Categories
Uncategorized

POLEMIK ISTILAH KAFIR

Menuju Pilpres April 2019 mendatang, berbagai hal hal kontroversial seolah-olah timbul tenggelam dan menjadi asupan publik setiap hari. Berbagai polemik terus bermunculan setiap saat,dan menjadi bahan perdebatan di kalangan akademisi, publik figur, maupun masyarakat awam sekalipun. Salah satunya mengenai penggunaan istilah “kafir” yang menjadi polemik dipusaran Pilpres kali ini.

Nahdhatul ulama(NU) sebagai salah satu organisasi Islam massa terbesar di dunia, tempo lalu membuat heboh jagat maya. Pasalnya, NU secara resmi menganjurkan anggotanya untuk tidak lagi menggunakan sebutan istilah kafir terhadap non-Islam, karena menganggap penggunaan istilah tersebut terlihat ofensif dan cenderung mengambil konotasi yang buruk (menghina). Dalam rapat pleno Munas NU yang dilaksanakan di Banjar beberapa minggu yang lalu, organisasi itu menjelaskan penyebutan istilah kafir tidak dikenal dalam sistem negara bangsa. Karena dalam negara kebangsaan setiap warga negara dianggap sama dimata hukum (konstitusi), oleh karena itu, NU menganjurkan para anggotanya untuk menyebut non-muslim sebagai muwathin atau warga negara.

Berbagai reaksi muncul ditengah masyarakat, sebagian sepakat atas keputusan hasil munas NU tersebut. Keputusan itu dinilai sejalan dengan asas bangsa Indonesia, yang menghargai keberagaman beragama. Apalagi, Indonesia negara yang berdasarkan pada falsafah Pancasila bukan formalisasi Islam. Keputusan NU tersebut juga menemukan momentumnya beberapa tahun belakangan ini, yaitu ketika ujaran kebencian berbau agama telah menjadi suatu momok yang memperihatinkankan dalam wacana politik di tanah air.

Pun demikian, tidak sedikit masyarakat muslim yang menolak keputusan NU tersebut. Pihak yang menolak membangun argumen bahwa apa yang dilakukan oleh “organisasi sarungan” itu telah menyalahi aturan kaidah dalam agama Islam karena berusaha mengamandemen al-Quran dan menghilangkan kata kafir. — satu istilah kafir yang tertera di dalam ayat al-Quran. Bahkan salah satu surat dalam al-Qur’an bernama surat al-Kafirun (orang-orang kafir). Di sisi lain, sebagian masyarakat juga menilai adanya kepentingan terkait kontestasi politik, lantaran NU dianggap pro petahana. Keputusan NU itu dianggap bertujuan untuk menggalang suara dari pemilih non-muslim, pada Pemilu 2019.Tudingan bahwa NU pro petahana bukan tanpa alasan, pasalnya, Joko Widodo pada ajang Pilpres 2019 ini menggaet Ma’ruf Amin yang menjabat sebagai rais aam PBNU, sebagai pendampingnya.

Ketua konferensi Abdul Moqsith Ghazali, mengatakan, penggunaan istilah kafir mengandung “kekerasan teologis” dan sering digunakan oleh oknum-oknum tertentu sebagai alat mendiskriminasi kaum minoritas (non-muslim). Dia juga menegaskan bahwa NU tidak bermaksud untuk mengubah makna dan istilah kafir dalam al-Qur’an.

Tidak dapat dipungkiri, dengan meningkatnya ekstremisme Islam – oleh golongan tertentu, penggunaan istilah kafir tidak lagi pada konteksnya. Malah menjadi semacam suatu batasan penutup dan alat untuk mengintimidasi dalam masyarakat Indonesia yang pluralis dan heterogen. Kata “kafir” dengan mudah mengalir dari mulut kemulut untuk ditujukan kepada mereka yang dianggap tidak sepemahaman dan yang berbeda pendapat.

Ditambah, ini adalah tahun-tahun dimana dunia politik yang paling kacau, pasca jatuhnya rezim Orde Baru. Terjadinya berbagai perubahahan tatanan arah perpolitikan di Indonesia, mulai dari munculnya berbagai partai-partai politik baru, yang mengusung berbagai ideologi. Selain itu berbagai kebijakan mulai disusun secara lebih sistematik sesuai alur demokrasi. Kebebasan berpendapat di ruang publik terbuka. Namun, tampaknya kebebasan tersebut, member ruang pula untuk tumbuh pesatnya perkembangan ormas ormas Islam ekstrim, seperti HTI maupun FPI,yang beberapa tahun terakhir ini mulai menunjukan sikap yang radikal terhadap sistem yang ada. Hal yang tidak akan kita temukan di zaman Orde Baru. Di mana ormas maupun parpol yang yang tidak sejalan dengan pemerintah cenderung dibungkam dan kehilangan eksistensinya sama sekali. Berkembangnya paham radikal golongan islam konservatif menjadi sesuatu yang amat mengkhawatirkan terhadap kedaulatan NKRI dikarenakan mereka berusaha meraungkan paham khilafah yang notabene bertentangan dengan konstitusi maupun sistem negara Indonesia.

Hal ini pula yang menjadi perhatian serius para kyai NU,yang dalam pandangan mereka Pancasila merupakan suatu landasan final dan tidak dapat diganggu gugat. NU yang merupakan ormas yang lahir tahun 1920 ini punya pandangan yang lebih moderat, terbuka dan pluralisBahkan sering dicap liberal oleh kelompok ormas ekstrim lainnya.

