Categories
Diskusi

Aceh Pasca 2005: Ruang Politik untuk Syariat Islam*

Mesjid di pusat kota Beureuneun, Pidie, belum selesai dibangun. Compton yang datang dari Banda Aceh, melihat bangunan itu dari jauh, dan membayangkan perasaan yang sedang dialami oleh Daud Beureuh. Tujuannya datang ke kota itu untuk menemui Daud Beureuh, ulama sekaligus pemimpin politik Aceh. Beureuh sedang gusar dan frustasi. Negeri yang dia bela mati-matian di zaman revolusi fisik, ternyata tidak seiring sejalan dengannya kemudian hari. Compton hendak melihat kegusaran itu dari dekat. Kegusaran, yang dibaca dari Jakarta akan menimbulkan gesekan yang tidak kecil.

Dari dekat, Compton menyaksikan, Daud Beureueh yang ditemuinya lebih mirip pensiunan tentara ketimbang ahli agama. Badannya kurus dan kokoh. Compton memperhatikan betul gesture pemimpin yang paling dihormati sejak tahun 1930-an itu. Memperhatikan apa yang akan dilakukannya ketika Aceh yang berjasa, tidak mendapatkan balasan setimpal. Balasan yang diyakini oleh pemimpin Aceh kala itu, dapat mengembalikan daerah ini jaya seperti dalam masa lalunya

“Kami ingin Aceh ini seperti zaman Iskandar Muda,” kata Daud Beureuh dengan masygul. Ucapan disampaikannya dengan mendalam, sampai-sampai membuat pengikutnya yang hadir pada pertemuan itu menjadi menjadi kikuk.

Fragmen menarik ini dapat dibaca di buku Boyd R. Compton, Kemelut Demokrasi Liberal: Surat-surat Rahasia Boyd R. Compton (1992). Buku yang diterbitkan oleh LP3ES ini adalah kesaksiannya, atas peristiwa politik di zaman ketika nasion sedang dibangun. Buku ini memuat banyak cerita, tentang hiruk pikuk politik. Tentang Aceh dan Daud Beureuh. Mengenai Sukarno. Islam yang terus mencari jalan. Dan, Indonesia yang terus mencari keseimbangan. Buku yang sebenarnya berasal dari surat-suratnya itu, kemudian menjadi warisan Compton.

Compton berada di Indonesia untuk menyelesaikan studinya, namun gagal. Sehingga dia tidak dikenal sebagai ahli politik. Namun surat suratnya itu menjadi penting karena menjelaskan hal yang luput dari peneliti lain tentang Indonesia.

“Kendatipun Compton gagal menulis disertasinya — analisa-analisa politik Indonesia tahun lima puluhan –dalam bentuk surat-surat panjangnya –toh sangat berharga untuk disimak,” tulis Fachry Ali dalam pengantarnya.

Dari Compton kita melihat Beureuh sebagai perwujudan imaji terdalam dalam masyarakat Aceh: bahwa kembali ke masa lalunya yang agong adalah pra-syarat untuk kemajuan di masa mendatang. Iskandar Muda tentunya dimaknai sebagai raja besar yang memiliki kekuatan dan menjalankan syariat Islam. Apalagi dengan cerita, bahwa dia telah menghukum putera mahkotanya, karena melanggar syariah. Sebuah tindakan heroik yang dikenang melalui hadih maja “mate aneuk meupat jeurat, gadoh adat pat ta mita.” Adat di sini ditafsirkan sebagai penegakan syariah Islam.


Aceh oleh generasi Beureuh dibangun dengan imaji dan ingatan kolektif mengenai Islam, ketika generasi Beureuh berada di zaman yang saling silang. Hal yang diakibat bertemunya Aceh dengan kemajuan yang dibawa oleh bangsa Barat atas praktik kolonialisme. Perjumpaan itu yang dinamakan dengan modernisme. Sebuah ide yang menolak dan mengambil dari Barat sekaligus. Dari jalan Barat, generasi Beureuh memahami tentang Aceh yang baru. Lalu membangun apa yang diyakini dari masa lalunya; Islam. Tanpa Islam, maka bukan Aceh. Konstruksi itu dilakukan dengan baik oleh generasi Beureuh, dan diceritakan melalui kisah epos perang suci Aceh melawan Belanda, yang diwakili sosok Tgk. Chik di Tiro.

T.A. Talsya, wartawan cum sasterawan menyebut sosok ini yang memiliki perasaan meluap-luap untuk memimpin perjuangan melawan kaphe Belanda. “Dengan penuh kesadaran dan semangat anti Belanda (kafir) yang melupa-luap, beliau bersedia untuk memimpin perjuangan suci ini,” tulisnya.

Sosok ini pula yang menjadi inspirasi generasi Beureuh ketika mengobarkan semangat jihad, melalui maklumat ulama, 15-10-1945, untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan Indonesia,

“…bahwa perjuangan ini adalah sebagai sambungan perjuangan dahulu di Aceh yang dipimpin oleh Almarhum Tgk. Chik di Tiro dan pahlawan-pahlawan kebangsaan yang lain.” (Hasjmy, 1984)

Bahkan atas nama Tgk. Chik di Tiro pula, PUSA menyusun sebuah memorandum politiknya, di tahun 1950, mengenai keabsahan ulama untuk memegang posisi kepemimpinan di Aceh yang kosong, akibat perang yang berkecamuk.

