Categories
Penulis Tamu

Bersyariat Dari Pinggir

Artikel ini terinspirasi dari tulisan Muhammad Alkaf tahun 2016 yang berjudul Nasionalisme dari Pinggir. Dalam hal ini, Alkaf mengajukan kritik terhadap narasi nasionalisme yang dinilai terlalu terpusat. Narasi tersebut terkesan meminggirkan peran daerah dalam menjaga status kebangsaan nasional Indonesia. Bagi Alkaf, Indonesia adalah gabungan dari berbagai kultur, sejarah, narasi dan etnik. Sehingga, mengesampingkan “narasi pinggiran” adalah kecacatan yang bertentangan dengan semangat integrasi dan kebangsaan (lihat Alkaf 2016).

Artikel ini kemudian juga mempersoalkan gagasan syari’at Islam yang terlalu terpusat. Kesan regulasi syari’at dalam bentuk qanun misalnya tidak lebih dari gagasan intelektual elit Banda Aceh, yang berdiri di menara gading dan tidak mampu melihat syari’at secara mengakar dan substantif.

Jika Alkaf menulis bahwa nasionalisme yang terlalu terfokus kepada Jakarta hanya akan mengabaikan kaum pinggiran dan menafikan sumbangsih mereka (Muhammad Alkaf 2016), maka syari’at disini – dan hari ini – pun memiliki kesan yang sama. Bahwa pembangunan narasi syari’at yang bersifat banda-sentris pada akhirnya hanya akan meminggirkan dan mengesampingkan kontribusi daerah dalam membangun peradaban keislaman melalui jalan syari’at.

Narasi banda-sentris dalam syari’at misalnya terlihat dari pembangunan qanun (khususnya qanun jinayat) yang terlalu mengadopsi teks-teks abad pertengahan dan mengesampingkan fenomena keislaman dan kearifan yang telah mengakar dalam diri masyarakat Aceh sejak abad ke-16. Persoalan ini juga dapat dibuktikan dengan rendahnya kesadaran masyarakat akan urgensi bersyari’at versi qanun. Dimana masyarakat kemudian merasakan perbedaan antara syari’at yang dibangun oleh pemerintah dengan implementasi syari’at yang telah mereka praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Keadaan yang sama juga terlihat dari regulasi yang tertatih-tatih dan penghukuman terhadap pelaku pelanggaran syari’at yang terlalu tebang pilih.

Ketika pemerintah kemudian abai dalam memperhatikan “sumber daya aparatur” dan “kesadaran masyarakat.” Seolah, persoalan apakah pemerintah mampu menjalankan suatu aturan? Ataukah apakah masyarakat kemudian bersedia untuk mengikuti aturan tersebut? Tidak pernah dijadikan pertimbangan. Dialog syari’at yang menghabiskan “anggaran” di gedung-gedung pemerintahan, di kampus-kampus dan di lembaga-lembaga formal pada akhirnya hanya akan menghasilkan konsep syari’at yang melangit. Akibatnya, kemunculan peraturan baru selalu menimbulkan polemik dan polemik tersebut sering kali tidak mampu diselesaikan.

Sulit kita pastikan apakah sebelum membuat qanun, pemerintah dan pemangku syari’at pernah terjun ke lapangan, melakukan survei, memperhatikan model keislaman di wilayah pinggiran, kawasan pedalaman dan daerah perbatasan? Sulit untuk dipastikan apakah sebelum mengimplementasikan syari’at, pemerintah benar-benar melakukan peninjauan yang dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah, ke luar kawasan Banda Aceh? Sulit untuk dipastikan apakah syari’at Islam yang hari ini dipraktekkan telah direstui bukan saja oleh ulama fikh dan akademisi Islam kampus, tapi juga oleh ulama sufi yang tinggal di luar wilayah Banda Aceh?

Akibatnya, syari’at tidak mampu mengadopsi empat komponen spiritualitas yang mengakar dalam masyarakat Aceh yakni syari’at, tarikat, hakikat dan ma’rifat. Bersyari’at sebagai syari’at pada gilirannya hanya akan mengantarkan narasi keberislaman dalam satu step yaitu step birokratik semata, tanpa sampai kepada kesadaran, substansi dan pengakraban. Dengan kata lain, menghentikan makna syari’at sebatas fikih-birokratik, hanya akan mengkooptasi makna syari’at itu sendiri.

Bersyari’at dari Pinggir

Syari’at dari Pinggir kemudian mencoba hadir untuk memastikan, apakah pergerakan syari’at bersifat bottom up, yaitu aspirasi dari bawah, kemudian diimplementasikan oleh pemimpin, bukan nyanyian para pemimpin (top down) yang kemudian membebani dirinya dan memperburuk suasana hati rakyatnya?. Kita masih ingat bagaimana pemuda Langsa beberapa tahun yang lalu menyerang kantor WH di wilayah tersebut. Atau bagaimana oknum WH di sebuah wilayah tersandung kasus pelecehan dan tindakan amoral.

Kita juga masih ingat bagaimana syari’at menjadi “stigma negatif” yang memperburuk citra Aceh di mata nasional dan internasional. Kita juga dapat melihat bahwa syari’at tidak memberi pengaruh yang signifikan bagi prilaku dan akhlak manusia Aceh. Kita wajib melihat mengapa Aceh gagal menerapkan regulasi syari’at dan lebih jauh lagi, gagal menciptakan kesejahteraan? Artinya kita harus jujur untuk mengakui bahwa kita gagal dalam mengimplementasikan syari’at dan kita harus berani mengevaluasi tanpa perlu malu-malu kucing.

Syari’at Otonom

Dalam sosiologi hukum ada tiga model hukum yang berkembang yaitu hukum represif, hukum otonom dan hukum responsif (Nonet dan Selznick, 2016:18). Hukum represif artinya hukum dibuat bukan berdasarkan kebutuhan masyarakat yang diperintah akan tetapi lebih memperhatikan kepentingan penguasa (Sabian Usman, 2010:06). Adapun hukum otonom artinya hukum yang memuja legalitas (sifat transenden) suatu aturan tanpa memperhatikan perubahan sosiologis yang berkembang. Terakhir, hukum responsif yaitu hukum yang mengimajinasikan sifat responsif yaitu hukum yang merepresentasikan kebutuhan masyarakat yang dilingkupinya (Lihat Meri Andani, 2018). Tujuan hukum responsif adalah untuk membuat hukum menjadi lebih respon terhadap kebutuhan dan perubahan sosial dalam masyarakat (Nonet – Selznick, 2015: 82-83).

Jika mengacu kepada ketiga konsep sosiologi hukum tersebut, maka syari’at Islam di Aceh sepertinya lebih bersifat otonom. Dalam arti, bahwa Syari’at Islam lebih mengutamakan regulasi dan legitimasi semata yang pernah disandarkan kepada aturan masa lalu dan telah pernah dipraktekkan di dunia Islam dalam rentang ruang dan waktu yang berbeda. Syari’at Islam tidak dapat dikatakan sebagai hukum represif karena ia bukan datang dari ide penguasa lokal di Aceh. Buktinya, banyak diantara elit yang diam-diam, enggan dan bahkan menolak untuk menjalankan syari’at. Selain itu, syari’at juga tidak dapat dikatakan sebagai hukum responsif mengingat aturan-aturan yang dibuat masih terkesan janggal dan asing serta kurang mendapat apresiasi dari masyarakat. (Meri Andani, 2018: 27-28).

Syari’at otonom pada gilirannya berangkat dari paradigma tekstual “Seandainya penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa kepada Allah, niscaya dibukakan kepada mereka, berkah dari langit dan bumi.” (Al A’raaf: 96). Sehingga ada kesan bahwa jika teks-teks syari’at ditegakkan, maka otomatis kemakmuran akan datang begitu saja. Darimana datangnya? Tidak ada yang tahu!” Kata Fuad Zakaria, seorang Ulama Mesir (Charles Kurzman: 2001:xliv)

Syari’at otonom kemudian menjadi sangat tidak mengakar. Ia bukan sepenuhnya kehendak dayah, karena bertahun-tahun dayah mempelajari syari’at, dalam prakteknya mereka tidak terlalu terfokus apakah syari’at harus diregulasikan atau tidak? (KBA & Hasbi 2013:94) Justru syari’at kemudian didesain oleh intelektual kampus yang justru, maaf, juga tidak mengerti mengapa regulasi syari’at harus dibuat?

Syari’at otonom kemudian tidak lebih dari re-regulasi hukum-hukum abad pertengahan yang diambil dari fikh syafi’i yang nyatanya juga dibentuk menurut konteks dan situasi yang berbeda. Kenyataannya, paradigma ilahiyat (transedental) lebih mendominasi hukum syari’at daripada aspek muamalat-nya sendiri. Padahal untuk membuat sebuah rancang bangun syari’at, perlu melalui metode historical approach. Karena jika selama ini hukum Islam dianggap sebagai hukum keilahian yang final maka sejatinya ia hanyalah fenomena historis yang terkait dengan realitas sosial (asbabun nuzul atau asbabul wurud) (Akh. Minhaji, 1992: 19-20) Sehingga perlu untuk mengembangkan konsep hukum Islam berbasis pendekatan sejarah dan realitas.

Akhirnya, dengan menetapkan hukum syari’at yang responsif dalam bingkai kesadaran fenomena historis (zaman) dan realitas sosial (makan), syari’at lebih merasuk dalam hati dan fikiran rakyat. Penegakan syari’at dengan memperhatikan kultur dan narasi sufisme yang berkembang, pada gilirannya akan mengembalikan sifat imanensi dalam syari’at. Sehingga, syari’at dapat mendongkrak kualitas moral dan kesejahteraan bukannya menjadi rentetan wajah buruk dan rapor merah bagi pemerintah dan rakyat Aceh.

– Ramli Cibro* –

Ramli Cibro, Penulis Buku Aksiologi Ma’rifah Hamzah Fansuri (2017) dan Dosen Ilmu Agama Islam STIT Hamzah Fansuri – Kota Subulussalam

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Foto featured image diolah digital dengan sumber diambil dari: pixabay.com dan freepik.com

Categories
Penulis Tamu

ISLAM NUSANTARA DALAM PANDANGAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS (BAGIAN 2 DARI 2)

PENGARUH PARA SUFI DALAM BEBERAPA FASE ISLAMISASI NUSANTARA

Untuk mengukuhkan Islam pada jiwa masyarakat Nusantara dalam pandangan al-Attas membutuhkan proses panjang hingga beberapa abad. Proses tersebut sebut adalah Islamisasi, maksudnya adalah proses pengenalan, pemahaman, serta pengukuhan terhadap makna Islam yang sebanarnya sehingga melekat pada diri manusia. Islamisasi di sini merupakan perjuangan kaum sufi serta para muballig Islam dalam menyebarkan dan sekaligus memberi pemahaman kepada masyarakat Nusantara yang masih terpengaruhi oleh mitologi, alam seni, dan metafisika kabur. Para sufi, mendoktrin Islam dengan memperhatikan tingkat kemampuan masyarakat Nusantara. Islamisasi dalam gambaran al-Attas tersebut merupakan bentuk nyata, dan sampai saat ini masih dirasakan keberlanjutannya. Dengan metode sufistik tersebut, Islam bukan hanya sekdar doktrin melainkan telah menjadi bagian amalan utama bagi masyarakat Nusantara sekaligus meruntuhkan pengetahuan lama yang terpengaruh dengan mitologi sesat ke alam baru yang lebih rasional dan saintifik.

1. Periode Awal, Pengenalan Akidah dan Syari’at Islam (578-805 H/1200-1400 M)

Menurut al-Attas pada periode awal ini, pengajaran yang sangat berperan penting dalam proses Islamisasi menuju corak Islam Nusantara adalah pengajaran aqidah dan fiqh. Proses ini merupakan kontribusi dalam menafsirkan hukum agama Islam (syari’ah) dalam menarik orang-orang Melayu Nusantara ke Islam. Siapa saja yang memeluk Islam pada tahap ini cukup diajari dengan keimanan saja, tidak mesti diikuti oleh suatu pengertian tentang implikasi-implikasi rasional dan intelektual yang terbawa oleh perpindahan agama tersebut. Pada tahap awal ini konsep-konsep Islam yang sangat fundamental tentang keesaan Tuhan (tauhid) dalam pandangan seutuhnya masih sangat kabur dalam rasio orang-orang yang bertaubat itu. Konsep-konsep yang lama sebelum memeluk Islam semua tumpang tindih, dan memberi ketidak-jelasan bahkan membingungkan dalam menerima konsep-konsep yang baru1).

