Bourdieu menemukan ketertarikan pada pemikiran Marleau, Hursel, bahkan ia telah membaca tuntas karya Heiddegger ‘Being and Time’, dan karya Karl Marx, walaupun itu semua untuk kepentingan akademisnya.

Pada tahun 1955-1958, Bourdieu sempat menggabdikan dirinya pada sebuah SMA di Maulins, Aljazair. Dan bergabung dengan ketentaraan selama dua tahun disana, sedangkan pada tahun 1958 Bourdieu menjadi pengajar pada universitas Aljazair. Dari Aljazair inilah Bourdieu banyak belajar, ia memperhatikan banyak hal perihal benturan antara masyarakat Aljazair dengan kolonialisme prancis dalam mengkonstruksi asal-usul struktur ekonomi dan sosial khususnya masyarakat kabile suku barber. Hal ini menghasilkan karya pertamanya yang berjudul sociologie de I’Algerie atau The Algarian (1958).

Pada tahun 1960, Bourdieu kembali ke Paris sebagai antropolog autodidak dan mengajar di Universitas Paris dan Universitas Lille hingga tahun 1964. Pada tahun 1993 dia melancarkan tudingan besar-besaran ihwal konsekwensi manusiawi atas tatanan nonliberal yang telah dihabiskan oleh sosialisme prancis. Banyak lagi peran-peran sosial kemasyarakat yang terus digerakkan Bourdieu dalam aktivitasnya

BOURDIEU DIPENGARUHI BANYAK TOKOH

Teori yang dikonstruksikan Bourdieu dibangun dari berbagai pengaruh banyak tokoh dimana dirinya banyak mendapat ilmu pengetahuan dan berinteraksi. Dari Max Weber, ia memperoleh kesadaran tentang pentingnya dominasi dan sistem simbolik dalam kehidupan sosial, serta gagaasan tatanan sosial yang akhirnya akan ditransformasikan kedalam teori ranah-ranah ‘feild’nya Bourdieu. Dari Karl Marx, Ia mendapatkan pemahaman tentang masyarakat sebagai penjumlahan hubungan-hubungan sosial. Hubungan tersebut berlandaskan pada bentuk dan kondisi produksi ekonomi, dan kebutuhan untuk secara dialektis mengembangkan teori sosial dari praktik sosial. Sedangkan melalui Email Durkheim, Bourdieu seperti mewarisi pendekatan Determinisme. Gaya strukturalis yang menekankan struktur sosial untuk memproduksikan dirinya sendiri, ia dapatkan dari Marcel dan Levistrauss. Namun Bourdieu banyak membantah dan menyimpang dari para tokoh yang mempengaruhinya. Durkheim ia bantah bahwa reproduksi struktur sosial tidak beroperasi menurut logika fungsionalis. Salah satu aksi tujuan dasarnya dalam reaksi terhadap akses strukturalis; niat saya adalah mengembalikan kehidupan nyata aktor yang telah dilenyapkan dalam tangan levistrous dan strukturalis laninnya,… (rizer & goodman). Pada ruang ini Bourdieu mampu menghadirkan teori barunya yang kemudian menjadi konsumsi para scholar.

MENGENAL HABITUS DAN ARENA

Merujuk pada Ritzer dan Goodman, Habitus merupakan struktur mental atau kognitif yang dengannya semua orang berhubungan dengan dunia sosial. Semua orang termasuk kita dibekali persepsi, pemahaman, pengapresiasian, dan mengevaluasi dunia sosial. Skema ini membuat banyak orang berpandangan dan beranggapan terhadap sebuah struktur yang ada dalam dunia sosial. Secara dialektif Habitus merupakan produk dari internalisasi struktur dunia sosial. Habitus ditemukan sebagai akibat dari ditempatinya posisi di dunia sosial dalam waktu yang lama. (2010: 581)

Saya mencoba merujuk pada Klenden dan Binawan dalam membaca Habitus Bourdieu. Susah-susah gampang memahami Habitus dan interaksi sosial dalam kajian antropologi. Klenden dan Binawan berusaha menafsirkan Habitus yang digagas Bourdieu dengan 7 (tujuh) elemen penting. Penulis menilai, hal ini lebih mudah di pahami dalam ruang pemahaman semua kalangan yang ingin mendalami kajian keilmuan antropologi.