“…Karena itu, pendirian PUSA adalah jawaban terhadap kekosongan kepemimpinan. Maka PUSA mengambil alih kepemimpinan Aceh. Berdasarkan kenyataan bahwa ulama Tiro yang akhirnya memegang hak kepala negara Aceh, kebangkitan PUSA sebagai organisasi ulama telah sekaligus menjadi pewaris langsung dari kekuasaan sultan.” (Ali dkk, 2008)

Namun ironi, dengan nama Tgk. Chik di Tiro pula, Sukarno meyakinkan Daud Beureueh untuk mempertahankan proklamasi 1945. Bahwa peperangan yang berkobar-kobar dalam revolusi nasional, merupakan maksud perang yang digelorakan oleh Tgk. Chik di Tiro.

”Kakak! Memang yang saya maksudkan adalah perang yang seperti telah dikobarkan oleh pahlawan-pahlawan Aceh yang terkenal seperti Tgk. Chik di Tiro dan lain-lain…” Pungkas Sukarno dalam dialognya dengan Daud Beureuh di tahun 1947 (El Ibrahimy, 1984).

Disebut ironi karena fragmen itulah yang menjadi titik anjak kemarahan berdekade antara Aceh dengan Jakarta. Maksud Aceh membantu mempertahankan proklamasi kemerdekaan Indonesia, guna mengembalikan Islam di Aceh seperti zaman Iskandar Muda. Dan apa yang telah ditunjukkan oleh Tgk. Chik di Tiro dalam peperangan suci. Namun yang terjadi, Aceh dilebur ke dalam provinsi Sumatera Utara. Hal yang kemudian memulai narasi perlawanan Aceh terhadap Jakarta.

Perlawanan pertama melalui Darul Islam, dipimpin oleh Daud Beureuh. Meletus tahun 1953 dan berhenti di tahun 1962, melalui upaya damai dan bermartabat, baik melalui Ikrar Lamteh dan Kongres Kerukunan Rakyat Aceh. Darul Islam adalah gerakan politik menuntut apa yang belum diberikan, hak untuk melaksanakan Syariat Islam. Hak tersebut diberikan melalui skema Daerah Istimewa Aceh.

Perlawanan kedua, melalui Gerakan Aceh Merdeka, 1976-2005, dipimpin oleh murid Daud Beureuh, Hasan Tiro. Berbeda dengan Darul Islam, perlawanan kali ini adanya perpindahan gagasan, dari islamisme ke (etno)nasionalisme. Gagasan yang dibangun dengan letupan bedil itu, akhirnya juga berhenti di meja perundingan. Berdamai di Helsinki. Lalu, kembali, otonomi khusus diberikan untuk Aceh. Perbedaannya, kali ini lebih besar wewenangnya yang diberikan, dibandingkan setelah penyelesaian peristiwa Darul Islam. Ada kebebasan untuk menampilkan eskpresi politik dan budaya lokal, penguasaan sumber daya alam, pembagian alokasi dana yang lebih besar dan wewenang luas untuk melaksanakan syariat Islam.

Pendeknya, perdamaian dari Helsinki telah membuka ruang politik yang lebar untuk segala ekspresi yang ada. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa ide Syariat Islam malah semakin mendapatkan ruang politiknya, paska 2005, di saat ruang itu dibuka oleh gerakan yang tidak mengusung gagasan islamisme.


Tulisan ini[ref]Bagian ini telah dipublikasi di http://www.bung-alkaf.com/2017/12/08/gam-setelah-41-tahun-demokrasi-dan-ruang-politik-untuk-syariah/[/ref] hendak menjawab pertanyaan di atas melalui penelusuran secara genealogis.

Sejak memasuki abad kontemporer, Aceh telah membuka ruang untuk melakukan perbincangan antara gagasan Islam dengan nasionalisme. Cita-cita mengenai kejayaan Islam Aceh di masa lampau, kemudian dicoba terapkan dalam eksperimen politik modern. Melalui pertemuan dengan gagasan baru yang bernama Indonesia. Untuk itu, Aceh menjadikan Islam persyaratan utama ketika mendukung proklamasi Indonesia. Sehingga ketika Darul Islam Aceh itu terjadi, hal tersebut haruslah dilihat sebagai ungkapan politik untuk memasukkan Islam dalam kehidupan bernegara.

Perjumpaan Islam dan nasionalisme menjadi lebih tajam, ketika Hasan Tiro melakukan revisi terhadap gagasan kebangsaan Indonesia. Dia memasuki, bahkan berpindah dari gagasan islamisme kepada apa yaang disebut sebagai etnonasionalisme (Damanik, 2010). Untuk memperkuat gagasannya itu, Tiro menjadikan analisa sejarah dan hukum sebagai dasar pijakannya (Ali dkk, 2008).

Dua seting politik di atas penting sebagai cara membaca Aceh lebih utuh. Apalagi wajah Aceh tidak lagi sama setelah 41 tahun GAM dan 12 tahun kesepakatan damai di Helsinki. Perdamaian politik Helsinki itu telah menghentikan cita-cita kemerdekaan GAM dan berganti dengan jalan demokrasi.

Namun, ternyata, demokrasi memunculkan masalah berikutnya.