Kedatangan agama Islam ke Nusantara menurut al-Attas mesti dinilai sebagai suatu pembangunan dunia baru, harapan baru, cita-cita serta kebudayaan dan peradaban baru. Islam memberikan ajaran yang lebih maju terutama dalam bidang teologi monoteismenya yang membebaskan pandangan masyarakat dari belenggu ketahayulan dan kemusyrikan. Pada tahap awal ini masyarakat Nusantara diperkenalkan dengan konsep-konsep dasar tentang Tuhan yang satu. Para pemuka agama memberikan pemahaman yang mendasar mengenai teologia monoteisme dengan sempurna, bagaimana sikap hidup pribadi manusia dalam berhubungan dengan Tuhannya. Islam membentuk konsep bagaimana manusia memiliki etika dalam berhubungan dengan sesamanya juga hubungannya dengan alam bendawi. Aturan-aturan dalam hal ibadah dan syariat pada hakikatnya adalah tidak dapat diceraikan dari yang lain mulai diperkenalkan dalam setiap aktivitas kehidupan masyarakat2).

Islam mengatur hubungan vertikal dengan Tuhan dan horizontal sesama manusia. Kehadiran Islam yang disebarkan besar-besaran oleh kaum sufi tersebut memberikan semangat baru, sehingga menyebabkan kesadaran hidup yang Islami, yaitu suatu hidup masyarakat yang berdasarkan pada logika rohani yang mengarah pada pokok-pokok hubungan individi, sosial, dan Tuhan. Islam memberikan kemerdekaan pada setiap individu, dan meruntuhkan sistem kasta dengan konsep kesamaan dan kesetaraan. Islam memberikan doktrin keseimbangan antara materi dan immateri, yakni tidak menjauhkan realitas wujud yang bisa dirasakan, dan immateri yang bersifat abstrak sebagai suatu substansi yang memiliki eksistensi dalam alam wujud. Penjelasan manusia sebagai ciptaan yang merupakan fitrah yang substansi jiwanya berasal dari substansi Tuhan, substansi jiwa manusia bersifat immateri, dan jasad manusia bersifat materi memberi pemahaman tersendiri dalam jiwa mereka. Penyatuan keduanya merupakan proses Sunnatullah, sehingga Islam menganjurkan menuntut ilmu pengetahuan yang bersumber pada wahyu dan Sunnatullah3).

Menurut al-Attas para sufi berusaha menanamkan konsepsi kepercayaan terhadap Tuhan yang tunggal ke dalam jiwa masyarakat Nusantara. Pandangan tentang keesaan Tuhan, jika ditilik dari sudut pandang filosofis melalui ilmu kalam dan tasawuf, mengemukakan suatu ontologi, kosmologi, dan psikologi tersendiri dalam suatu konsep agung yang biasa disebut dengan istilah keesaan wujud atau Waḥdat al-Wujūd. Konsep ini tegak atas dasar-dasar Al-Qur’an yang tidak dapat disamakan dengan filsafat Hindu yang mengikuti pandangan Vedanta. Konsep inilah yang ingin diperkenalkan pada keseluruhan tahap awal ini. Jiwa masyarakat Nusantara masih tumpang tindih dengan keyakinan lamanya, sehingga keseluruhan tahap awal dalam jurisprudensi dan syari’at ini dapat kita katakan sebagai sebuah tahap dalam pertaubatan “raga”4).

2. Periode Kedua, Kelanjutan dari Periode Awal yaitu Pengajaran Syari’at Berlanjut ke Metafisika Sufi (Tasawuf) (803-1112 H/1400-1700 M)

Periode ini merupakan kelanjutan dari pengenalan syari’at yang telah teruraikan pada tahap awal di atas. Tahap ini masih ada hubunga dengan tahap yang awal, tahap pengajaran ini dapat berlanjut ke pengajaran agama di ranah mistisisme filosofis (tasawuf). Selain itu, unsur-unsur rasional dan intelektual lainnya seperti teologi rasional atau ilmu kalam memberikan kontribusi sebagai fundamen pada periode ini. Selama tahap ini berlangsung, para sufi serta karangan-karangannya berperan penting, begitu juga tulisan-tulisan para ahli kalam berperanan dominan pula, sehingga tahap ini tertuju pada tahap yang lebih maju yaitu ketaubatan “roh”. Konsep-konsep fundamental Islam memperkenalkan pandangan dunia Islam yang begituh luas dan sesuai dengan apa yang dipahami saat itu masih kabur dalam memahaminya. Masyarakat Nusantara masih terpengaruh oleh pandangan dunia lama walau sudah mulai terkikis, namun terus-menerus diterangkan dan dijelaskan sehingga mengerti dengan jelas dan setengan jelas kedua-duanya5).

Pengaruh Hindu-Buddha sangat kental dalam aspek-apek kesenian, dongeng-dongeng, cerita-cerita, dan keyakina-keyakinan mistis. Metafisika Hindu-Buddha diubah menjadi pujian-pujian dan nyanyian-nyanyian kesenian yang tidak tampak kehalusan metafisikanya. Misalkan dalam Kitab Veda Parikrama yang diterjemahkan oleh G. Pudja, tertuliskan bahwa:

“Tuhan dipuja dengan nyanyian-nyanyian, nada-nada, dan alat-alat musik dan memakai mantra-mantra dalam tiruan bunyi suara-suara yang dimunculkan buunyi-bunyi itu. Tiruan-tiruan itu berupa bunyi baka-baka, paca-paca, nati-nati, baja-baja, nide-nide, dan cini-cini. Keseluruhannya diiringi oleh alat musik kesenian untuk memuji-muji Tuhan Atman. Pujian-pujiannya juga berupa lagu-lagu erotik yang membawa hanyut perasaan hingga mencapai puncaknya yaitu tingkat trans”6).

Al-Attas memandang bahwa mistik Hindu-Buddha telah diubah oleh para raja-raja dan para petinggi istana sesuai dengan keinginan mereka. Kehalusan metafisikanya tidak tampak secara jelas dalam penyampaiannya kepada masyarakat sehingga tidak berbekas dalam jiwa masyarakat Nusantara. Aspek-aspek seni yang lebih dominan menimbukal ketidak-jelasan dalam diri mereka sehingg ajarannya tidak tampak begitu jelas. Islam mengedepankan metafiska, ontologi, psikologi, konsep wujūd dan pengaruhnya memberikan pemahaman tersendiri pada jiwa masyarakat Nusantara. Konsep-konsep Islam meruntuhkan alam ketahayulan, mistik, mitologi-mitologi, digantikan dengan konsep Islam yang falsafi.

Melalui perbandingan keduanya, dapat dikatakan bahwa metafisika sufi sangat unggul terhadap proses Islamisasi masyarakat Nusantara, setidaknya hingga berakhirnya abad ke tujuhbelas. Metafisika sufi dengan segala pemahaman dan penafsiran mistisnya terhadap Islam, dalam berbagai segi tertentu, sangat sesuai dengan latar belakang masyarakat Nusantara yang terpengaruh oleh asketisme Hindu-Buddha dan sinkretisme kepercayaan anak negeri.

Islam datang ke Nusantara dalam versi sufistik berlandaskan tasawuf falsafi, memberikan semangat religius yang begitu intelektual dan rasional hingga begitu mudah masuk ke dalam alam pikiran dan jiwa masyarakat Nusantara. Metafisika sufi ini membentuk revolusi baru, menyebabkan kebangkitan rasionalitas dan intelektualisme pada tubuh masyarakat yang tidak ada pada masa-masa pra-Islam7). Para sufi memberikan pemahaman yang mendalam tentang kebenaran Tuhan sebagai realitas yang sebenarnya dari wujud dalam konteks metafisika dan merujuk kepada suatu Zat Absolut yang memanifestasikan diri-Nya dalam semua tingkatan wujud. Tuhan adalah dasar dari segala penciptaan dan Maha Tinggi dan Maha Berkuasa. Tuhan merealisasikan kemauan-Nya melalui penciptaan, penghancuran, dan penciptaan kembali secara terus-menerus tanpa batasan pada diri-Nya. Pengetahuan sufi sangat berpengaruh besar pada masyarakat Nusantara karena tidak hanya berdasarkan rasio semata, akan tetapi lebih kepada bentuk yang lebih tinggi dari itu yaitu pengalaman spiritual yang telah mencapai tahap tertentu dari realitas8).

Semangat religiusitas Islam yang begitu esensial tertuang dalam konsepsi monoteistik terbentuk dalam konsepsi yang tidak ada bandingnya. Konsep kesatuan wujud (Waḥdat al-Wujūd), kosmologi dan psikologi dirumuskan dengan logis sehingga memberi bekas pada jiwa masyarakat Nusantara. Ontologi, kosmologi dan psikologi ini tidak dapat disamakan semata-mata dengan konsep Hinduisme dan Buddhisme, karena memiliki landasan Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam yang tiada bandingnya sehingga membekas pada setiap sendi masyarakat pada saat itu9).

Pengaruh Al-Qur’an di Nusantara bersamaan dengan masuknya Islam membuat para pemuka agama khususnya kaum sufi yang menyebarkan Islam menggunakan Al-Qur’an sebagai pedoman utama dalam misi Islamisasi. Al-Qur’an mengandung unsur ontologi, wujud, tawhid, kosmologi, dan tentang keadaan Sang Pencipta. Al-Qur’an ini memberikan kesan yang mendalam bagi segi akidah pada setiap aspek keAl-Attas, Islam dalam Sejarah…, hlm. 49.hidupan mansia. Berbeda dengan konsep ontologi Hindu-Buddha yang memandang manusia memiliki kasta atau derajat dalam kehidupan. Konsep Al-Qur’an memberikan kesamaan dalam kehidupan tiada kasta maupun strata dalam diri manusia10).

Sufisme merupakan salah satu sumbangan pikiran yang bernilai tinggi dari para pemikir Islam terhadap humanisme. Sufisme tumbuh sebagai reaksi dan pemberontakan terhadap formalisme korup dalam dunia Islam, yang kekuasaanya digenggam oleh tiraninya para penguasa. Sufisme adalah antitesa daripada jiwa kecongkakan, jiwa intoleransi, jiwa kemunafikan, dan jiwa korupsi yang melanda zaman. Doktrin sufisme menekankan kepada manusia untuk menjauhkan diri dari kesenangan dan perhiasan dunia, hidup sederhana, jauh dari kelezatan, kekayaan, dan kemegahan yang merupakan keinginan banyak manusia11). Ajaran-ajaran Islam yang dibawa oleh mereka mengakomodir suatu pandangan religius monoteistik yang lebih maju dan lebih menarik dibandingkan dengan pandangan yang ada, karenanya merupakan suatu kekuatan pembebasan spiritual (“a spiritual liberating force”) terhadap berbagai macam dan bentuk mitologi yang tidak jelas12).

Faktor lain yang menurut teori sebahagian ahli mengakibatkan Islam cepat diterima menjadi dominan ialah adanya “kesamaan” antara bentuk Islam yang pertama sekali datang ke Nusantara dengan sifat mistik dan sinkretis kepercayaan nenek moyang setempat. Dalam teori ini, Islam dalam versi metafisika sufi (tasawuf falsafi) secara murni dapat diterima oleh banyak kalangan. Terhadap batasan-batasan tertentu, terutama pada tahap pertama penyebaran Islam, teori ini mungkin bisa diterima. “Kesamaan” itu mempermudah terjadi konversi agama kepada Islam secara besar-besaran. Proses pekembangan Islam lebih lanjut, ketika proses intensifikasi ajaran Islam semakin meningkat, yang terjadi adalah penghilangan proses “kesamaan” tersebut dengan berbagai konflik yang mengikutinya untuk menuju Islam yang diyakini lebih murni13).

3. Periode Ketiga, Pengekalan dari Periode Awal dan Kedua di Tengah Pengaruh Budaya Barat (1112 H/1700 M)

Periode ini merupakan penentu sejauh mana periode awal dan kedua berpengaruh dalam tubuh masyarakat Nusantara. Kelanjutan dari tahap awal dan penyempurnaan pada tahab dua yang sebahagian besarnya dapat dikatakan berhasil. Tahap ketiga ini merupakan sebagai periode pengekalan dari semangat rasionalitas, individualitas, dan intensionalitas yang telah ada landasan dasar-dasar filosofisnya telah diletakkan terlebih dahulu oleh Islam.

