Categories
Uncategorized

POLEMIK ISTILAH KAFIR

Menuju Pilpres April 2019 mendatang, berbagai hal hal kontroversial seolah-olah timbul tenggelam dan menjadi asupan publik setiap hari. Berbagai polemik terus bermunculan setiap saat,dan menjadi bahan perdebatan di kalangan akademisi, publik figur, maupun masyarakat awam sekalipun. Salah satunya mengenai penggunaan istilah “kafir” yang menjadi polemik dipusaran Pilpres kali ini.

Nahdhatul ulama(NU) sebagai salah satu organisasi Islam massa terbesar di dunia, tempo lalu membuat heboh jagat maya. Pasalnya, NU secara resmi menganjurkan anggotanya untuk tidak lagi menggunakan sebutan istilah kafir terhadap non-Islam, karena menganggap penggunaan istilah tersebut terlihat ofensif dan cenderung mengambil konotasi yang buruk (menghina). Dalam rapat pleno Munas NU yang dilaksanakan di Banjar beberapa minggu yang lalu, organisasi itu menjelaskan penyebutan istilah kafir tidak dikenal dalam sistem negara bangsa. Karena dalam negara kebangsaan setiap warga negara dianggap sama dimata hukum (konstitusi), oleh karena itu, NU menganjurkan para anggotanya untuk menyebut non-muslim sebagai muwathin atau warga negara.

Berbagai reaksi muncul ditengah masyarakat, sebagian sepakat atas keputusan hasil munas NU tersebut. Keputusan itu dinilai sejalan dengan asas bangsa Indonesia, yang menghargai keberagaman beragama. Apalagi, Indonesia negara yang berdasarkan pada falsafah Pancasila bukan formalisasi Islam. Keputusan NU tersebut juga menemukan momentumnya beberapa tahun belakangan ini, yaitu ketika ujaran kebencian berbau agama telah menjadi suatu momok yang memperihatinkankan dalam wacana politik di tanah air.

Pun demikian, tidak sedikit masyarakat muslim yang menolak keputusan NU tersebut. Pihak yang menolak membangun argumen bahwa apa yang dilakukan oleh “organisasi sarungan” itu telah menyalahi aturan kaidah dalam agama Islam karena berusaha mengamandemen al-Quran dan menghilangkan kata kafir. — satu istilah kafir yang tertera di dalam ayat al-Quran. Bahkan salah satu surat dalam al-Qur’an bernama surat al-Kafirun (orang-orang kafir). Di sisi lain, sebagian masyarakat juga menilai adanya kepentingan terkait kontestasi politik, lantaran NU dianggap pro petahana. Keputusan NU itu dianggap bertujuan untuk menggalang suara dari pemilih non-muslim, pada Pemilu 2019.Tudingan bahwa NU pro petahana bukan tanpa alasan, pasalnya, Joko Widodo pada ajang Pilpres 2019 ini menggaet Ma’ruf Amin yang menjabat sebagai rais aam PBNU, sebagai pendampingnya.

Ketua konferensi Abdul Moqsith Ghazali, mengatakan, penggunaan istilah kafir mengandung “kekerasan teologis” dan sering digunakan oleh oknum-oknum tertentu sebagai alat mendiskriminasi kaum minoritas (non-muslim). Dia juga menegaskan bahwa NU tidak bermaksud untuk mengubah makna dan istilah kafir dalam al-Qur’an.

Tidak dapat dipungkiri, dengan meningkatnya ekstremisme Islam – oleh golongan tertentu, penggunaan istilah kafir tidak lagi pada konteksnya. Malah menjadi semacam suatu batasan penutup dan alat untuk mengintimidasi dalam masyarakat Indonesia yang pluralis dan heterogen. Kata “kafir” dengan mudah mengalir dari mulut kemulut untuk ditujukan kepada mereka yang dianggap tidak sepemahaman dan yang berbeda pendapat.

Ditambah, ini adalah tahun-tahun dimana dunia politik yang paling kacau, pasca jatuhnya rezim Orde Baru. Terjadinya berbagai perubahahan tatanan arah perpolitikan di Indonesia, mulai dari munculnya berbagai partai-partai politik baru, yang mengusung berbagai ideologi. Selain itu berbagai kebijakan mulai disusun secara lebih sistematik sesuai alur demokrasi. Kebebasan berpendapat di ruang publik terbuka. Namun, tampaknya kebebasan tersebut, member ruang pula untuk tumbuh pesatnya perkembangan ormas ormas Islam ekstrim, seperti HTI maupun FPI,yang beberapa tahun terakhir ini mulai menunjukan sikap yang radikal terhadap sistem yang ada. Hal yang tidak akan kita temukan di zaman Orde Baru. Di mana ormas maupun parpol yang yang tidak sejalan dengan pemerintah cenderung dibungkam dan kehilangan eksistensinya sama sekali. Berkembangnya paham radikal golongan islam konservatif menjadi sesuatu yang amat mengkhawatirkan terhadap kedaulatan NKRI dikarenakan mereka berusaha meraungkan paham khilafah yang notabene bertentangan dengan konstitusi maupun sistem negara Indonesia.

Hal ini pula yang menjadi perhatian serius para kyai NU,yang dalam pandangan mereka Pancasila merupakan suatu landasan final dan tidak dapat diganggu gugat. NU yang merupakan ormas yang lahir tahun 1920 ini punya pandangan yang lebih moderat, terbuka dan pluralisBahkan sering dicap liberal oleh kelompok ormas ekstrim lainnya.

Hal yang harus direnungkan, dalam cara kita bernegara adalah bahwa perbedaan pendapat dalam suatu negara demokrasi merupakan hal yang lumrah dan lazim . Malahan hal itulah yang menjadi ciri khas dalam sistem demokrasi, sebagai perwujudan kebebasan beraspirasi baik secara individual, kelompok serta golongan dalam masyarakat yang plural. Sehingga tidak mengherankan munculnya pro-kontra bahkan konflik dalam masyarakat sekalipun, yaitu manakala suatu masalah dilihat dari persepsi dan sudut pandang yang berbeda,yang diiringi dengan sikap tidak toleran. Perihal benar atau salahnya adalah kembali kepada tingkat kemampuan individu meninjau permasalahan sesuai konteks dan konsep yang diterapkan.