Ketika demokrasi hanya meniscayakan satu hal, yaitu, diskursif, ternyata tidak dapat diikuti sepenuhnya oleh para mantan kombatan. Karena demokrasi menyediakan ruang deliberatif, meminjam frasa dari Habermas, yang memungkinkan setiap ide, gagasan melalui proses yang diskursif dan melewati uji publik (Hardiman 2009).

Demokrasi yang meniscayakan diskursif dan uji publik demikian, tidak dikenal dalam tradisi pergerakan politik Aceh Merdeka. Demokrasi jelas menghendaki ruang percakapan publik yang luas, tentu tidak efektif dalam masa perang. Sebab perang, harus dibangun dengan agitasi dan propaganda. Sehingga yang terjadi adalah mantan kombatan, yang sudah berpolitik itu, malah gagal memanfaatkan ruang politik yang terbuka lebar sejak tahun 2005.

Dalam keadaan demikianlah, kita kemudian dapat mulai memahami, mengapa gagasan etnonasionalisme, sebagai ide utama organisasi GAM, itu kalah dengan gagasan islamisme, yang merupakan ide utama di Aceh sejak zaman revolusi nasional. Padahal, kedua topik pernah itu menjadi perdebatan sengit di masa-masa awal reformasi, tentang apakah Aceh lebih menghendaki formalisasi hukum syariah atau keadilan (baca: merdeka).

Formalisasi hukum syariah sendiri merupakan gagasan yang lama mengendap setelah berakhirnya peristiwa Darul Islam Aceh, yang terus dicoba dalam berbagai kebijakan pelaksanaan hukum syariah. Misalnya, apa yang dilakukan oleh Gubernur Hasby Wahidy, yang pernah menjadi aktivis pemuda PUSA , dengan membentuk Biro Unsur-Unsur Syariat Islam di tahun, yang berujung pada pergantiannya oleh Pemerintah Pusat oleh Muzakkir Walad di tahun 1968 (Nashir, 2013). Namun, cara rezim Orde Baru menangani Aceh demikian, dalam pandangan Sjamsuddin (1989) telah membuat Beureuh kecewa. Lalu, karena sentimen itulah terjadi perjumpaan antara veteran Darul Islam dengan Hasan Tiro, yang lebih menjadikan isu pengelolaan kekayaan alam, sebagai bentuk ketidakadilan Pemerintah Pusat kepada Aceh, sebagai alasan untuk melakukan perlawanan kembali.

Namun, ketika Tiro mulai bergerak kepada gagasan etnonasionalisme, ide islamisme masih kuat mengendap di kepala elite politik dan intelektual Aceh. Kelompok bahkan bergerak dari tengah untuk mendorong agenda politiknya itu.

Oleh elite politik, hal itu ditunjukkan dengan mendukung penuh kepada PPP untuk mengalahkan dominasi Golkar. Dukungan kepada PPP dijadikan sebagai tempat pertujukan komitmen Aceh terhadap Islam (Ali, 1996). Sedangkan oleh golongan intelektual, yaitu para sarjana dari IAIN Ar Raniry, Darussalam, lebih mengisi ruang-ruang birokrasi, seperti menjadi pengajar di perguruan tinggi, bekerja di Kementerian Agama dan menjadi pengurus di Majelis Ulama Indonesia. Selanjutnya gagasan-gagasan tentang Islam juga mendapatkan ruang diskursusnyanya di media Sinar Darussalam, sebuah majalah ilmiah yang terbit secara rutin sejak tahun 1969 sampai akhir tahun 1990-an.

Proses yang sistematis dari golongan elite politik dan intelektual tersebut, kemudian ikut menjelaskan mengapa setelah Aceh mendapatkan otonomi khusus di tahun 2001, untuk menjalankan Syariat Islam, maka produk hukum di bidang aqidah, ibadah, syiar Islam dan jinayah mampu dilahirkan dengan cepat.

Lalu, ketika ide islamisme bergerak dari tengah, di saat yang bersamaan, gagasan etnonasionalisme berada di pinggiran. Di saat pendukung gagasan islamisme menulis buku yang sistematis, mengadakan pengajaran dan seminar secara regular. Pendukung gagasan etnonasionalisme hanya mampu berpidato di tempat terpencil, mendengar ceramah dari kaset secara diam-diam, mencetak pamflet dan mengedarkan stensilan ceramah secara terbatas. Baru setelah rezim Orde Baru tumbang, ada peluang politik untuk membangun framing tentang etnonasioanalisme secara luas.

Ada euforia di sana-sini. Salah satunya dengan aksi-aksi kolosal, seperti referendum, mogok massal dan perayaan hari milad GAM secara terbuka. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama. Operasi militer dari pemerintah pusat berhasil membuat gagasan etnonasionalisme kembali ke pinggir. Bahkan setelah MoU Helsinki pun tidak mampu membawa gagasan itu kembali ke tengah, hatta mantan kombatan menduduki posisi politik yang strategis di Aceh.

Bahkan kini, produk hukum syariah lebih banyak lahir dan mendapat sambutan masyarakat, seperti Jinayah dan Hukum Acara Jinayah, Bank Syariah, Dinas Dayah dan keterlibatan ulama dalam memberi pertimbangan pada setiap kebijakan. Berbanding terbalik dengan produk hukum bercorak etnonasionalisme yang tidak mendapat dukungan penuh bahkan memunculkan riak-riak perlawanan, seperti kelembagaan Wali Nanggroe, bendera, lambang dan himne Aceh.