Tahap ketiga ini, Barat mulai memainkan peranannya dalam menghadang proses Islamisasi. Pengaruh-pengaruh kultural yang mulai meluas seiring datangnya peradaban Barat ini terus merasuki tubuh masyarakat pada saat itu. Pada periode ini muncul apa yang disebut dengan “westernalisasi” (upaya untuk membaratkan masyarakat Nusantara), akan tetapi masyarakat Nusantara telah mapan dalam memahami dasar-dasar filosofis Islam yang telah terdoktrin terlebih dahulu oleh Islam sebelum Barat berpengaruh.Kedatangan imperialisme dan kebudayaan Barat dari abad keenambelas dan ketujuhbelas hingga seterusnya memang telah memperlambat proses Islamisasi14). Kedatangan imperialisme Barat dan pengaruh kebudayaannya jelas menimbulkan suatu tantangan besar bagi proses Islamisasi di kepulauan Nusantara sehingga memudarkan proses intensifikasi Islam.

Sebelum periode ini terjadi, ada kekuatan-kekuatan lain yang beroperasi di dunia Islam sebagai suatu keseluruhan seperti pertentangan-pertentangan politik internal dan kemunduran kekuatan politik serta ekonomi. Lebih jauh lagi, kemajuan dalam bidang ilmu-ilmu tehknologi di Eropa, bersamaan dengan kebangkitan intelektual Barat melemahkan peranan Islam. Hal lain yang menyebabkan pudarnya proses Islamisasi di Nusantara ialah pengaruh sisa-sisa agama Hindu-Buddha yang masih dipertahankan oleh sebagian kecil penduduk pribumi. Sisa-sisa agama tersebut masih bercampur dengan ajaran dan keyakinan dasar Islam sehingga mengakibatkan kurang sempurnanya dan melemahnya intensifikasi Islam di Nusantara. Pemerintah kolonial mengendalikan perkara-perkara keagamaan, memilih pemimpin agama sesuai dengan utusannya. Utusan agama mendapatkan pengawasan penuh dari para kolonial sehingga keputusan apapun harus berdasarkan aturan kolonial. Puncaknya, unsur agama harus terpisah dari persoalan kenegaraan15). Pengaruh Barat juga kolonial memberika kekacauan pada semua lapisan masyarakat. Pengaruh ini membuat keseimbangan proses pengislaman terganggu oleh adanya ekspansi Barat tersebut16).

Sejauh ini tidak semestinya ada kekhawatiran yang sangat mendalam pada jiwa masyarakat Nusantara, karena pengaruh sufistik akan terus berjalan. Islam telah mempersiapkan masyarakat Nusantara untuk dunia modern yang akan datang. Perlu diketahui bahwa Islam bukan mempersiapkannya untuk menunjuk dunia yang disekulerkan, melainkan dunia yang di-Islamkan. Suatu dunia yang di-Islamkan yang sesungguhnya adalah suatu dunia yang tersadarkan atau terbebaskan dari tradisi magis, mitologis, animistik, dan dunia yang kulturnya kabur, kemudian terbebas dari sekulerisasi. Dunia Islam yang dimaksud adalah dunia yang berlandaskan syari’at, dimana aturan dan otoritasnya ada pada Tuhan, mengikuti Nabi-Nya, berlandaskan pada nilai-nilai kebaikan, menjunjunng nilai-nilai dalam bermasyarakat menurut Islam, bersih dari berbagai kedengkian dan kecongkakan, suatu dunia yang telah dilihat, diketahui, dialami, ditata, dan dibuat sadar oleh Nabi Muhammad SAW17).

KESIMPULAN

Islam Nusantara adalah Islam yang dapat menyesuaikan diri dengan budaya Nusantara, dengan karakteristik toleran, lemah lembut, membimbing, dinamis dan bersahabat dengan lingkungan kultur, sub-kultur, dan agama yang beragam. Islam Nusantara dapat memberikan dampak positif terhadap dinamika masyarakat yaitu ramah, terbuka, inklusif, mewarnai budaya masyarakat Nusantara untuk mewujudkan sifat akomodatifnya yaitu rahmat untuk semua umat manusia. Tahapan selanjutnya, Islam Nusantara merupakan sebuah upaya untuk melabuhkan nilai-nilai Islam dalam konteks budaya serta karakteristik masyarakat Nusantara yang beragam. Islam Nusantara bukan sekedar sebuah konsep geografis melainkan konsep filosofis yang membentuk nilai, cara pandang, pola pikir dalam melihat tatanan budaya dan antropologi. Islam Nusantara juga merupakan sebuah pola pikir, tata nilai, dan cara pandang dalam melihat dan menghadapi berbegai budaya yang datang ke Nusantara. Definisi yang lebih mengerucut mengenai Islam di Nusantara tidak jauh dari pembahasan tentang Islam yang membudaya, berdialog, disesuaikan, dibumikan, diadaptasikan ke dalam budaya Nusantara.

Al-Attas berpandangan bahwa Islam Nusantara adalah Islam yang mencoba masuk dalam budaya masyarakat Nusantara, merangkul, menyesuaikan diri dengan kebiasaan magis masyarakat Nusantara, kemudian menyaring dan menghilangkan praktik-praktik keyakinan magis tersebut digantikan dengan pemahaman Islam yang sesungguhnya. Islam Nusantara yang menyesuaikan diri dengan budaya Nusantara tersebut berasal dari manifestasi Islam sufistik. Islam sufistik merupakan doktrin keislaman yang dibawa oleh kaum sufi pengembara ke Nusantara yang mencapai puncaknya pada abad ke 17 M.

Para sufi pengembara menggunakan tasawuf sebagai fondasi filosofisnya untuk menyebarkan Islam di Nusantara. Islam model sufistik tersebut tidak hanya merubah pandangan masyarakat Nusantara pada dimensi estetis semata, namun lebih jauh mengubah struktur batin, pola pikir dan jiwanya. Peradaban Nusantara yang semula kental dengan unsur-unsur seni mengalami revolusi menuju pandangan hidup yang lebih rasional. Islam sufistik meletakkan pondasi pandangan hidup baru yang lebih maju dari pemahaman yang telah ada sebelumnya, meruntuhkan sistem kasta yang telah lama ditegakkan oleh agama Hindu-Buddha sehingga menjadi sistem kesamaan sesama manusia pada level zahirnya. Islam membangun sistem kesetaraan bagi seluruh umat manusia dan membedakan derajatnya dengan manusia lain adalah tingkat keimanan dan ketakwaan pada level batinnya dalam berhubungan dengan Allah Swt. Tidak hanya pengaruh itu, Islam mencapai puncaknya dengan menyebarnya risalah-risalah Islam yang terangkum dalam bahasa dan tulisan Melayu. Bahasa dan tulisan ini merupakan suatu pengantar ilmiah bagi metafisika Islam guna menyebarkan Islam ke seluruh pelosok Nusantara. Risalah-risalah tersebut sangat kental dengan konsep al-Wujūd dan metafisika sufistik yang meletakkan nilai-nilai rasional dan saintifik. Metode serta kreatifitas sufistik melekat dalam jiwa masyarakat Nusantara sehingga menjadikan Islam sebagai dasar keyakinan. Sampai saat ini, Islam sufisme masih mengakar dalam jiwa masyarakat muslim Nusantara meskipun berbagai paham asing terus berdatangan.

Perlu ditegaskan disini bahwa sebelum adanya perdebatan mengenai Islam Nusantara, jauh sebelum argumentasi ini muncul, Al-Attas telah mengantarkan teori mengenai apa itu Islam Nusantara dengan menjembataninya dengan teori Islamisasi untuk mengambarkan apa itu Islam Nusantara. Teori yang digagas Al-Attas kekinian cukup berpengaruh dalam mengembangkan model serta bentuk Islam yang ada di Nusantara. Dengan adanya teori ini maka diharapkan term Islam Nusantara bukanlah mencoba mereduksi Islam itu sendiri melainkan menguatkan Islam yang utuh sebagai Rahmatanlilalamin bagi masyarakat Nusantara.

– Mulyadi –

* Makalah singkat ini dipresentasikan pada Friday Forum Discussion, di Pepustakaan IAIN Langsa, 16 Maret 2018.
Mulyadi – Pengajar IAIN Langsa

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com


*Pastinya ada banyak perbedaan pendapat maupun persepsi bahkan kontra-versi mengenai makna dan arti Islam Nusantara sendiri. Ekspektasi para peserta Friday forum belum tentu dapat dikemukakan diwakilkan semua dalam malakah ini, mengingat tulisan ini sangatlah singkat dalam muatannya yang seharusnya sangatlah luas dan menjurus. Meskipun demikian, tulisan ini mencoba membuka wawasan kita untuk memberikan pengetahuan ilmiah dalam kajian ini sebagai sebuah teori yang dapat ditelaah secara berkelanjutan.

Gambar diambil dari http://jadeluwakcoffee.com

Categories
Diskusi

Islam Nusantara Dalam Pandangan Syed Muhammad Naquib Al-Attas (Bagian 2 dari 2)

Pengaruh Para Sufi dalam Beberapa Fase Islamisasi Nusantara

Untuk mengukuhkan Islam pada jiwa masyarakat Nusantara dalam pandangan al-Attas membutuhkan proses panjang hingga beberapa abad. Proses tersebut sebut adalah Islamisasi, maksudnya adalah proses pengenalan, pemahaman, serta pengukuhan terhadap makna Islam yang sebanarnya sehingga melekat pada diri manusia. Islamisasi di sini merupakan perjuangan kaum sufi serta para muballig Islam dalam menyebarkan dan sekaligus memberi pemahaman kepada masyarakat Nusantara yang masih terpengaruhi oleh mitologi, alam seni, dan metafisika kabur. Para sufi, mendoktrin Islam dengan memperhatikan tingkat kemampuan masyarakat Nusantara. Islamisasi dalam gambaran al-Attas tersebut merupakan bentuk nyata, dan sampai saat ini masih dirasakan keberlanjutannya. Dengan metode sufistik tersebut, Islam bukan hanya sekdar doktrin melainkan telah menjadi bagian amalan utama bagi masyarakat Nusantara sekaligus meruntuhkan pengetahuan lama yang terpengaruh dengan mitologi sesat ke alam baru yang lebih rasional dan saintifik.

Categories
Diskusi

Islam Nusantara Dalam Pandangan Syed Muhammad Naquib Al-Attas (Bagian 1 dari 2)*

Perdebatan mengenai proses pembumian Islam di Nusantara selalu hangat diperdebatkan di kalangan intelektual hingga sampai saat ini. Beberapa tulisan beberapa waktu lalu sempat memperdebatkan mengenai Islamisasi serta Islam apakah yang sebenarnya yang ada di Nusantara. Meskipun bukanlah hal yang baru, namun perdebatan ini selalu hangat diperbincangkan hingga terus-menerus memunculkan berbagai argumentasi ilmiah. Satu pendapat menyebutkannya bahwa Islam Nusantara adalah Islam permukaan, yaitu Islam yang dipahami dan diartikan hanya sebatas kulit luar dari ajarannya, berupa syiar, dan hiruk-pikuk seremonial yang disandingkan dengan aktivitas ibadah formal Islam. Hal ini dijadikan suatu tolak ukur kecemerlangan, kejayaan, dan heroisme Islam dalam masyarakat penganutnya[ref]Muhibuddin Hanafiah, “Islam Permukaan”, Serambi Indonesia, 13 Juli 2015, hlm. 18.[/ref]. Pendapat lain mengenai Islam di Nusantara adalah Islam Fansurian yaitu sebuah proses pengislaman yang dibungkus dengan sufisme dan membangun tamadun masyarakat dengan konstitusi akhlak sosial (bio-etik) dan akhlak personal (revolusi mental)[ref]Affan Ramli, “Islam Nusantara Fansurian”, Serambi Indonesia, 31 Juli 2015, hlm. 18.[/ref].

Categories
Penulis Tamu

“THE SMILING FACE” ISLAM INDONESIA: MEMBACA TUNISIA*

PENDAHULUAN

Mencermati perkembangan yang terjadi di Islam Indonesia sepanjang tahun 2016, terutama beberapa peristiwa yang terkait dengan persoalan soisal-politik-keagamaan, penulis menjadi kembali ingin membaca tulisan Martin Van Bruinessen yang memunculkan istilah conservative turn in Indonesia. Apa sebenarnya pesan yang ingin disampaikan oleh Martin melalui istilah itu. Apakah ia ingin mengatakan bahwa pemahaman keagamaan Muslim Indonesia sebelumnya adalah konservatif, lalu berevolusi dan keluar dari konservatisme itu dan kini konservatisme itu terulang kembali? Istilah conservative turn yang pertama sekali digunakan oleh Martin tahun 2013 dalam asumsi penulis menjadi suatu prediksi akademik yang terbukti kebenarannya hari ini, meski dalam pemahaman penulis conservative turn yang dimaksudkan Martin adalah adanya sejumlah gejala bahwa pemahaman Muslim terhadap agamanya semakin menguat, kalau tidak ingin dikatakan mengarah kepada kekerasan berjamaah (communal violence) dengan mengatasnamakan agama mengutip istilah Duncan. Kasus-kasus di mana pemahaman keagamaan Muslim, terutama konservatisme mereka membaca teks-teks suci terbuka untuk ditunggangi oleh aktivitas politik. Tulisan ini dibagi atas dua pembahasan. Pertama, tentang hasil penelitian lembaga riset dan sejumlah pakar tentang Islam Indonesia dengan perdebatan seputar kecenderungan ke arah konservatisme, sebagai the outsider’s perspective. Kedua, mengenai konservatisme Islam sebagai tunggangan politik: pengalaman Tunisia.