Alhasil terlepas dari berbagai stigma yang bermunculan, patutlah kita sadari, bahwa intisari serta tujuan dalam merumuskan persoalan polemik istilah kafir tersebut, apalagi dalam subtansi keagamaan yang relatif sensitif, tentu perlu pengkajian yang lebih serius dan matang. Melalui pembacaan referensi keagamaan yang disandingkan dengan konsepsi Pancasila sebagai ideologi yang final di negeri ini.

-Sahirdin*-

Sahirdin – Mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Langsa dan Pegiat di Kelompok Diskusi Bawah Pohon

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Categories
Penulis Tamu

JOKOWI, “KARTU KUNING”, DAN GOLKAR

Kartu kuning yang diacungkan Ketua BEM UI, Zaadit Taqwa (2/2/18), sontak menghebohkan jagat maya dan jagat nyata. Tak terkecuali beberapa pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), ikut-ikutan mengacungkan kartu merah, memanasi kenakalan asumsi publik terhadap kinerja kepemimpinan Presiden Jokowi.

Tidak sedikit teman-teman yang bertanya, kok bisa Zaadit demikian? Pantaskah ia melakukan itu? Jawab saya sederhana saja. Pertama, sebagai mantan aktivis mahasiswa, saya menganggap yang ia lakukan itu wajar-wajar saja. Bahkan saya salut dengan keberaniannya. Hanya saja, saya khawatir jika tindakannya itu tidak murni lagi. Saya berkata demikian, sekali lagi, karena saya mantan aktivis mahasiswa. Saya tau betul hitam-putihnya dunia pergerakan. Apalagi di kalangan temen-temen aktivis yang berkampus di sekitar poros kekuasaan. Godaannya besar. Terlebih ketika godaan itu hadir di tengah kemelut konflik lambung dengan pikiran.

Kedua, kritik simbolik “kartu kuning” ini memang rasanya tajam, menohok. Terbukti menjadi pusat perhatian. Sepertinya Zaadit sedang mengilhami mazhab interaksi simbolik yang didedengkoti Wiliam James, James M. Baldwin, John Dewey, George H. Mead, yang kemudian dilanjutkan oleh Charles Horton Cooley, Wiliam I. Thomas, dan Kuhn maupun Herbert Blumer, sebagai pola dalam mengkonstruk nalar sosial1). Namun sayang, isu yang dikemukakan kurang argumentatif. Sehingga tidak mematikan. Apalagi isu yang diangkat mendompleng isu yang “digoreng” pihak oposisi. Maka dugaan-dugaan adanya “penyetiran” kelompok oposisi tak terelakkan.

Dari tiga isu yang dikemukakan Zaadit, hanya satu yang terlihat murni, yakni isu draft rancangan Permendikti tentang Organisasi Kemahasiswaan yang dianggap sebagai bentuk pengekangan. Sementara dua isu lainnya sudah berkerak “digoreng” kelompok oposisi. Masalah plt Gubernur dari pihak kepolisian di Sumut dan Jawa Barat, misalnya, sudah menjadi perdebatan politik yang hangat di media, antara kelompok penguasa dengan oposisi. Begitu pula dengan isu gizi buruk yang menimpa suku Asmat, juga telah hangus “digoreng” pihak oposisi untuk menjatuhkan popularitas Jokowi di kantong suaranya itu.

Meski begitu, saya salut pada Jokowi. Ia tetap menanggapinya dengan santai. Bahkan ia mengajak mahasiswa UI turun ke Papua. Artinya, Jokowi ingin berdiskusi secara empiris dengan mahasiswa. Melihat langsung fakta yang ada. Sembari mencari jalan keluarnya.

Apapun ceritanya “kartu kuning” sudah terlanjur keluar. Beragam asumsi publik bersileweran. Ada yang menganggap itu tindakan yang tidak etis. Tak sedikit pula yang menganggapnya sebagai alarm kinerja, warning menuju kartu merah, dan signal Jokowi untuk tidak terpilih lagi. Namun ada juga yang menganggapnya sebagai wujud rasa sayang mahasiswa terhadap Jokowi.

“KODE ALAM” DUA PERIODE

Kali ini saya juga ingin berinterpretasi. Malah interpretasi saya sedikit ngawur. Bagi saya, kartu kuning yang diberikan Zaadit adalah “kode alam” untuk Dua Periode. Jika ditarik pada identitas politik, maka warna kuning identik dengan Golkar. Boleh jadi, justru ini adalah pertanda duduknya kembali Jokowi dua periode, dengan biduk partai Golkar. Mungkinkah? Tentusaja sangat mungkin. Apalagi jauh-jauh hari Golkar telah memberikan dukungan pada Jokowi untuk menjadi Capres pada Pilpres tahun 2019 nanti. Persoalannya, mungkinkah Jokowi menang? Disinilah kita perlu hitung-hitungan logika politik.

Jokowi pasti kalah, kata beberapa Nitizen. Itu sah-sah saja. Cuma apa alasannya? Saya kurang percaya jika alasannya karena kinerja pembangunan yang kurang bagus. Meskipun banyak pihak yang mencerca kinerja Presiden Jokowi, bagi saya, itu hanya alasan buatan. Ibarat makan indomie dengan bumbu buatan, rasanya sedap tapi tidak alami (tidak nyata). Taubahnya berita-berita hoax yang menyudutkan Jokowi di laman linimasa, yang namanya hoax tetaplah hoax.