Perubahan sosial politik ini tentulah tidak ajeg. Namun bila ditelusuri secara genealogis, dapat dikatakan, bahwa gagasan islamisme dalam bentuk formalisasi hukum Islam di Aceh, telah memenangkan pertarungan narasi. Dan akan semakin kuat posisinya dalam membentuk identitas politik dan budaya di Aceh di kemudian hari.

* Makalah ini disampaikan pada diskusi Friday Forum IAIN Langsa, 2 Maret 2018

 

Gambar sebelum olah digital diambil dari : republika.co.id.

Categories
Penulis Tamu

Pancasila, Merajut Nusantara!

Jika kita berjalan dari barat hingga ke timur Indonesia, maka akan menemukan banyak sekali suku, bahasa, adat-istiadat, tradisi, dan kebudayaan. Kesemuanya itu hidup-subur secara terus-menerus dari generasi ke generasi. “Kekayaan” tersebut dapat menjadi aset berharga, namun jika diekploitasi bisa saja menjadi jurang pemisah yang menganga pula. Apa yang terjadi dalam satu dekade terakhir, akibat keterbukaan arus informasi-teknologi, siapa saja bisa menggunakan sosial-media tanpa saringan. Akibatnya gesekan-gesekan kecil mudah terjadi, saling hujat, sebar berita hoax, seolah-olah semua menyentuh esensi, padahal tidak sama sekali.

Sebenarnya, sesuatu yang dipolemikkan oleh beberapa kalangan itu sudah selesai dibahas saat negara ini hendak merdeka. Sejak pembentukan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan dibentuk pada 29 April 1945, pembahasan tentang falsafah yang mendasari negara itu secara maraton di perbincangkan. Dimana, badan ini memang diberikan mandat untuk menyusun rancangan Undang-Undang Dasar yang akan dipakai sebagai konstitusi tertulis jika kelak Indonesia merdeka.

Categories
Penulis Tamu

Pancasila dan Gebuk

Saya awali tulisan ini dengan mengutip sebuah kata yang diucapkan oleh Kakek Pramudya dalam  Novel Pikiran Indonesia,  “Sejarah itu penting,  Nak.”

“Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar – benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”  – Al-‘Ashr: 1-3

Novel Psiko-Historis Indonesia karya Hafis Azhari itu mengajak kita untuk membuka kembali lembaran-lembaran sejarah yang telah banyak dilupakan oleh diri kita sendiri. Bukan bermaksud untuk membuka luka lama atau aib, tetapi untuk sebuah penegakan keadilan dan kebenaran dibutuhkan bahasa ungkapan yang dapat membangkitkan dan menyadarkan suatu bangsa untuk beritikad keras agar tidak mengulangi dosa-dosa sejarah yang telah diperbuat oleh tangannya sendiri,  yang dampaknya justru ditanggung oleh generasi anak dan cucu dalam jangka panjang.

Pertengahan Mei 2017, Presiden Jokowi mengeluarkan pernyataan “jika ada yang melawan konstitusi akan “digebuk”. Apa itu “gebuk”? Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah memukul; menghantam. Pengamat komunikasi politik Tjipta Lesmana dalam bukunya “Dari Soekarno sampai SBY” mengatakan kata “gebuk” bermakna menghancurkan sampai rata tanpa belas kasihan.

Bagi sebagian orang pasti trauma mendengar kata-kata itu, terlebih lagi mereka yang pernah merasakan “digebuk”. Kenapa takut atau trauma? Kata-kata ancaman itu biasanya keluar bersamaan dengan ekspresi mata melotot dan tangan menggepal. Kata berbau ancaman ini potensial berujung pada berbagai bentuk tindakan, baik berupa kekerasan fisik maupun tindakan lainnya. Fakta sejarah masa lalu menyebutkan banyak sekali orang telah menjadi korban “gebuk”.

Kata “gebuk” identik dengan Soeharto. Karena salah satu dari sejumlah kata agresif paling menonjol yang pernah diucapkan  Soeharto adalah “gebuk”. Pada masa Presiden Soeharto berkuasa, diberlakukan “reifikasi” ke segenap unsur kehidupan bangsa. Dengan reifikasi kekuatan Orde Baru dibangun dengan mengandalkan kemampuan berbahasa yang ditafsirkan oleh penguasa,  hingga muncullah istilah-istilah baru yang direkayasa oleh mereka: Gestapu, GPK,  OTB, Ekstrim Tengah, Terorisme, Komunisme.

Sekalipun kata “gebuk” identik dengan Soeharto-tetapi realitasnya dalam dunia politik kekuasaan di Indonesia, tindakan “gebuk” lawan atau bahkan kawan sendiri sangat lazim terjadi, baik sejak zaman Orde Lama hingga reformasi.

Dalam catatan sejarah Orde Lama, banyak yang kena “gebuk”.  Sebutlah beberapa orang, seperti Tan Malaka, Buya Hamka, Tengku Daud Beureuh, dan berbagai peristiwa lainnya. Dari 1959 hingga 1965, Presiden Soekarno juga berkuasa secara otoriter di bawah label “Demokrasi Terpimpin”.