HASIL RISET TENTANG ISLAM INDONESIA SEPANJANG TAHUN 2010-2014

Freedom House menggambarkan perubahan Indonesia sebagai “model dari integrasi yang sukses antara demokrasi dan Islam” menjadi negara dengan “merosotnya pluralisme” akibat peristiwa-peristiwa yang terjadi sejak satu dasawarsa lalu. Penilaian lain atas kondisi Muslim di Indonesia kontemporer kerap juga diungkapkan sebagai meningkatnya “political Islam”, “radical Islam”, atau “Islamist political violence”.

Martin Van Bruinessen, tahun 2011 menulis artikel di salah satu jurnal ilmiah RSIS Singapura. Dalam tulisan itu, terlihat kecemasan dan kegelisahan Martin terhadap perubahan umat Islam Indonesia yang terbesar di dunia secara kuantititatif, terutama pasca Orde Baru. Ia menulis judul: “What happened to the smiling face of Indonesian Islam?”. Ia menilai Islam Indonesia yang ia kenal melalui studinya sepanjang tahun 1970-an sampai tahun 1980-an yang selalu menampakkan wajah yang manis, penuh senyuman (the smiling face), mulai berubah menyeramkan, tidak enak dipandang dll. Era ini melahirkan Cak Nur dan Gusdur sebagai representasi tokoh Islam paling brilian. Namun berakhirnya masa orde baru, mereka mulai kehilangan “power” dalam debat-debat publik dengan munculnya Islam radikal dengan tampilan yang lebih kuat.

Tahun 2013, ISAS Singapura merilis hasil studi lapangan Martin dkk sepanjang tahun 2007-2008 dengan judul: “Contemporary Developments in Indonesia Islam: Explaining the Conservative Turn”. Dalam buku ini, Martin dan Baqir masih meyakini adanya wajah non-konservatif Islam di Indonesia. Namun posisi saya setelah menyimpulkan tulisan Martin dan Baqir justru menegaskan bahwa konservatisme Muslim di Indonesia semakin mengkristal, menguat, membaja. Conservative turn dalam bahasa mereka hanya masih sebatas kecenderungan.

Beberapa catatan Martin dalam buku Contemporary Developments in Indonesia Islam: Explaining the Conservative Turn bahwa (1) Demokratisasi politik telah menarik banyak orang yang sebelumnya terlibat dalam organisasi atau lembaga-lembaga yang mendukung perdebatan intelektual ke dalam karier di partai politik atau institusi, sehingga melemahkan landasan sosial bagi wacana Islam liberal dan progresif, (2) Asumsi bahwa mayoritas itu bersifat konservatif atau cenderung berpandangan fundamentalis tidak bisa diyakini begitu saja, (3) Pemikiran Islam liberal hanya bisa berkembang apabila dilindungi oleh rezim otoriter, (4) Conservative turn di Indonesia sebagian disebabkan adanya pengaruh dari Timur Tengah, khususnya Semenanjung Arab, dalam bentuk kembalinya para lulusan dari perguruan tinggi di Arab Saudi, institut pendidikan yang didanai Arab Saudi dan Kuwait untuk mensponsori penerjemahan sejumlah teks “fundamentalis”, dukungan ideologis dan keuangan untuk gerakan Islam lintas negara, (5) Menonjolnya keturunan Arab yang memegang kepemimpinan gerakan radikal tampaknya mengarah kepada peran mereka sebagai perantara proses Arabisasi Islam Indonesia. Tak bisa disangkal, pelaku keturunan Arab dan dana Arab memang meningkat, tetapi pengaruh mereka tidak secara khusus bekerja dalam arah anti-liberal maupun fundamentalis.

Istilah conservative turn di Indonesia juga digunakan oleh Hamayotsu (2014) dalam bukunya Conservative Turn? Religion, State and Conflict in Indonesia. Dia mengatakan bahwa ketika ada konflik yang melibatkan etnis dan identitas lainnya, maka yang yang menjadi pemicunya itu adalah bukan persoalan etnis dan identitas lain tersebut, tapi kompetisi politik antar elit terkait pembagiaan sumber-sumber kekayaan negara dan tanah (political competition among elites over distribution of state resources, land. Ethnicity and other identities were not the primary cause of the conflict)”

Berbeda dengan Hamayotsu, Duncan mengatakan bahwa…”the essential source and character of the communal violence is religion..” (agama adalah sumber penting dan karakter kekerasaan komunal). Berdasarkan observasi dan interview lebih dari 17 tahun pada internal masyarakat yang dibuang dan terdampak kekerasan, ia menyimpulkan bahwa the communal violence diakibatkan oleh kompetisi politik antar elite terhadap pembagian sumber-sumber kekayaan negara dan tidak ada kaitannya dengan agama. Oleh mereka, agama dijadikan alat untuk mencapai kekuasaan yang kemudian menjadi pemicu kekerasan (political competition among elites over distribution of state resources, land and other religious issues). Kemudian dia menyimpulkan bahwa agama sebagai identitas bersama dan klaim, lebih mendapatkan ciri khas bagi orang-orang yang terlibat dalam konflik (…religion as a collective identity and claim has gained more salience among participants in the conflict…). Duncan menyimpulkan bahwa…”the essential source and character of the communal violence is religion..” (agama adalah sumber penting dan karakter kekerasaan komunal). Kesimpulan Duncan ini perlu diperhalus lagi untuk mengatakan bahwa bukan agama yang sebagai ajaran itu yang menjadi pemicu kekerasan komunal itu. Lalu apa kaitan antara konservatisme dengan kekerasan komunal?

Sebenarnya, kecenderungan konservatisme tidak selalu negatif, karena masyarakat muslim membutuhkan itu untuk menjaga harmoni dalam masyarakat. Namun, jika kecenderungan konservatisme itu menjadi opini publik, ini sangat mengkhwatirkan sebagaimana yang dikatakan oleh Syarafi (2011), bahwa menghadapi opini publik yang dikuasai kekuatan konservatif itu jauh lebih sulit dari pada menghadapi kekuatan politik yang despotik. Despotisme juga bisa lahir dari konservatisme yang mendapat sokongan politik. Menguatnya konservatisme di Indonesia bisa jadi seperti yang dikatakan Baqir (2013) bahwa ketika pemerintah tampak seperti tidak peduli untuk menjaga batas-batas wacana publik, beberapa varian kelompok konservatif itu seperti mendominasi. Karenanya, tidak selalu negatif jika dalam tulisan ini penulis merekomendasikan untuk penguatan pemerintah untuk mengontrol conservative turn dalam wacana publik.

KONSERVATISME ISLAM SEBAGAI TUNGGANGAN POLITIK: PENGALAMAN TUNISIA

Beberapa kasus di Indonesia, sekilas mirip dengan dalam sejarah Tunisia modern, di mana konservatisme Islam ditunggangi oleh politik. Haddad dan Bourguiba adalah contoh di mana politik menunggangi konservatisme di Tunisia. Haddad yang oleh Tha’alibi diberi signal untuk meneruskan kepemimpinan dalam partai harus menghadapi tragedi “penggulingan” agar ia tidak mewarisi kepemimpinan pendahulunya Tha’alibi. Berawal dari pergumulan dalam tubuh partai, kemudian dipolitisasi menjadi provokasi berbalut isu penistaan agama melalui masterpiece Tahir Haddad dalam bidang sosial-keagamaan, yaitu Imra’atuna fi al-Syari’ah wa al-Mujtama’. Ibn Milad (1991) menggarisbawahi peristiwa itu dengan sebuah ungkapan: Siyasatun qabla an-takuna diniyyatan. Berawal dari persoalan politik kemudian melebar menjadi persoalan keagamaan.

Haddad terjun langsung dalam gerakan kebangsaan sejak awal berdirinya partai al-Dustur pada saat statusnya masih sebagai pencari ilmu di Jami’ Zaytuna. Dia aktif dalam surat kabar milik partai. Dia banyak menulis di situ. Dia juga mendirikan organisasi yang diberi namaiMuqawamah al-Bida’ wa al-Israf di bawah pimpinan Husayn al-Jaziriy (pemilik surat kabar al-Nadim) yang didirikan dengan misi perlawanan terhadap zawiyah dan tarekat sufi, serta life-style sebagian besar masyarakat Muslim Tunisia yang dikenal boros saat itu. Pada saat ia ingin mendirikan serikat buruh/pekerja (al-niqabat al-‘ummaliyyah), dengan keyakinan bahwa pendirian serikat ini akan dapat membuka jalan bagi kemerdekaan buruh, dan mengajukan proposal kepada partai untuk bersedia mendanai serikat tersebut, namun niat dan usaha dan permintaannya tersebut tidak dikabulkan oleh pengurus partai lainnya. Pasca penolakan itu, Haddad mengurangi aktivitasnya di kepartaian. Ia bersama-sama dengan Muhammad al-Dar’i memberitakan ke publik bahwa partai tidak berkeinginan mendukung serikat buruh. Haddad lalu dinilai telah memecah-belah internal-partai dan merusak perjuangan partai. Di tempat lain, lajnah tanfidziyyah partai juga masih menyimpan konflik dengan Haddad. Maka saat Haddad meluncurkan bukunya Imra’atuna fi al-Syari’ah wa al-Mujtama’, kalangan partai yang tidak bersimpati dengan Haddad semakin melihat adanya penyimpangan yang dilakukan oleh Haddad sebagai kader partai, meski dalam buku tersebut terdapat pemikiran-pemikiran progresif dan berani, jika dibandingkan dengan tulisan-tulisan dalam tema yang sama pada periode ini.

Kalangan partai kemudian memanfaatkan pemikiran-pemikiran Haddad ini sebagai jalan untuk merusak ketokohan Haddad. Prahara pun terjadi, sebab partai akhirnya mengeksploitasi isu ini menjadi isu keagamaan di masa itu. Konflik yang terjadi antara Haddad dan orang-orang di internal partai digiring kepada persoalan agama untuk menutupi akar konflik sebenarnya. Konflik politik internal partai bermetamorfosa menjadi konflik keagamaan, syariah, hukum Islam. Karya Haddad kemudian diserang oleh banyak sekali penulis saat itu, di antaranya adalah Syaikh Raji Ibrahim, anggota lajnah tanfidziyyah, bukan cuma itu, masyayikh Zaytuna juga turut meramaikan pergumulan ini. Mereka mengkitik, menerbitkan sejumlah karya yang meng-counter pikiran-pikiran Haddad. Pimpinan tertinggi Jami’ Zaytuna juga mengeluarkan rekomendasi untuk “membredel” karya Haddad sekaligus mencabut gelar akademik yang pernah diraihnya dari Jami’ Zaytuna. Anehnya, pasca pecahnya partai pada tahun 1934, tokoh-tokoh partai kubu al-diwan al-siyasiy mengklaim bahwa Haddad adalah bagian dari mereka yang mereka dukung serta mereka anggap sebagai “tumbal” politik lajnah tanfidziyyah.