Sebetulnya alasan yang paling jamak bagi mereka yang tidak mendukung Jokowi hanya satu: ia dianggap sebagai “musuh” umat Islam karena menjadi kader PDIP. Lagi-lagi masih pusaran isu SARA. Untuk menguatkan itu beragam isu disebar. Salahsatunya, rezim ini disebut anti ulama. Pembunuhan Ustadz Purwanto dianggap sebagai buktinya. Padahal mereka tidak tau jika politik itu kejam. Politik yang paling kejam itu bukan membunuh lawan, tapi “kawan” membunuh kawan untuk membunuh lawan. Jadi dalam politik apasaja mungkin terjadi. Termasuk skenario cipta kondisi untuk membenarkan isu yang ditebar. Mereka hendak menjadikan Jokowi korban kedua setelah Ahok, yang jatuh bukan karena lemahnya kinerja, tapi karena kurang bersahabat dengan surat al-Maidah ayat 51.

Lantas di tengah situasi seperti itu bagaimana mungkin Jokowi bisa dua periode? Bisa! Caranya? Gampang, politik dua kaki. Itulah yang sedang dimainkan Jokowi. Ia berusaha menjadi milik semua golongan, milik semua partai. Dan Golkar adalah “kaki” Jokowi untuk memainkan politik dua kaki tersebut. Lihat saja rentetan ceritanya. Anies yang telah berhasil menjadi Gubernur DKI Jakarta misalnya. Ternyata belakangan diketahui, Jusuf Kalla (JK)-lah sosok pertama yang menawarkan Anies ke Prabowo. Sekedar untuk mengingatkan, JK adalah Golkar, dan Golkar warnanya kuning.

Pada Pemilukada serentak tahun ini, Golkar juga memainkan peran. Pilgub Jawa Barat yang semula diprediksi “panas” berubah menjadi landai. Golkar ikut andil memecah konsentrasi massa, menghilangkan aura Pilpres dari Jabar. Seperti kata Asep Warlan Yusuf, pakar politik dan pemerintahan dari Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung, bahwa koalisi parpol pengusung yang sudah terbangun diprediksi membuat konstelasi politik di ajang Pilgub Jabar 2018 lebih “dingin” 2). Politik sebaran ala partai pendukung pemerintah ini berhasil memecah konsentrasi massa, sekaligus mampu membuat Jokowi menjadi milik banyak Calon.

Di Pilgub Sumut juga demikian. Awalnya Pilgubsu diprediksi bakal menjadi “DKI Jilid II”, yang marak politik identitas berbaju SARA. Ternyata tidak. Golkar, Nasdem, dan Hanura meninggalkan PDIP, dan merapat ke kubu Gerindra, PKS, dan PAN untuk mendukung Edy Rahmayadi-Musa Rajekh Shaah. Maka dengan peta seperti ini, “gorengan” isu SARA akan sepi. Dan siapapun yang memenangkan pilgubsu adalah kemenangan Jokowi. Sama dengan Jawa Timur yang juga disinyalir sebagai kontestasi Jokowi versus Jokowi. Siapupun yang menang Jokowi juga menang. Disinilah taktik politik dua kaki itu dimainkan. Target jitunya, bisa-bisa Jokowi melawan kotak kosong pada Pilpres 2019 nanti.

Di samping itu, “kartu kuning” BEM UI saya interpretasikan pula sebagai Sri Mulyani, ekonom dari kampus berjas kuning (baca UI) itu. Kenapa? Karena Sri Mulyani adalah Menteri Keuangan Jokowi. Dialah penata keuangan Republik ini. Sehingga pulpen Sri Mulyani sangat sakti dalam meningkatkan popularitas Jokowi di bidang kesejahteraan. Caranya adalah dengan meningkatkan kesejahteraan ASN, Guru dan Dosen, TNI dan Polri, termasuk mereka yang bergelut di bidang kerja-kerja pemberdayaan. Sudah saatnya Jokowi mengalihkan prioritas kebijakan pembangunan dari infrastuktur ke kesejahteraan publik. Dengan begitu, langkah Jokowi semakin mantap untuk kembali memimpin negeri ini dua periode.

Hasil survey SMRC per-desember 2017 lalu, yang memastikan posisi Jokowi di angka 53,8 persen3), semakin memantapkan langkahnya memenangkan Pilpres 2019 mendatang. Dan warna “kuning” akan turut mewarnai proses perjuangan menuju RI1 untuk yang kedua kalinya. Beruntung, berkat “kode alam” kartu kuning Zaadit Taqwa, kita jadi terpikir ke arah sana.

– Mustamar Iqbal Siregar*

*Dosen FTIK IAIN Langsa sekaligus peserta beasiswa Mora Scholarship Program Doktoral pada Pascasarjana UIN Imam Bonjol Padang.

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Gambar fitur diambil dari shutterstock dan suratkabar.id

Categories
Penulis Tamu

KRITIK NALAR PEMBANGUNAN JOKOWI

Mungkin Jokowi sangat geram dengan kartu kuning yang diberikan Ketua BEM UI. Presiden merasa, kerja keras yang telah dilakukan selama tiga tahun lebih itu tidak layak dibalas dengan kartu kuning: Air susu dibalas air tuba: kartu Indonesia sehat dan kartu Indonesia pintar dibalas kartu kuning.

Kerja keras apa yang dilakukan Jokowi? Dengan serentak pendukungnya akan menjawab: pembangunan. Karena itulah yang paling menonjol atau bisa jadi satu-satunya, prestasi Jokowi selama menjabat presiden.

Sebenarnya, untuk zaman mutakhir, pembangunan fisik atau infrastruktur bukanlah prestasi sebuah negara atau seorang kepala negara, apalagi menjadikan itu sebagai indikator keberhasilan politik (baca: presiden).

Pembangunan itu identik dengan permodalan. Di negara-negara maju, hampir pembangunan fisik bukan urusan negara. Hampir semua pembangunan fisik dilakukan oleh perusahaan.

Sebenarnya di Indonesia selama Jokowi menjabat juga begitu. Rata-rata pembangunan infrastruktur yang dibanggakan Jokowi itu berasal dari permodalan asing, khususnya Cina. Misalkan saja jalan tol.