Tindakan “gebuk” semakin keras bentuknya, pada menjelang pergantian rezim Orde Lama ke Orde Baru. Terjadi berbagai macam konspirasi dan “gebuk menggebuk”. Peristiwa Dewan Jenderal-peristiwa terbunuhnya enam dari tujuh jenderal angkatan darat yang dituduh akan melakukan “kudeta”. Tidak lama kemudian, terjadi pembantaian terorganisir terhadap PKI dan simpatisannya serta masyarakat yang tidak tau apa-apa (tindakan “gebuk” terhadap PKI terus berlanjut hingga saat ini).

Akibat “gebuk” kekuasaan Presiden Soekarno akhirnya ambruk “digebuk” Soeharto. Presiden Soekarno sempat berusaha mempertahankan kekuasaannya-tetapi tidak dapat mengelak ketika beberapa Jenderal mengintimidasi Soekarno untuk menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966-yang memberi wewenang kepada Mayor Jenderal Soeharto guna mengambil langkah yang dirasa perlu memulihkan keamanan dan ketertiban.

Dua hari setelah penandatanganan Supersemar, Presiden Soekarno dibawa dari Istana Bogor ke Wisma Yaso (sekarang Museum Satria Mandala). Di sana, Presiden Soekarno dilarang membaca koran atau sekadar mendengar siaran radio.

Soeharto akhirnya berhasil mendapatkan kekuasaan Presiden secara de-facto dari Soekarno. Kemudian mengambil langkah kritis yang mengukuhkan peran politisnya ketika parlemen menunjuknya sebagai Pejabat Presiden. Pada Maret 1968, Soeharto secara resmi ditunjuk sebagai Presiden selama lima tahun oleh MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat).

Soeharto naik tahta dengan cara “menggebuk” dan tentu mempertahankan tahtanya dengan cara “menggebuk.” Dapat kita lihat sepanjang sejarah Orde Baru, Presiden Soeharto “menggebuk” siapapun yang bertentangan dengannya. Berbagai peristiwa “gebuk” terjadi pada ORBA. Rakyat Aceh dan Papua habis “digebuk” dengan penerapan DOM (Daerah Operasi Militer).

Dalam rentang waktu itu, Pancasila juga disalahgunakan demi kepentingan jangka pendek penguasa. Rezim Orde Baru menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal dalam bernegara. Dengan mudah menghapus kelompok masyarakat yang dianggap bertentangan dengan Pancasila.

Munir mengingatkan dalam buku “Membangun Bangsa Menolak Militerisme” paham monolitik dalam  militerisme di masa Orde Baru muncul dalam bentuk dominasi idiologi negara, atau yang dikenal Pancasila sebagai asas tunggal.  Suasana ini telah menjebak semua kekuatan ke dalam kecurigaan ideologis,  dan menyerahkannya kembali kepada negara (state) sebagai pemilik ideologi tunggal. Negara sebagai representasi dari ideologi,  dan sekaligus pemilik tafsir tunggal atas ideologi itu.  Rakyat sebagai bagian dari kesatuan bangsa,  haruslah menjadi bagian dari pendukung kekuasaan yang terbalut ideologi tunggal. Semua kekuatan yang muncul di luar restu negara,  dinilai sebagai upaya menentang ideologi tunggal. Maka dikenalkanlah istilah ekstrim kiri, ekstrim kanan,  ultra nasionalis,  ekstrim kanan kiri oke (karaoke), untuk menjelaskan protes penguasa atas lahirnya upaya perlawanan rakyat.

Pada akhirnya sekuat apapun Soeharto bertahan-bernasib serupa dengan pendahulunya,  Soerkarno. Apakah dalam hal ini “karma” berbicara. Saya mengutip kembali status facebook Afi Nihaya Faradisa yang menjadi viral di dunia maya. “Hidup adalah serangkaian “karma” yang berputar. Jangan harap bisa lolos dari kejaran karma, atau apapun yang biasa kau sebut: hukum tabur-tuai, sebab-akibat, ganjaran kebaikan-dosa, dan sebagainya”.

Mei 1998, Presiden Soeharto ambruk dari kekuasannya setelah “digebuk” oleh orang-orang terdekatnya,  massa rakyat dan mahasiswa. Bulan reformasi menerangi malam pergantian rezim. Banyak pihak mulai menata masa depan Indonesia yang lebih demokratis dan menghormati hak asasi manusia. Sejak awal reformasi, banyak pihak kemudian membangun kembali diskursus dan memaknai Pancasila sebagai falsafah negara dan nilai-nilainya harus diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tetapi sayangnya, oligarki tetap langgeng. Reformasi yang dicita-citakan tetap berada dibawah cengkraman oligarki. Tidak ada penanda garis demarkasi yang tegas antara rezim masa lalu dengan era reformasi. Agenda-agenda Keadilan Transisi  jauh dari harapan. Yang terjadi justru selama 19 tahun  reformasi juga “gebuk” masih menjadi prilaku elit politik, militer,  polisi dan masyarakat kita. Sebutlah Munir, Salim Kancil dan banyak lagi yang menjadi korban “gebuk” di era reformasi, termasuk Aceh dengan penerapan Darurat Militer (DM 2003), dan bahkan Papua hingga saat ini terus dilanda suasana mengerikan.

Sepuluh hari setelah 19 tahun usia reformasi, tepatnya pada 1 Juni 2017, Presiden Jokowi menetapkan 1 Juni  sebagai hari libur pertama untuk memperingatan Lahir Pancasila. Saya kutip dari koran Kompas “Rakyat Rayakan Pancasila”. Peringatan hari lahir Pancasila berlangsung meriah di sejumlah daerah di Indonesia. Hal ini menjadi awal yang baik untuk meneguhkan kembali kesadaran tentang Pancasila dan kebersamaan sebagai satu bangsa.