Pasca kepemimpinan Tha’alibiy, al-Hurr al-Dusturiy menciptakan dua sayap di internal partai. Sayap pertama dimotori oleh Bourguiba yang menguasai al-diwan al-siyasi atau Bourgibiyyun di mana ke-Tunisan (al-huwiyyah al-tunisiyyah) sebagai ideologinya yang tidak pro-Timur atau pro-Barat (la syarqiyyatan wa la gharbiyyah). Dan sayap kedua, Salih Bin Yusuf yang memotori al-amanah al-‘ammah atau Yusfiyyun yang menggunakan kekuatan Arab-Islam sebagai ideologinya, menimbulkan ketegangan di internal partai. Pergolakan politik ini mendesak Bourguiba menentukan pilihan politik liberal-sekular. Pada saat yang sama, Bin Yusuf bergabung dengan kekuatan Islam tradisionalis dan tokoh-tokoh yang berafiliasi dengan nasionalisme Arab dan Timur Tengah. Pedagang dan petani kaya yang berasal dari dua wilayah Sfax dan Jerba juga berada di belakang dan mendukung keputusan politik Bin Yusuf, termasuk juga masyarakat dari Selatan Tunisia. Bin Yusuf juga tercatat menghadiri KTT Asia-Afrika di Bandung tahun 1955. Di sini ia mempertegas posisi politiknya dan aliansinya dengan Jamal ‘Abd al-Nasir Presiden Mesir saat itu. KKT Bandung ini mengeluarkan sejumlah rekomendasi yang kontra terhadap Barat. Di tahun yang sama, pada tanggal 14 Oktober, Bourguiba menghadiri pertemuan di Kairo. Pertemuan itu mempertegas posisi politik Bourguiba untuk berafiliasi kepada Barat. Pertemuan Kairo ini melahirkan sejumlah keputusan diantaranya yang paling penting adalah sayap al-diwan al-siyasiy pimpinan Bourguiba menarik dukungan dan memisahkan diri dari partai al-hurr al-dusturiy. Konflik dengan Bin Yusuf dan al-Yusfiyyun mendorong Bourguiba mempercepat dan meneguhkan aliansinya dengan Perancis, bukan saja dalam masalah politik, tapi juga dalam masalah budaya. Karenanya, pasca konflik itu, Bourguiba melakukan sterilisasi sebanyak mungkin terhadap pengaruh Arab-Islam.

Ketegangan politik antara Bourguiba dan Bin Yusuf juga memantik sentimen konservatisme di Tunisia. Saat Majallat al-Ahwal al-Sykhshiyyah (MAS) dirilis tahun 1956 yang merupakan produk undang-undang pertama masa pemerintahan Bourguiba dalam masalah hukum keluarga, Salih Bin Yusuf, menurut catatan Kenneth J. Perkins, yang menjadi rival politik Bourguiba, menuduhnya melakukan pengharaman terhadap sesuatu yang dihalalkan Tuhan dan sebaliknya, terutama dalam pasal 18 tentang pelarangan poligami MAS 1956. Menurut keterangan Mastiri, ketegangan antara Bourguiba dan Bin Yusuf berawal dari persoalan politik di internal partai al-hurr al-dusturiy. Keduanya berkompetisi untuk merebut kekuasaan sebagai ketua partai pada permulaan tahun 1954. Sebagaimana diketahui secara umum bahwa Salih Bin Yusuf tidak menerima menjadi orang nomor dua di Republik Tunisia. Secara kepartaian, Bin Yusuf merupakan al-amin al-‘amm dan Bourguiba sebagai ketua al-diwan al-siyasi yang mengeksekusi program kerja partai. Selain itu, keduanya juga bersitegang dalam hal kesepakatan kemerdekaan dalam negeri Tunisia. Pasca Bourguiba menjadi presiden, kompetisi itu berlanjut menjadi serangan-serangan terhadap pemerintahan Bourguiba (al-tanafus alladzi tahawwala ila shira’ a’a al-hukm).

Kelompok salafi juga memanfaatkan isu agama untuk menyerang Bourguiba yang mereka cap sebagai pemimpin yang mengganti wajah Tunisia yang dahulu merupakan sebuah negara Islam menjadi negara sekular-kafir jika dibandingkan dengan negara-negara Arab lainnya. Meski konstitusi Tunisia tahun 1959 dalam Bab I tentang Aturan Umum Pasal 1 dengan tegas menyebut bahwa Tunisia merupakan negara Islam di mana bahasa Arab menjadi bahasa resmi negara, dan republic sebagai sistem pemerintahannya (tunis dawlatun mustaqillatun, dzatu siyadatin, al-islamu dinuha, wa al-‘arabiyyatu lughatuha, wa al-jumhuriyyatu nizamuha), namun terlihat bahwa kelompok salafi belum merasa puas sebab pasal satu konstitusi Tunisia tahun 1959 tidak menyebut syariat Islam sebagai landasan konstitusi dan sistem pemerintahannya. Bagi Bourguiba, sebagaimana pidato yang disampaikannya tertanggal 23 Februari 1965, bahwa Islam adalah sebagai perekat kuat yang menyatukan seluruh elemen umat, menjadikannya seperti satu tubuh meski mereka berbeda. Bourguiba menunjukkan bahwa ia mampu menyatukan masyarakat dengan meunifikasi hukum dan peradilan dalam satu undang-undang dan peradilan di mana warga negara dari suku, agama, ras, dan agama apa pun tunduk pada pada aturan di dalamnya. Pernyataan Bourguiba ini senafas dengan Bhinneka Tunggal Ika di Indonesia. Menurut penulis, Bourguiba berhasil memenangkan perdebatan sekitar sistem pemerintahan yang tercantum dalam konstitusi Tunisia tahun 1959 Bab I tentang Aturan Umum Pasal 1 untuk sebuah negara baru pasca kemerdekaannya. Fadhil ibn ‘Asyur secara resmi pernah menyusun draf rancangan konstitusi negara baru Tunisia. Dalam draf tersebut disebutkan bahwa Tunisia merupakan negara Islam dengan menerapkan manhaj Islam atau syariat Islam dalam pemerintahannya. Namun, faktanya meski mereka sepakat bahwa Islam adalah agama resmi negara Tunisia, namun syariat Islam tak pernah ada dalam konstitusi Tunisia tahun 1959 itu.

Di level global, Bourguiba difatwakan kafir dan murtad oleh Syaikh Bin Baz. Luthfi Hajji mengutip fatwa Bin Baz tahun 1401 H yang berjudul: al-radd ‘ala al-ra’is Abi Bourguiba (hakadza) fi-ma nusiba ilayhi min dzalik. Selain memfatwakan kafir dan murtad terhadap Bourguiba, Bin Baz juga menyerukan kepada seluruh pemimpin di negara-negara Muslim untuk memutuskan hubungan diplomatik-politik dengan Bourguiba sampai Bourguiba mau bertaubat atas pandangannya yang melarang poligami dan kesetaraan dalam pembagian waris.

Meski banyak kritik terhadap relasi Bourguiba dan Islam, namun pembelaan terhadap Bourguiba selalu disuarakan oleh masyarakat dan ulama Tunisia. Ketika banyak orang yang menyalahkan Bourguiba karena pidatonya tentang kebolehan berbuka bagi bagi sejumlah profesi di Tunisia, sejumlah Imam di Bizerte justeru mengeluarkan keputusan bersama untuk mendukung Bourguiba. Ahmad al-Mastiri menegaskan perlunya pembacaan ulang terhadap sejarah pemerintahan Bourguiba bagi generasi hari ini. lembaran-lembaran kelam tentang sejarah Bourguiba banyak ditulis di masa presiden selanjutnya, dan semakin menguat terutama pada tahun 2000 pasca wafatnya Bourguiba. Sejumlah tulisan itu hanya memuat sisi gelap dari kehidupan Bourguiba tanpa menampilkan sisi positif dari seorang Presiden pertama Tunisia tersebut dengan target generasi baru Tunisia. Muhsin Marzuq (Ketua Organisasi Arab Demokrat) mengatakan bahwa Bourguiba adalah seorang Muslim moderat-reformis. Ini menyangkal pernyataan yang mengatakan bahwa Bourguiba adalah sekularis, berseberangan dengan agama. Bagi Amal Musa, Bourguiba bukanlah seorang kafir, dia juga bukan seorang ateis. Bourguiba menurut Musa, melihat Islam sebagai agama yang harus memiliki pemahaman kontemporer tanpa melepaskan turath. Umat harus memiliki pemahaman baru terkait dengan hubungan antar manusia di era modern.

KESIMPULAN

Peristiwa sejarah di Tunisia, paling tidak dapat menggambarkan kepada masyarakat di Indonesia, betapa sebenarnya politik itu sangat mungkin sekali menunggangi konservatisme Muslim Indonesia. Membersihkan politik untuk tidak menunggangi konservatisme Islam bukanlah persoalan mudah. Namun, jika itu dapat dilakukan, tidak tertutup kemungkinan munculnya kembali wajah ramah Islam Indonesia. Semoga. Wallahu a’lam bi al-shawab.

– Budi Juliandi –

* Makalah ini disampaikan pada diskusi Friday Forum IAIN Langsa, 23 Februari 2018
Budi Juliandi – Dosen IAIN Langsa

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Sumber gambar tajuk sebelum olah digital: flickr USArmyAfrica, lisensi CC By 2.0

Categories
Penulis Tamu

ISLAMISME DAN ETNONASIONALISME DI ACEH: SUATU PERLOMBAAN

Pada awalnya memang benar Gerakan Aceh Merdeka (GAM) didirikan untuk menjadikan Aceh sebagai sebuah negara merdeka yang berlandaskan agama Islam. Tetapi dalam masa awal perjalanannya itu, ketika estafet komando beralih dari Daud Beureueh kepada Hasan Tiro, paradigma GAM telah berubah. Tidak mengirim senjata pesanan Daud Beureueh setelah diberikan uang, sebenarnya adalah penegasan bahwa Hasan Tiro berpandangan berbeda dengan Daud Beureueh. Hasan Tiro tidak setuju Aceh menjadi sebuah negara berlandaskan Islam.

Ada empat alasan utama kenapa Hasan Tiro tidak menginginkan Aceh menjadi negara Islam. Pertama, dia melihat negara-negara Barat maju tetapi landasan negaranya bukan agama. Kedua, menurutnya, agama adalah nilai, bukan sistem. Sehingga tidak mungkin dapat menjadi prinsip sebuah negara. Ketiga, bila yang dikumandangkan ke negara-negara Barat bahwa Aceh akan menjadi negara Islam bila merdeka nanti, maka tidak akan mendapatkan apresiasi. Keempat, dan ini paling penting, tidak perlu menjadikan Islam sebagai sebuah aturan legal-formal, tidak perlu syariat Islam dibirokratisasi karena masyarakat Aceh memang sudah sebagai Islam sampai ke sumsum. Identitas Aceh adalah Islam itu sendiri. Aceh dan Islam identik.

Alasan keempat adalah penjelas identitas GAM di bawah Hasan Tiro. Semua yang ingin melakukan apapun yang melibatkan GAM, baik secara langsung maupun tidak, harus paham alasan itu. Siapa saja yang tidak mengindahkan alasan keempat tersebut, tetapi membonceng GAM untuk kepentingannya sama dengan mengganggu gerakan GAM.

Sama seperti PUSA yang terpecah menjadi kelompok yang naik gunung dengan kelompok yang bertahan di birokrasi, GAM setelah dikomandoi Hasan Tiro juga sebenarnya terpecah menjadi kelompok yang mengikut kepada pandangan sekular Hasan Tiro dan yang tetap setia kepada prinsip islamisme Daud Beureueh. Kelompok terakhir ini seharusnya memilih keluar dari GAM. Tetapi elitis GAM pendukung Hasan Tiro juga tidak mengusir mereka. GAM tetap membutuhkan mereka dengan harapan dapat menjadi penyambung lidah GAM kepada Jakarta. Fokus negosiasi GAM memang bukan Jakarta, tetapi tetap saja itu perlu.

Tetapi kehadiran kaum Islamisme ternyata memberikan banyak kerugian bagi GAM. Mereka terus-menerus berusaha meyakinkan Jakarta bahwa keinginan masyarakat Aceh tetaplah formalisasi syariat Islam. UU keistimewaan Aceh 1959 harus disempurnakan dengan sebuah aturan hukum yang jelas. Tuntutan itu dipenuhi Jakarta pada 1999 dan disempirnakan pada 2001. Terbitnya landasan aturan hukum formalisasi syariat Islam adalah hasil lobi kaum islamisme. Tentu saja Jakarta mempertimbangkan tuntutan kaum Islamisme karenan mempertimbangkan kekuatan senjata GAM. Padahal GAM tidak menuntut itu. Keinginan GAM cuma merdeka. Petinggi GAM sampai sekarang yakin bahwa formalisasi syariat Islam di bawah Pancasila dan UUD ’45 adalah omong kosong.

Jelas kaum Islamisme telah “jual nama” tanpa izin. Dua nama sekaligus. Pertama masyarakat Aceh, kedua nama GAM. Meskipun nama kedua ini tidak dijual secara langsung. Kaum Islamisme jelas memainkan sistem politik Machiavellian dalam lobi mereka. Di depan mereka tampil sebagai akademisi dan birokrat berusaha meyakinkan Jakarta bahwa rakyat Aceh menuntut formalisasi syariat Islam. Tetapi Jakarta melihat GAM di belakang mereka.