Aneh menurut saya seorang presiden membanggakan diri dan menganggap pembangunan jalan tol sebagai prestasi. Jalan tol itu sama dengan naik roller coaster dan masuk bioskop: harus bayar! Aneh. Rakyat bayar pajak, tetapi menggunakan fasilitas layanan umum harus bayar. Jalan tol itu milik perusahaan. Kenapa bangga dan dijadikan objek kebanggaan seorang presiden?

Membangun jalan tol sama seperti membangun mall, hotel dan salon. Kok dibanggakan. Waduh.

Pengembang infrastuktur itu adalah perusaan asing. Yang paling diuntungkan adalah asing. Pengguna layanan tidak diuntungkan. Menggunakan jasa layanan dan membayarnya tidak disebut untung.

Tetapi tidak rugi? Tidak. Dalam konteks ini kita sangat rugi.

Pembangunan infrastuktur itu butuh bahan dasar. Semua itu dikuras dari alam. Alam diganggu stabilitasnya, dirusak untuk pembangunan fisik. Satu kilometer jalan saja membutuhkan satu buah bukit, baik itu untuk semen, pasir, tanah dan sebagainya. Apalagi di Indonesia yang hampir semua tanahnya lembek, berair. Butuh banyak material untuk membangun.

Pembangunan super ambisius tiga tahun terakhir telah merusak alam dengan sangat hebat. Belum lagi pembangunan-pembangunan oleh pengembang lokal; jalan misalnya, setiap tahun yang diperbaiki itu-itu saja. Semuanya telah menyebabkan kerusakan alam sangat parah.

Kegilaan kita membangun benar-benar akan membuat anak cucu kita nanti harus hidup dalam musibah bencana alam saban hari. Sementara mereka harus bayar untuk menggunakan fasilitas-fasilitas yang ada. Pembangunan-pembangunan lokal juga tidak akan dapat mereka rasakan karena dalam hitungan bulan saja semuanya telah rusak kembali.

Saya sangat yakin pembangunan-pembangunan itu semua bukan untuk pelayanan, melainkan karena mengikuti hawa nafsu. Pembangunan proyek besar untuk prestise dan pencitraan politikus dan pembangunan proyek kecil untuk memenuhi kebutuhan kredit alat berat oleh pengembang lokal.

Malah sering jalan di kampung-kampung menjadi tidak bisa digunakan setelah setahun diaspal. Padahal sebelum diaspal, hanya becek sedikit ketika musim hujan dan sedikit berdebu ketika musim kering.

Pembangunan: Alam semakin hancur, ikut serta pula menghancurkan apa yang sudah dibangun. Kalau gali lubang tutup lubang masih mendingan. Tetapi ini Meuhay taloe ngen keubeu, besar pasak daripada tiang.

Kita hanya memilirkan diri kita saja. Kita tidak ingat bagaimana rakyat kecil harus berjibun dengan musibah akibat ulah kita. Kita benar-benar melupakan bagaimana nasib generasi mendatang. Mereka harus hidup di alam yang sudah kita hancurkan. Mungkin kita dapat memuaskan keinginan anak kita dengan perusakan (baca: pembangunan) yang kita lakukan. Tetapi kita telah merusak kehidupan cucu dan cicit kita jauh sebelum mereka lahir.

– Miswari* –

*Penulis adalah pengajar Filsafat Islam di IAIN Zawiyah Cot Kala Langsa dan Penulis buku Filsafat Terakhir.

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Sumber gambar tajuk sebelum olah digital: USA today dan kompasiana.com

Categories
Penulis Tamu

Bersama Jokowi, Merawat Kemerdekaan

Di tengah turbulensi politik yang begitu mengguncang, isu terorisme yang terus mengancam, tindakan-tindakan intoleransi yang kian mengoyak rajutan tenun kebangsaan, tambah lagi reinkarnasinya gagasan-gagasan yang ingin mengganti Pancasila sebagai dasar negara, seolah tanpa lelah, Jokowi terus bekerja untuk merawat kemerdekaan Indonesia.

Sejak awal menjadi Presiden, Jokowi sudah menghadapi terpaan kekuatan politik oposisi, ditambah cacian dan hinaan, fitnah, kritikan, serta desakan untuk mundur. Belakangan, eskalasinya semakin meningkat. Isu komunisme ditebar menghantui rakyat, bahkan gelombang konservatisme yang melanda umat Islam Indonesia seolah dimanfaatkan untuk melawan pemerintah.

Categories
Penulis Tamu

Pancasila dan Gebuk

Saya awali tulisan ini dengan mengutip sebuah kata yang diucapkan oleh Kakek Pramudya dalam  Novel Pikiran Indonesia,  “Sejarah itu penting,  Nak.”

“Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar – benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”  – Al-‘Ashr: 1-3

Novel Psiko-Historis Indonesia karya Hafis Azhari itu mengajak kita untuk membuka kembali lembaran-lembaran sejarah yang telah banyak dilupakan oleh diri kita sendiri. Bukan bermaksud untuk membuka luka lama atau aib, tetapi untuk sebuah penegakan keadilan dan kebenaran dibutuhkan bahasa ungkapan yang dapat membangkitkan dan menyadarkan suatu bangsa untuk beritikad keras agar tidak mengulangi dosa-dosa sejarah yang telah diperbuat oleh tangannya sendiri,  yang dampaknya justru ditanggung oleh generasi anak dan cucu dalam jangka panjang.

Pertengahan Mei 2017, Presiden Jokowi mengeluarkan pernyataan “jika ada yang melawan konstitusi akan “digebuk”. Apa itu “gebuk”? Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah memukul; menghantam. Pengamat komunikasi politik Tjipta Lesmana dalam bukunya “Dari Soekarno sampai SBY” mengatakan kata “gebuk” bermakna menghancurkan sampai rata tanpa belas kasihan.