Presiden juga telah mengeluarkan Peraturan Presiden (PP) RI No. 54/2017 tentang Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila. Dalam bagian menimbang (a) dalam rangka aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara perlu dilakukan pembinaan ideologi Pancasila terhadap seluruh penyelenggara negara.

Tidak bisa dipungkiri, pengalaman masa lalu membuat banyak orang belum bisa percaya dan masih trauma dengan segala hal dan janji politik penguasa. Apalagi 20 hari lalu,  Presiden Jokowi masih memproduksi kata “gebuk”.

Muncul pertanyaan, apakah tanggal 1 Juni 2017 menjadi titik sejarah baru menuju masa depan yang lebih baik dan beda dengan masa rezim otoriter, atau putar balik ke masa lampau?

Tentu harapan kita agar sejarah tidak berulang- tidak ada lagi “gebuk menggebuk” dan orang-orang yang pernah kena “gebuk” bisa memperoleh haknya sebagaimana semangat Negara Pancasila.

#G_IQRA
#MFK-6Juni17

– Malik Feri Kusuma* –

Malik Feri Kusuma – Koordinator Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Jakarta

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Hak cipta gambar sebelum olah digital oleh : pixabay.com dan welogo

Referensi:

  1. Kompas.com, 2017, “Jokowi: Kalau PKI Nongol, Gebuk Saja”. http://nasional.kompas.com/read/2017/05/17/16433321/jokowi.kalau.pki.nongol.gebuk.saja.
  2. Okezone.com, 2015, “Perlakuan Kelewatan Soeharto pada Soekarno”. http://news.okezone.com/read/2015/03/11/337/1116780/perlakuan-kelewatan-soeharto-pada-soekarno
  3. Kompas.com, 2017, “Ini Status-status Afi yang Viral di Dunia Maya,”. http://regional.kompas.com/read/2017/05/30/06062481/ini.status-status.afi.yang.viral.di.dunia.maya?page=4
  4. tirto.id, 2017. “Politik Gebuk Menggebuk ala Soeharto dan Jokowi”. https://tirto.id/politik-gebuk-menggebuk-ala-soeharto-dan-jokowi-coXP
  5. Koran KOMPAS, 2017, “Rakyat Rayakan Pancasila”.
  6. Ken Conboy, 2007, Judul asli; Intel: Inside Indonesia’s Intelligence Service. Judul Indonesia; Intel; Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia. Pustaka Primatama.
  7. Jejak Pemikiran Munir (1965-2004), 2006. “Membangun Bangsa dan Menolak Militerisme”. KASUM.
  8. Hafis Azhari, 2014. “Pikiran Orang Indonesia”. Fikra Publising.
Categories
Penulis Tamu

Dari Soekarno Kepada Umat Islam

“…Kita berkata, 90% daripada kita beragama Islam, tetapi lihatlah dalam sidang ini, berapa persen yang memberikan suaranya kepada Islam? Maaf seribu maaf, saya tanya hal itu! Bagi saya hal itu adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan rakyat…” – Soekarno, dalam sidang BPUPK, 1 Juni 1945

Categories
Penulis Tamu

Islam, Bung Karno dan Pancasila

Judul tersebut saya kutip dari buku  Dr. Ahmad Basarah,”Bung Karno, Islam dan Pancasila”. Baskara, begitu saya dengar para ketua DPP, termasuk Ketua Umum, Hajjah Megawati Soekarno Putri memanggil dirinya, menulis buku tersebut  setebal 151 halaman yang diperas dari desertasi doktoralnya.

Baskara merupakan fungsionaris DPP yang mendalami dan mempelajari sejarah Pancasila ini dari semua sisi, termasuk “menelusurinya” melalui jalur akademis yang memenuhi kaedah ilmiah. Promosi Doktoralnya disampaikan dihadapan para professor, dua diantaranya adalah pimpinan dan mantan pimpinan Mahkamah Konstitusi. Dirinya juga begitu cakap dalam menjelaskan tentang Pancasila secara oral. Tidak berlebihan jika menyebutnya “Profesor” Pancasila atau “Jurubicara” Pancasila.

Tulisan ini barangkali tidak dengan detail membahas tentang Islam, Bung Karno dan juga Pancasila. Tapi bagaimana ketiganya memiliki korelasi dan mempengaruhi pada nilai-nilai, dan itu pula yang hendak disampaikan dalam tulisan singkat ini, tentu salah satu inspirasi dan sumbernya adalah Dr. Ahmad Basarah, tadi.

Islam merupakan agama yang sudah masuk ke nusantara sejak abad ke tujuh. Dalam perkembangannya, Islam diterima dengan baik di nusantara, terutama di Jawa sebagai pusat pergerakan kemerdekaan. Serupa dengan Islam, agama-agama lain juga mendapat tempat untuk berkembang. Dan secara umum kesadaran masyarakat nusantara adalah berketuhanan, mengakui adanya agama dan Tuhan.

