Categories
Penulis Tamu

“THE SMILING FACE” ISLAM INDONESIA: MEMBACA TUNISIA*

PENDAHULUAN

Mencermati perkembangan yang terjadi di Islam Indonesia sepanjang tahun 2016, terutama beberapa peristiwa yang terkait dengan persoalan soisal-politik-keagamaan, penulis menjadi kembali ingin membaca tulisan Martin Van Bruinessen yang memunculkan istilah conservative turn in Indonesia. Apa sebenarnya pesan yang ingin disampaikan oleh Martin melalui istilah itu. Apakah ia ingin mengatakan bahwa pemahaman keagamaan Muslim Indonesia sebelumnya adalah konservatif, lalu berevolusi dan keluar dari konservatisme itu dan kini konservatisme itu terulang kembali? Istilah conservative turn yang pertama sekali digunakan oleh Martin tahun 2013 dalam asumsi penulis menjadi suatu prediksi akademik yang terbukti kebenarannya hari ini, meski dalam pemahaman penulis conservative turn yang dimaksudkan Martin adalah adanya sejumlah gejala bahwa pemahaman Muslim terhadap agamanya semakin menguat, kalau tidak ingin dikatakan mengarah kepada kekerasan berjamaah (communal violence) dengan mengatasnamakan agama mengutip istilah Duncan. Kasus-kasus di mana pemahaman keagamaan Muslim, terutama konservatisme mereka membaca teks-teks suci terbuka untuk ditunggangi oleh aktivitas politik. Tulisan ini dibagi atas dua pembahasan. Pertama, tentang hasil penelitian lembaga riset dan sejumlah pakar tentang Islam Indonesia dengan perdebatan seputar kecenderungan ke arah konservatisme, sebagai the outsider’s perspective. Kedua, mengenai konservatisme Islam sebagai tunggangan politik: pengalaman Tunisia.

HASIL RISET TENTANG ISLAM INDONESIA SEPANJANG TAHUN 2010-2014

Freedom House menggambarkan perubahan Indonesia sebagai “model dari integrasi yang sukses antara demokrasi dan Islam” menjadi negara dengan “merosotnya pluralisme” akibat peristiwa-peristiwa yang terjadi sejak satu dasawarsa lalu. Penilaian lain atas kondisi Muslim di Indonesia kontemporer kerap juga diungkapkan sebagai meningkatnya “political Islam”, “radical Islam”, atau “Islamist political violence”.

Martin Van Bruinessen, tahun 2011 menulis artikel di salah satu jurnal ilmiah RSIS Singapura. Dalam tulisan itu, terlihat kecemasan dan kegelisahan Martin terhadap perubahan umat Islam Indonesia yang terbesar di dunia secara kuantititatif, terutama pasca Orde Baru. Ia menulis judul: “What happened to the smiling face of Indonesian Islam?”. Ia menilai Islam Indonesia yang ia kenal melalui studinya sepanjang tahun 1970-an sampai tahun 1980-an yang selalu menampakkan wajah yang manis, penuh senyuman (the smiling face), mulai berubah menyeramkan, tidak enak dipandang dll. Era ini melahirkan Cak Nur dan Gusdur sebagai representasi tokoh Islam paling brilian. Namun berakhirnya masa orde baru, mereka mulai kehilangan “power” dalam debat-debat publik dengan munculnya Islam radikal dengan tampilan yang lebih kuat.

Tahun 2013, ISAS Singapura merilis hasil studi lapangan Martin dkk sepanjang tahun 2007-2008 dengan judul: “Contemporary Developments in Indonesia Islam: Explaining the Conservative Turn”. Dalam buku ini, Martin dan Baqir masih meyakini adanya wajah non-konservatif Islam di Indonesia. Namun posisi saya setelah menyimpulkan tulisan Martin dan Baqir justru menegaskan bahwa konservatisme Muslim di Indonesia semakin mengkristal, menguat, membaja. Conservative turn dalam bahasa mereka hanya masih sebatas kecenderungan.

Beberapa catatan Martin dalam buku Contemporary Developments in Indonesia Islam: Explaining the Conservative Turn bahwa (1) Demokratisasi politik telah menarik banyak orang yang sebelumnya terlibat dalam organisasi atau lembaga-lembaga yang mendukung perdebatan intelektual ke dalam karier di partai politik atau institusi, sehingga melemahkan landasan sosial bagi wacana Islam liberal dan progresif, (2) Asumsi bahwa mayoritas itu bersifat konservatif atau cenderung berpandangan fundamentalis tidak bisa diyakini begitu saja, (3) Pemikiran Islam liberal hanya bisa berkembang apabila dilindungi oleh rezim otoriter, (4) Conservative turn di Indonesia sebagian disebabkan adanya pengaruh dari Timur Tengah, khususnya Semenanjung Arab, dalam bentuk kembalinya para lulusan dari perguruan tinggi di Arab Saudi, institut pendidikan yang didanai Arab Saudi dan Kuwait untuk mensponsori penerjemahan sejumlah teks “fundamentalis”, dukungan ideologis dan keuangan untuk gerakan Islam lintas negara, (5) Menonjolnya keturunan Arab yang memegang kepemimpinan gerakan radikal tampaknya mengarah kepada peran mereka sebagai perantara proses Arabisasi Islam Indonesia. Tak bisa disangkal, pelaku keturunan Arab dan dana Arab memang meningkat, tetapi pengaruh mereka tidak secara khusus bekerja dalam arah anti-liberal maupun fundamentalis.

Istilah conservative turn di Indonesia juga digunakan oleh Hamayotsu (2014) dalam bukunya Conservative Turn? Religion, State and Conflict in Indonesia. Dia mengatakan bahwa ketika ada konflik yang melibatkan etnis dan identitas lainnya, maka yang yang menjadi pemicunya itu adalah bukan persoalan etnis dan identitas lain tersebut, tapi kompetisi politik antar elit terkait pembagiaan sumber-sumber kekayaan negara dan tanah (political competition among elites over distribution of state resources, land. Ethnicity and other identities were not the primary cause of the conflict)”

Berbeda dengan Hamayotsu, Duncan mengatakan bahwa…”the essential source and character of the communal violence is religion..” (agama adalah sumber penting dan karakter kekerasaan komunal). Berdasarkan observasi dan interview lebih dari 17 tahun pada internal masyarakat yang dibuang dan terdampak kekerasan, ia menyimpulkan bahwa the communal violence diakibatkan oleh kompetisi politik antar elite terhadap pembagian sumber-sumber kekayaan negara dan tidak ada kaitannya dengan agama. Oleh mereka, agama dijadikan alat untuk mencapai kekuasaan yang kemudian menjadi pemicu kekerasan (political competition among elites over distribution of state resources, land and other religious issues). Kemudian dia menyimpulkan bahwa agama sebagai identitas bersama dan klaim, lebih mendapatkan ciri khas bagi orang-orang yang terlibat dalam konflik (…religion as a collective identity and claim has gained more salience among participants in the conflict…). Duncan menyimpulkan bahwa…”the essential source and character of the communal violence is religion..” (agama adalah sumber penting dan karakter kekerasaan komunal). Kesimpulan Duncan ini perlu diperhalus lagi untuk mengatakan bahwa bukan agama yang sebagai ajaran itu yang menjadi pemicu kekerasan komunal itu. Lalu apa kaitan antara konservatisme dengan kekerasan komunal?

Sebenarnya, kecenderungan konservatisme tidak selalu negatif, karena masyarakat muslim membutuhkan itu untuk menjaga harmoni dalam masyarakat. Namun, jika kecenderungan konservatisme itu menjadi opini publik, ini sangat mengkhwatirkan sebagaimana yang dikatakan oleh Syarafi (2011), bahwa menghadapi opini publik yang dikuasai kekuatan konservatif itu jauh lebih sulit dari pada menghadapi kekuatan politik yang despotik. Despotisme juga bisa lahir dari konservatisme yang mendapat sokongan politik. Menguatnya konservatisme di Indonesia bisa jadi seperti yang dikatakan Baqir (2013) bahwa ketika pemerintah tampak seperti tidak peduli untuk menjaga batas-batas wacana publik, beberapa varian kelompok konservatif itu seperti mendominasi. Karenanya, tidak selalu negatif jika dalam tulisan ini penulis merekomendasikan untuk penguatan pemerintah untuk mengontrol conservative turn dalam wacana publik.

KONSERVATISME ISLAM SEBAGAI TUNGGANGAN POLITIK: PENGALAMAN TUNISIA

Beberapa kasus di Indonesia, sekilas mirip dengan dalam sejarah Tunisia modern, di mana konservatisme Islam ditunggangi oleh politik. Haddad dan Bourguiba adalah contoh di mana politik menunggangi konservatisme di Tunisia. Haddad yang oleh Tha’alibi diberi signal untuk meneruskan kepemimpinan dalam partai harus menghadapi tragedi “penggulingan” agar ia tidak mewarisi kepemimpinan pendahulunya Tha’alibi. Berawal dari pergumulan dalam tubuh partai, kemudian dipolitisasi menjadi provokasi berbalut isu penistaan agama melalui masterpiece Tahir Haddad dalam bidang sosial-keagamaan, yaitu Imra’atuna fi al-Syari’ah wa al-Mujtama’. Ibn Milad (1991) menggarisbawahi peristiwa itu dengan sebuah ungkapan: Siyasatun qabla an-takuna diniyyatan. Berawal dari persoalan politik kemudian melebar menjadi persoalan keagamaan.

Haddad terjun langsung dalam gerakan kebangsaan sejak awal berdirinya partai al-Dustur pada saat statusnya masih sebagai pencari ilmu di Jami’ Zaytuna. Dia aktif dalam surat kabar milik partai. Dia banyak menulis di situ. Dia juga mendirikan organisasi yang diberi namaiMuqawamah al-Bida’ wa al-Israf di bawah pimpinan Husayn al-Jaziriy (pemilik surat kabar al-Nadim) yang didirikan dengan misi perlawanan terhadap zawiyah dan tarekat sufi, serta life-style sebagian besar masyarakat Muslim Tunisia yang dikenal boros saat itu. Pada saat ia ingin mendirikan serikat buruh/pekerja (al-niqabat al-‘ummaliyyah), dengan keyakinan bahwa pendirian serikat ini akan dapat membuka jalan bagi kemerdekaan buruh, dan mengajukan proposal kepada partai untuk bersedia mendanai serikat tersebut, namun niat dan usaha dan permintaannya tersebut tidak dikabulkan oleh pengurus partai lainnya. Pasca penolakan itu, Haddad mengurangi aktivitasnya di kepartaian. Ia bersama-sama dengan Muhammad al-Dar’i memberitakan ke publik bahwa partai tidak berkeinginan mendukung serikat buruh. Haddad lalu dinilai telah memecah-belah internal-partai dan merusak perjuangan partai. Di tempat lain, lajnah tanfidziyyah partai juga masih menyimpan konflik dengan Haddad. Maka saat Haddad meluncurkan bukunya Imra’atuna fi al-Syari’ah wa al-Mujtama’, kalangan partai yang tidak bersimpati dengan Haddad semakin melihat adanya penyimpangan yang dilakukan oleh Haddad sebagai kader partai, meski dalam buku tersebut terdapat pemikiran-pemikiran progresif dan berani, jika dibandingkan dengan tulisan-tulisan dalam tema yang sama pada periode ini.