Pertama; Habitus merupakan Produk sejarah. Habitus adalah produk sejarah yang menghasilkan praktik/prilaku individu atau kolektif (Bourdieu dalam Ritzer & Goodman). Habitus terejawantahkan dalam hidup dan kehidupan yang diwariskan oleh perjalan sejarah, hal ini adalah sejarah sosial dimana habitus itu terjadi. Sebuah kebiasaan adalah sistem yang sudah bertahan lama, namun kebiasaan itu tidak begitu saja terjadi. Selain itu, pembentukan prilaku itu butuh upaya yang berkelanjutan dalam proses yang tidak pendek—mengingat hal tersebut telah bertahan sangat lama.

Kedua; Habitus adalah struktur yang dibentuk dan membentuk. Habitus menghasilkan dan dihasilkan oleh dunia sosial. Pada dimensi tertentu habitus menstrukturkan struktur; artinya habitus struktur yang menstrukturkan struktur dalam dunia sosial. Namun dalam dimensi yang lain habitus adalah struktur yang terstruktur; ini bermakna habitus yang distrukturkan oleh dunia sosial. Ini dapat kita terjemahkan, meskipun habitus adalah suatu struktur terinternalisasi yang menghambat pemikiran dan pilihan bertindak, namun ia tidak dapat menentukannya. Hal inilah yang membedakan ‘tiadanya determinisme’ adalah suatu hal utama yang membedakan posisi Bourdieu dari posisi strukturalis arus utama.

Ketiga; Habitus adalah struktur yang menstrukturkan. Habitus telah menjadi kesadaran dan sikap yang tertanam dalam setiap diri. Pada waktu tertentu kesadaran dan sikap tersebut menjadi persepsi, presentasi, dan tindakan seseorang.

Keempat; Meskipun habitus lahir dalam kondisi sosial tertentu, dia bisa dialihkan ke kondisi sosial yang lain dan karena itu bersifat transposable. Ini mengartikan sangat mungkin melahirkan kebiasaan sosial lain. Kebiasaan sosial yang dibentuk itu menjadi cara penyelesaian dari suatu masalah yang muncul dari suatu konteks sosial baru. Sehingga keniscayaan tidak akan terus ada, maka kebiasaan juga demikian, karena dapat dibuat atau dilakukan dalam konteks sosial yang berbeda.

Kelima; Habitus bersifat pra-sadar (preconcius). Habitus bukan merupakan hasil dari refleksi atau pertimbangan rasional. Kleden mengungkapkan ‘Habitus merupakan spontanitas yang tidak disadari dan tidak dikehendaki dengan sengaja. Namun juga bukan suatu gerakan mekanistik yang tanpa latar belakang sejarah sama sekali’. Ritzer; Habitus bekerja dibawah alas kesadaran. Habitus bekerja di bawah level kesadaran dan bahasa, diluar jangkauan pengawasan dan kontrol instropeksi kehendak. Habitus bergerak sebagai struktur, namun orang tidak hanya merespon secara mekanis terhadapnya atau terhadap struktur eksternal yang beroprasi padanya. Sebagai teori atau paradigma pedekatan, Bourdieu menghindari kutub ekstrem kebaruan yang tidak dapat diperkirakan dan determinisme total (Kleden, Binawan)

Keenam; Habitus bersifat teratur dan berpola, namun bukan ketundukan kepada peraturan-peraturan tertentu. Ketertundukan bukan berarti ketakutan pada sanksi atau hukuman. Namun lebih cenderung pada tumbuhnya rasa nyaman, senang, bangga dan adanya rasa kebahagiaan. Suatu tindakan baru dapat dikategorikan kebiasaan sosial, ketika aktor tidak lagi mengharap hadiah.

Ketujuh; Habitus dapat terarah kepada tujuan dan hasil tindakan tertentu, namun tanpa maksud secara sadar untuk mencapai hasil-hasil tersebut dan juga tanpa penguasaan kepandaian yang bersifat khusus untuk mencapainya. Tujuan yang sudah terinternalisasi itulah yang membangun sifat sosial, didalamnya terangkum kebutuhan bersama. Habitus mengkonstruk hal-hal positif. Tujuan untuk kesejahteraan dan kenyamanan bersama itulah yang membedakan kebiasaan sosial yang dimaksud dalam pemahaman habitus dengan kebiasaan sopan santun. Karena itu pelanggaran yang dilakukan dalam habitus tidak akan mengoyak kebiasaan yang dibangun dalam sopan santun.