Hal yang harus direnungkan, dalam cara kita bernegara adalah bahwa perbedaan pendapat dalam suatu negara demokrasi merupakan hal yang lumrah dan lazim . Malahan hal itulah yang menjadi ciri khas dalam sistem demokrasi, sebagai perwujudan kebebasan beraspirasi baik secara individual, kelompok serta golongan dalam masyarakat yang plural. Sehingga tidak mengherankan munculnya pro-kontra bahkan konflik dalam masyarakat sekalipun, yaitu manakala suatu masalah dilihat dari persepsi dan sudut pandang yang berbeda,yang diiringi dengan sikap tidak toleran. Perihal benar atau salahnya adalah kembali kepada tingkat kemampuan individu meninjau permasalahan sesuai konteks dan konsep yang diterapkan.

Alhasil terlepas dari berbagai stigma yang bermunculan, patutlah kita sadari, bahwa intisari serta tujuan dalam merumuskan persoalan polemik istilah kafir tersebut, apalagi dalam subtansi keagamaan yang relatif sensitif, tentu perlu pengkajian yang lebih serius dan matang. Melalui pembacaan referensi keagamaan yang disandingkan dengan konsepsi Pancasila sebagai ideologi yang final di negeri ini.

-Sahirdin*-

Sahirdin – Mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Langsa dan Pegiat di Kelompok Diskusi Bawah Pohon

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Categories
Penulis Tamu

POLITIK UNTUK KEMANUSIAAN

Rabu, 17 April 2019 merupakan hari bersejarah bagi Rakyat dan Bangsa Indonesia. Setiap 5 tahun sekali, para pemimpin bangsa ini dipilih oleh seluruh rakyat Indonesia melalui Pemilihan Umum (Pemilu) yang Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia (Luber) serta Jujur dan Adil (Jurdil).

Setiap daerah maupun Kabupaten/Kota juga tak luput dalam mengambil bagian dari moment bersejarah ini. Para calon wakil rakyat atau Calon Legislatif (Caleg) seperti DPR, DPD dan DPRD juga menikmati peran dalam menyemarakkan pesta akbar demokrasi republik ini dalam menyongsong menuju Indonesia yang lebih baik.

Bagi para Caleg (Calon Legislatif) baik DPR, DPD atau DPRD yang telah menyiapkan dirinya menjadi anggota dewan/wakil rakyat, sebaiknya memulai kembali dalam membangun pondasi pemikiran dan implementasi politik yang segar lagi jernih.

Terutama, memupuk kembali benih-benih politik kemanusiaan yang pro-rakyat, tanpa berpolitik pragmatis (proyek abal-abal), tanpa kolusi-nepotisme, tanpa intimidasi, bersih, bersyariat serta memenangkan hati rakyat.

Sehingga pemilu Luber ini bisa dikatakan sukses apabila para calon pemimpin dan wakil rakyatnya sama-sama membangun serta menjaga kesepahaman dan pemahaman yang utuh dan menyeluruh; Caleg tidak berpolitik pragmatis dan rakyat tidak golput (golongan putih/netral).

DILEMA POLITIK INDONESIA

Dalam berbagai pandangan politik memiliki banyak makna dan kebanyakan dari makna itu berkaitan dengan kekuasaan, tahta dan jabatan. Tidak salah, namun dalam sudut pandang yang berbeda pula, sejatinya pemahaman politik itu adalah sebagai industri atau bursa pemikiran yang bertugas memberi arah yang “super positif” bagi kehidupan masyarakat banyak untuk kehidupan yang lebih baik dan bermartabat.

Politik sering dianggap sebagai medan aktualisasi sehingga ia kerap hadir tanpa nilai ataupun substansi yang sebenarnya. Kemudian muncul lah berbagai opini masyarakat (publik) yang berasumsi bahwa politik itu sangat kotor atau kejam. Namun, kita tidaklah serta merta menyalahkan opini tersebut karena masyarakat hanya mendefinisikan politik dari apa yang mereka tangkap serta berbagai informasi yang beredar ditengah mereka.

Berbagai indikator yang membuat masyarakat beropini politik itu licik/kotor sehingga mereka menjadi golongan apatisme terhadap pelaku di dunia politik praktis ialah sebuah keresahan dan kekecewan bukan hanya stigma negatif yang mereka dengar namun seringkali gambaran politik yang mereka lihat itu sangat bertolak belakang dengan hati nurani.

Keresahan dan kekecewaan mereka timbul karena banyaknya faktor internal maupun eksternal yang terjadi baik di masyarakat maupun sesama Parpol (partai Politik) seperti politik tidak pro-rakyat, intimidasi, saling menjatuhkan sesama Parpol/Caleg, kolusi-nepotisme, janji manis tapi palsu, dan lain-lain.

Sangat wajar jika muncul sebuah keresahan dan kekecewaan terkait stigma negatif tersebut meski stigma tersebut tak sepenuhnya benar, tapi juga tak sepenuhnya salah. Oleh sebab itu, sesama masyarakat perlu ditegaskan bahwa hingga sekarang ini masih ada politisi langka yang tulus dan ikhlas bekerja serta berkontibusi untuk rakyatnya. Tidak melulu bahwa politik itu kotor dan tidak bisa dibersihkan lagi.

Dalam pandangan Islam, berpolitik juga diperbolehkan. Namun politik justru bukanlah rimba belantara yang senantiasa memberi kebebesan bagi penguasa (diamanahi kuasa) untuk bertindak sewenang-wenang bahkan membabi-buta. Sehingga bagi si pemegang kuasa, jabatan maupun tahta senantiasa menjadikannya sebagai senjata/alat dimana yang kuat menghardik yang lemah serta bawahan selalu menjadi korban penindasan.

Menurut Ibnu Al-Qayyim, “Politik merupakan segala aktivitas yang mendekatkan manusia kepada kemaslahatan dan menjauhkan mereka dari kerusakan.” Meskipun tidak pernah ditegaskan oleh Rasulullah SAW dan tidak pernah disinggung oleh wahyu yang diturunkan, sebab semua jalan yang ditempuh untuk mengantarkan kepada keadilan, kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat, maka jalan itu adalah bagian dari agama ini (Islam). Termasuk jalan politik yang mencita-citakan keadilan, kesejahteraan dan kemaslahatan ummah.

Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tindakan politik mesti mendapat legitimasi dari hukum agama Islam.” Oleh sebab itu, inilah yang menyebabkan kekuatan spiritual, moral dan intelektual menjadi pilar utama bagi penyelenggara negara untuk menunjukkan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat sehingga memiliki parameter yang jelas dalam mendukung atau menjadi penguasa negeri ini.

Oleh karena itu, peran politik yang menjadi generator dalam menopang dan membangun agama sebagai kesatuan utuh dan menyeluruh dapat diimplementasikan dalam praktik politik edukatif dan kontruktif sebagai gagasan segar dalam membangun pemahaman politik yang substansinya untuk keluar dari bingkai mainstream politik yang kerap dipandang oleh sebahagian masyarakat dengan stigma-stigma yang negatif. Maka, dibutuhkanlah mereka para generasi muda yang dipupuk dengan ideologi yang berbasis dan mengakar dalam berspiritual, bermoral sekaligus berintelektual.

SUARA ADALAH AMANAH

Dimasa Khulafaurrasyidin, indikator pemimpin terbaik itu tidaklah dipilih dan diukur melalui banyaknya suara melainkan seorang pemimpin yang berkepribadian arif, bijaksana, bersahaja dan mampu membangun negeri demi kemaslahatan ummat.

Sangat berbeda di era demokrasi saat ini, kita harus mengikuti mekanisme yang ada dimana seseorang yang diklaim sebagai pemimpin bangsa apabila memegang hak/suara terbanyak.

Melalui suara dengan prinsip one man one vote sebagai legitimasi kekuasaan, setiap warga negara tanpa mengenal level dan kasta juga berwenang dalam “menghakimi” siapa saja yang berhak dipilih sebagai pemimpin.

Sebaliknya melalui suara, kita juga bukan hendak memuja mereka yang berada dalam kebenaran. Namun impian kita adalah bagaimana menggeser paradigma suara murni kuantitas menjadi suara yang berbasis kualitas. Sebab saat ini hakikat demokrasi kita sangatlah simplistis bahwa “suara” yang terbanyak dan terbesar yang dapat “bergemuruh” dalam setiap pengambilan kebijakan.

Namun, apabila konten ini dapat dimaksimalkan dengan bobot dan pengaruh kapasitas yang mampu menjadi solusi di tengah-tengah masyarakat, jadilah suara ini menjadi yang berkualitas.

Kita berharap seorang pemimpin harus menyadari bahwa ia berperan sebagai ‘wakil’ Allah untuk mewujudkan kehidupan semesta ini lebih beradab. Dasar pemahaman ini menjadi indikator perilaku politik yang diartikan melalui berbagai kebijakan pemahaman yang berdimensi moral dan integritas yang tinggi dalam menyelaraskan suara aspirasi masyarakat dan bangsanya.

Kesadaran yang tinggi inilah yang dapat membangun identitas demokratis dengan segala kemajemukannya demi menciptakan visi dan misi yang harmoni/sinergi tatanan sistem ideologi, politik, sosoial, pendidikan, hukum, sosial dan ekonomi masyarakat bangsa Indonesia yang lebih stabil, mapan dan mengakar.

KONTRIBUSI KEMANUSIAAN

Dewasa ini, tantangan terberat bagi setiap parpol sebagai pilar demokrasi bangsa ini adalah dengan menyiapkan kader-kadernya bukan hanya ketika hendak pemilu tapi jauh-jauh hari sebelum pemilu, baik dalam mempersiapkan aktor sebagai agent of change (agen perubahan) dalam setiap diri kader-kadernya maupun membentuk ideologi yang memiliki nilai-nilai kepribadian, baik intelektualitas, moralitas, maupun sosial bermasyarakat.

Tanpa menyiapkan aktor sebagai generator yang mampu bekerja, secanggih apapun ideologi yang dimilikinya akan lumpuh. Hanya saja, ia akan menjadi sebagai simbol hiasan dialektika yang dikenal masyarakat sebagai sosok pemimpin citra namun kurang memiliki idealisme dan integritas diri yang berbasis dan mengakar.

Hingga pemilu tahun ini terlepas dari beragam partai yang ada, masyarakat Indonesia sangat mendambakan baik tokoh legislatif maupun eksekutifnya mampu menjalankan mandat dan amanah masyarakat dengan baik, santun dan jujur.

Tidak hanya sekedar memenangkan perlombaan pemenangan kekuasan melalui suara pemilu saja, namun bisa berkontribusi nyata terhadap kesejahteraan, kemakmuran dan kemaslahatan ummat.

Dalam pencapaiannya dalam memenangkan simpati dari masyarakat hendaknya para pemimpin dan calegnya memiliki karakter dan kepribadian yang profesional, kreatif, populis dan mampu bersosial masyarakat untuk membawa bangsa ini menuju ke arah perubahan yang lebih baik.

Tulisan ini terilhami dari buku bacaan karya Tamsil Limrung yang berjudul Politik untuk Ummat. Sebagai catatan akhir dalam mengembalikan gagasan atau makna filosofis, moral, dan etika politik ke dalam praktek yang sebenarnya diperlukan ide orisinil politik yang memiliki nilai substansial, baik yang berbasis dan mengakar di tengah gurun sahara demokrasi Indonesia demi menyelamatkan kembali generasi muda dari siklus lubang hitam yang nihil ideologi yang berbasis adalah tanggung jawab kita bersama.

Sehingga dapat mempersiapkan dan melahirkan generasi pemimpin muda yang ideal dan politisi berkarakter kuat untuk menghancurkan penguasa zalim dan palsu, wakil rakyat yang tidak pro-rakyat, serta para koruptor yang menyedot hasil alam dan bumi Indonesia.