Nama masyarakat Aceh juga dijual. Ide formalisasi atau birikratisasi syariat Islam tidak ada dalam imajinasi masyarakat Aceh. Masyarakat Aceh tidak punya masalah dalam menjalankan syariat Islam. Mereka tidak terbentur dengan regulasi-regulasi negara. Yang berbenturan dengan regulasi negara adalah kaum islamisme itu, mereka adalah birikrat, baik birokrat kampus maupun birokrat administrasi. Merekalah yang berada dalam sistem negara. Jadi, yang berbenturan dengan regulasi negara dalam beragama adalah mereka. Tetapi mereka menjual nama masyarakat Aceh. Padahal mereka tidak dekat, mereka parsial dengan masyarakat. Mereka hanya mengenal masyarakat melalui observasi dan penelitian. Persis seperti Annemarie Schimmel dan John L. Esposito yang mengenal Islam melalui penelitian. Kaum Islamisme mengenal masyarakat Aceh seperti Snouck Hurgrenje. Bahkan dalam hal ini, GAM jauh lebih mengenal masyarakat Aceh daripada kaum islamisme itu. Tetapi kaum islamisme menjual nama masyarakat Aceh dan memanfaatkan situasi untuk memenangkan kepentingan sendiri.

Tentu saja GAM menjadi marah. Tetapi GAM dalam dilema. Cover syariat Islam terlalu mudah dipakai kaum Islamisme untuk memprovokasi masyarakat dan menyudutkan GAM.

Kini perang telah usai. GAM telah menjadi sebuah sejarah. Kaum Islamisme telah memenangkan pertarungan. Kini mereka telah memiliki banyak pekerjaan di luar kantor dan kampus. Lumayan besar dibandingkan gaji, tunjangan kinerja dan sertifikasi. Mereka juga telah memegang sebuah kata kunci keramat yang bernama ‘syariat Islam’. Kata kunci itu sangat mudah untuk menghipnotis masyarakat Aceh. Semua keuntungan itu dibangun dengan, mengutip istilah Muhammad Alkaf, “kematian Darussalam”.

Mantan petinggi GAM juga umumnya sudah sibuk dengan proyek. Proyek-proyek yang dihasilkan dari darah “syuhada”.

Mantan GAM kini juga tidak terlalu peduli lagi. Arah mereka memang telah kacau sejak Hasan Tiro uzur. Saya yakin menjelang MoU 2005, kebijakan-kebijakan GAM tidak lagi murni berdasarkan arahan Hasan Tiro. Sepertinya pada akhir umurnya, GAM telah terlalu banyak dikendalikan oleh kaum Islamisme yang bergenealogi intelektual pada alumni PUSA. Di lapangan, sejak 1998 komado GAM juga sudah tidak sistematis. GAM yang awalnya mengedepankan negosiasi internasional sudah mengarah fokus kepada perang.

Dominasi narasi oleh kaum Islamisme tidak terbendung lagi. Kini tinggallah dilema. Islam akan hilang sebagai prinsip nilai masyarakat Aceh. Islam sudah dirampas oleh kaum Islamisme dari masyarakat Aceh dan diserahkan kepada negara. Kini, Islam bukan lagi milik masyarakat, tetapi sudah menjadi milik negara. Ketika Islam sudah dibirokratisasikan, maka Islam harus tunduk pada nomenklatur negara. Penyelenggaraan Islam tergantung kepada kebijakan, anggaran, mekanisme administrasi negara.

– Miswari* –

*Penulis adalah pengajar Filsafat Islam di IAIN Zawiyah Cot Kala Langsa dan Penulis buku Filsafat Terakhir.

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Sumber gambar tajuk sebelum olah digital: pixabay.com

Categories
Diskusi

Aceh Pasca 2005: Ruang Politik untuk Syariat Islam*

Mesjid di pusat kota Beureuneun, Pidie, belum selesai dibangun. Compton yang datang dari Banda Aceh, melihat bangunan itu dari jauh, dan membayangkan perasaan yang sedang dialami oleh Daud Beureuh. Tujuannya datang ke kota itu untuk menemui Daud Beureuh, ulama sekaligus pemimpin politik Aceh. Beureuh sedang gusar dan frustasi. Negeri yang dia bela mati-matian di zaman revolusi fisik, ternyata tidak seiring sejalan dengannya kemudian hari. Compton hendak melihat kegusaran itu dari dekat. Kegusaran, yang dibaca dari Jakarta akan menimbulkan gesekan yang tidak kecil.

Dari dekat, Compton menyaksikan, Daud Beureueh yang ditemuinya lebih mirip pensiunan tentara ketimbang ahli agama. Badannya kurus dan kokoh. Compton memperhatikan betul gesture pemimpin yang paling dihormati sejak tahun 1930-an itu. Memperhatikan apa yang akan dilakukannya ketika Aceh yang berjasa, tidak mendapatkan balasan setimpal. Balasan yang diyakini oleh pemimpin Aceh kala itu, dapat mengembalikan daerah ini jaya seperti dalam masa lalunya

“Kami ingin Aceh ini seperti zaman Iskandar Muda,” kata Daud Beureuh dengan masygul. Ucapan disampaikannya dengan mendalam, sampai-sampai membuat pengikutnya yang hadir pada pertemuan itu menjadi menjadi kikuk.

Fragmen menarik ini dapat dibaca di buku Boyd R. Compton, Kemelut Demokrasi Liberal: Surat-surat Rahasia Boyd R. Compton (1992). Buku yang diterbitkan oleh LP3ES ini adalah kesaksiannya, atas peristiwa politik di zaman ketika nasion sedang dibangun. Buku ini memuat banyak cerita, tentang hiruk pikuk politik. Tentang Aceh dan Daud Beureuh. Mengenai Sukarno. Islam yang terus mencari jalan. Dan, Indonesia yang terus mencari keseimbangan. Buku yang sebenarnya berasal dari surat-suratnya itu, kemudian menjadi warisan Compton.

Compton berada di Indonesia untuk menyelesaikan studinya, namun gagal. Sehingga dia tidak dikenal sebagai ahli politik. Namun surat suratnya itu menjadi penting karena menjelaskan hal yang luput dari peneliti lain tentang Indonesia.

“Kendatipun Compton gagal menulis disertasinya — analisa-analisa politik Indonesia tahun lima puluhan –dalam bentuk surat-surat panjangnya –toh sangat berharga untuk disimak,” tulis Fachry Ali dalam pengantarnya.

Dari Compton kita melihat Beureuh sebagai perwujudan imaji terdalam dalam masyarakat Aceh: bahwa kembali ke masa lalunya yang agong adalah pra-syarat untuk kemajuan di masa mendatang. Iskandar Muda tentunya dimaknai sebagai raja besar yang memiliki kekuatan dan menjalankan syariat Islam. Apalagi dengan cerita, bahwa dia telah menghukum putera mahkotanya, karena melanggar syariah. Sebuah tindakan heroik yang dikenang melalui hadih maja “mate aneuk meupat jeurat, gadoh adat pat ta mita.” Adat di sini ditafsirkan sebagai penegakan syariah Islam.


Aceh oleh generasi Beureuh dibangun dengan imaji dan ingatan kolektif mengenai Islam, ketika generasi Beureuh berada di zaman yang saling silang. Hal yang diakibat bertemunya Aceh dengan kemajuan yang dibawa oleh bangsa Barat atas praktik kolonialisme. Perjumpaan itu yang dinamakan dengan modernisme. Sebuah ide yang menolak dan mengambil dari Barat sekaligus. Dari jalan Barat, generasi Beureuh memahami tentang Aceh yang baru. Lalu membangun apa yang diyakini dari masa lalunya; Islam. Tanpa Islam, maka bukan Aceh. Konstruksi itu dilakukan dengan baik oleh generasi Beureuh, dan diceritakan melalui kisah epos perang suci Aceh melawan Belanda, yang diwakili sosok Tgk. Chik di Tiro.

T.A. Talsya, wartawan cum sasterawan menyebut sosok ini yang memiliki perasaan meluap-luap untuk memimpin perjuangan melawan kaphe Belanda. “Dengan penuh kesadaran dan semangat anti Belanda (kafir) yang melupa-luap, beliau bersedia untuk memimpin perjuangan suci ini,” tulisnya.

Sosok ini pula yang menjadi inspirasi generasi Beureuh ketika mengobarkan semangat jihad, melalui maklumat ulama, 15-10-1945, untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan Indonesia,

“…bahwa perjuangan ini adalah sebagai sambungan perjuangan dahulu di Aceh yang dipimpin oleh Almarhum Tgk. Chik di Tiro dan pahlawan-pahlawan kebangsaan yang lain.” (Hasjmy, 1984)

Bahkan atas nama Tgk. Chik di Tiro pula, PUSA menyusun sebuah memorandum politiknya, di tahun 1950, mengenai keabsahan ulama untuk memegang posisi kepemimpinan di Aceh yang kosong, akibat perang yang berkecamuk.

“…Karena itu, pendirian PUSA adalah jawaban terhadap kekosongan kepemimpinan. Maka PUSA mengambil alih kepemimpinan Aceh. Berdasarkan kenyataan bahwa ulama Tiro yang akhirnya memegang hak kepala negara Aceh, kebangkitan PUSA sebagai organisasi ulama telah sekaligus menjadi pewaris langsung dari kekuasaan sultan.” (Ali dkk, 2008)

Namun ironi, dengan nama Tgk. Chik di Tiro pula, Sukarno meyakinkan Daud Beureueh untuk mempertahankan proklamasi 1945. Bahwa peperangan yang berkobar-kobar dalam revolusi nasional, merupakan maksud perang yang digelorakan oleh Tgk. Chik di Tiro.

”Kakak! Memang yang saya maksudkan adalah perang yang seperti telah dikobarkan oleh pahlawan-pahlawan Aceh yang terkenal seperti Tgk. Chik di Tiro dan lain-lain…” Pungkas Sukarno dalam dialognya dengan Daud Beureuh di tahun 1947 (El Ibrahimy, 1984).

Disebut ironi karena fragmen itulah yang menjadi titik anjak kemarahan berdekade antara Aceh dengan Jakarta. Maksud Aceh membantu mempertahankan proklamasi kemerdekaan Indonesia, guna mengembalikan Islam di Aceh seperti zaman Iskandar Muda. Dan apa yang telah ditunjukkan oleh Tgk. Chik di Tiro dalam peperangan suci. Namun yang terjadi, Aceh dilebur ke dalam provinsi Sumatera Utara. Hal yang kemudian memulai narasi perlawanan Aceh terhadap Jakarta.

Perlawanan pertama melalui Darul Islam, dipimpin oleh Daud Beureuh. Meletus tahun 1953 dan berhenti di tahun 1962, melalui upaya damai dan bermartabat, baik melalui Ikrar Lamteh dan Kongres Kerukunan Rakyat Aceh. Darul Islam adalah gerakan politik menuntut apa yang belum diberikan, hak untuk melaksanakan Syariat Islam. Hak tersebut diberikan melalui skema Daerah Istimewa Aceh.

Perlawanan kedua, melalui Gerakan Aceh Merdeka, 1976-2005, dipimpin oleh murid Daud Beureuh, Hasan Tiro. Berbeda dengan Darul Islam, perlawanan kali ini adanya perpindahan gagasan, dari islamisme ke (etno)nasionalisme. Gagasan yang dibangun dengan letupan bedil itu, akhirnya juga berhenti di meja perundingan. Berdamai di Helsinki. Lalu, kembali, otonomi khusus diberikan untuk Aceh. Perbedaannya, kali ini lebih besar wewenangnya yang diberikan, dibandingkan setelah penyelesaian peristiwa Darul Islam. Ada kebebasan untuk menampilkan eskpresi politik dan budaya lokal, penguasaan sumber daya alam, pembagian alokasi dana yang lebih besar dan wewenang luas untuk melaksanakan syariat Islam.

Pendeknya, perdamaian dari Helsinki telah membuka ruang politik yang lebar untuk segala ekspresi yang ada. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa ide Syariat Islam malah semakin mendapatkan ruang politiknya, paska 2005, di saat ruang itu dibuka oleh gerakan yang tidak mengusung gagasan islamisme.


Tulisan ini[ref]Bagian ini telah dipublikasi di http://www.bung-alkaf.com/2017/12/08/gam-setelah-41-tahun-demokrasi-dan-ruang-politik-untuk-syariah/[/ref] hendak menjawab pertanyaan di atas melalui penelusuran secara genealogis.