Kalangan partai kemudian memanfaatkan pemikiran-pemikiran Haddad ini sebagai jalan untuk merusak ketokohan Haddad. Prahara pun terjadi, sebab partai akhirnya mengeksploitasi isu ini menjadi isu keagamaan di masa itu. Konflik yang terjadi antara Haddad dan orang-orang di internal partai digiring kepada persoalan agama untuk menutupi akar konflik sebenarnya. Konflik politik internal partai bermetamorfosa menjadi konflik keagamaan, syariah, hukum Islam. Karya Haddad kemudian diserang oleh banyak sekali penulis saat itu, di antaranya adalah Syaikh Raji Ibrahim, anggota lajnah tanfidziyyah, bukan cuma itu, masyayikh Zaytuna juga turut meramaikan pergumulan ini. Mereka mengkitik, menerbitkan sejumlah karya yang meng-counter pikiran-pikiran Haddad. Pimpinan tertinggi Jami’ Zaytuna juga mengeluarkan rekomendasi untuk “membredel” karya Haddad sekaligus mencabut gelar akademik yang pernah diraihnya dari Jami’ Zaytuna. Anehnya, pasca pecahnya partai pada tahun 1934, tokoh-tokoh partai kubu al-diwan al-siyasiy mengklaim bahwa Haddad adalah bagian dari mereka yang mereka dukung serta mereka anggap sebagai “tumbal” politik lajnah tanfidziyyah.

Pasca kepemimpinan Tha’alibiy, al-Hurr al-Dusturiy menciptakan dua sayap di internal partai. Sayap pertama dimotori oleh Bourguiba yang menguasai al-diwan al-siyasi atau Bourgibiyyun di mana ke-Tunisan (al-huwiyyah al-tunisiyyah) sebagai ideologinya yang tidak pro-Timur atau pro-Barat (la syarqiyyatan wa la gharbiyyah). Dan sayap kedua, Salih Bin Yusuf yang memotori al-amanah al-‘ammah atau Yusfiyyun yang menggunakan kekuatan Arab-Islam sebagai ideologinya, menimbulkan ketegangan di internal partai. Pergolakan politik ini mendesak Bourguiba menentukan pilihan politik liberal-sekular. Pada saat yang sama, Bin Yusuf bergabung dengan kekuatan Islam tradisionalis dan tokoh-tokoh yang berafiliasi dengan nasionalisme Arab dan Timur Tengah. Pedagang dan petani kaya yang berasal dari dua wilayah Sfax dan Jerba juga berada di belakang dan mendukung keputusan politik Bin Yusuf, termasuk juga masyarakat dari Selatan Tunisia. Bin Yusuf juga tercatat menghadiri KTT Asia-Afrika di Bandung tahun 1955. Di sini ia mempertegas posisi politiknya dan aliansinya dengan Jamal ‘Abd al-Nasir Presiden Mesir saat itu. KKT Bandung ini mengeluarkan sejumlah rekomendasi yang kontra terhadap Barat. Di tahun yang sama, pada tanggal 14 Oktober, Bourguiba menghadiri pertemuan di Kairo. Pertemuan itu mempertegas posisi politik Bourguiba untuk berafiliasi kepada Barat. Pertemuan Kairo ini melahirkan sejumlah keputusan diantaranya yang paling penting adalah sayap al-diwan al-siyasiy pimpinan Bourguiba menarik dukungan dan memisahkan diri dari partai al-hurr al-dusturiy. Konflik dengan Bin Yusuf dan al-Yusfiyyun mendorong Bourguiba mempercepat dan meneguhkan aliansinya dengan Perancis, bukan saja dalam masalah politik, tapi juga dalam masalah budaya. Karenanya, pasca konflik itu, Bourguiba melakukan sterilisasi sebanyak mungkin terhadap pengaruh Arab-Islam.

Ketegangan politik antara Bourguiba dan Bin Yusuf juga memantik sentimen konservatisme di Tunisia. Saat Majallat al-Ahwal al-Sykhshiyyah (MAS) dirilis tahun 1956 yang merupakan produk undang-undang pertama masa pemerintahan Bourguiba dalam masalah hukum keluarga, Salih Bin Yusuf, menurut catatan Kenneth J. Perkins, yang menjadi rival politik Bourguiba, menuduhnya melakukan pengharaman terhadap sesuatu yang dihalalkan Tuhan dan sebaliknya, terutama dalam pasal 18 tentang pelarangan poligami MAS 1956. Menurut keterangan Mastiri, ketegangan antara Bourguiba dan Bin Yusuf berawal dari persoalan politik di internal partai al-hurr al-dusturiy. Keduanya berkompetisi untuk merebut kekuasaan sebagai ketua partai pada permulaan tahun 1954. Sebagaimana diketahui secara umum bahwa Salih Bin Yusuf tidak menerima menjadi orang nomor dua di Republik Tunisia. Secara kepartaian, Bin Yusuf merupakan al-amin al-‘amm dan Bourguiba sebagai ketua al-diwan al-siyasi yang mengeksekusi program kerja partai. Selain itu, keduanya juga bersitegang dalam hal kesepakatan kemerdekaan dalam negeri Tunisia. Pasca Bourguiba menjadi presiden, kompetisi itu berlanjut menjadi serangan-serangan terhadap pemerintahan Bourguiba (al-tanafus alladzi tahawwala ila shira’ a’a al-hukm).

Kelompok salafi juga memanfaatkan isu agama untuk menyerang Bourguiba yang mereka cap sebagai pemimpin yang mengganti wajah Tunisia yang dahulu merupakan sebuah negara Islam menjadi negara sekular-kafir jika dibandingkan dengan negara-negara Arab lainnya. Meski konstitusi Tunisia tahun 1959 dalam Bab I tentang Aturan Umum Pasal 1 dengan tegas menyebut bahwa Tunisia merupakan negara Islam di mana bahasa Arab menjadi bahasa resmi negara, dan republic sebagai sistem pemerintahannya (tunis dawlatun mustaqillatun, dzatu siyadatin, al-islamu dinuha, wa al-‘arabiyyatu lughatuha, wa al-jumhuriyyatu nizamuha), namun terlihat bahwa kelompok salafi belum merasa puas sebab pasal satu konstitusi Tunisia tahun 1959 tidak menyebut syariat Islam sebagai landasan konstitusi dan sistem pemerintahannya. Bagi Bourguiba, sebagaimana pidato yang disampaikannya tertanggal 23 Februari 1965, bahwa Islam adalah sebagai perekat kuat yang menyatukan seluruh elemen umat, menjadikannya seperti satu tubuh meski mereka berbeda. Bourguiba menunjukkan bahwa ia mampu menyatukan masyarakat dengan meunifikasi hukum dan peradilan dalam satu undang-undang dan peradilan di mana warga negara dari suku, agama, ras, dan agama apa pun tunduk pada pada aturan di dalamnya. Pernyataan Bourguiba ini senafas dengan Bhinneka Tunggal Ika di Indonesia. Menurut penulis, Bourguiba berhasil memenangkan perdebatan sekitar sistem pemerintahan yang tercantum dalam konstitusi Tunisia tahun 1959 Bab I tentang Aturan Umum Pasal 1 untuk sebuah negara baru pasca kemerdekaannya. Fadhil ibn ‘Asyur secara resmi pernah menyusun draf rancangan konstitusi negara baru Tunisia. Dalam draf tersebut disebutkan bahwa Tunisia merupakan negara Islam dengan menerapkan manhaj Islam atau syariat Islam dalam pemerintahannya. Namun, faktanya meski mereka sepakat bahwa Islam adalah agama resmi negara Tunisia, namun syariat Islam tak pernah ada dalam konstitusi Tunisia tahun 1959 itu.

Di level global, Bourguiba difatwakan kafir dan murtad oleh Syaikh Bin Baz. Luthfi Hajji mengutip fatwa Bin Baz tahun 1401 H yang berjudul: al-radd ‘ala al-ra’is Abi Bourguiba (hakadza) fi-ma nusiba ilayhi min dzalik. Selain memfatwakan kafir dan murtad terhadap Bourguiba, Bin Baz juga menyerukan kepada seluruh pemimpin di negara-negara Muslim untuk memutuskan hubungan diplomatik-politik dengan Bourguiba sampai Bourguiba mau bertaubat atas pandangannya yang melarang poligami dan kesetaraan dalam pembagian waris.

Meski banyak kritik terhadap relasi Bourguiba dan Islam, namun pembelaan terhadap Bourguiba selalu disuarakan oleh masyarakat dan ulama Tunisia. Ketika banyak orang yang menyalahkan Bourguiba karena pidatonya tentang kebolehan berbuka bagi bagi sejumlah profesi di Tunisia, sejumlah Imam di Bizerte justeru mengeluarkan keputusan bersama untuk mendukung Bourguiba. Ahmad al-Mastiri menegaskan perlunya pembacaan ulang terhadap sejarah pemerintahan Bourguiba bagi generasi hari ini. lembaran-lembaran kelam tentang sejarah Bourguiba banyak ditulis di masa presiden selanjutnya, dan semakin menguat terutama pada tahun 2000 pasca wafatnya Bourguiba. Sejumlah tulisan itu hanya memuat sisi gelap dari kehidupan Bourguiba tanpa menampilkan sisi positif dari seorang Presiden pertama Tunisia tersebut dengan target generasi baru Tunisia. Muhsin Marzuq (Ketua Organisasi Arab Demokrat) mengatakan bahwa Bourguiba adalah seorang Muslim moderat-reformis. Ini menyangkal pernyataan yang mengatakan bahwa Bourguiba adalah sekularis, berseberangan dengan agama. Bagi Amal Musa, Bourguiba bukanlah seorang kafir, dia juga bukan seorang ateis. Bourguiba menurut Musa, melihat Islam sebagai agama yang harus memiliki pemahaman kontemporer tanpa melepaskan turath. Umat harus memiliki pemahaman baru terkait dengan hubungan antar manusia di era modern.

KESIMPULAN

Peristiwa sejarah di Tunisia, paling tidak dapat menggambarkan kepada masyarakat di Indonesia, betapa sebenarnya politik itu sangat mungkin sekali menunggangi konservatisme Muslim Indonesia. Membersihkan politik untuk tidak menunggangi konservatisme Islam bukanlah persoalan mudah. Namun, jika itu dapat dilakukan, tidak tertutup kemungkinan munculnya kembali wajah ramah Islam Indonesia. Semoga. Wallahu a’lam bi al-shawab.