Bagi sebagian orang pasti trauma mendengar kata-kata itu, terlebih lagi mereka yang pernah merasakan “digebuk”. Kenapa takut atau trauma? Kata-kata ancaman itu biasanya keluar bersamaan dengan ekspresi mata melotot dan tangan menggepal. Kata berbau ancaman ini potensial berujung pada berbagai bentuk tindakan, baik berupa kekerasan fisik maupun tindakan lainnya. Fakta sejarah masa lalu menyebutkan banyak sekali orang telah menjadi korban “gebuk”.

Kata “gebuk” identik dengan Soeharto. Karena salah satu dari sejumlah kata agresif paling menonjol yang pernah diucapkan  Soeharto adalah “gebuk”. Pada masa Presiden Soeharto berkuasa, diberlakukan “reifikasi” ke segenap unsur kehidupan bangsa. Dengan reifikasi kekuatan Orde Baru dibangun dengan mengandalkan kemampuan berbahasa yang ditafsirkan oleh penguasa,  hingga muncullah istilah-istilah baru yang direkayasa oleh mereka: Gestapu, GPK,  OTB, Ekstrim Tengah, Terorisme, Komunisme.

Sekalipun kata “gebuk” identik dengan Soeharto-tetapi realitasnya dalam dunia politik kekuasaan di Indonesia, tindakan “gebuk” lawan atau bahkan kawan sendiri sangat lazim terjadi, baik sejak zaman Orde Lama hingga reformasi.

Dalam catatan sejarah Orde Lama, banyak yang kena “gebuk”.  Sebutlah beberapa orang, seperti Tan Malaka, Buya Hamka, Tengku Daud Beureuh, dan berbagai peristiwa lainnya. Dari 1959 hingga 1965, Presiden Soekarno juga berkuasa secara otoriter di bawah label “Demokrasi Terpimpin”.

Tindakan “gebuk” semakin keras bentuknya, pada menjelang pergantian rezim Orde Lama ke Orde Baru. Terjadi berbagai macam konspirasi dan “gebuk menggebuk”. Peristiwa Dewan Jenderal-peristiwa terbunuhnya enam dari tujuh jenderal angkatan darat yang dituduh akan melakukan “kudeta”. Tidak lama kemudian, terjadi pembantaian terorganisir terhadap PKI dan simpatisannya serta masyarakat yang tidak tau apa-apa (tindakan “gebuk” terhadap PKI terus berlanjut hingga saat ini).

Akibat “gebuk” kekuasaan Presiden Soekarno akhirnya ambruk “digebuk” Soeharto. Presiden Soekarno sempat berusaha mempertahankan kekuasaannya-tetapi tidak dapat mengelak ketika beberapa Jenderal mengintimidasi Soekarno untuk menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966-yang memberi wewenang kepada Mayor Jenderal Soeharto guna mengambil langkah yang dirasa perlu memulihkan keamanan dan ketertiban.

Dua hari setelah penandatanganan Supersemar, Presiden Soekarno dibawa dari Istana Bogor ke Wisma Yaso (sekarang Museum Satria Mandala). Di sana, Presiden Soekarno dilarang membaca koran atau sekadar mendengar siaran radio.

Soeharto akhirnya berhasil mendapatkan kekuasaan Presiden secara de-facto dari Soekarno. Kemudian mengambil langkah kritis yang mengukuhkan peran politisnya ketika parlemen menunjuknya sebagai Pejabat Presiden. Pada Maret 1968, Soeharto secara resmi ditunjuk sebagai Presiden selama lima tahun oleh MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat).

Soeharto naik tahta dengan cara “menggebuk” dan tentu mempertahankan tahtanya dengan cara “menggebuk.” Dapat kita lihat sepanjang sejarah Orde Baru, Presiden Soeharto “menggebuk” siapapun yang bertentangan dengannya. Berbagai peristiwa “gebuk” terjadi pada ORBA. Rakyat Aceh dan Papua habis “digebuk” dengan penerapan DOM (Daerah Operasi Militer).

Dalam rentang waktu itu, Pancasila juga disalahgunakan demi kepentingan jangka pendek penguasa. Rezim Orde Baru menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal dalam bernegara. Dengan mudah menghapus kelompok masyarakat yang dianggap bertentangan dengan Pancasila.

Munir mengingatkan dalam buku “Membangun Bangsa Menolak Militerisme” paham monolitik dalam  militerisme di masa Orde Baru muncul dalam bentuk dominasi idiologi negara, atau yang dikenal Pancasila sebagai asas tunggal.  Suasana ini telah menjebak semua kekuatan ke dalam kecurigaan ideologis,  dan menyerahkannya kembali kepada negara (state) sebagai pemilik ideologi tunggal. Negara sebagai representasi dari ideologi,  dan sekaligus pemilik tafsir tunggal atas ideologi itu.  Rakyat sebagai bagian dari kesatuan bangsa,  haruslah menjadi bagian dari pendukung kekuasaan yang terbalut ideologi tunggal. Semua kekuatan yang muncul di luar restu negara,  dinilai sebagai upaya menentang ideologi tunggal. Maka dikenalkanlah istilah ekstrim kiri, ekstrim kanan,  ultra nasionalis,  ekstrim kanan kiri oke (karaoke), untuk menjelaskan protes penguasa atas lahirnya upaya perlawanan rakyat.

Pada akhirnya sekuat apapun Soeharto bertahan-bernasib serupa dengan pendahulunya,  Soerkarno. Apakah dalam hal ini “karma” berbicara. Saya mengutip kembali status facebook Afi Nihaya Faradisa yang menjadi viral di dunia maya. “Hidup adalah serangkaian “karma” yang berputar. Jangan harap bisa lolos dari kejaran karma, atau apapun yang biasa kau sebut: hukum tabur-tuai, sebab-akibat, ganjaran kebaikan-dosa, dan sebagainya”.