– Riri Isthafa Najmi * –

Riri Isthafa Najmi – Koordinator Forum Aceh Menulis

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Photo copyright of macrovector from freepix.com

Categories
Uncategorized

DEMOKRASI ELEKTORAL DAN HOAX

Pemilihan umum atau pemilu adalah kontestasi politik untuk memilih orang-orang untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu di ranah pemerintahan. Pesta demokrasi ini selalu dilakukan secara rutin oleh negara untuk keberlangsungan demokrasi. Tujuannya adalah untuk meraih kemenangan dan kekuasaan. Tentu saja akan ada dinamika yang terjadi, dan itu bisa sangat beragam. Terkadang ada tindakan kekerasan terhadap lawan politik baik verbal maupun non-verbal, termasuk penyebaran isu negatif untuk menjatuhkan lawan. Hoax atau fenomena penyebaran isu bohong adalah satunya. Apalagi ditengah hiruk-pikuk politik menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum Presiden dan Calon Legislatif tahun 2019 mendatang. Masyarakat umumnya cenderung mudah terpengaruh isu-isu sensitif yang dimainkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab dan mereka juga rentan dipengaruhi pola pikirnya ditengah kebiasaan malas membaca. Hal ini semakin membuat berita bohong atau hoax akan sangat mudah menyebar.

Hoax adalah tindakan, dokumen atau artefak yang tidak benar adanya atau yang “sengaja” dibuat dan disebar luaskan di kalangan masyarakat yang bertujuan untuk menjatuhkan lawan. Hoax sangat perlu diantisipasi dalam pemilu, karena mengakibatkan terjadinya kekacauan dan permusuhan serta saling mencurigai dalam masyarakat. Fenomena ini sudah mulai menjadi masalah sejak Pemilu 2014.

Munculnya hoax sendiri tidak terlepas dari perkembangan dunia informasi dan teknologi. Saat ini dimana penggunaan sosial media yang semakin meninggi dimana sebagaimana data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet (APJII) menyatakan bahwa data pengguna internet di Indonesia sudah mencapai 132,7 juta. Karakter daerah dengan pengguna smart phone yang tinggi menjadi penentu besar kecilnya dampak penyebaran hoax. Metode kampanye dengan menggunakan media sosial, pemberitaan, dan penyiaran bisa membuat hoax dalam sekejap mata dengan mudah tersebar. Bahkan sejak pileg/pilpres tahun 2014, pemilihan kepala daerah 2017 dan 2018, berita hoax memiliki dampak yang luas dalam konteks pemilu dan diprediksikan bahwa, pemilu 2019 penyebaran hoax akan tinggi frekuensinya di kalangan masyarakat. Indonesia sendiri adalah negara dengan pengguna media sosial tertinggi kelima di dunia. Diiringi dengan rendahnya semangat membaca dan tingginya penggunaan teknologi informasi, ketidak seimbangan informasi sampai munculnya hoax menjadi semakin sulit dikendalikan.

Hoax sendiri yang muncul dari sumber media sosial dan media informasi lainnya. Sebagaimana data dari 2017 Keminfo bahwa hoax menyebar dari berbagai media. Rinciannya adalah 92,4 persen media sosial, 62, 8 persen aplikasi chat, 8,7 persen situs web, 5 persen televisi, 3,1 persen media cetak, menyusul email dan radio dengan 1,2 persen. Oleh karena itu pihak penyelenggara Pemilu juga berupaya menangkal perkembangan hoax dengan berbagai metode. Salah satunya ada dalam pasal 310 dan 311 KUHP dan UU ITE sudah dijelaskan bahwa “barangsiapa yang menyebarkan atau memberikan informasi buruk di internet bisa diancam pidana”. Selain itu berbagai regulasi hukum juga terus dibenahi bagi para penyebar berita palsu dan pengelola akun hantu.

Disisi lain, hendaknya masyarakat diharapkan mengenal dan menghindari hoax dalam pemilu dengan berbagai cara. Pertama cek narasumber dan cek sumbernya dengan jelas. Jika tidak ada kejelasan narasumber dan sumber bisa dipastikan berita itu hoaxKedua, antisipasi judul berita provokatif. Hindari judul berita yang provikatif dengan cara membaca berita dari sumber-sumber yang lain. Judul berita yang provokatif sengaja dibuat untuk meningkatkan kunjungan pembaca padahal belum tentu konteks tersebut benar adanya. Ketiga, baca berita menyeluruh. Setiap berita yang didapat harus dibaca secara menyeluruh, biasanya orang hanya suka membaca headline nya saja, yang bisa jadi itu sengaja dimegah-megahkan untuk menarik perhatian pembaca. Keempat, jangan mudah percaya dengan foto atau video yang dibagikan di media sosial karena hasil editan dengan yang aslinya sangat sulit untuk dibedakan. Kelima, jangan latah dalam bagikan berita. Harus berpikir panjang dan cek kebenarannya sebelum berita dibagikan. Keenam, kritis dan cuek. Kritis dalam memilih informasi, mana yang benar dan mana yang salah serta cuek dalam menanggapi berita yang bersifat provokatif.

Pemerintah mempunyai peranan penting untuk mencegah hoax dalam pemilu dan mencegah hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Hal-hal yang dilakukan oleh pemeintah untuk menangkal hoax dalam pemilu, yaitu regulasi kampanye pemilu 2019 mewajibkan peserta pemilu mendaftarkan akun resmi media sosial yang dimilikinya sehingga apabila ketahuan melalukukan kampanye hitam bisa diberikan sanksi, membuat komitmen dengan peserta pemilu untuk tidak berkampanye hitam, penyelenggara pemilu memperkuat kemitraan dengan cyber-crime kepolisian, penyelenggara pemilu menguatkan hubungan dengan kominfo untuk memberikan sosialisasi kepada masyarakat, memberikan sanksi kepada media yang menyebarkan berita hoax dan isu SARA, dan bekerjasama dengan media sosial untuk menyebarkan konten positif dalam pemilu dan dipastikan peserta pemilu akan menggunakan saluran tersebut karena dianggap praktis dalam kampanye pemilihan.