– Budi Juliandi –

* Makalah ini disampaikan pada diskusi Friday Forum IAIN Langsa, 23 Februari 2018
Budi Juliandi – Dosen IAIN Langsa

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Sumber gambar tajuk sebelum olah digital: flickr USArmyAfrica, lisensi CC By 2.0

Categories
Penulis Tamu

ISLAMISME DAN ETNONASIONALISME DI ACEH: SUATU PERLOMBAAN

Pada awalnya memang benar Gerakan Aceh Merdeka (GAM) didirikan untuk menjadikan Aceh sebagai sebuah negara merdeka yang berlandaskan agama Islam. Tetapi dalam masa awal perjalanannya itu, ketika estafet komando beralih dari Daud Beureueh kepada Hasan Tiro, paradigma GAM telah berubah. Tidak mengirim senjata pesanan Daud Beureueh setelah diberikan uang, sebenarnya adalah penegasan bahwa Hasan Tiro berpandangan berbeda dengan Daud Beureueh. Hasan Tiro tidak setuju Aceh menjadi sebuah negara berlandaskan Islam.

Ada empat alasan utama kenapa Hasan Tiro tidak menginginkan Aceh menjadi negara Islam. Pertama, dia melihat negara-negara Barat maju tetapi landasan negaranya bukan agama. Kedua, menurutnya, agama adalah nilai, bukan sistem. Sehingga tidak mungkin dapat menjadi prinsip sebuah negara. Ketiga, bila yang dikumandangkan ke negara-negara Barat bahwa Aceh akan menjadi negara Islam bila merdeka nanti, maka tidak akan mendapatkan apresiasi. Keempat, dan ini paling penting, tidak perlu menjadikan Islam sebagai sebuah aturan legal-formal, tidak perlu syariat Islam dibirokratisasi karena masyarakat Aceh memang sudah sebagai Islam sampai ke sumsum. Identitas Aceh adalah Islam itu sendiri. Aceh dan Islam identik.

Alasan keempat adalah penjelas identitas GAM di bawah Hasan Tiro. Semua yang ingin melakukan apapun yang melibatkan GAM, baik secara langsung maupun tidak, harus paham alasan itu. Siapa saja yang tidak mengindahkan alasan keempat tersebut, tetapi membonceng GAM untuk kepentingannya sama dengan mengganggu gerakan GAM.

Sama seperti PUSA yang terpecah menjadi kelompok yang naik gunung dengan kelompok yang bertahan di birokrasi, GAM setelah dikomandoi Hasan Tiro juga sebenarnya terpecah menjadi kelompok yang mengikut kepada pandangan sekular Hasan Tiro dan yang tetap setia kepada prinsip islamisme Daud Beureueh. Kelompok terakhir ini seharusnya memilih keluar dari GAM. Tetapi elitis GAM pendukung Hasan Tiro juga tidak mengusir mereka. GAM tetap membutuhkan mereka dengan harapan dapat menjadi penyambung lidah GAM kepada Jakarta. Fokus negosiasi GAM memang bukan Jakarta, tetapi tetap saja itu perlu.

Tetapi kehadiran kaum Islamisme ternyata memberikan banyak kerugian bagi GAM. Mereka terus-menerus berusaha meyakinkan Jakarta bahwa keinginan masyarakat Aceh tetaplah formalisasi syariat Islam. UU keistimewaan Aceh 1959 harus disempurnakan dengan sebuah aturan hukum yang jelas. Tuntutan itu dipenuhi Jakarta pada 1999 dan disempirnakan pada 2001. Terbitnya landasan aturan hukum formalisasi syariat Islam adalah hasil lobi kaum islamisme. Tentu saja Jakarta mempertimbangkan tuntutan kaum Islamisme karenan mempertimbangkan kekuatan senjata GAM. Padahal GAM tidak menuntut itu. Keinginan GAM cuma merdeka. Petinggi GAM sampai sekarang yakin bahwa formalisasi syariat Islam di bawah Pancasila dan UUD ’45 adalah omong kosong.

Jelas kaum Islamisme telah “jual nama” tanpa izin. Dua nama sekaligus. Pertama masyarakat Aceh, kedua nama GAM. Meskipun nama kedua ini tidak dijual secara langsung. Kaum Islamisme jelas memainkan sistem politik Machiavellian dalam lobi mereka. Di depan mereka tampil sebagai akademisi dan birokrat berusaha meyakinkan Jakarta bahwa rakyat Aceh menuntut formalisasi syariat Islam. Tetapi Jakarta melihat GAM di belakang mereka.

Nama masyarakat Aceh juga dijual. Ide formalisasi atau birikratisasi syariat Islam tidak ada dalam imajinasi masyarakat Aceh. Masyarakat Aceh tidak punya masalah dalam menjalankan syariat Islam. Mereka tidak terbentur dengan regulasi-regulasi negara. Yang berbenturan dengan regulasi negara adalah kaum islamisme itu, mereka adalah birikrat, baik birokrat kampus maupun birokrat administrasi. Merekalah yang berada dalam sistem negara. Jadi, yang berbenturan dengan regulasi negara dalam beragama adalah mereka. Tetapi mereka menjual nama masyarakat Aceh. Padahal mereka tidak dekat, mereka parsial dengan masyarakat. Mereka hanya mengenal masyarakat melalui observasi dan penelitian. Persis seperti Annemarie Schimmel dan John L. Esposito yang mengenal Islam melalui penelitian. Kaum Islamisme mengenal masyarakat Aceh seperti Snouck Hurgrenje. Bahkan dalam hal ini, GAM jauh lebih mengenal masyarakat Aceh daripada kaum islamisme itu. Tetapi kaum islamisme menjual nama masyarakat Aceh dan memanfaatkan situasi untuk memenangkan kepentingan sendiri.

Tentu saja GAM menjadi marah. Tetapi GAM dalam dilema. Cover syariat Islam terlalu mudah dipakai kaum Islamisme untuk memprovokasi masyarakat dan menyudutkan GAM.

Kini perang telah usai. GAM telah menjadi sebuah sejarah. Kaum Islamisme telah memenangkan pertarungan. Kini mereka telah memiliki banyak pekerjaan di luar kantor dan kampus. Lumayan besar dibandingkan gaji, tunjangan kinerja dan sertifikasi. Mereka juga telah memegang sebuah kata kunci keramat yang bernama ‘syariat Islam’. Kata kunci itu sangat mudah untuk menghipnotis masyarakat Aceh. Semua keuntungan itu dibangun dengan, mengutip istilah Muhammad Alkaf, “kematian Darussalam”.

Mantan petinggi GAM juga umumnya sudah sibuk dengan proyek. Proyek-proyek yang dihasilkan dari darah “syuhada”.

Mantan GAM kini juga tidak terlalu peduli lagi. Arah mereka memang telah kacau sejak Hasan Tiro uzur. Saya yakin menjelang MoU 2005, kebijakan-kebijakan GAM tidak lagi murni berdasarkan arahan Hasan Tiro. Sepertinya pada akhir umurnya, GAM telah terlalu banyak dikendalikan oleh kaum Islamisme yang bergenealogi intelektual pada alumni PUSA. Di lapangan, sejak 1998 komado GAM juga sudah tidak sistematis. GAM yang awalnya mengedepankan negosiasi internasional sudah mengarah fokus kepada perang.

Dominasi narasi oleh kaum Islamisme tidak terbendung lagi. Kini tinggallah dilema. Islam akan hilang sebagai prinsip nilai masyarakat Aceh. Islam sudah dirampas oleh kaum Islamisme dari masyarakat Aceh dan diserahkan kepada negara. Kini, Islam bukan lagi milik masyarakat, tetapi sudah menjadi milik negara. Ketika Islam sudah dibirokratisasikan, maka Islam harus tunduk pada nomenklatur negara. Penyelenggaraan Islam tergantung kepada kebijakan, anggaran, mekanisme administrasi negara.

– Miswari* –

*Penulis adalah pengajar Filsafat Islam di IAIN Zawiyah Cot Kala Langsa dan Penulis buku Filsafat Terakhir.

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Sumber gambar tajuk sebelum olah digital: pixabay.com

Categories
Diskusi

Aceh Pasca 2005: Ruang Politik untuk Syariat Islam*

Mesjid di pusat kota Beureuneun, Pidie, belum selesai dibangun. Compton yang datang dari Banda Aceh, melihat bangunan itu dari jauh, dan membayangkan perasaan yang sedang dialami oleh Daud Beureuh. Tujuannya datang ke kota itu untuk menemui Daud Beureuh, ulama sekaligus pemimpin politik Aceh. Beureuh sedang gusar dan frustasi. Negeri yang dia bela mati-matian di zaman revolusi fisik, ternyata tidak seiring sejalan dengannya kemudian hari. Compton hendak melihat kegusaran itu dari dekat. Kegusaran, yang dibaca dari Jakarta akan menimbulkan gesekan yang tidak kecil.

Dari dekat, Compton menyaksikan, Daud Beureueh yang ditemuinya lebih mirip pensiunan tentara ketimbang ahli agama. Badannya kurus dan kokoh. Compton memperhatikan betul gesture pemimpin yang paling dihormati sejak tahun 1930-an itu. Memperhatikan apa yang akan dilakukannya ketika Aceh yang berjasa, tidak mendapatkan balasan setimpal. Balasan yang diyakini oleh pemimpin Aceh kala itu, dapat mengembalikan daerah ini jaya seperti dalam masa lalunya

“Kami ingin Aceh ini seperti zaman Iskandar Muda,” kata Daud Beureuh dengan masygul. Ucapan disampaikannya dengan mendalam, sampai-sampai membuat pengikutnya yang hadir pada pertemuan itu menjadi menjadi kikuk.

Fragmen menarik ini dapat dibaca di buku Boyd R. Compton, Kemelut Demokrasi Liberal: Surat-surat Rahasia Boyd R. Compton (1992). Buku yang diterbitkan oleh LP3ES ini adalah kesaksiannya, atas peristiwa politik di zaman ketika nasion sedang dibangun. Buku ini memuat banyak cerita, tentang hiruk pikuk politik. Tentang Aceh dan Daud Beureuh. Mengenai Sukarno. Islam yang terus mencari jalan. Dan, Indonesia yang terus mencari keseimbangan. Buku yang sebenarnya berasal dari surat-suratnya itu, kemudian menjadi warisan Compton.

Compton berada di Indonesia untuk menyelesaikan studinya, namun gagal. Sehingga dia tidak dikenal sebagai ahli politik. Namun surat suratnya itu menjadi penting karena menjelaskan hal yang luput dari peneliti lain tentang Indonesia.

“Kendatipun Compton gagal menulis disertasinya — analisa-analisa politik Indonesia tahun lima puluhan –dalam bentuk surat-surat panjangnya –toh sangat berharga untuk disimak,” tulis Fachry Ali dalam pengantarnya.