Ketujuh elemen penting yang dibaca Klenden di atas, akan menjadi sangat menarik ketika dilanjutkan dengan arena (ranah/field). Kajian Habitus dalam ranah dapat dijadikan sebagai suatu kerangka dalam membaca kebiasaan sosial yang telah lama terbentuk selain 7 elemen penting di atas. Bourdieu memandang Arena secara relasional dari pada struktur yang mempengaruhinya. Keberadaan relasi-relasi ini terpisah dari kesadaran dan kehendak individu. Arena dalah jaringan relasi antar posisi objektif di dalamnya (Ritzer, 582). Oleh karena itu arena kerap diterjemahkan terpisah keberadaannya ‘relasi-relasi ini terpisah dari kesadaran dan kehendak individu’. Arena merupakan; kekuatan yang digunakan dalam memperebutkan sumber daya atau modal atau untuk memperoleh akses tertentu yang dekat akses kekuasaan; Arena semacam hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi-posisi individu dan kelompok dalam tatanan masyarakat yang terbentuk secara spontan.

Habitus berkonstribusi besar dalam menganalisis masyarakat; (1) Penggunaan konsep habitus yang dianggap berhasil mengatasi masalah dikotomi individu-masyarakat, agen-struktur sosial, kebebasan determinisme; (2) Bourdieu mengoyak mekanisme dan strategi dominasi. (BioKultur, 2012). Dominasi kekuasaan atau apapun itu tidak lagi terus menerus di teropong dari akibat-akibat luar, namun juga dilihat dari akibat habitus yang telah terbatinkan. Dengan menyingkap mekanisme tersebut kepada para pelaku sosial, maka sosiologi memberi argumen dan menggerakkan tindakan.

Menurut Bourdieu dalam Ritzer & Goodman, ada tiga langkah proses untuk mengalisis arena. Pertama, menggambarkan keutamaan ranah (lingkungan) kekuasaan (politik) untuk menemukan hubungan setiap lingkungan khusus dengan lingkungan politik; kedua, menggambarkan struktur objektif hubungan antar berbagai posisi di dalam ranah tertentu; ketiga, dan analisis harus mencoba menentukan ciri-ciri kebiasaan agen yang menempati berbagai tipe posisi dalam ranah. Dalam ruang habitus posisi seseorang ditentukan oleh jumlah dan bobot relatif dari modal yang mereka miliki; ekonomi, kultural, sosial dan simbolik dari kehormatan dan prestise seseorang.—Modal ini sangat besar peluang di dibentuk dalam sistem pendidikan—khususnya dalam mereproduksi dan melestarikan relasi kekuasaan dan hubungan kelas yang ada dalam masyarakat.

INTERAKSI SOSIAL

Interaksi sosial, dalam hal ini, penulis mencoba mengangkat pandangan Antoni Gidden (1993). Ada tiga gerakan interaksi sosial yang dominan yang perlu kita cermati agar mampu membawa perubahan itu, yaitu interaksi sosial, interaksi komunikasi dan sanksi dan moralitas. (noviandy.com)

Ketiga modal dasar interaksi yang canangkan oleh Bourdieu di atas, akan menentukan perubahan habitus sebagaimana yang didefiniskan oleh Bourdieu (1994). Gerakan perubahan dengan tiga modal interaksi ini akan sangat starategis bila digagas dari sendi pendidikan yang disampaikan Bourdieu. Jika habitus disepakati oleh komunitas tertentu dimulai dari pendidikan, maka akan semakin banyak masyarakat di dalamnya mengadopsi kesadasaran reflektif yang mengontrol mereka untuk keluar dari simpul sosial lama. Artinya wacana baru memiliki nilai ketika kita mampu menumbuhkan praktik-praktik sosial baru.

Namun disisi lain dimensi pendidikan menghadapi masalah yang terus mengalami pembaharuan. Menjaga dan menghidupkan habitus baru tentunya membutuhkan lingkungan budaya yang melindungi pembaruan pemikiran yang akan mengubah kebiasaan buruk sebuah komunitas. Tidak cukup hanya perubahan kerangka penafsiran atau cara berfikir.