Dengan demikian, para tokoh pergerakan kemerdekaan saat itu bergerak dengan membawa serta nilai-nilai yang dianut didalam kepercayaan masing-masing. Begitu juga dengan Ir. Soekarno, selanjutnya saya sebut Bung Karno. Sebagai salah satu tokoh kunci yang sudah mulai berfikir dan berbicara kemerdekaan di awal tahun 1900-an, Bung Karno juga dibekali dengan nilai-nilai spritualitas.

Pada usia remaja (sekitar 15 tahun), ayahnya menitipkan Bung Karno pada tokoh besar Islam pada saat itu, Haji Omar Said Tjokroaminoto. Soal ini, Bung Karno kepada Cindy Adam menyebutkan bahwa,”Pak Cokro adalah idolaku, aku muridnya. Secara sadar atau tidak dia telah menggembleng ku,” ucap Bung Karno. Pada tahun-tahun tersebut Bung Karno mengakui bahwa kontruksi pemikirannya dipengaruhi oleh islam.

Termasuk, salah satu faktor pendorong Bung Karno dalam bergerak melawan kolonialisme dan imperialisme adalah nilai-nilai Islam yang dipelajari dan dihayatinya ketika itu. Bung Karno mengartikulasikan pemahaman keislaman kedalam wujud anti pejajah. Ketertarikan Bung Karno kepada Islam juga mendorong dirinya untuk mengikuti tabligh-tabligh Kyai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Soal kedekatan dengan Muhammadiyah ini, Bung Karno juga pernah menyampaikan dalam pidatonya pada saat penutupan Mukhtamar tahun 1962, jika suatu saat dia meninggal untuk ditutupi dengan panji kebesaran Muhammadiyah.

Selanjutnya, Bung Karno juga dekat dengan pendiri Nahdlatul Ulama, KH, Hasyim ‘Asyari. Dalam Mukhtamar NU tahun 1954 di Surabaya, Bung Karno dianugerahi gelar Waliyul Amri Ad Dharuri Bi Assyaukah (pemimpin pemerintahan di masa darurat yang mengikat oleh sebab kekuasaannya atau pemegang pemerintahan de facto dengan kekuasaan penuh).

Dari 26 penghargaan akademis, dua diantaranya menegaskan tentang dimensi keislaman Bung Karno. Gelar Doktor Honoris Causa yang ke 24 pada tanggal 2 Desember 1964 dari IAIN (UIN) Jakarta dalam Fakultas Ushuluddin jurusan Dakwah dengan pidatonya yang berjudul “Tjilaka Negara Jang Tidak ber-Tuhan”. Gelar Doktor Honoris Causa yang ke 26 dari Universitas Muhammadyah Jakarta pada 3 Agustus dalam Filsafat Ilmu Tauhid dengan Pidatonya yang berjudul “Tauhid adalah Djiwaku”.

Bung Karno juga memiliki sumbangsih terhadap Islam di dunia internasional. Misalnya, Bung Karno ikut berperan dalam penemuan kembali makam imam Bukhari di Samarkand, Uzbekistan, di tahun 1961. Bung Karno juga yang mengusul padang Arafah ditanami pohon yang dinamakan “Syajarah Soekarno” atau “Pohon Soekarno”. Bung Karno juga berperan terhadap hidupnya kembali Mesjid Jamul Muslim (Mesjid Biru) di sebuah negara komunis yaitu Saint Petersburg, Uni Soviet.

PERUMUSAN PANCASILA

Dalam proses perumusan falsafah bangsa, Bung Karno juga memiliki peran besar. Dimulai dengan terbentuknya BPUPK pada 29 April 1945 yang diketuai oleh KRT. Radjiman Wediodiningrat. Pada masa sidang pertama, lembaga ini fokus pada merumuskan Fhilosofisce Grondslag, dasar falsafah yang harus dipersiapkan dalam rangka negara Indonesia merdeka.

Pidato pertama ketua BPUPK mempertanyakan apa yang menjadi dasar negara yang akan dibentuk ini. Dari sekian orang yang berpidato, belum ada yang bisa menjawab pertanyaan ketua tadi, karena ini dianggap penting bagi sebuah negara yang baru merdeka. Disaat Bung Karno menyampaikan pidato baru mengarah kepada dasar negara, yaitu Pancasila.

Pada akhir masa persidangan yang pertama, ketua BPUPK membentuk panitia kecil yang terdiri dari delapan orang yang bertugas mengumpulkan masukan dari anggota untuk disampaikan pada masa persidangan kedua, Bung Karno ditunjuk sebagai ketua. Komposisi tim ini terdiri dari Bung Karno, M. Hatta, M. yamin, A. Maramis, M. Sutardjo Kartohadikoesoemo, Otto Iskandardinata, Ki Bagoes Hadikoesoemo, KH. Wachid Hayim.

Setelah mengadakan rapat untuk merumuskan beberapa hal teknis yang akan disampaikan pada masa persidangan kedua, Bung Karno berinisiatif untuk membentuk panitian Sembilan untuk menyelidiki usul-usul menganai perumusan dasar negara yang melahirkan konsep rancangan Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Perubahan komposisi panitia delapan menjadi panitia Sembilan karena keinginan Bung Karno untuk memberikan penghormatan kepada golongan islam dan menjaga keseimbangan golongan Islam dengan golongan kebangsaan.