Dari Compton kita melihat Beureuh sebagai perwujudan imaji terdalam dalam masyarakat Aceh: bahwa kembali ke masa lalunya yang agong adalah pra-syarat untuk kemajuan di masa mendatang. Iskandar Muda tentunya dimaknai sebagai raja besar yang memiliki kekuatan dan menjalankan syariat Islam. Apalagi dengan cerita, bahwa dia telah menghukum putera mahkotanya, karena melanggar syariah. Sebuah tindakan heroik yang dikenang melalui hadih maja “mate aneuk meupat jeurat, gadoh adat pat ta mita.” Adat di sini ditafsirkan sebagai penegakan syariah Islam.


Aceh oleh generasi Beureuh dibangun dengan imaji dan ingatan kolektif mengenai Islam, ketika generasi Beureuh berada di zaman yang saling silang. Hal yang diakibat bertemunya Aceh dengan kemajuan yang dibawa oleh bangsa Barat atas praktik kolonialisme. Perjumpaan itu yang dinamakan dengan modernisme. Sebuah ide yang menolak dan mengambil dari Barat sekaligus. Dari jalan Barat, generasi Beureuh memahami tentang Aceh yang baru. Lalu membangun apa yang diyakini dari masa lalunya; Islam. Tanpa Islam, maka bukan Aceh. Konstruksi itu dilakukan dengan baik oleh generasi Beureuh, dan diceritakan melalui kisah epos perang suci Aceh melawan Belanda, yang diwakili sosok Tgk. Chik di Tiro.

T.A. Talsya, wartawan cum sasterawan menyebut sosok ini yang memiliki perasaan meluap-luap untuk memimpin perjuangan melawan kaphe Belanda. “Dengan penuh kesadaran dan semangat anti Belanda (kafir) yang melupa-luap, beliau bersedia untuk memimpin perjuangan suci ini,” tulisnya.

Sosok ini pula yang menjadi inspirasi generasi Beureuh ketika mengobarkan semangat jihad, melalui maklumat ulama, 15-10-1945, untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan Indonesia,

“…bahwa perjuangan ini adalah sebagai sambungan perjuangan dahulu di Aceh yang dipimpin oleh Almarhum Tgk. Chik di Tiro dan pahlawan-pahlawan kebangsaan yang lain.” (Hasjmy, 1984)

Bahkan atas nama Tgk. Chik di Tiro pula, PUSA menyusun sebuah memorandum politiknya, di tahun 1950, mengenai keabsahan ulama untuk memegang posisi kepemimpinan di Aceh yang kosong, akibat perang yang berkecamuk.

“…Karena itu, pendirian PUSA adalah jawaban terhadap kekosongan kepemimpinan. Maka PUSA mengambil alih kepemimpinan Aceh. Berdasarkan kenyataan bahwa ulama Tiro yang akhirnya memegang hak kepala negara Aceh, kebangkitan PUSA sebagai organisasi ulama telah sekaligus menjadi pewaris langsung dari kekuasaan sultan.” (Ali dkk, 2008)

Namun ironi, dengan nama Tgk. Chik di Tiro pula, Sukarno meyakinkan Daud Beureueh untuk mempertahankan proklamasi 1945. Bahwa peperangan yang berkobar-kobar dalam revolusi nasional, merupakan maksud perang yang digelorakan oleh Tgk. Chik di Tiro.

”Kakak! Memang yang saya maksudkan adalah perang yang seperti telah dikobarkan oleh pahlawan-pahlawan Aceh yang terkenal seperti Tgk. Chik di Tiro dan lain-lain…” Pungkas Sukarno dalam dialognya dengan Daud Beureuh di tahun 1947 (El Ibrahimy, 1984).

Disebut ironi karena fragmen itulah yang menjadi titik anjak kemarahan berdekade antara Aceh dengan Jakarta. Maksud Aceh membantu mempertahankan proklamasi kemerdekaan Indonesia, guna mengembalikan Islam di Aceh seperti zaman Iskandar Muda. Dan apa yang telah ditunjukkan oleh Tgk. Chik di Tiro dalam peperangan suci. Namun yang terjadi, Aceh dilebur ke dalam provinsi Sumatera Utara. Hal yang kemudian memulai narasi perlawanan Aceh terhadap Jakarta.

Perlawanan pertama melalui Darul Islam, dipimpin oleh Daud Beureuh. Meletus tahun 1953 dan berhenti di tahun 1962, melalui upaya damai dan bermartabat, baik melalui Ikrar Lamteh dan Kongres Kerukunan Rakyat Aceh. Darul Islam adalah gerakan politik menuntut apa yang belum diberikan, hak untuk melaksanakan Syariat Islam. Hak tersebut diberikan melalui skema Daerah Istimewa Aceh.

Perlawanan kedua, melalui Gerakan Aceh Merdeka, 1976-2005, dipimpin oleh murid Daud Beureuh, Hasan Tiro. Berbeda dengan Darul Islam, perlawanan kali ini adanya perpindahan gagasan, dari islamisme ke (etno)nasionalisme. Gagasan yang dibangun dengan letupan bedil itu, akhirnya juga berhenti di meja perundingan. Berdamai di Helsinki. Lalu, kembali, otonomi khusus diberikan untuk Aceh. Perbedaannya, kali ini lebih besar wewenangnya yang diberikan, dibandingkan setelah penyelesaian peristiwa Darul Islam. Ada kebebasan untuk menampilkan eskpresi politik dan budaya lokal, penguasaan sumber daya alam, pembagian alokasi dana yang lebih besar dan wewenang luas untuk melaksanakan syariat Islam.

Pendeknya, perdamaian dari Helsinki telah membuka ruang politik yang lebar untuk segala ekspresi yang ada. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa ide Syariat Islam malah semakin mendapatkan ruang politiknya, paska 2005, di saat ruang itu dibuka oleh gerakan yang tidak mengusung gagasan islamisme.


Tulisan ini[ref]Bagian ini telah dipublikasi di http://www.bung-alkaf.com/2017/12/08/gam-setelah-41-tahun-demokrasi-dan-ruang-politik-untuk-syariah/[/ref] hendak menjawab pertanyaan di atas melalui penelusuran secara genealogis.

Sejak memasuki abad kontemporer, Aceh telah membuka ruang untuk melakukan perbincangan antara gagasan Islam dengan nasionalisme. Cita-cita mengenai kejayaan Islam Aceh di masa lampau, kemudian dicoba terapkan dalam eksperimen politik modern. Melalui pertemuan dengan gagasan baru yang bernama Indonesia. Untuk itu, Aceh menjadikan Islam persyaratan utama ketika mendukung proklamasi Indonesia. Sehingga ketika Darul Islam Aceh itu terjadi, hal tersebut haruslah dilihat sebagai ungkapan politik untuk memasukkan Islam dalam kehidupan bernegara.

Perjumpaan Islam dan nasionalisme menjadi lebih tajam, ketika Hasan Tiro melakukan revisi terhadap gagasan kebangsaan Indonesia. Dia memasuki, bahkan berpindah dari gagasan islamisme kepada apa yaang disebut sebagai etnonasionalisme (Damanik, 2010). Untuk memperkuat gagasannya itu, Tiro menjadikan analisa sejarah dan hukum sebagai dasar pijakannya (Ali dkk, 2008).

Dua seting politik di atas penting sebagai cara membaca Aceh lebih utuh. Apalagi wajah Aceh tidak lagi sama setelah 41 tahun GAM dan 12 tahun kesepakatan damai di Helsinki. Perdamaian politik Helsinki itu telah menghentikan cita-cita kemerdekaan GAM dan berganti dengan jalan demokrasi.

Namun, ternyata, demokrasi memunculkan masalah berikutnya.

Ketika demokrasi hanya meniscayakan satu hal, yaitu, diskursif, ternyata tidak dapat diikuti sepenuhnya oleh para mantan kombatan. Karena demokrasi menyediakan ruang deliberatif, meminjam frasa dari Habermas, yang memungkinkan setiap ide, gagasan melalui proses yang diskursif dan melewati uji publik (Hardiman 2009).

Demokrasi yang meniscayakan diskursif dan uji publik demikian, tidak dikenal dalam tradisi pergerakan politik Aceh Merdeka. Demokrasi jelas menghendaki ruang percakapan publik yang luas, tentu tidak efektif dalam masa perang. Sebab perang, harus dibangun dengan agitasi dan propaganda. Sehingga yang terjadi adalah mantan kombatan, yang sudah berpolitik itu, malah gagal memanfaatkan ruang politik yang terbuka lebar sejak tahun 2005.

Dalam keadaan demikianlah, kita kemudian dapat mulai memahami, mengapa gagasan etnonasionalisme, sebagai ide utama organisasi GAM, itu kalah dengan gagasan islamisme, yang merupakan ide utama di Aceh sejak zaman revolusi nasional. Padahal, kedua topik pernah itu menjadi perdebatan sengit di masa-masa awal reformasi, tentang apakah Aceh lebih menghendaki formalisasi hukum syariah atau keadilan (baca: merdeka).

Formalisasi hukum syariah sendiri merupakan gagasan yang lama mengendap setelah berakhirnya peristiwa Darul Islam Aceh, yang terus dicoba dalam berbagai kebijakan pelaksanaan hukum syariah. Misalnya, apa yang dilakukan oleh Gubernur Hasby Wahidy, yang pernah menjadi aktivis pemuda PUSA , dengan membentuk Biro Unsur-Unsur Syariat Islam di tahun, yang berujung pada pergantiannya oleh Pemerintah Pusat oleh Muzakkir Walad di tahun 1968 (Nashir, 2013). Namun, cara rezim Orde Baru menangani Aceh demikian, dalam pandangan Sjamsuddin (1989) telah membuat Beureuh kecewa. Lalu, karena sentimen itulah terjadi perjumpaan antara veteran Darul Islam dengan Hasan Tiro, yang lebih menjadikan isu pengelolaan kekayaan alam, sebagai bentuk ketidakadilan Pemerintah Pusat kepada Aceh, sebagai alasan untuk melakukan perlawanan kembali.

Namun, ketika Tiro mulai bergerak kepada gagasan etnonasionalisme, ide islamisme masih kuat mengendap di kepala elite politik dan intelektual Aceh. Kelompok bahkan bergerak dari tengah untuk mendorong agenda politiknya itu.

Oleh elite politik, hal itu ditunjukkan dengan mendukung penuh kepada PPP untuk mengalahkan dominasi Golkar. Dukungan kepada PPP dijadikan sebagai tempat pertujukan komitmen Aceh terhadap Islam (Ali, 1996). Sedangkan oleh golongan intelektual, yaitu para sarjana dari IAIN Ar Raniry, Darussalam, lebih mengisi ruang-ruang birokrasi, seperti menjadi pengajar di perguruan tinggi, bekerja di Kementerian Agama dan menjadi pengurus di Majelis Ulama Indonesia. Selanjutnya gagasan-gagasan tentang Islam juga mendapatkan ruang diskursusnyanya di media Sinar Darussalam, sebuah majalah ilmiah yang terbit secara rutin sejak tahun 1969 sampai akhir tahun 1990-an.