-Elizawati dan Toni Ruswandi*-

Mahasiswa FISIP UIN Ar-Raniry

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Categories
Penulis Tamu

JOKOWI, “KARTU KUNING”, DAN GOLKAR

Kartu kuning yang diacungkan Ketua BEM UI, Zaadit Taqwa (2/2/18), sontak menghebohkan jagat maya dan jagat nyata. Tak terkecuali beberapa pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), ikut-ikutan mengacungkan kartu merah, memanasi kenakalan asumsi publik terhadap kinerja kepemimpinan Presiden Jokowi.

Tidak sedikit teman-teman yang bertanya, kok bisa Zaadit demikian? Pantaskah ia melakukan itu? Jawab saya sederhana saja. Pertama, sebagai mantan aktivis mahasiswa, saya menganggap yang ia lakukan itu wajar-wajar saja. Bahkan saya salut dengan keberaniannya. Hanya saja, saya khawatir jika tindakannya itu tidak murni lagi. Saya berkata demikian, sekali lagi, karena saya mantan aktivis mahasiswa. Saya tau betul hitam-putihnya dunia pergerakan. Apalagi di kalangan temen-temen aktivis yang berkampus di sekitar poros kekuasaan. Godaannya besar. Terlebih ketika godaan itu hadir di tengah kemelut konflik lambung dengan pikiran.

Kedua, kritik simbolik “kartu kuning” ini memang rasanya tajam, menohok. Terbukti menjadi pusat perhatian. Sepertinya Zaadit sedang mengilhami mazhab interaksi simbolik yang didedengkoti Wiliam James, James M. Baldwin, John Dewey, George H. Mead, yang kemudian dilanjutkan oleh Charles Horton Cooley, Wiliam I. Thomas, dan Kuhn maupun Herbert Blumer, sebagai pola dalam mengkonstruk nalar sosial1). Namun sayang, isu yang dikemukakan kurang argumentatif. Sehingga tidak mematikan. Apalagi isu yang diangkat mendompleng isu yang “digoreng” pihak oposisi. Maka dugaan-dugaan adanya “penyetiran” kelompok oposisi tak terelakkan.

Dari tiga isu yang dikemukakan Zaadit, hanya satu yang terlihat murni, yakni isu draft rancangan Permendikti tentang Organisasi Kemahasiswaan yang dianggap sebagai bentuk pengekangan. Sementara dua isu lainnya sudah berkerak “digoreng” kelompok oposisi. Masalah plt Gubernur dari pihak kepolisian di Sumut dan Jawa Barat, misalnya, sudah menjadi perdebatan politik yang hangat di media, antara kelompok penguasa dengan oposisi. Begitu pula dengan isu gizi buruk yang menimpa suku Asmat, juga telah hangus “digoreng” pihak oposisi untuk menjatuhkan popularitas Jokowi di kantong suaranya itu.

Meski begitu, saya salut pada Jokowi. Ia tetap menanggapinya dengan santai. Bahkan ia mengajak mahasiswa UI turun ke Papua. Artinya, Jokowi ingin berdiskusi secara empiris dengan mahasiswa. Melihat langsung fakta yang ada. Sembari mencari jalan keluarnya.

Apapun ceritanya “kartu kuning” sudah terlanjur keluar. Beragam asumsi publik bersileweran. Ada yang menganggap itu tindakan yang tidak etis. Tak sedikit pula yang menganggapnya sebagai alarm kinerja, warning menuju kartu merah, dan signal Jokowi untuk tidak terpilih lagi. Namun ada juga yang menganggapnya sebagai wujud rasa sayang mahasiswa terhadap Jokowi.

“KODE ALAM” DUA PERIODE

Kali ini saya juga ingin berinterpretasi. Malah interpretasi saya sedikit ngawur. Bagi saya, kartu kuning yang diberikan Zaadit adalah “kode alam” untuk Dua Periode. Jika ditarik pada identitas politik, maka warna kuning identik dengan Golkar. Boleh jadi, justru ini adalah pertanda duduknya kembali Jokowi dua periode, dengan biduk partai Golkar. Mungkinkah? Tentusaja sangat mungkin. Apalagi jauh-jauh hari Golkar telah memberikan dukungan pada Jokowi untuk menjadi Capres pada Pilpres tahun 2019 nanti. Persoalannya, mungkinkah Jokowi menang? Disinilah kita perlu hitung-hitungan logika politik.

Jokowi pasti kalah, kata beberapa Nitizen. Itu sah-sah saja. Cuma apa alasannya? Saya kurang percaya jika alasannya karena kinerja pembangunan yang kurang bagus. Meskipun banyak pihak yang mencerca kinerja Presiden Jokowi, bagi saya, itu hanya alasan buatan. Ibarat makan indomie dengan bumbu buatan, rasanya sedap tapi tidak alami (tidak nyata). Taubahnya berita-berita hoax yang menyudutkan Jokowi di laman linimasa, yang namanya hoax tetaplah hoax.

Sebetulnya alasan yang paling jamak bagi mereka yang tidak mendukung Jokowi hanya satu: ia dianggap sebagai “musuh” umat Islam karena menjadi kader PDIP. Lagi-lagi masih pusaran isu SARA. Untuk menguatkan itu beragam isu disebar. Salahsatunya, rezim ini disebut anti ulama. Pembunuhan Ustadz Purwanto dianggap sebagai buktinya. Padahal mereka tidak tau jika politik itu kejam. Politik yang paling kejam itu bukan membunuh lawan, tapi “kawan” membunuh kawan untuk membunuh lawan. Jadi dalam politik apasaja mungkin terjadi. Termasuk skenario cipta kondisi untuk membenarkan isu yang ditebar. Mereka hendak menjadikan Jokowi korban kedua setelah Ahok, yang jatuh bukan karena lemahnya kinerja, tapi karena kurang bersahabat dengan surat al-Maidah ayat 51.