Sejak memasuki abad kontemporer, Aceh telah membuka ruang untuk melakukan perbincangan antara gagasan Islam dengan nasionalisme. Cita-cita mengenai kejayaan Islam Aceh di masa lampau, kemudian dicoba terapkan dalam eksperimen politik modern. Melalui pertemuan dengan gagasan baru yang bernama Indonesia. Untuk itu, Aceh menjadikan Islam persyaratan utama ketika mendukung proklamasi Indonesia. Sehingga ketika Darul Islam Aceh itu terjadi, hal tersebut haruslah dilihat sebagai ungkapan politik untuk memasukkan Islam dalam kehidupan bernegara.

Perjumpaan Islam dan nasionalisme menjadi lebih tajam, ketika Hasan Tiro melakukan revisi terhadap gagasan kebangsaan Indonesia. Dia memasuki, bahkan berpindah dari gagasan islamisme kepada apa yaang disebut sebagai etnonasionalisme (Damanik, 2010). Untuk memperkuat gagasannya itu, Tiro menjadikan analisa sejarah dan hukum sebagai dasar pijakannya (Ali dkk, 2008).

Dua seting politik di atas penting sebagai cara membaca Aceh lebih utuh. Apalagi wajah Aceh tidak lagi sama setelah 41 tahun GAM dan 12 tahun kesepakatan damai di Helsinki. Perdamaian politik Helsinki itu telah menghentikan cita-cita kemerdekaan GAM dan berganti dengan jalan demokrasi.

Namun, ternyata, demokrasi memunculkan masalah berikutnya.

Ketika demokrasi hanya meniscayakan satu hal, yaitu, diskursif, ternyata tidak dapat diikuti sepenuhnya oleh para mantan kombatan. Karena demokrasi menyediakan ruang deliberatif, meminjam frasa dari Habermas, yang memungkinkan setiap ide, gagasan melalui proses yang diskursif dan melewati uji publik (Hardiman 2009).

Demokrasi yang meniscayakan diskursif dan uji publik demikian, tidak dikenal dalam tradisi pergerakan politik Aceh Merdeka. Demokrasi jelas menghendaki ruang percakapan publik yang luas, tentu tidak efektif dalam masa perang. Sebab perang, harus dibangun dengan agitasi dan propaganda. Sehingga yang terjadi adalah mantan kombatan, yang sudah berpolitik itu, malah gagal memanfaatkan ruang politik yang terbuka lebar sejak tahun 2005.

Dalam keadaan demikianlah, kita kemudian dapat mulai memahami, mengapa gagasan etnonasionalisme, sebagai ide utama organisasi GAM, itu kalah dengan gagasan islamisme, yang merupakan ide utama di Aceh sejak zaman revolusi nasional. Padahal, kedua topik pernah itu menjadi perdebatan sengit di masa-masa awal reformasi, tentang apakah Aceh lebih menghendaki formalisasi hukum syariah atau keadilan (baca: merdeka).

Formalisasi hukum syariah sendiri merupakan gagasan yang lama mengendap setelah berakhirnya peristiwa Darul Islam Aceh, yang terus dicoba dalam berbagai kebijakan pelaksanaan hukum syariah. Misalnya, apa yang dilakukan oleh Gubernur Hasby Wahidy, yang pernah menjadi aktivis pemuda PUSA , dengan membentuk Biro Unsur-Unsur Syariat Islam di tahun, yang berujung pada pergantiannya oleh Pemerintah Pusat oleh Muzakkir Walad di tahun 1968 (Nashir, 2013). Namun, cara rezim Orde Baru menangani Aceh demikian, dalam pandangan Sjamsuddin (1989) telah membuat Beureuh kecewa. Lalu, karena sentimen itulah terjadi perjumpaan antara veteran Darul Islam dengan Hasan Tiro, yang lebih menjadikan isu pengelolaan kekayaan alam, sebagai bentuk ketidakadilan Pemerintah Pusat kepada Aceh, sebagai alasan untuk melakukan perlawanan kembali.

Namun, ketika Tiro mulai bergerak kepada gagasan etnonasionalisme, ide islamisme masih kuat mengendap di kepala elite politik dan intelektual Aceh. Kelompok bahkan bergerak dari tengah untuk mendorong agenda politiknya itu.

Oleh elite politik, hal itu ditunjukkan dengan mendukung penuh kepada PPP untuk mengalahkan dominasi Golkar. Dukungan kepada PPP dijadikan sebagai tempat pertujukan komitmen Aceh terhadap Islam (Ali, 1996). Sedangkan oleh golongan intelektual, yaitu para sarjana dari IAIN Ar Raniry, Darussalam, lebih mengisi ruang-ruang birokrasi, seperti menjadi pengajar di perguruan tinggi, bekerja di Kementerian Agama dan menjadi pengurus di Majelis Ulama Indonesia. Selanjutnya gagasan-gagasan tentang Islam juga mendapatkan ruang diskursusnyanya di media Sinar Darussalam, sebuah majalah ilmiah yang terbit secara rutin sejak tahun 1969 sampai akhir tahun 1990-an.

Proses yang sistematis dari golongan elite politik dan intelektual tersebut, kemudian ikut menjelaskan mengapa setelah Aceh mendapatkan otonomi khusus di tahun 2001, untuk menjalankan Syariat Islam, maka produk hukum di bidang aqidah, ibadah, syiar Islam dan jinayah mampu dilahirkan dengan cepat.

Lalu, ketika ide islamisme bergerak dari tengah, di saat yang bersamaan, gagasan etnonasionalisme berada di pinggiran. Di saat pendukung gagasan islamisme menulis buku yang sistematis, mengadakan pengajaran dan seminar secara regular. Pendukung gagasan etnonasionalisme hanya mampu berpidato di tempat terpencil, mendengar ceramah dari kaset secara diam-diam, mencetak pamflet dan mengedarkan stensilan ceramah secara terbatas. Baru setelah rezim Orde Baru tumbang, ada peluang politik untuk membangun framing tentang etnonasioanalisme secara luas.

Ada euforia di sana-sini. Salah satunya dengan aksi-aksi kolosal, seperti referendum, mogok massal dan perayaan hari milad GAM secara terbuka. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama. Operasi militer dari pemerintah pusat berhasil membuat gagasan etnonasionalisme kembali ke pinggir. Bahkan setelah MoU Helsinki pun tidak mampu membawa gagasan itu kembali ke tengah, hatta mantan kombatan menduduki posisi politik yang strategis di Aceh.

Bahkan kini, produk hukum syariah lebih banyak lahir dan mendapat sambutan masyarakat, seperti Jinayah dan Hukum Acara Jinayah, Bank Syariah, Dinas Dayah dan keterlibatan ulama dalam memberi pertimbangan pada setiap kebijakan. Berbanding terbalik dengan produk hukum bercorak etnonasionalisme yang tidak mendapat dukungan penuh bahkan memunculkan riak-riak perlawanan, seperti kelembagaan Wali Nanggroe, bendera, lambang dan himne Aceh.

Perubahan sosial politik ini tentulah tidak ajeg. Namun bila ditelusuri secara genealogis, dapat dikatakan, bahwa gagasan islamisme dalam bentuk formalisasi hukum Islam di Aceh, telah memenangkan pertarungan narasi. Dan akan semakin kuat posisinya dalam membentuk identitas politik dan budaya di Aceh di kemudian hari.

* Makalah ini disampaikan pada diskusi Friday Forum IAIN Langsa, 2 Maret 2018

 

Gambar sebelum olah digital diambil dari : republika.co.id.

Categories
Penulis Tamu

Oasis Perumusan Agapol

Dapat dipastikan bahwa kajian dan permasalahan tentang agama dan politik tidak akan pernah habis selama manusia masih beraktivitas di permukaan bumi. Ontologi aktivitas manusia secara tidak langsung bersinggungan dengan berbagai kompleksitas alam semesta. Sebagai ciptakan Allah Swt. Alam semesta tidak mampu menjelaskan dan memberi informasi (iktibar) kepada manusia sebagai khalifah di permukaan bumi, dan manusiapun dengan kecanggihan akalnya juga tidak mampu untuk memahami hakikat Alam semesta. Kompleksitas alam semesta tersebut diartikan sebagai nilai-nilai ilahiah yang dapat bersentuhan dengan manusia, baik dalam bentuk teoritis (abstrak) maupun dalam bentuk praktis (konkret). Dalam bentuk teoritis misalnya studi tentang keagamaan, politik, ekonomi, sosial hingga kesehatan. Dan dalam bentuk praktis misalnya teknik cara beribadah atau kemampuan dalam beradaptasi dengan lingkungan.

Categories
Penulis Tamu

TUHAN DAN SEJARAH AKHLAK PEMBEBASAN

Sejarah perkembangan Islam pada dasarnya tidak pernah terlepas dari tindakan-tindakan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat dalam upaya membentuk karakter akhlaqul karimah pada umatnya. Mengingat pentingnya misi ini, Nabi bersabda bahwa “Sesungguhnya Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia”. Nilai inilah yang selanjutnya melatari setiap tindakan Rasulullah dalam menyampaikan syiar Islam pada zamannya. Bahkan ketinggian nilai akhlak dalam hal tertentu dapat mengenyampingkan aspek teologi demi perdamaian dan toleransi, seperti yang telah terukir dengan baik dalam sejarah perjanjian Hudaibiyah.

Peristiwa perjanjian hudaibiyah ini terjadi pada tahun 628 M. Pada saat itu Rasulullah bersama rombongan sedang dalam perjalanan menuju Madinah untuk menunaikan ibadah haji. Namun kondisi kekhawatiran dan kesulitan menghinggapi umat muslim yang ikut bersama Rasulullah, karena pada saat itu kota Mekkah masih dikuasai sepenuhnya oleh kaum penentang dari Suku Quraisy. Menyadari hal ini dalam menempuh perjalanan dari Madinah ke Mekkah Rasululullah telah menyiapkan beberapa strategi khusus untuk mencegah timbulnya peperangan dengan kaum Quraisy yang tidak rela kaum muslimin memasuki kota mekkah. Untuk itu Rasulullah menerapkan beberapa strategi, Pertama, Memilih rute perjalanan yang tidak menimbulkan kecurigaan kaum penentang dari suku Quraisy. Kedua, Kendaraan yang ditunggangi untuk perjalanan ke Mekkah diberikan tanda khusus agar tidak dicurigai sebagai kendaraan perang. Ketiga, Rasulullah juga memerintahkan agar seluruh pedang yang dibawa agar disarungkan. Hal ini untuk menunjukkan bahwa kedatangan kaum muslimin tidak bermaksud untuk berperang, melainkan untuk beribadah semata. Namun ketika akan sampai kota Mekkah, Rombongan Rasulullah dihalangi oleh kaum penentang dan tidak mengizinkan mereka masuk ke Mekkah. Melihat hal tersebut, untuk menghindari peperangan akhirnya Rasulullah atas saran Umar Bin Khattab mengutus Usman Bin Affan untuk menemui Abu Sufyan, perwakilan dari kelompok penentang untuk menjelaskan bahwa maksud kedatangan kaum muslimin hanya untuk beribadah. Namun perundingan itu gagal, karena Abu Sufyan tetap melarang kaum muslimin memasuki kota mekkah.

Selanjutnya perundingan dilanjutkan kembali dengan Suhail Bin Amr. Hasil Perjanjian ini awalnya mendapat penolakan keras dari para sahabat dan rombongan pada saat itu, karena perjanjian ini dinilai akan sangat merugikan kaum Muslimin. Salah satu butir perjanjian tersebut adalah kaum Quraisy menolak perjanjian itu dimulai dengan kata kata “Bismillahirrahmanirrahim”, Suhail menyebutkan bahwa “kami tidak mengenal Ar-Rahman!” tulis saja seperti biasanya,“bismika allahumma”. Nabi menuruti permintaan Suhail dan meminta Ali menuliskan “bismika allahumma”. Namun Rasulullah juga meminta Ali menambahkan kata kata “hadza ma Qadha ‘alaih Muhammad Rasulullah” (inilah ketetapan muhammad rasulullah). Namun Suhail kembali menolak hal ini, karena ia dan kaumnya tidak mengakui Muhammad sebagai rasulullah, Namun Rasulullah tetap menerima perjanjian tersebut.

Butir perjanjian lainnya yang merugikan adalah gagalnya kaum muslimin menunaikan ibadah haji pada saat itu juga, karena menurut perjanjian ibadah haji baru dapat dilaksanakan tahun depan. Meskipun niat awal kaum muslimin untuk menunaikan ibadah haji pada tahun itu gagal, namun sejarah memperlihatkan bahwa setelah peristiwa perjanjian Hudaibiyah itu, kaum muslimin justru semakin berjaya pada masa-masa selanjutnya.