Tim Sembilan ini diketuai oleh Bung Karno. Dalam kelanjutannya, memang ditemukan perbedaan pandangan, namun disepakati pada 22 Juni 1945. Ada beberapa penamaan terhadap hasil kesepakatan ini, Bung Karno menyebutnya “Mukhaddimah”, M. Yamin menyebutnya “Piagam Jakarta”, Sukiman menyebutnya “Gentlemen’s Agreement”.

Hasil kerja tim Sembilan ini disampaikan dalam masa sidang kedua. Laporan tersebut ternyata mendapat penentangan dari anggota BPUPK yang lain, salah satunya adalah Latuharhary. Dia menyebutkan kata Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya dapat menimbulkan diskriminasi bagi pemeluk agama lain. Persidangan hampir menemui jalan buntu. Bung Karno mencoba menjelaskan betapa apiknya perumusan di panitia Sembilan, dan meminta kepada yang tidak setuju untuk meninggalkan pendapatnya demi persatuan Indonesia. Hasilnya piagam Jakarta tersebut bertahan hingga akhir masa persidangan.

Selanjutnya, pada tanggal 18 Agustus 1945 kesepakatan yang terdapat dalam Piagam Jakarta tersebut diubah pada bagian akhirnya oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Tentang penghapusan tujuh kata tersebut, beberapa tokoh bangsa saat itu memiliki peran, diantaranya adalah Mohammad hatta. Hatta mencoba meyakinkan tokoh-tokoh Islam untuk mengganti kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” dengan kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Melunaknya tokoh-tokoh Islam pada saat itu harus dipahami sebagai bentuk keluasan pikir, karena pada saat yang sama tokoh-tokoh diluar Islam yang mendiami wilayah timur Indonesia menganggap diskriminasi, dan berkeinginan untuk berada diluar Indonesia.

Ternyata, untuk Indonesia tetap utuh, para pendahulu kita menemukan consensus nasional. Hidup bergandengan dalam bingkai Negara Kesatuan. Bhinneka Tunggal Ika. Jika tokoh besar seperti mereka bisa merajut perbedaan, kenapa sampai pada generasi kita harus mencabik nya?!

– Alja Yusnadi* –

Alja Yusnadi – Penulis adalah Anggota DPRK Aceh Selatan dari PDI Perjuangan

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Hak cipta gambar sebelum olah digital oleh : wikimedia.org.

Categories
Kolom Pendiri

Menemukan Kembali Inspirasi Islam Indonesia

Beberapa negara muslim di awal abad kedua puluh mencoba untuk mendialogkan antara keislaman dan kemoderenan. Ada yang berhasil, ada pula yang gagal. Sebagai contoh yang gagal itu adalah negara Pakistan. Negara yang dapat dikatakan sebagai negara muslim pertama yang menterjemahkan diri sebagai ‘Republik Islam’, tidak mampu bergerak lebih jauh untuk mewujudkan diri sebaga negara muslim modern. Bahkan orang seperti Fazlur Rahman yang diharapkan menjadi konseptor negara Pakistan modern, harus terusir dari negara itu, akibat semakin mengkutubnya faksi konservatif di sana. Setelah Pakistan, hampir tidak ada negara muslim lainnya, sampai kemudian lahirnya revolusi Islam di Iran.

Categories
Kolom Pendiri

Kepada Sukarno-Hatta

Perhatikan kalimat terakhir dari bunyi teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
“… Atas nama bangsa Indonesia, Sukarno-Hatta.”
Terkesan ada harmoni di sana. Namun, sungguh, di sanalah sebenarnya cerita tentang hiruk-pikuk, banting-tulang, jatuh-bangun tentang bangunan keindonesiaan ini bermula.

Melalui dua nama itu pulalah apa dan bagaimana Indonesia merdeka disusun dan dibangun. Tidak ada harmoni pada keduanya, sebagaimana yang tertera di teks proklamasi di atas, terutama pada ide dan gagasan. Sebab dari keduanya, terpancang perdebatan ide yang mengagumkan. Ada banyak perbedaan diantara keduanya. Namun tidak kurang juga, terdapat banyak titik temu.

Categories
Kolom Pendiri

Fidel Castro: Pemberani Yang Membuktikan Kata-Katanya

“But man is not made for defeat,” he said. “A man can be destroyed but not defeated.”
― Ernest Hemingway, The Old Man and the Sea

Fidel Castro, seorang pejuang revolusioner, penganut Marxist-leninist dari Kuba telah tiada. Ia meninggal di umur yang cukup tua sebagai manusia, 90 tahun. Setelah bertahun-tahun sebelumnya berjuang dengan penyakit yang dideritanya yang juga memaksa dia untuk undur diri dari tampuk kekuasaan 10 tahun yang lalu.

Kematiannya tentu saja menimbulkan kesedihan bagi banyak orang di seluruh dunia. Hampir seluruh pemimpin-pemimpin besar dunia mengucapkan bela sungkawa. Media-media besar pun ikut memberitakan kematiannya dan membicarakan tentang kisah perjalanan hidupnya. Meski demikian, tak sedikit pula yang berbahagia atas kepergiannya dan mengutuk sikap otoritariannya selama berkuasa di Kuba.

Categories
Kolom Pendiri

Menjaga Pancasila, Menjaga Indonesia

”Pantjasila adalah satu alat mempersatu, jang saja jakin sejakin-jakinnja Bangsa Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke hanjalah dapat bersatu padu diatas dasar Pantjasila itu.”
(Bung Karno dalam Pantjasila Dasar Filsasat Negara)