Paparan di atas merupakan awal mula gerakan disiplin diterapkan. Kesemrautan dan centang-perenang yang menjadi habitus bangsa kita dikoreksi dengan budaya sosial baru. Gerakan ini telah mengalami berbagai bentuk praktik disesuaikan dengan tingkat dan kesadaran yang mulai terbangun dalam masyarakat.

Tidak hanya budaya antri yang ingin disosor perubahan sosialnya. Para dosen juga mengalami persoalan dengan kebiasaan mahasiswa menyontek—walaupun upaya pengawasan dilakukan dengan maksimal. Moralitas peserta didik ini harus di ubah dengan budaya sosial baru yang tepat—yaitu dengan melakukan ujian secara lisan. Interaksi kekuasaan ini membuat daya tawar mahasiswa menjadi rendah untuk melakukan pelanggaran dan menuntut mahasiswa untuk meningkatkan kemampuan intelektualnya. Ini merupakan salah satu interaksi kuasa yang tawarkan Giddens yang dapat kita terapkan dalam membentuk habitus yang didefinisikan Bourdieu. Hal ini akan membuka ruang perubahan ketika kekuasaan yang digunakan terarah untuk kebutuhan publik yang lebih baik.

Berbeda lagi dengan Interaksi Komunikasi yang digagas Giddens. Banyak prilaku yang terbangun ditengah kita yang lebih mementingkan nilai-nilai individu. Pelanggan hotel umpamanya—sangat sulit bagi pengelola hotel untuk menghimbau pelanggannya dalam mematikan listrik atau kran air ketika meninggalkan kamarnya. Nilai idividualis ini muncul selaku pelanggan yang telah membayar semua operasional hotel. Nilai individualis ini akan cendrung melupakan dampak penggunaan Sumber Daya Alam (SDA) yang berlebihan, yang efeknya di kemudian hari.

Pihak hotel pun menjawab persoalan lawas ini dengan fasilitas yang tersistem pada kunci kamar. Setiap pelanggan hotel masuk dan meninggalkan kamar, secara otomatis kunci berfungsi mematikan dan menyalakan fasilitas listrik dan lainnya di kamar hotel. Fasilitas ini memaksa pelanggan untuk mengamankan kamarnya, yang juga mengikuti kehendak pemilik hotel. Dengan cara interaksi komunikasi persuasif ini, perubahan mentalitas bisa dimulai dengan memberikan kemudahan pada pengguna. Hal ini juga akan lebih baik jika disertai dengan ucapan terima kasih ada telah menyumbang upaya penghematan listrik. Budaya ini akan menumbuhkan kesadaran pelanggan, orang tidak lagi melarang, namun persuasi dengan komunikasi.

Ketiga interaksi di atas akan berlangsung baik ketika simpul-simpul kekakuan terbuka. Ada simpul pengorganisasian yang harus dilenturkan dengan sistem yang terintegrasi, ada kompensasi pemberian kemudahan dan peraturan yang sudah mengandung pengawasan. Jadi perubahan yang efektif bukan lagi melalui himbauan, evaluasi atau refeleksi, tapi dimulai dengan menemukaan simpul pengikat praktik sosial tersebut.

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com


* Makalah singkat ini dipresentasikan pada Friday Forum Discussion, di Perpustakaan IAIN Langsa, 9 Maret 2018

*Pastinya ada banyak gambaran dan ingatan para pembaca sekalian ketika mendengarkan kata “Habitus”. Namun, ekspektasi para peserta Fryday Forum Discution (FFD) belum tentu dapat ditemukan semuanya dalam tulisan singkat ini. Walaupun begitu, penulis juga mencoba menuliskan sedikit banyak pengetahuan yang telah kami dapatkan yang juga berasal dari berbagai forum diskusi yang pernah penulis ikuti.

Hak cipta gambar sebelum olah digital oleh : wikipedia.org

– Noviandy Husni –

Noviandy Husni – Dosen IAIN Langsa. Manager Program Progressive Institute. Fasilitator Pengembangan Masyarakat, HAM dan Perlindungan Anak