Lantas di tengah situasi seperti itu bagaimana mungkin Jokowi bisa dua periode? Bisa! Caranya? Gampang, politik dua kaki. Itulah yang sedang dimainkan Jokowi. Ia berusaha menjadi milik semua golongan, milik semua partai. Dan Golkar adalah “kaki” Jokowi untuk memainkan politik dua kaki tersebut. Lihat saja rentetan ceritanya. Anies yang telah berhasil menjadi Gubernur DKI Jakarta misalnya. Ternyata belakangan diketahui, Jusuf Kalla (JK)-lah sosok pertama yang menawarkan Anies ke Prabowo. Sekedar untuk mengingatkan, JK adalah Golkar, dan Golkar warnanya kuning.

Pada Pemilukada serentak tahun ini, Golkar juga memainkan peran. Pilgub Jawa Barat yang semula diprediksi “panas” berubah menjadi landai. Golkar ikut andil memecah konsentrasi massa, menghilangkan aura Pilpres dari Jabar. Seperti kata Asep Warlan Yusuf, pakar politik dan pemerintahan dari Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung, bahwa koalisi parpol pengusung yang sudah terbangun diprediksi membuat konstelasi politik di ajang Pilgub Jabar 2018 lebih “dingin” 2). Politik sebaran ala partai pendukung pemerintah ini berhasil memecah konsentrasi massa, sekaligus mampu membuat Jokowi menjadi milik banyak Calon.

Di Pilgub Sumut juga demikian. Awalnya Pilgubsu diprediksi bakal menjadi “DKI Jilid II”, yang marak politik identitas berbaju SARA. Ternyata tidak. Golkar, Nasdem, dan Hanura meninggalkan PDIP, dan merapat ke kubu Gerindra, PKS, dan PAN untuk mendukung Edy Rahmayadi-Musa Rajekh Shaah. Maka dengan peta seperti ini, “gorengan” isu SARA akan sepi. Dan siapapun yang memenangkan pilgubsu adalah kemenangan Jokowi. Sama dengan Jawa Timur yang juga disinyalir sebagai kontestasi Jokowi versus Jokowi. Siapupun yang menang Jokowi juga menang. Disinilah taktik politik dua kaki itu dimainkan. Target jitunya, bisa-bisa Jokowi melawan kotak kosong pada Pilpres 2019 nanti.

Di samping itu, “kartu kuning” BEM UI saya interpretasikan pula sebagai Sri Mulyani, ekonom dari kampus berjas kuning (baca UI) itu. Kenapa? Karena Sri Mulyani adalah Menteri Keuangan Jokowi. Dialah penata keuangan Republik ini. Sehingga pulpen Sri Mulyani sangat sakti dalam meningkatkan popularitas Jokowi di bidang kesejahteraan. Caranya adalah dengan meningkatkan kesejahteraan ASN, Guru dan Dosen, TNI dan Polri, termasuk mereka yang bergelut di bidang kerja-kerja pemberdayaan. Sudah saatnya Jokowi mengalihkan prioritas kebijakan pembangunan dari infrastuktur ke kesejahteraan publik. Dengan begitu, langkah Jokowi semakin mantap untuk kembali memimpin negeri ini dua periode.

Hasil survey SMRC per-desember 2017 lalu, yang memastikan posisi Jokowi di angka 53,8 persen3), semakin memantapkan langkahnya memenangkan Pilpres 2019 mendatang. Dan warna “kuning” akan turut mewarnai proses perjuangan menuju RI1 untuk yang kedua kalinya. Beruntung, berkat “kode alam” kartu kuning Zaadit Taqwa, kita jadi terpikir ke arah sana.

– Mustamar Iqbal Siregar*

*Dosen FTIK IAIN Langsa sekaligus peserta beasiswa Mora Scholarship Program Doktoral pada Pascasarjana UIN Imam Bonjol Padang.

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Gambar fitur diambil dari shutterstock dan suratkabar.id

Categories
Penulis Tamu

Mencari Format Ideal Sistem Kepartaian dan Sistem Pemilu Ddalam Kerangka Demokrasi Presidensial

Menyongsong Pemilu 2019, kembali muncul wacana kembali untuk mencari format ideal sistem kepartaian dan Pemilu di Indonesia. Hal ini bisa tergambar dari alotnya proses penyusunan RUU Pemilu yang saat ini sedang dibahas di DPR.

Isu mendasar yang tidak pernah usang adalah mencari hubungan format sistem pemilu dan kepartaian yang memiliki representasi politik yang baik, demokratis, akuntabel, dan melahirkan sosok wakil rakyat yang kompeten dan berkualitas. Format desain kepartaian dan pemilu saat ini, dinilai belumlah ideal dan sesuai dengan ciri dan corak kebangsaan Indonesia. Memang dari segi penyederhanaan partai -terlihat sejak pemilu pasca reformasi hingga pemilu 2014-terjadi tren penyederhanaan partai. Namun arah penyederhanaan partai pun belum dapat dikatakan benar benar sederhana. Karena setiap terjadi pemilu, selalu ada partai baru yang terbentuk. Sebagian dari partai tersebut adalah merupakan pecahan/friksi dari kelompok dalam sebuah partai yang tidak terakomodir kepentingan politik di partai sebelumnya.

Selain itu timbul persoalan lain setelah pelaksanaan pemilihan presiden secara langsung sebagai amanat amandemen ketiga UUD 1945, dimana proses pelaksanaan desain sistem pemilu, kepartaian dan pemilu presiden secara langsung, justru tidak saling berhubungan.