Proses yang sistematis dari golongan elite politik dan intelektual tersebut, kemudian ikut menjelaskan mengapa setelah Aceh mendapatkan otonomi khusus di tahun 2001, untuk menjalankan Syariat Islam, maka produk hukum di bidang aqidah, ibadah, syiar Islam dan jinayah mampu dilahirkan dengan cepat.

Lalu, ketika ide islamisme bergerak dari tengah, di saat yang bersamaan, gagasan etnonasionalisme berada di pinggiran. Di saat pendukung gagasan islamisme menulis buku yang sistematis, mengadakan pengajaran dan seminar secara regular. Pendukung gagasan etnonasionalisme hanya mampu berpidato di tempat terpencil, mendengar ceramah dari kaset secara diam-diam, mencetak pamflet dan mengedarkan stensilan ceramah secara terbatas. Baru setelah rezim Orde Baru tumbang, ada peluang politik untuk membangun framing tentang etnonasioanalisme secara luas.

Ada euforia di sana-sini. Salah satunya dengan aksi-aksi kolosal, seperti referendum, mogok massal dan perayaan hari milad GAM secara terbuka. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama. Operasi militer dari pemerintah pusat berhasil membuat gagasan etnonasionalisme kembali ke pinggir. Bahkan setelah MoU Helsinki pun tidak mampu membawa gagasan itu kembali ke tengah, hatta mantan kombatan menduduki posisi politik yang strategis di Aceh.

Bahkan kini, produk hukum syariah lebih banyak lahir dan mendapat sambutan masyarakat, seperti Jinayah dan Hukum Acara Jinayah, Bank Syariah, Dinas Dayah dan keterlibatan ulama dalam memberi pertimbangan pada setiap kebijakan. Berbanding terbalik dengan produk hukum bercorak etnonasionalisme yang tidak mendapat dukungan penuh bahkan memunculkan riak-riak perlawanan, seperti kelembagaan Wali Nanggroe, bendera, lambang dan himne Aceh.

Perubahan sosial politik ini tentulah tidak ajeg. Namun bila ditelusuri secara genealogis, dapat dikatakan, bahwa gagasan islamisme dalam bentuk formalisasi hukum Islam di Aceh, telah memenangkan pertarungan narasi. Dan akan semakin kuat posisinya dalam membentuk identitas politik dan budaya di Aceh di kemudian hari.

* Makalah ini disampaikan pada diskusi Friday Forum IAIN Langsa, 2 Maret 2018

 

Gambar sebelum olah digital diambil dari : republika.co.id.

Categories
Penulis Tamu

KRITIK NALAR PEMBANGUNAN JOKOWI

Mungkin Jokowi sangat geram dengan kartu kuning yang diberikan Ketua BEM UI. Presiden merasa, kerja keras yang telah dilakukan selama tiga tahun lebih itu tidak layak dibalas dengan kartu kuning: Air susu dibalas air tuba: kartu Indonesia sehat dan kartu Indonesia pintar dibalas kartu kuning.

Kerja keras apa yang dilakukan Jokowi? Dengan serentak pendukungnya akan menjawab: pembangunan. Karena itulah yang paling menonjol atau bisa jadi satu-satunya, prestasi Jokowi selama menjabat presiden.

Sebenarnya, untuk zaman mutakhir, pembangunan fisik atau infrastruktur bukanlah prestasi sebuah negara atau seorang kepala negara, apalagi menjadikan itu sebagai indikator keberhasilan politik (baca: presiden).

Pembangunan itu identik dengan permodalan. Di negara-negara maju, hampir pembangunan fisik bukan urusan negara. Hampir semua pembangunan fisik dilakukan oleh perusahaan.

Sebenarnya di Indonesia selama Jokowi menjabat juga begitu. Rata-rata pembangunan infrastruktur yang dibanggakan Jokowi itu berasal dari permodalan asing, khususnya Cina. Misalkan saja jalan tol.

Aneh menurut saya seorang presiden membanggakan diri dan menganggap pembangunan jalan tol sebagai prestasi. Jalan tol itu sama dengan naik roller coaster dan masuk bioskop: harus bayar! Aneh. Rakyat bayar pajak, tetapi menggunakan fasilitas layanan umum harus bayar. Jalan tol itu milik perusahaan. Kenapa bangga dan dijadikan objek kebanggaan seorang presiden?

Membangun jalan tol sama seperti membangun mall, hotel dan salon. Kok dibanggakan. Waduh.

Pengembang infrastuktur itu adalah perusaan asing. Yang paling diuntungkan adalah asing. Pengguna layanan tidak diuntungkan. Menggunakan jasa layanan dan membayarnya tidak disebut untung.

Tetapi tidak rugi? Tidak. Dalam konteks ini kita sangat rugi.

Pembangunan infrastuktur itu butuh bahan dasar. Semua itu dikuras dari alam. Alam diganggu stabilitasnya, dirusak untuk pembangunan fisik. Satu kilometer jalan saja membutuhkan satu buah bukit, baik itu untuk semen, pasir, tanah dan sebagainya. Apalagi di Indonesia yang hampir semua tanahnya lembek, berair. Butuh banyak material untuk membangun.

Pembangunan super ambisius tiga tahun terakhir telah merusak alam dengan sangat hebat. Belum lagi pembangunan-pembangunan oleh pengembang lokal; jalan misalnya, setiap tahun yang diperbaiki itu-itu saja. Semuanya telah menyebabkan kerusakan alam sangat parah.

Kegilaan kita membangun benar-benar akan membuat anak cucu kita nanti harus hidup dalam musibah bencana alam saban hari. Sementara mereka harus bayar untuk menggunakan fasilitas-fasilitas yang ada. Pembangunan-pembangunan lokal juga tidak akan dapat mereka rasakan karena dalam hitungan bulan saja semuanya telah rusak kembali.

Saya sangat yakin pembangunan-pembangunan itu semua bukan untuk pelayanan, melainkan karena mengikuti hawa nafsu. Pembangunan proyek besar untuk prestise dan pencitraan politikus dan pembangunan proyek kecil untuk memenuhi kebutuhan kredit alat berat oleh pengembang lokal.

Malah sering jalan di kampung-kampung menjadi tidak bisa digunakan setelah setahun diaspal. Padahal sebelum diaspal, hanya becek sedikit ketika musim hujan dan sedikit berdebu ketika musim kering.

Pembangunan: Alam semakin hancur, ikut serta pula menghancurkan apa yang sudah dibangun. Kalau gali lubang tutup lubang masih mendingan. Tetapi ini Meuhay taloe ngen keubeu, besar pasak daripada tiang.

Kita hanya memilirkan diri kita saja. Kita tidak ingat bagaimana rakyat kecil harus berjibun dengan musibah akibat ulah kita. Kita benar-benar melupakan bagaimana nasib generasi mendatang. Mereka harus hidup di alam yang sudah kita hancurkan. Mungkin kita dapat memuaskan keinginan anak kita dengan perusakan (baca: pembangunan) yang kita lakukan. Tetapi kita telah merusak kehidupan cucu dan cicit kita jauh sebelum mereka lahir.

– Miswari* –

*Penulis adalah pengajar Filsafat Islam di IAIN Zawiyah Cot Kala Langsa dan Penulis buku Filsafat Terakhir.

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Sumber gambar tajuk sebelum olah digital: USA today dan kompasiana.com

Categories
Penulis Tamu

BENARKAH KRISIS DI ARAKAN DISEBABKAN OLEH KONFLIK AGAMA DAN POLITIK MIGAS SEMATA?

Pada penghujung Agustus 2017 konflik di Arakan State1), Myanmar kembali terulang. Konflik ini mengakibatkan krisis kemanusiaan di Myanmar semakin meningkat. Rohingya yang merupakan etnis minoritas dan banyak bermukim di Arakan State, paling merasakan dampak dari konflik ini. Tercatat sejak konflik pecah pada Agustus, lebih dari 90.000 warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh2).

Pemberitaan krisis kemanusiaan ini menjadi headline pemberitaan dunia dan Indonesia. Dari pemberitaan media, pemerintah Myanmar tidak berupaya melindungi etnis Rohingya dalam konflik ini3). Bahkan pemerintahan Myanmar terkesan membiarkan upaya genosida yang dilakukan militer terhadap etnis Rohingya. Krisis ini kemudian menarik simpati besar warga dunia. Kecaman dan juga ucapan duka membanjiri lini masa sosial media dan juga pemberitaan dunia. Tidak sedikit yang berusaha untuk memberi analisa mengenai krisis kemanusiaan di Arakan State.

Ada 2 cara pandang mainstream masyarakat Indonesia dalam melihat krisis ini. Pertama, masyarakat yang melihat krisis terjadi karena adanya konflik antar agama antara Budha sebagai agama mayoritas dan Islam sebagai minoritas4). Sebagian lain melihat politik penguasaan Migas di Arakan State yang melatar belakangi krisis di Arakan State5). Dalam pandangan penulis 2 cara pandang tersebut belum menjelaskan akar yang menjadi latar belakang krisis di Arakan State.

Mempertanyakan keabsahan pandangan yang melihat krisis kemanusiaan di Arakan State disebabkan oleh konflik antar agama, tidak terlampau sulit. Kita dapat melihat kondisi umat Islam di negara bagian Myanmar lain apakah mengalami diskriminasi seperti di Arakan State atau justru hidup tenang tanpa gangguan6). Dalam pemberitaan mengenai kondisi di Myanmar sampai saat ini, terlihat krisis yang terjadi hanya di wilayah Arakan State.

Untuk itu, mengatakan krisis kemanusiaan ini disebabkan oleh pembantaian umat Budha terhadap umat Islam tidak benar-benar tepat. Kebetulan Rohingya merupakan etnis bermayoritas Muslim dan kebetulan mereka berada di Arakan State wilayah yang kerap berkonflik di Myanmar. Untuk itu, agama bukan faktor yang melatarbelakangi konflik.

Selanjutnya mempertanyakan keabsahan dalil politik penguasan Migas di Arakan State sebagai latar belakang konflik mungkin tidak mudah. Hal ini karena analisa ini sepenuhnya tidak salah. Memang adanya keinginan untuk menguasai kekayaan alam di Arakan State menyebabkan krisis ini semakin parah. Namun, benarkah krisis kemanusiaan di Arakan State di latar belakangi oleh politik Migas semata? Atau justru politik Migas hanya memperparah keadaan, bukan merupakan faktor kunci krisis kemanusiaan yang dialami oleh etnis Rohingya?

Secara garis besar tulisan ini berisikan pandangan penulis yang mengajak pembaca melihat krisis kemanusiaan di Arakan State akibat ketidaksetaraan perlakuan negara terhadap minoritas dan masyarakat yang dianggap bukan penduduk pribumi. Perlu diingat label minoritas yang didapatkan oleh Rohingya karena etnis bukan karena agama.