Mei 1998, Presiden Soeharto ambruk dari kekuasannya setelah “digebuk” oleh orang-orang terdekatnya,  massa rakyat dan mahasiswa. Bulan reformasi menerangi malam pergantian rezim. Banyak pihak mulai menata masa depan Indonesia yang lebih demokratis dan menghormati hak asasi manusia. Sejak awal reformasi, banyak pihak kemudian membangun kembali diskursus dan memaknai Pancasila sebagai falsafah negara dan nilai-nilainya harus diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tetapi sayangnya, oligarki tetap langgeng. Reformasi yang dicita-citakan tetap berada dibawah cengkraman oligarki. Tidak ada penanda garis demarkasi yang tegas antara rezim masa lalu dengan era reformasi. Agenda-agenda Keadilan Transisi  jauh dari harapan. Yang terjadi justru selama 19 tahun  reformasi juga “gebuk” masih menjadi prilaku elit politik, militer,  polisi dan masyarakat kita. Sebutlah Munir, Salim Kancil dan banyak lagi yang menjadi korban “gebuk” di era reformasi, termasuk Aceh dengan penerapan Darurat Militer (DM 2003), dan bahkan Papua hingga saat ini terus dilanda suasana mengerikan.

Sepuluh hari setelah 19 tahun usia reformasi, tepatnya pada 1 Juni 2017, Presiden Jokowi menetapkan 1 Juni  sebagai hari libur pertama untuk memperingatan Lahir Pancasila. Saya kutip dari koran Kompas “Rakyat Rayakan Pancasila”. Peringatan hari lahir Pancasila berlangsung meriah di sejumlah daerah di Indonesia. Hal ini menjadi awal yang baik untuk meneguhkan kembali kesadaran tentang Pancasila dan kebersamaan sebagai satu bangsa.

Presiden juga telah mengeluarkan Peraturan Presiden (PP) RI No. 54/2017 tentang Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila. Dalam bagian menimbang (a) dalam rangka aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara perlu dilakukan pembinaan ideologi Pancasila terhadap seluruh penyelenggara negara.

Tidak bisa dipungkiri, pengalaman masa lalu membuat banyak orang belum bisa percaya dan masih trauma dengan segala hal dan janji politik penguasa. Apalagi 20 hari lalu,  Presiden Jokowi masih memproduksi kata “gebuk”.

Muncul pertanyaan, apakah tanggal 1 Juni 2017 menjadi titik sejarah baru menuju masa depan yang lebih baik dan beda dengan masa rezim otoriter, atau putar balik ke masa lampau?

Tentu harapan kita agar sejarah tidak berulang- tidak ada lagi “gebuk menggebuk” dan orang-orang yang pernah kena “gebuk” bisa memperoleh haknya sebagaimana semangat Negara Pancasila.

#G_IQRA
#MFK-6Juni17

– Malik Feri Kusuma* –

Malik Feri Kusuma – Koordinator Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Jakarta

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Hak cipta gambar sebelum olah digital oleh : pixabay.com dan welogo

Referensi:

  1. Kompas.com, 2017, “Jokowi: Kalau PKI Nongol, Gebuk Saja”. http://nasional.kompas.com/read/2017/05/17/16433321/jokowi.kalau.pki.nongol.gebuk.saja.
  2. Okezone.com, 2015, “Perlakuan Kelewatan Soeharto pada Soekarno”. http://news.okezone.com/read/2015/03/11/337/1116780/perlakuan-kelewatan-soeharto-pada-soekarno
  3. Kompas.com, 2017, “Ini Status-status Afi yang Viral di Dunia Maya,”. http://regional.kompas.com/read/2017/05/30/06062481/ini.status-status.afi.yang.viral.di.dunia.maya?page=4
  4. tirto.id, 2017. “Politik Gebuk Menggebuk ala Soeharto dan Jokowi”. https://tirto.id/politik-gebuk-menggebuk-ala-soeharto-dan-jokowi-coXP
  5. Koran KOMPAS, 2017, “Rakyat Rayakan Pancasila”.
  6. Ken Conboy, 2007, Judul asli; Intel: Inside Indonesia’s Intelligence Service. Judul Indonesia; Intel; Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia. Pustaka Primatama.
  7. Jejak Pemikiran Munir (1965-2004), 2006. “Membangun Bangsa dan Menolak Militerisme”. KASUM.
  8. Hafis Azhari, 2014. “Pikiran Orang Indonesia”. Fikra Publising.
Categories
Penulis Tamu

Piagam Aceh untuk Keutuhan NKRI

Dunia kampus Islam bersatu menyatakan perang melawan radikalisme dan terorisme. Berpusat di Aceh, sebanyak lima puluh pimpinan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) se-Indonesia mendeklarasikan maklumat penting yang tertuang dalam Piagam Aceh (26/4). Gerakan yang dimotori kaum cendekiawan muslim tersebut menghasilkan beberapa kesepakatan yang bermuara untuk keutuhan NKRI.

Categories
Penulis Tamu

Mencari Format Ideal Sistem Kepartaian dan Sistem Pemilu Ddalam Kerangka Demokrasi Presidensial

Menyongsong Pemilu 2019, kembali muncul wacana kembali untuk mencari format ideal sistem kepartaian dan Pemilu di Indonesia. Hal ini bisa tergambar dari alotnya proses penyusunan RUU Pemilu yang saat ini sedang dibahas di DPR.

Isu mendasar yang tidak pernah usang adalah mencari hubungan format sistem pemilu dan kepartaian yang memiliki representasi politik yang baik, demokratis, akuntabel, dan melahirkan sosok wakil rakyat yang kompeten dan berkualitas. Format desain kepartaian dan pemilu saat ini, dinilai belumlah ideal dan sesuai dengan ciri dan corak kebangsaan Indonesia. Memang dari segi penyederhanaan partai -terlihat sejak pemilu pasca reformasi hingga pemilu 2014-terjadi tren penyederhanaan partai. Namun arah penyederhanaan partai pun belum dapat dikatakan benar benar sederhana. Karena setiap terjadi pemilu, selalu ada partai baru yang terbentuk. Sebagian dari partai tersebut adalah merupakan pecahan/friksi dari kelompok dalam sebuah partai yang tidak terakomodir kepentingan politik di partai sebelumnya.