Hubungan secara parsial yang terjadi, khususnya dalam hal tata cara pencalonan presiden, dimana partai-partai yang memperoleh suara tertentu atau gabungan partai-partai yang dapat mencalonkan calon presiden dan wakil presiden yang berhak mengajukan calon. Tidak ada jaminan bahwa presiden terpilih preferensi suaranya sama dengan perolehan suara partai di legislatif. Pengalaman Pilpres 2004 justru menunjukkan calon presiden/wakil presiden yang diusung oleh partai kecil justru menjadi pemenangnya.

Bayang-bayang presidensial yang rapuh, terjadi selama rentang periode 2004-2009, dimana presiden terpilih memiliki dukungan politik yang rendah, sehingga demokrasi presidensial tidak berjalan secara efektif.  Tidak ada jaminan koalisi pemerintahan memperoleh dukungan politik di parlemen.  Ada problematika koalisi-koalisi pemerintahan yang dibentuk pada masa Presiden Wahid, Presiden Megawati, maupun Presiden Yudhoyono, yang polanya bukan hanya bersifat longgar namun juga cenderung semu. Koalisi belum dibangun dengan platform politik bersama atau kesepakatan minimum diantara pihak-pihak yang berkoalisi, dan penegasan disiplin partai untuk mendukung presidensialisme. Dampaknya, apa yang dialami oleh Presiden Wahid, Presiden Megawati, maupun Presiden Yudhoyono hingga Presiden Jokowi, pemerintahannya bukan hanya digugat oleh partai di luar pemerintahan (partai pengimbang, partai oposisi), namun juga kurang didukung oleh partai-partai koalisi pendukung pemerintah yang memiliki kursi di dalam kabinet.

PROBLEM KLASIK INDONESIA: SISTEM PRESIDENSIAL YANG TIDAK KOMPATIBEL DENGAN MULTIPARTAI

Terdapat Tiga alasan kombinasi sistem presidensial dengan sistem multipartai bermasalah (Scott Mainwaring, 1993: 198) . Pertama, sistem presidensial berbasis multipartai cenderung menghasilkan kelumpuhan (immobilitas) akibat kebuntuan (deadlock) eksekutif-legislatif, kebuntuan itu akan berujung pada instabilitas demokrasi. Kedua, sistem multipartai menghasilkan polarisasi ideologis ketimbang sistem dwipartai sehingga seringkali menimbulkan problem komplikasi ketika dipadukan dengan sistem presidensial. Ketiga, kombinasi sistem presidensial dengan sistem multipartai berkomplikasi pada kesulitan membangun koalisi antarpartai dalam demokrasi presidensial sehingga berimplikasi pada rusaknya stabilitas demokrasi.

Makin rendah fragmentasi dan polarisasi ideologi antar partai maka semakin memperkuat proses pembentukan pemerintah yang efektif dalam pengambilan keputusan keputusan politik, karena akan melahirkan koalisi yang menguasai kursi mayoritas di parlemen. Sebaliknya kian tinggi fragmentasi dan polarisasi ideologi antar parpol, maka berkonsekuensi kian mempersulit melahirkan konsensus dan koalisi kian tak terjaga dengan disiplin. Akhirnya melahirkan ketidakefektifan dalam melakukan keputusan keputusan politik baik di dalam pemerintahan maupun di parlemen.

Pangkal problematik demokrasi presidensial di Indonesia adalah tidak didukung dengan sistem kepartaian yang kompatibel. Sistem multi partai ekstrim dinilai tidak cocok di terapkan di negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial. Hal ini karena stabilitas yang dikehendaki dalam sistem presidensial hanya dapat terwujud jika tidak terlalu banyak partai yang merebutkan kekuasaan. Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah reformasi terkait penyederhanaan sistem kepartaian, serta melakukan perubahan terhadap sistem pemilu legislatif dan presiden.

TAWARAN SOLUSI

Sistem kepartaian di Indonesia yang ideal dalam hubungan dengan sistem ketatanegaraan adalah sistem kepartaian pluralisme moderat yang jumlahnya 5-7 parpol. Perlu dilakukan penyederhanaan jumlah parpol dengan mengikuti pembelahan ideologi partai partai dalam tradisi politik di Indonesia. Tipologi ideologi kepartaian Indonesia terbagi dalam tiga ideologi besar, yaitu nasionalis, moderat, dan agama. Ketiga ideologi besar tersebut kemudian terdapat varian yang berada di tengah antara ketiga ideologi yaitu nasionalis moderat dan agama moderat.

Langkah penyederhanaan Parpol idealnya dilakukan melalui mekanisme alamiah.  Diantaranya dengan penataan ulang Daerah Pemilihan (Dapil).  Idealnya Dapil pemilu mendatang diciutkan menjadi 3-6 kursi. Model tersebut akan menjadi ambang batas tersembunyi (hidden treshold) dalam pembatasan parpol di DPR. Dengan Dapil yang lebih kecil, diyakini anggota DPR akan lebih dekat dan bertanggung jawab kepada konstituen yang diwakili.

Meskipun jumlah dapil dikurangi (diciutkan), suara seluruh pemilih tetap terakomodasi prinsip keterwakilan (representation) tetap terjaga dengan menerapkan sistem pemilihan umum campuran (Mixed Member Proportional/MMP). Sistem MPP ini adalah upaya mengambil sisi positif dari dua sistem, yaitu sistem FPTP dan PR. Model MMP ini akan dapat mewadahi pelembagaan sistem kepartaian karena memberi ruang kepada pengurus parpol untuk berperan menentukan nomor urut melalui proporsional dari sisi yang lain yang memberi kesempatan pada calon calon untuk merebut hati pemilih melalui distrik. Pemilih juga diberi ruang untuk berdasarkan seleranya.