DARI PERUBAHAN KONSTITUSI KEMUDIAN BERAKIBAT PADA DELIGITIMASI KEWARGANEGARAAN

Seperti diketahui bersama, Rohingya bukanlah masyarakat asli Myanmar. Rohingya dibawa masuk kedalam wilayah Myanmar oleh pemerintah kolonial Inggris yang menguasai Myanmar pada tahun 18267). Secara etnis, Rohingya merupakan keturunan Bengali, yang sekarang banyak mendiami negara Bangladesh. Sampai saat ini pemerintah Myanmar masih melihat Rohingya sebagai penduduk ilegal asal Bangladesh.

Dalam hukum kolonial Inggris, Rohingya dimasukkan kedalam etnis yang diakui dan dilindungi oleh konstitusi. Namun, kondisi ini berubah ketika Myanmar merdeka lalu mengganti konstitusi negara sehingga Rohingya dikeluarkan dari etnis resmi Myanmar. Meski pada tahun 1950 istilah Rohingya sebagai etnis sempat di akui pada pemerintahan U Nu, namun ketika Militer Myanmar berkuasa pada tahun 1962, situasi mulai berubah.

Konstitusi baru yang dibentuk pada 1974, merupakan awal mimpi buruk nasib Rohingya di Myanmar. Etnis Rohingya mulai kehilangan status kewarganegaraan dibawah rezim militer. Tidak sampai disitu, pada tahun 1982, Myanmar mengeluarkan undang-undang kewarganegaraan yang meletakkan Rohingya sebagai pendatang asing. Kuatnya upaya pembentukan identitas nasional yang tidak memberi tempat bagi Rohingya sebagai “orang asli” Myanmar menjadi alasan kuat lahirnya kebijakan diskriminatif tersebut. Pemberlakuan Adaptation of Expressions Law Nomor 15 Tahun 19898) yang merubah nama Arakan menjadi Rakhine mempertegas upaya pembentukan identitas negara bermayoritas Budha.

Konflik di Arakan State tercatat terjadi pertama sekali pada tahun 1970an dan kembali terulang pada tahun 1990an. Kalau dilihat, rangkaian konflik yang terjadi beriringan dengan lahirnya kebijakan yang mengasingkan Rohingya dari kewarganegaraan resmi. Diamnya negara dalam pembantaian etnis Rohingya yang dilakukan oleh militer Myanmar pada pada tahun 2012-2013, menguatkan posisi negara yang tidak seimbang dalam melihat konflik di Arakan. Terlebih sejak kartu identitas putih yang dipegang Rohingya dihapus pada tahun 2015. Maka, jalan keluar yang selalu diambil oleh etnis Rohingya adalah keluar dari Arakan dan menjadi pengungsi di negara lain.

Hingga saat ini, kita masih dapat melihat sikap jelas pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya. Meski Aung San Su Kyi, mendeklarasikan pemerintahannya lebih demokratis, namun Su Kyi tidak pernah mengeluarkan pernyataan resmi terkait posisi etnis Rohingya sebagai etnis resmi dalam konstitusi Myanmar.

Status kewarganegaraann yang tidak sah, menyebabkan posisi etnis Rohingya dihadapan konstitusi Myanmar tidak diakui secara penuh. Adanya delegitimasi hak warga negara yang dialami etnis Rohingya menjadikan kondisi Rohingya kian tersisih dihadapan negara. Posisi ini kemudian menjadikan Rohingya sangat mudah mengalami tindakan diskriminatif, terutama dari pihak militer dan ekstrimis Budha.

MEMPERDALAM ANALISA DALAM MELIHAT KONFLIK DI ARAKAN STATE DAN UPAYA ADVOKASI KEDEPAN

Menggiring analisa krisis kemanusiaan yang dialami oleh Rohingya karena identitas agama, tidak memberi keuntungan berarti. Hal ini karena mudah dipatahkan dengan perbandingan kondisi umat muslim di negara bagian lain yang tidak mengalamai diskriminasi dari pemerintah maupun etnis mayoritas Myanmar. Begitupun dalam upaya melihat krisis ini terjadi karena adanya politik Migas, akan mempersempit persoalan pada konflik aset semata. Dua cara pandang tersebut menutup mata kita dalam melihat persoalan yang terjadi karena adanya ketidaksetaraan status warga negara dalam konstitusi Myanmar.

Intervensi terhadap Migas di Myanmar baru terjadi pada tahun 2000-an ketika Tiongkok mulai tertarik pada kekayaan energi di Arakan pada tahun 2004. Pipa gas milik Tiongkok kemudian selesai dikerjakan pada tahun 20139). Begitupun dengan intervensi Soros yang baru di mulai pada tahun 2003 dan semakin intens setelah tahun 2012 dimana upaya men-demokrasi-kan Myanmar mulai bergaung10).

Kalau melihat dari kacamata politik Migas, maka konflik yang terdekat sejak intervensi tersebut ialah pada tahun 2012. Pada saat itu konflik diyakini bermula setelah sekelompok pria etnis Rohingya dituduh memperkosa dan membunuh wanita Budhis. Konflik ini kemudian menjalar menjadi konflik antar entis di Rakhine (nama Arakan State setelah 1989). Posisi negara terutama Aung San Su Kyi menjadi dilematis ketika adanya tekanan dari kelompok ekstrim Budhis11). Konflik ini kemudian lebih disorot sebagai konflik antar agama, karena melibatkan ekstrimis Budha dan pejuang muslim Arakan.

Cara pandang ini mengesampingkan konflik-konflik di masa lampau yang sudah lebih dahulu sering terjadi. Melihat dari cara pandang diatas, konflik pada tahun 1970an dan 1990an, tidak bisa dianggap terjadi karena adanya politik Migas. Untuk, itu persoalan krisis di Arakan jauh lebih luas dan krusial ketimbang politik Migas maupun agama.

Sejatinya, persoalan utama etnis Rohingya adalah adanya delegitimasi hak konstitusi kewarganegaraan. Kondisi ini terjadi karena adanya pegaruh kuat negara dalam membentuk identitas negara. Dalam persoalan Myanmar, pembentukan identitas negara nasionalis-budhis menjadi sebab lahirnya kebijakan-kebijakan tersebut. Terlebih ketika upaya pembentukan identitas nasional dibantu oleh kekuatan militer yang kuat.

Hak yang dicabut ini kemudian menghilangkan kesempatan Rohingya untuk mendapatkan perlindungan dan perlakuan yang setara dan sama dihadapan negara. Pemisahan sikap pemerintah Myanmar ketika konflik pecah menandai hal tersebut. Hilangnya hak-hak konstitusi Rohingya menyebabkan Myanmar tidak melakukan upaya perlindungan bagi Rohingya.

Upaya negara-negara di ASEAN untuk menciptakan kondisi politik yang menyetarakan warga negara di Myanmar tidak bisa dilakukan dengan mengintervensi negara tersebut. Hal ini karena ASEAN memiliki prinsip yang tidak bisa mengintervensi politik negara anggota. Meskipun PBB memiliki intrumen Responsibility to Protect, namun negara-negara di ASEAN seperti Indonesia masih terikat dengan prinsip non-intervensi ASEAN12).

Terpilihnya Myanmar sebagai ketua ASEAN pada tahun 2014 dapat dilihat sebagai upaya negara-negara ASEAN yang ingin melihat negara ini merubah kebijakan politik kearah yang lebih demokratis dan bebas diskriminatif. Namun, perubahan nasib Rohingya di Arakan masih belum terjadi, karena pihak Militer masih menguasai pemerintahan Myanmar. Pemerintahan Aung San Su Kyi pun kini masih terkurung oleh kekuatan Militer yang masih sangat kuat. Usaha yang patut diberi apresiasi ialah dibentuknya Advisory Commision on Rakhine State yang di ketuai oleh Kofi Annan. Setidaknya ada sedikit kemajuan pemerintahan Aung San Su Kyi dengan memberi sedikit harapan terhadap konflik di Arakan State.

Dalam praktiknya tentu keberadaan komisi yang diketuai oleh Kofi Annan belum memadai perubahan di Myanmar. Untuk itu, negara-negara ASEAN perlu melakukan langkah advokasi dengan memperkuat basis civil society di dalam negara Myanmar. Civil society diharapkan menjadi alternatif yang dapat merubah Myanmar dari dalam. Perlu untuk memperkuat keberadaan civil society di Myanmar yang bekerja langsung di akar rumput, dan tidak memiliki kecenderungan politik.

Metta Development Foundation yang dipimpin oleh Lehpai Seng Raw13), dapat dijadikan contoh untuk kemudian melahirkan NGO-NGO sejenisnya, agar perubahan di Myanmar dapat terjadi dari dalam tubuh sendiri. Kekuatan civil society dapat pula membantu kampanye perubahan status kewarganegaraan Rohingya dan menjadikan Rohingya sebagai etnis resmi yang mendapatkan tentangan dari kubu nasionalis-budhis yang sudah lama berkuasa di Myanmar.

– Yogi Febriandi* –

Yogi Febriandi adalah Dosen Mata Kuliah Antropologi Agama serta Etnisitas dan Nasionalisme pada Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik di Universitas Negeri Malikulsaleh Lhoksemawe.

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Sumber gambar tajuk sebelum olah digital: wikimedia dengan lisensi CC0.

Categories
Penulis Tamu

Bersama Jokowi, Merawat Kemerdekaan

Di tengah turbulensi politik yang begitu mengguncang, isu terorisme yang terus mengancam, tindakan-tindakan intoleransi yang kian mengoyak rajutan tenun kebangsaan, tambah lagi reinkarnasinya gagasan-gagasan yang ingin mengganti Pancasila sebagai dasar negara, seolah tanpa lelah, Jokowi terus bekerja untuk merawat kemerdekaan Indonesia.

Sejak awal menjadi Presiden, Jokowi sudah menghadapi terpaan kekuatan politik oposisi, ditambah cacian dan hinaan, fitnah, kritikan, serta desakan untuk mundur. Belakangan, eskalasinya semakin meningkat. Isu komunisme ditebar menghantui rakyat, bahkan gelombang konservatisme yang melanda umat Islam Indonesia seolah dimanfaatkan untuk melawan pemerintah.

Categories
Penulis Tamu

Pancasila, Merajut Nusantara!

Jika kita berjalan dari barat hingga ke timur Indonesia, maka akan menemukan banyak sekali suku, bahasa, adat-istiadat, tradisi, dan kebudayaan. Kesemuanya itu hidup-subur secara terus-menerus dari generasi ke generasi. “Kekayaan” tersebut dapat menjadi aset berharga, namun jika diekploitasi bisa saja menjadi jurang pemisah yang menganga pula. Apa yang terjadi dalam satu dekade terakhir, akibat keterbukaan arus informasi-teknologi, siapa saja bisa menggunakan sosial-media tanpa saringan. Akibatnya gesekan-gesekan kecil mudah terjadi, saling hujat, sebar berita hoax, seolah-olah semua menyentuh esensi, padahal tidak sama sekali.