Selain itu timbul persoalan lain setelah pelaksanaan pemilihan presiden secara langsung sebagai amanat amandemen ketiga UUD 1945, dimana proses pelaksanaan desain sistem pemilu, kepartaian dan pemilu presiden secara langsung, justru tidak saling berhubungan.

Hubungan secara parsial yang terjadi, khususnya dalam hal tata cara pencalonan presiden, dimana partai-partai yang memperoleh suara tertentu atau gabungan partai-partai yang dapat mencalonkan calon presiden dan wakil presiden yang berhak mengajukan calon. Tidak ada jaminan bahwa presiden terpilih preferensi suaranya sama dengan perolehan suara partai di legislatif. Pengalaman Pilpres 2004 justru menunjukkan calon presiden/wakil presiden yang diusung oleh partai kecil justru menjadi pemenangnya.

Bayang-bayang presidensial yang rapuh, terjadi selama rentang periode 2004-2009, dimana presiden terpilih memiliki dukungan politik yang rendah, sehingga demokrasi presidensial tidak berjalan secara efektif.  Tidak ada jaminan koalisi pemerintahan memperoleh dukungan politik di parlemen.  Ada problematika koalisi-koalisi pemerintahan yang dibentuk pada masa Presiden Wahid, Presiden Megawati, maupun Presiden Yudhoyono, yang polanya bukan hanya bersifat longgar namun juga cenderung semu. Koalisi belum dibangun dengan platform politik bersama atau kesepakatan minimum diantara pihak-pihak yang berkoalisi, dan penegasan disiplin partai untuk mendukung presidensialisme. Dampaknya, apa yang dialami oleh Presiden Wahid, Presiden Megawati, maupun Presiden Yudhoyono hingga Presiden Jokowi, pemerintahannya bukan hanya digugat oleh partai di luar pemerintahan (partai pengimbang, partai oposisi), namun juga kurang didukung oleh partai-partai koalisi pendukung pemerintah yang memiliki kursi di dalam kabinet.

PROBLEM KLASIK INDONESIA: SISTEM PRESIDENSIAL YANG TIDAK KOMPATIBEL DENGAN MULTIPARTAI

Terdapat Tiga alasan kombinasi sistem presidensial dengan sistem multipartai bermasalah (Scott Mainwaring, 1993: 198) . Pertama, sistem presidensial berbasis multipartai cenderung menghasilkan kelumpuhan (immobilitas) akibat kebuntuan (deadlock) eksekutif-legislatif, kebuntuan itu akan berujung pada instabilitas demokrasi. Kedua, sistem multipartai menghasilkan polarisasi ideologis ketimbang sistem dwipartai sehingga seringkali menimbulkan problem komplikasi ketika dipadukan dengan sistem presidensial. Ketiga, kombinasi sistem presidensial dengan sistem multipartai berkomplikasi pada kesulitan membangun koalisi antarpartai dalam demokrasi presidensial sehingga berimplikasi pada rusaknya stabilitas demokrasi.

Makin rendah fragmentasi dan polarisasi ideologi antar partai maka semakin memperkuat proses pembentukan pemerintah yang efektif dalam pengambilan keputusan keputusan politik, karena akan melahirkan koalisi yang menguasai kursi mayoritas di parlemen. Sebaliknya kian tinggi fragmentasi dan polarisasi ideologi antar parpol, maka berkonsekuensi kian mempersulit melahirkan konsensus dan koalisi kian tak terjaga dengan disiplin. Akhirnya melahirkan ketidakefektifan dalam melakukan keputusan keputusan politik baik di dalam pemerintahan maupun di parlemen.

Pangkal problematik demokrasi presidensial di Indonesia adalah tidak didukung dengan sistem kepartaian yang kompatibel. Sistem multi partai ekstrim dinilai tidak cocok di terapkan di negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial. Hal ini karena stabilitas yang dikehendaki dalam sistem presidensial hanya dapat terwujud jika tidak terlalu banyak partai yang merebutkan kekuasaan. Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah reformasi terkait penyederhanaan sistem kepartaian, serta melakukan perubahan terhadap sistem pemilu legislatif dan presiden.

TAWARAN SOLUSI

Sistem kepartaian di Indonesia yang ideal dalam hubungan dengan sistem ketatanegaraan adalah sistem kepartaian pluralisme moderat yang jumlahnya 5-7 parpol. Perlu dilakukan penyederhanaan jumlah parpol dengan mengikuti pembelahan ideologi partai partai dalam tradisi politik di Indonesia. Tipologi ideologi kepartaian Indonesia terbagi dalam tiga ideologi besar, yaitu nasionalis, moderat, dan agama. Ketiga ideologi besar tersebut kemudian terdapat varian yang berada di tengah antara ketiga ideologi yaitu nasionalis moderat dan agama moderat.

Langkah penyederhanaan Parpol idealnya dilakukan melalui mekanisme alamiah.  Diantaranya dengan penataan ulang Daerah Pemilihan (Dapil).  Idealnya Dapil pemilu mendatang diciutkan menjadi 3-6 kursi. Model tersebut akan menjadi ambang batas tersembunyi (hidden treshold) dalam pembatasan parpol di DPR. Dengan Dapil yang lebih kecil, diyakini anggota DPR akan lebih dekat dan bertanggung jawab kepada konstituen yang diwakili.

Meskipun jumlah dapil dikurangi (diciutkan), suara seluruh pemilih tetap terakomodasi prinsip keterwakilan (representation) tetap terjaga dengan menerapkan sistem pemilihan umum campuran (Mixed Member Proportional/MMP). Sistem MPP ini adalah upaya mengambil sisi positif dari dua sistem, yaitu sistem FPTP dan PR. Model MMP ini akan dapat mewadahi pelembagaan sistem kepartaian karena memberi ruang kepada pengurus parpol untuk berperan menentukan nomor urut melalui proporsional dari sisi yang lain yang memberi kesempatan pada calon calon untuk merebut hati pemilih melalui distrik. Pemilih juga diberi ruang untuk berdasarkan seleranya.