Kemudian perlu dilakukan dilakukan rekayasa sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden agar dapat terbentuk koalisi yang bersifat permanen dalam kerangka pemerintahan presidensial di Indonesia.

Menurut penulis sedikitnya Ada 4 (empat) varian pemilihan presiden yang bisa diterapkan untuk konteks indonesia, yaitu Pemilu Presiden Tunggal, Pemilu Presiden  dan Wakil Presiden dua putaran (second round election), Pemilu Presiden  dan Wakil Presiden terpisah  (vote splitting) dan Wakil Presiden diajukan oleh presiden terpilih untuk dipilih oleh DPR.

1. Pemilu Presiden Tunggal

Pada Pemilihan Umum Presiden tunggal, Presiden dan Wakil Presiden  tidak lagi satu paket. Yang dipilih hanyalah Calon Presiden. Presiden adalah pemenang pemilu Presiden yang meraih suara terbanyak pertama dengan ketentuan 50 % + 1. Sedangkan posisi wakil Presiden di isi oleh kandidat dengan suara terbanyak kedua (runner up).

Sistem pemilihan model ini pernah diterapkan di Amerika Serikat pasca berakhirnya suksesi kepemimpinan George Washington pada Pemilu Presiden 1796. Ketika itu kaum federalis mendukung wakil presiden masa George Washington, John Adam untuk menjadi Presiden. Sementara kaum Demokrat Republikan mendukung Thomas Jefferson. Dalam pemilihan yang dilaksanakan oleh Electoral College John Adam memperoleh 71 suara, sementara Jefferson 69 suara. Konstitusi Amerika ketika itu menyebutkan bahwa calon yang memperoleh suara tertingggi akan menjadi presiden, sementara suara runner up akan menjadi wakil presiden. Atas dasar itu secara otomatis John Adam terpilih sebagai presiden dan Thomas Jefferson sebagai wakil presiden.

2. Pemilu Presiden  dan Wakil Presiden dua putaran (second round election)

Variasi kedua adalah, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dua putaran.  Putaran pertama adalah pemilu presiden. Presiden adalah pemenang pemilu Presiden yang meraih suara terbanyak dengan ketentuan 50 % + 1. Sedangkan kandidat yang yang tidak berhasil meraih suara 50 % + 1, dapat mengikuti putaran kedua, yaitu Pemilu Wakil Presiden yang dilaksanakan dalam rangka  memilih wakil presiden yang akan mendampingi Presiden. Penentuan pemenang pada putaran dua didasarkan pada prinsip First Past to Post atau suara terbanyak.

3. Pemilu Presiden  dan Wakil Presiden terpisah  (vote splitting)

Varian ketiga, Sistem Pemilu Presiden dan Wakil Presiden terpisah. Jabatan presiden dan wakil presiden dipilih secara terpisah, sehingga dua calon pemenang bisa berasal dari partai politik yang berbeda, sebagaimana yang diterapkan di Filiphina dan sebagian negara di  benua Africa yaitu Kenya, Zambia, Malawi, and Zimbabwe. Kelebihan pemilihan model ini adalah kemungkinan koalisi yang bersifat strategis jangka panjang antara partai politik pendukung calon presiden dan parpol pendukung calon wakil presiden. Namun kelemahan adalah, apabila antara presiden dan wakil presiden terpilih ternyata tidak sepemahaman dalam platform kebijakan dan ideologi politik.

4. Wakil Presiden diajukan oleh presiden terpilih untuk dipilih oleh DPR

Varian Keempat, Presiden dipilih melalui Pemilu. Wakil Presiden diajukan oleh Presiden terpilih kepada DPR. Selanjutnya DPR akan memilih wakil presiden. Yang berhak memilih wakil presiden di parlemen adalah partai yang tergabung dalam koalisi opisisi, bukan partai yang tergabung dalam koalisi pemenang pemilu presiden. Dengan format seperti ini maka koalisi kedepan akan sangat kuat, permanen serta menciptakan stabilitas pemerintahan yang baik. Kelemahannya adalah, bisa saja terjadi deadlock ketika penentuan wakil presiden ekses konsesi politik yang tidak tercapat antara presiden terpilih dan parlemen yang menentukan wakil presiden.

Perlu dilakukan rekayasa sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden agar dapat terbentuk koalisi yang bersifat permanen dalam kerangka pemerintahan presidensial di Indonesia.  Dengan merubah mekanisme pemilihan presidensial diharapkan dapat tercapat koalisi dengan bentuk sebagaimana dijabarkan Lipjhart (1995), yaitu minimal range: koalisi berdasarkan kedekatan pada kecenderungan ideologis dan  minimal connected winning: koalisi yang terjadi antara partai-partai yang memiliki persambungan orientasi kebijakan. Walhasil, Format pemilu presiden dan wakil presiden tidak dalam satu paket pasangan calon adalah format yang terbaik dan bisa membangun koalisi yang bersifat permanen dan strategis dalam sistem pemerintahan presidensial Indonesia

–  Teuku Harist Muzani* –

Teuku Harist Muzani – Pegiat Pemilu dan Demokrasi.
Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Ilmu Politik
Universitas Padjadjaran Konsentrasi Tata Kelola Pemilu

Teuku Harist Muzani – Pegiat Pemilu dan Demokrasi. Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Konsentrasi Tata Kelola Pemilu

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Hak cipta gambar oleh padebooks

Categories
Tulisan Mahasiswa

Perkawinan Musik-Politik

Musik masih menjadi seni yang paling populer hingga hari ini, keberadaannya dianggap mampu menyampaikan segala sesuatu secara universal. Enak dinikmati dan mudah diterima adalah kelebihan tersendiri yang dimiliki oleh seni musik. Sebagai sebuah seni yang mudah diterima serta paling populer, maka muatan yang terkandung dan tersampaikan dalam sebuah musik pun beragam, salah satunya adalah politik.