Sebenarnya, sesuatu yang dipolemikkan oleh beberapa kalangan itu sudah selesai dibahas saat negara ini hendak merdeka. Sejak pembentukan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan dibentuk pada 29 April 1945, pembahasan tentang falsafah yang mendasari negara itu secara maraton di perbincangkan. Dimana, badan ini memang diberikan mandat untuk menyusun rancangan Undang-Undang Dasar yang akan dipakai sebagai konstitusi tertulis jika kelak Indonesia merdeka.

Categories
Penulis Tamu

Pancasila dan Gebuk

Saya awali tulisan ini dengan mengutip sebuah kata yang diucapkan oleh Kakek Pramudya dalam  Novel Pikiran Indonesia,  “Sejarah itu penting,  Nak.”

“Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar – benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”  – Al-‘Ashr: 1-3

Novel Psiko-Historis Indonesia karya Hafis Azhari itu mengajak kita untuk membuka kembali lembaran-lembaran sejarah yang telah banyak dilupakan oleh diri kita sendiri. Bukan bermaksud untuk membuka luka lama atau aib, tetapi untuk sebuah penegakan keadilan dan kebenaran dibutuhkan bahasa ungkapan yang dapat membangkitkan dan menyadarkan suatu bangsa untuk beritikad keras agar tidak mengulangi dosa-dosa sejarah yang telah diperbuat oleh tangannya sendiri,  yang dampaknya justru ditanggung oleh generasi anak dan cucu dalam jangka panjang.

Pertengahan Mei 2017, Presiden Jokowi mengeluarkan pernyataan “jika ada yang melawan konstitusi akan “digebuk”. Apa itu “gebuk”? Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah memukul; menghantam. Pengamat komunikasi politik Tjipta Lesmana dalam bukunya “Dari Soekarno sampai SBY” mengatakan kata “gebuk” bermakna menghancurkan sampai rata tanpa belas kasihan.

Bagi sebagian orang pasti trauma mendengar kata-kata itu, terlebih lagi mereka yang pernah merasakan “digebuk”. Kenapa takut atau trauma? Kata-kata ancaman itu biasanya keluar bersamaan dengan ekspresi mata melotot dan tangan menggepal. Kata berbau ancaman ini potensial berujung pada berbagai bentuk tindakan, baik berupa kekerasan fisik maupun tindakan lainnya. Fakta sejarah masa lalu menyebutkan banyak sekali orang telah menjadi korban “gebuk”.

Kata “gebuk” identik dengan Soeharto. Karena salah satu dari sejumlah kata agresif paling menonjol yang pernah diucapkan  Soeharto adalah “gebuk”. Pada masa Presiden Soeharto berkuasa, diberlakukan “reifikasi” ke segenap unsur kehidupan bangsa. Dengan reifikasi kekuatan Orde Baru dibangun dengan mengandalkan kemampuan berbahasa yang ditafsirkan oleh penguasa,  hingga muncullah istilah-istilah baru yang direkayasa oleh mereka: Gestapu, GPK,  OTB, Ekstrim Tengah, Terorisme, Komunisme.

Sekalipun kata “gebuk” identik dengan Soeharto-tetapi realitasnya dalam dunia politik kekuasaan di Indonesia, tindakan “gebuk” lawan atau bahkan kawan sendiri sangat lazim terjadi, baik sejak zaman Orde Lama hingga reformasi.

Dalam catatan sejarah Orde Lama, banyak yang kena “gebuk”.  Sebutlah beberapa orang, seperti Tan Malaka, Buya Hamka, Tengku Daud Beureuh, dan berbagai peristiwa lainnya. Dari 1959 hingga 1965, Presiden Soekarno juga berkuasa secara otoriter di bawah label “Demokrasi Terpimpin”.

Tindakan “gebuk” semakin keras bentuknya, pada menjelang pergantian rezim Orde Lama ke Orde Baru. Terjadi berbagai macam konspirasi dan “gebuk menggebuk”. Peristiwa Dewan Jenderal-peristiwa terbunuhnya enam dari tujuh jenderal angkatan darat yang dituduh akan melakukan “kudeta”. Tidak lama kemudian, terjadi pembantaian terorganisir terhadap PKI dan simpatisannya serta masyarakat yang tidak tau apa-apa (tindakan “gebuk” terhadap PKI terus berlanjut hingga saat ini).

Akibat “gebuk” kekuasaan Presiden Soekarno akhirnya ambruk “digebuk” Soeharto. Presiden Soekarno sempat berusaha mempertahankan kekuasaannya-tetapi tidak dapat mengelak ketika beberapa Jenderal mengintimidasi Soekarno untuk menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966-yang memberi wewenang kepada Mayor Jenderal Soeharto guna mengambil langkah yang dirasa perlu memulihkan keamanan dan ketertiban.

Dua hari setelah penandatanganan Supersemar, Presiden Soekarno dibawa dari Istana Bogor ke Wisma Yaso (sekarang Museum Satria Mandala). Di sana, Presiden Soekarno dilarang membaca koran atau sekadar mendengar siaran radio.

Soeharto akhirnya berhasil mendapatkan kekuasaan Presiden secara de-facto dari Soekarno. Kemudian mengambil langkah kritis yang mengukuhkan peran politisnya ketika parlemen menunjuknya sebagai Pejabat Presiden. Pada Maret 1968, Soeharto secara resmi ditunjuk sebagai Presiden selama lima tahun oleh MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat).

Soeharto naik tahta dengan cara “menggebuk” dan tentu mempertahankan tahtanya dengan cara “menggebuk.” Dapat kita lihat sepanjang sejarah Orde Baru, Presiden Soeharto “menggebuk” siapapun yang bertentangan dengannya. Berbagai peristiwa “gebuk” terjadi pada ORBA. Rakyat Aceh dan Papua habis “digebuk” dengan penerapan DOM (Daerah Operasi Militer).

Dalam rentang waktu itu, Pancasila juga disalahgunakan demi kepentingan jangka pendek penguasa. Rezim Orde Baru menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal dalam bernegara. Dengan mudah menghapus kelompok masyarakat yang dianggap bertentangan dengan Pancasila.

Munir mengingatkan dalam buku “Membangun Bangsa Menolak Militerisme” paham monolitik dalam  militerisme di masa Orde Baru muncul dalam bentuk dominasi idiologi negara, atau yang dikenal Pancasila sebagai asas tunggal.  Suasana ini telah menjebak semua kekuatan ke dalam kecurigaan ideologis,  dan menyerahkannya kembali kepada negara (state) sebagai pemilik ideologi tunggal. Negara sebagai representasi dari ideologi,  dan sekaligus pemilik tafsir tunggal atas ideologi itu.  Rakyat sebagai bagian dari kesatuan bangsa,  haruslah menjadi bagian dari pendukung kekuasaan yang terbalut ideologi tunggal. Semua kekuatan yang muncul di luar restu negara,  dinilai sebagai upaya menentang ideologi tunggal. Maka dikenalkanlah istilah ekstrim kiri, ekstrim kanan,  ultra nasionalis,  ekstrim kanan kiri oke (karaoke), untuk menjelaskan protes penguasa atas lahirnya upaya perlawanan rakyat.

Pada akhirnya sekuat apapun Soeharto bertahan-bernasib serupa dengan pendahulunya,  Soerkarno. Apakah dalam hal ini “karma” berbicara. Saya mengutip kembali status facebook Afi Nihaya Faradisa yang menjadi viral di dunia maya. “Hidup adalah serangkaian “karma” yang berputar. Jangan harap bisa lolos dari kejaran karma, atau apapun yang biasa kau sebut: hukum tabur-tuai, sebab-akibat, ganjaran kebaikan-dosa, dan sebagainya”.

Mei 1998, Presiden Soeharto ambruk dari kekuasannya setelah “digebuk” oleh orang-orang terdekatnya,  massa rakyat dan mahasiswa. Bulan reformasi menerangi malam pergantian rezim. Banyak pihak mulai menata masa depan Indonesia yang lebih demokratis dan menghormati hak asasi manusia. Sejak awal reformasi, banyak pihak kemudian membangun kembali diskursus dan memaknai Pancasila sebagai falsafah negara dan nilai-nilainya harus diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tetapi sayangnya, oligarki tetap langgeng. Reformasi yang dicita-citakan tetap berada dibawah cengkraman oligarki. Tidak ada penanda garis demarkasi yang tegas antara rezim masa lalu dengan era reformasi. Agenda-agenda Keadilan Transisi  jauh dari harapan. Yang terjadi justru selama 19 tahun  reformasi juga “gebuk” masih menjadi prilaku elit politik, militer,  polisi dan masyarakat kita. Sebutlah Munir, Salim Kancil dan banyak lagi yang menjadi korban “gebuk” di era reformasi, termasuk Aceh dengan penerapan Darurat Militer (DM 2003), dan bahkan Papua hingga saat ini terus dilanda suasana mengerikan.

Sepuluh hari setelah 19 tahun usia reformasi, tepatnya pada 1 Juni 2017, Presiden Jokowi menetapkan 1 Juni  sebagai hari libur pertama untuk memperingatan Lahir Pancasila. Saya kutip dari koran Kompas “Rakyat Rayakan Pancasila”. Peringatan hari lahir Pancasila berlangsung meriah di sejumlah daerah di Indonesia. Hal ini menjadi awal yang baik untuk meneguhkan kembali kesadaran tentang Pancasila dan kebersamaan sebagai satu bangsa.

Presiden juga telah mengeluarkan Peraturan Presiden (PP) RI No. 54/2017 tentang Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila. Dalam bagian menimbang (a) dalam rangka aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara perlu dilakukan pembinaan ideologi Pancasila terhadap seluruh penyelenggara negara.

Tidak bisa dipungkiri, pengalaman masa lalu membuat banyak orang belum bisa percaya dan masih trauma dengan segala hal dan janji politik penguasa. Apalagi 20 hari lalu,  Presiden Jokowi masih memproduksi kata “gebuk”.

Muncul pertanyaan, apakah tanggal 1 Juni 2017 menjadi titik sejarah baru menuju masa depan yang lebih baik dan beda dengan masa rezim otoriter, atau putar balik ke masa lampau?

Tentu harapan kita agar sejarah tidak berulang- tidak ada lagi “gebuk menggebuk” dan orang-orang yang pernah kena “gebuk” bisa memperoleh haknya sebagaimana semangat Negara Pancasila.