Kemudian perlu dilakukan dilakukan rekayasa sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden agar dapat terbentuk koalisi yang bersifat permanen dalam kerangka pemerintahan presidensial di Indonesia.

Menurut penulis sedikitnya Ada 4 (empat) varian pemilihan presiden yang bisa diterapkan untuk konteks indonesia, yaitu Pemilu Presiden Tunggal, Pemilu Presiden  dan Wakil Presiden dua putaran (second round election), Pemilu Presiden  dan Wakil Presiden terpisah  (vote splitting) dan Wakil Presiden diajukan oleh presiden terpilih untuk dipilih oleh DPR.

1. Pemilu Presiden Tunggal

Pada Pemilihan Umum Presiden tunggal, Presiden dan Wakil Presiden  tidak lagi satu paket. Yang dipilih hanyalah Calon Presiden. Presiden adalah pemenang pemilu Presiden yang meraih suara terbanyak pertama dengan ketentuan 50 % + 1. Sedangkan posisi wakil Presiden di isi oleh kandidat dengan suara terbanyak kedua (runner up).

Sistem pemilihan model ini pernah diterapkan di Amerika Serikat pasca berakhirnya suksesi kepemimpinan George Washington pada Pemilu Presiden 1796. Ketika itu kaum federalis mendukung wakil presiden masa George Washington, John Adam untuk menjadi Presiden. Sementara kaum Demokrat Republikan mendukung Thomas Jefferson. Dalam pemilihan yang dilaksanakan oleh Electoral College John Adam memperoleh 71 suara, sementara Jefferson 69 suara. Konstitusi Amerika ketika itu menyebutkan bahwa calon yang memperoleh suara tertingggi akan menjadi presiden, sementara suara runner up akan menjadi wakil presiden. Atas dasar itu secara otomatis John Adam terpilih sebagai presiden dan Thomas Jefferson sebagai wakil presiden.

2. Pemilu Presiden  dan Wakil Presiden dua putaran (second round election)

Variasi kedua adalah, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dua putaran.  Putaran pertama adalah pemilu presiden. Presiden adalah pemenang pemilu Presiden yang meraih suara terbanyak dengan ketentuan 50 % + 1. Sedangkan kandidat yang yang tidak berhasil meraih suara 50 % + 1, dapat mengikuti putaran kedua, yaitu Pemilu Wakil Presiden yang dilaksanakan dalam rangka  memilih wakil presiden yang akan mendampingi Presiden. Penentuan pemenang pada putaran dua didasarkan pada prinsip First Past to Post atau suara terbanyak.

3. Pemilu Presiden  dan Wakil Presiden terpisah  (vote splitting)

Varian ketiga, Sistem Pemilu Presiden dan Wakil Presiden terpisah. Jabatan presiden dan wakil presiden dipilih secara terpisah, sehingga dua calon pemenang bisa berasal dari partai politik yang berbeda, sebagaimana yang diterapkan di Filiphina dan sebagian negara di  benua Africa yaitu Kenya, Zambia, Malawi, and Zimbabwe. Kelebihan pemilihan model ini adalah kemungkinan koalisi yang bersifat strategis jangka panjang antara partai politik pendukung calon presiden dan parpol pendukung calon wakil presiden. Namun kelemahan adalah, apabila antara presiden dan wakil presiden terpilih ternyata tidak sepemahaman dalam platform kebijakan dan ideologi politik.

4. Wakil Presiden diajukan oleh presiden terpilih untuk dipilih oleh DPR

Varian Keempat, Presiden dipilih melalui Pemilu. Wakil Presiden diajukan oleh Presiden terpilih kepada DPR. Selanjutnya DPR akan memilih wakil presiden. Yang berhak memilih wakil presiden di parlemen adalah partai yang tergabung dalam koalisi opisisi, bukan partai yang tergabung dalam koalisi pemenang pemilu presiden. Dengan format seperti ini maka koalisi kedepan akan sangat kuat, permanen serta menciptakan stabilitas pemerintahan yang baik. Kelemahannya adalah, bisa saja terjadi deadlock ketika penentuan wakil presiden ekses konsesi politik yang tidak tercapat antara presiden terpilih dan parlemen yang menentukan wakil presiden.

Perlu dilakukan rekayasa sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden agar dapat terbentuk koalisi yang bersifat permanen dalam kerangka pemerintahan presidensial di Indonesia.  Dengan merubah mekanisme pemilihan presidensial diharapkan dapat tercapat koalisi dengan bentuk sebagaimana dijabarkan Lipjhart (1995), yaitu minimal range: koalisi berdasarkan kedekatan pada kecenderungan ideologis dan  minimal connected winning: koalisi yang terjadi antara partai-partai yang memiliki persambungan orientasi kebijakan. Walhasil, Format pemilu presiden dan wakil presiden tidak dalam satu paket pasangan calon adalah format yang terbaik dan bisa membangun koalisi yang bersifat permanen dan strategis dalam sistem pemerintahan presidensial Indonesia

–  Teuku Harist Muzani* –

Teuku Harist Muzani – Pegiat Pemilu dan Demokrasi.
Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Ilmu Politik
Universitas Padjadjaran Konsentrasi Tata Kelola Pemilu

Teuku Harist Muzani – Pegiat Pemilu dan Demokrasi. Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Konsentrasi Tata Kelola Pemilu

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Hak cipta gambar oleh padebooks

Categories
Kolom Pendiri

Politik Komen, Like dan Share

Jika media sosial semacam facebook dan twitter belum sepopuler seperti sekarang, apakah Trump, atau Jokowi, bakal memenangkan pemilihan umum di negaranya masing-masing?

Tentu apapun jawaban dari pertanyaan ini, apakah ya atau tidak, masih dapat kita perdebatkan di warung kopi. Akan tetapi, sulit dipungkiri bahwa sosial media telah mentransformasi cara kita mengambil informasi dan dalam lingkup yang sangat khusus, dapat mempengaruhi pilihan politis penggunanya.