#G_IQRA
#MFK-6Juni17

– Malik Feri Kusuma* –

Malik Feri Kusuma – Koordinator Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Jakarta

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Hak cipta gambar sebelum olah digital oleh : pixabay.com dan welogo

Referensi:

  1. Kompas.com, 2017, “Jokowi: Kalau PKI Nongol, Gebuk Saja”. http://nasional.kompas.com/read/2017/05/17/16433321/jokowi.kalau.pki.nongol.gebuk.saja.
  2. Okezone.com, 2015, “Perlakuan Kelewatan Soeharto pada Soekarno”. http://news.okezone.com/read/2015/03/11/337/1116780/perlakuan-kelewatan-soeharto-pada-soekarno
  3. Kompas.com, 2017, “Ini Status-status Afi yang Viral di Dunia Maya,”. http://regional.kompas.com/read/2017/05/30/06062481/ini.status-status.afi.yang.viral.di.dunia.maya?page=4
  4. tirto.id, 2017. “Politik Gebuk Menggebuk ala Soeharto dan Jokowi”. https://tirto.id/politik-gebuk-menggebuk-ala-soeharto-dan-jokowi-coXP
  5. Koran KOMPAS, 2017, “Rakyat Rayakan Pancasila”.
  6. Ken Conboy, 2007, Judul asli; Intel: Inside Indonesia’s Intelligence Service. Judul Indonesia; Intel; Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia. Pustaka Primatama.
  7. Jejak Pemikiran Munir (1965-2004), 2006. “Membangun Bangsa dan Menolak Militerisme”. KASUM.
  8. Hafis Azhari, 2014. “Pikiran Orang Indonesia”. Fikra Publising.
Categories
Penulis Tamu

Piagam Aceh untuk Keutuhan NKRI

Dunia kampus Islam bersatu menyatakan perang melawan radikalisme dan terorisme. Berpusat di Aceh, sebanyak lima puluh pimpinan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) se-Indonesia mendeklarasikan maklumat penting yang tertuang dalam Piagam Aceh (26/4). Gerakan yang dimotori kaum cendekiawan muslim tersebut menghasilkan beberapa kesepakatan yang bermuara untuk keutuhan NKRI.

Categories
Penulis Tamu

Islam, Bung Karno dan Pancasila

Judul tersebut saya kutip dari buku  Dr. Ahmad Basarah,”Bung Karno, Islam dan Pancasila”. Baskara, begitu saya dengar para ketua DPP, termasuk Ketua Umum, Hajjah Megawati Soekarno Putri memanggil dirinya, menulis buku tersebut  setebal 151 halaman yang diperas dari desertasi doktoralnya.

Baskara merupakan fungsionaris DPP yang mendalami dan mempelajari sejarah Pancasila ini dari semua sisi, termasuk “menelusurinya” melalui jalur akademis yang memenuhi kaedah ilmiah. Promosi Doktoralnya disampaikan dihadapan para professor, dua diantaranya adalah pimpinan dan mantan pimpinan Mahkamah Konstitusi. Dirinya juga begitu cakap dalam menjelaskan tentang Pancasila secara oral. Tidak berlebihan jika menyebutnya “Profesor” Pancasila atau “Jurubicara” Pancasila.

Tulisan ini barangkali tidak dengan detail membahas tentang Islam, Bung Karno dan juga Pancasila. Tapi bagaimana ketiganya memiliki korelasi dan mempengaruhi pada nilai-nilai, dan itu pula yang hendak disampaikan dalam tulisan singkat ini, tentu salah satu inspirasi dan sumbernya adalah Dr. Ahmad Basarah, tadi.

Islam merupakan agama yang sudah masuk ke nusantara sejak abad ke tujuh. Dalam perkembangannya, Islam diterima dengan baik di nusantara, terutama di Jawa sebagai pusat pergerakan kemerdekaan. Serupa dengan Islam, agama-agama lain juga mendapat tempat untuk berkembang. Dan secara umum kesadaran masyarakat nusantara adalah berketuhanan, mengakui adanya agama dan Tuhan.

Dengan demikian, para tokoh pergerakan kemerdekaan saat itu bergerak dengan membawa serta nilai-nilai yang dianut didalam kepercayaan masing-masing. Begitu juga dengan Ir. Soekarno, selanjutnya saya sebut Bung Karno. Sebagai salah satu tokoh kunci yang sudah mulai berfikir dan berbicara kemerdekaan di awal tahun 1900-an, Bung Karno juga dibekali dengan nilai-nilai spritualitas.

Pada usia remaja (sekitar 15 tahun), ayahnya menitipkan Bung Karno pada tokoh besar Islam pada saat itu, Haji Omar Said Tjokroaminoto. Soal ini, Bung Karno kepada Cindy Adam menyebutkan bahwa,”Pak Cokro adalah idolaku, aku muridnya. Secara sadar atau tidak dia telah menggembleng ku,” ucap Bung Karno. Pada tahun-tahun tersebut Bung Karno mengakui bahwa kontruksi pemikirannya dipengaruhi oleh islam.

Termasuk, salah satu faktor pendorong Bung Karno dalam bergerak melawan kolonialisme dan imperialisme adalah nilai-nilai Islam yang dipelajari dan dihayatinya ketika itu. Bung Karno mengartikulasikan pemahaman keislaman kedalam wujud anti pejajah. Ketertarikan Bung Karno kepada Islam juga mendorong dirinya untuk mengikuti tabligh-tabligh Kyai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Soal kedekatan dengan Muhammadiyah ini, Bung Karno juga pernah menyampaikan dalam pidatonya pada saat penutupan Mukhtamar tahun 1962, jika suatu saat dia meninggal untuk ditutupi dengan panji kebesaran Muhammadiyah.

Selanjutnya, Bung Karno juga dekat dengan pendiri Nahdlatul Ulama, KH, Hasyim ‘Asyari. Dalam Mukhtamar NU tahun 1954 di Surabaya, Bung Karno dianugerahi gelar Waliyul Amri Ad Dharuri Bi Assyaukah (pemimpin pemerintahan di masa darurat yang mengikat oleh sebab kekuasaannya atau pemegang pemerintahan de facto dengan kekuasaan penuh).

Dari 26 penghargaan akademis, dua diantaranya menegaskan tentang dimensi keislaman Bung Karno. Gelar Doktor Honoris Causa yang ke 24 pada tanggal 2 Desember 1964 dari IAIN (UIN) Jakarta dalam Fakultas Ushuluddin jurusan Dakwah dengan pidatonya yang berjudul “Tjilaka Negara Jang Tidak ber-Tuhan”. Gelar Doktor Honoris Causa yang ke 26 dari Universitas Muhammadyah Jakarta pada 3 Agustus dalam Filsafat Ilmu Tauhid dengan Pidatonya yang berjudul “Tauhid adalah Djiwaku”.

Bung Karno juga memiliki sumbangsih terhadap Islam di dunia internasional. Misalnya, Bung Karno ikut berperan dalam penemuan kembali makam imam Bukhari di Samarkand, Uzbekistan, di tahun 1961. Bung Karno juga yang mengusul padang Arafah ditanami pohon yang dinamakan “Syajarah Soekarno” atau “Pohon Soekarno”. Bung Karno juga berperan terhadap hidupnya kembali Mesjid Jamul Muslim (Mesjid Biru) di sebuah negara komunis yaitu Saint Petersburg, Uni Soviet.

PERUMUSAN PANCASILA

Dalam proses perumusan falsafah bangsa, Bung Karno juga memiliki peran besar. Dimulai dengan terbentuknya BPUPK pada 29 April 1945 yang diketuai oleh KRT. Radjiman Wediodiningrat. Pada masa sidang pertama, lembaga ini fokus pada merumuskan Fhilosofisce Grondslag, dasar falsafah yang harus dipersiapkan dalam rangka negara Indonesia merdeka.

Pidato pertama ketua BPUPK mempertanyakan apa yang menjadi dasar negara yang akan dibentuk ini. Dari sekian orang yang berpidato, belum ada yang bisa menjawab pertanyaan ketua tadi, karena ini dianggap penting bagi sebuah negara yang baru merdeka. Disaat Bung Karno menyampaikan pidato baru mengarah kepada dasar negara, yaitu Pancasila.

Pada akhir masa persidangan yang pertama, ketua BPUPK membentuk panitia kecil yang terdiri dari delapan orang yang bertugas mengumpulkan masukan dari anggota untuk disampaikan pada masa persidangan kedua, Bung Karno ditunjuk sebagai ketua. Komposisi tim ini terdiri dari Bung Karno, M. Hatta, M. yamin, A. Maramis, M. Sutardjo Kartohadikoesoemo, Otto Iskandardinata, Ki Bagoes Hadikoesoemo, KH. Wachid Hayim.

Setelah mengadakan rapat untuk merumuskan beberapa hal teknis yang akan disampaikan pada masa persidangan kedua, Bung Karno berinisiatif untuk membentuk panitian Sembilan untuk menyelidiki usul-usul menganai perumusan dasar negara yang melahirkan konsep rancangan Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Perubahan komposisi panitia delapan menjadi panitia Sembilan karena keinginan Bung Karno untuk memberikan penghormatan kepada golongan islam dan menjaga keseimbangan golongan Islam dengan golongan kebangsaan.

Tim Sembilan ini diketuai oleh Bung Karno. Dalam kelanjutannya, memang ditemukan perbedaan pandangan, namun disepakati pada 22 Juni 1945. Ada beberapa penamaan terhadap hasil kesepakatan ini, Bung Karno menyebutnya “Mukhaddimah”, M. Yamin menyebutnya “Piagam Jakarta”, Sukiman menyebutnya “Gentlemen’s Agreement”.

Hasil kerja tim Sembilan ini disampaikan dalam masa sidang kedua. Laporan tersebut ternyata mendapat penentangan dari anggota BPUPK yang lain, salah satunya adalah Latuharhary. Dia menyebutkan kata Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya dapat menimbulkan diskriminasi bagi pemeluk agama lain. Persidangan hampir menemui jalan buntu. Bung Karno mencoba menjelaskan betapa apiknya perumusan di panitia Sembilan, dan meminta kepada yang tidak setuju untuk meninggalkan pendapatnya demi persatuan Indonesia. Hasilnya piagam Jakarta tersebut bertahan hingga akhir masa persidangan.

Selanjutnya, pada tanggal 18 Agustus 1945 kesepakatan yang terdapat dalam Piagam Jakarta tersebut diubah pada bagian akhirnya oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Tentang penghapusan tujuh kata tersebut, beberapa tokoh bangsa saat itu memiliki peran, diantaranya adalah Mohammad hatta. Hatta mencoba meyakinkan tokoh-tokoh Islam untuk mengganti kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” dengan kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Melunaknya tokoh-tokoh Islam pada saat itu harus dipahami sebagai bentuk keluasan pikir, karena pada saat yang sama tokoh-tokoh diluar Islam yang mendiami wilayah timur Indonesia menganggap diskriminasi, dan berkeinginan untuk berada diluar Indonesia.

Ternyata, untuk Indonesia tetap utuh, para pendahulu kita menemukan consensus nasional. Hidup bergandengan dalam bingkai Negara Kesatuan. Bhinneka Tunggal Ika. Jika tokoh besar seperti mereka bisa merajut perbedaan, kenapa sampai pada generasi kita harus mencabik nya?!

– Alja Yusnadi* –

Alja Yusnadi – Penulis adalah Anggota DPRK Aceh Selatan dari PDI Perjuangan

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Hak cipta gambar sebelum olah digital oleh : wikimedia.org.