Kesadaran akan tingginya nilai akhlak tidak hanya bersemayam dalam ajaran Islam saja, melainkan juga mengakar pada agama agama yang menekankan pada spiritualitas seperti halnya Buddha. Tidak sulit bagi kita untuk menemukan samudera kata kata Buddha yang menganjurkan berbuat baik bagi sesama manusia dan alam, menghindari kejahatan dan saling menghormati sesama. Diantara ajaran tersebut dapat dilihat dalam ungkapan “Barangsiapa mencari kebahagiaan dari diri sendiri dengan jalan menganiaya makhluk lain yang juga mendambakan kebahagiaan, maka setelah mati ia tidak akan memperoleh kebahagiaan” (Danda Vagga 3, Dhammapada X; 131).

Pencapaian seluruh aturan “Budi Dharma” dalam ajaran Buddha hanya dapat ditempuh melalui meditasi dan pembersihan diri seperti dinyatakan “Tidak melakukan segala bentuk kejahatan, senantiasa mengembangkan kebajikan, dan membersihkan batin; inilah Ajaran Para Buddha” (Buddha 5, Dhammapada XIV; 183). Bagi Buddhist yang senantiasa memelihara ajaran tersebut maka nilai itu juga akan tertanam sampai kapanpun. Dalam lintas sejarah kemanusiaan, nilai ini telah banyak dipraktikkan oleh tokoh tokoh spiritual Buddha, seperti halnya Dalai Lama. Pada Tahun 1950 pada saat China menduduki Tibet, masyarakat Tibet seringkali menerima kekerasan dan penganiayaan dari tentara China. Sikap kekerasan tersebut tidak diladeni oleh Dalai Lama XIV, karena berpegang teguh pada ajaran Buddha yang melarang melakukan kekerasan. Namun perlawanan diplomatis tetap dilakukan Dalai Lama selama kurang lebih empat puluh tahun lamanya. Pada tahun 1950 Dalai Lama secara resmi menduduki tahta kepemimpinan tertinggi baik secara spiritual maupun temporal bagi 6 juta rakyat Tibet. Karena situasi pendudukan dan penganiayaan tentara RRC terhadap rakyat Tibet, Dalai yang ketika itu berusia 15 tahun memutuskan untuk mengakhiri konflik dengan cara diplomasi. Dalai Lama mengutus delegasi ke berbagai Negara seperti Amerika, Inggris, Nepal dan termasuk RRC sendiri. Namun upaya upaya itu gagal membuahkan hasil. Pada 17 maret 1959 muncul desas desus akan ada serangan baru dari tentara China melalui udara, sehingga Dalai Lama terpaksa mengasingkan diri ke India.

Untuk mencegah terjadinya kekerasan yang berlarut larut, Dalai Lama memutuskan untuk mengeluarkan lima poin resolusi konflik kepada Amerika, diantara point penting tersebut Dalai Lama meminta agar seluruh Tibet dijadikan sebagai wilayah ahimsa (zona tanpa kekerasan), menghormati hak azasi manusia warga Tibet, serta mendorong berlangsungnya negosiasi dan dialog antara Tibet dan masyarakat China. Pasca resolusi tersebut, dukungan dunia mulai mengalir dan ketegangan antara China dan Tibet mulai sedikit mereda. Atas usaha-usahanya menghindari kekerasan dan mendorong perdamaian dunia, Tenzin Gyatso (Dalai Lama XIV) memperoleh penghargaan Nobel Perdamaian pada Tahun 1989. Dalam konteks peristiwa aktual, untuk kasus Konflik umat Buddha dan Muslim Rohingnya, Dalai lama XIV melalui surat kabar The Australian telah berulang kali meminta Aung San Suu Kyi untuk membantu dan berbuat lebih banyak untuk muslim Rohingnya. Dalam suratkabar tersebut ia juga menyebutkan “Ada yang salah dengan cara manusia berpikir, pada akhirnya kita kurang peduli dengan kehidupan orang lain”.

Demikian juga halnya dengan dengan beberapa agama lainnya di dunia, seperti Yahudi dan Kristen. Meski bagi sebagian besar umat Islam memiliki sikap antipati terhadap Yahudi, namun tentu tidak semua umat yahudi pro terhadap zionisme dan kekerasan. Kesadaran ini telah diwujudkan dalam lensa sejarah dunia oleh sekumpulan Rabi Yahudi Ortodoks yang bermukim di Amerika Serikat untuk mengkampanyekan anti zionisme dan kekerasan.

Para Tokoh agama Yahudi ini berkumpul dalam suatu wadah organisasi yang bernama “Neturei Karta”, Organisasi ini telah berdiri mulai tahun 1935 yang dipelopori oleh Rabi Yisroel Ben Eliezer. Juru bicara Neturei Karta, Rabi Yisroel Dovid Weiss menyebutkan bahwa “Zionisme” tidak sama dengan “Yudaisme”. Bagi Yisroel, zionisme merupakan tindakan yang telah mengotori dinding ratapan. Yisroel bersama Rabi lainnya juga secara aktif mengkampanyekan gerakan anti zionisme ke berbagai Negara, termasuk Iran dan Indonesia. Selain itu mereka juga menjumpai tokoh tokoh agama muslim untuk menjalin persahabatan dan persaudaraan global.

Tidak jauh berbeda dengan itu, dikalangan umat kristiani juga telah banyak bermunculan tokoh tokoh perdamaian antar umat beragama seperti Dr. Paul Marshall, Pdt. Stephen Tong, Pdt. Benyamin F Intan dan yang cukup popular di Indonesia Franz Magnis Suseno. Mereka ini secara aktif terus menerus menyuarakan perdamaian dan toleransi antar umat beragama. Menurut Pdt. Benyamin F Intan berbuat kebajikan dan mendorong perdamaian merupakan perintah kitab suci injil seperti yang tertuang dalam Efesus 2 : 10 ; “Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan perbuatan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya”.

Pemaparan kisah sejarah diatas tentu saja bukanlah suatu upaya menghubung-hubungkan penggalan sejarah yang ada, tapi secara lebih mendasar ia merupakan suatu susunan mosaik yang membantu kita memahami makna khsusus dari kesatuan penggalan sejarah tersebut. Dari latar belakang sejarah ini, kita melihat bahwa diatas segala perbedaan yang ada, perdamaian dan toleransi adalah metode paling religius dalam upaya menghadirkan nilai nilai Tuhan di muka bumi. Jika setiap orang bisa berbeda dengan yang lainnya baik dari sisi ideologi maupun agama karena menggunakan hak kebebasan individualnya masing masing, maka tanpa adanya kebebasan dapat dipastikan tidak ada satupun pemahaman yang muncul.

Setiap manusia, apapun latar belakang hidup dan agamanya, memiliki hasrat manusiawi untuk mengetahui sesuatu yang benar. Agama yang benar, sistem politik yang benar, ekonomi yang benar dan berbagai konsep kebenaran lainnya. Karena itu, Untuk mengetahui sesuatu disebut benar atau tidak, pertama-tama manusia harus memiliki setidak tidaknya kebebasan bagi diri individunya untuk mencari dan memahami segala sesuatu, sehingga dengan memanfaatkan kebebasan yang ada dalam dirinya tersebut, setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh kebenaran hidup. Oleh sebab itu, Tuhan Yang Maha Bijaksana telah menganugerahkan kebebasan bagi setiap individu untuk memahami kalamnya yang Agung. Tuhan secara azali telah menyadari bahwa konsekuensi penciptaan makhluk yang beragam akan menimbulkan keragaman pandangan yang berpotensi melahirkan pertikaian. Namun dibalik itu semua, Tuhan telah menurunkan seperangkat pranata sosial suci yang berguna bagi harmonisasi segala keragaman itu, yakni “akhlak”. Kata akhlak dalam bahasa arab berasal dari kata “khalqun” yang terambil dari kata “Khaliq” (pencipta). Hal ini menununjukkan bahwa perilaku akhlak dapat terbentuk sebagai ekses hubungannya dengan sang Khaliq sebagai referen bagi makhluk.

Dari sinilah kita menyadari pentingnya menyemai dimensi spiritual bagi setiap manusia, karena bagi jiwa manusia yang terjebak dalam raga, ia berhenti pada keterbatasannya dan tidak mampu keluar dari ego kebenaran yang ia ciptakan sendiri. Sedangkan dimensi spiritual agama merupakan instrument khusus bagi manusia untuk membebaskan jiwa dari keterkungkungan raga yang terbatas. Melalui jiwa yang telah terbebas inilah manusia mampu membentuk karakater akhlak yang pada gilirannya menciptakan kedamaian dalam keragaman dan sekaligus menjadi rahmat bagi semesta.

– T. Muhammad Jafar Sulaiman* & Zuhri A. Sabri** –

*T. Muhammad Jafar Sulaiman,
Pemikir muda, Pengajar Filsafat Politik
**Zuhri A. Sabri, Alumnus fakultas hukum Universitas Syiah Kuala

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Foto featured image diambil dari: commons.wikimedia.org. dengan lisensi public domain

Categories
Penulis Tamu

Islam Mazhab Tutup Botol

Padebooks menerbitkan buku karya Khairil Miswar berjudul ‘Habis Gelap Terbitlah Stres’. Buku itu menyorot fenomena yang terjadi di Aceh tentang tuduhan-tuduhan sesat kepada orang atau aliran tertentu yang tidak sesuai dengan keyakinan yang dipegang.

Buku itu merupakan kompilasi tulisan-tulisan Khairil Miswar yang telah dipublikasi di berbagai media massa. Mengenai penerbitan kompilasi tulisan, itu merupakan tren yang semakin populer dewasa ini. Haidar Bagir sendiri yang awalnya tampak pesimis menerbitkan kompilasi tulisannya, akhirnya melakukan itu dengan terbitnya ‘Islam Tuhan, Islam Manusia’. Dalam testimoninya tentang buku Haidar Bagir itu, Goenawar Mohammad mengatakan “Haidar Bagir menunjukkan bahwa sebuah kumpulan tulisan adalah bentuk yang pas buat zaman ini.”

Bagaimana tidak, zaman ini adalah zaman sibuk. Orang-orang tidak sempat membaca sebuah pembahasan yang panjang. Tetapi butuh untuk menghimpun keseluruhan pemikiran seseorang. Kedua persoalan tersebut teratasi dengan sebuah buku yang merupakan kumpulan tulisan.

Dalam hal ini, Goenawan Mohammad dalam ‘Puisi dan Anti Puisi’ juga pernah mempertanyakan “Adakah yang selesai ditulis di zaman ini?”. Secara umum tentunya jawaban untuk pertanyaan tersebut adalah: Tidak! Karena, dewasa ini, setiap fenomena selalu viral dan meredup tanpa memberikan penutup memadai. Segala fenomena dan peristiwa umumnya tidak pernah terselesaikan dengan suatu alur yang jelas. Lagi pula, pada zaman ini orang-orang tidak ingin sebuah tulisan, terutama sebuah buku semacam menganut plot novel atau sandiwara radio. Publik kini tidak suka sebuah kesimpulan utuh yang dibuat seorang penulis setelah menguraikan persoalan-persoalan. Kesimpulan dalam bentuk saran atau solusi, sebagaimana umumnya terjadi dalam sebuah buku utuh, dewasa ini dikesankan sebagai sebuah bentuk dikte. Dan itu tidak disukai pembaca di zaman ini.

Dengan begitu, Khairil Miswar hadir dengan ‘Habis sesat, Terbitlah Stress’ untuk menggambarkan fenomena-fenomena ketegangan beragama di Aceh.

Fenomena kafir-mengkafirkan, sesat-menyiasati memang telah menjadi fenomena yang lagi ”ngetren” di Aceh: mulai dari adanya orang ”khutbah” di bawah mimbar saat khatib sedang menyampaikan khutbah di atas mimbar, fenomena membuang mimbar, maupun perdebatan klasik seperti jumlah rakaat tarawih dan pengulangan bacaan rukun khutbah.

Menanggapi perbedaan pandangan yang telah terjadi sejak bermulanya syiar Islam, saya melihat semua paham, baik itu aliran mampun mazhab, semuanya adalah konstruksi manusia terhadap Islam yang hikmahnya tiada terbatas. Setiap orang memiliki horison (baca: kapasitas) masing-masing dalam memahami apapun termasuk agama.

Islam itu seperti samudra. Tidak terbatas. Setiap manusia punya kapasitas masing-masing dalam memahami Islam. Analoginya seperti sejumlah orang yang datang ke pantai untuk menimba air laut. Begitulah setiap orang datang berusaha memahami Islam yang sangat dalam yang luas itu. Orang yang akalnya panjang seperti orang yang datang untuk menimba air laut dengan membawa ember. Ada yang akalnya tidak terlalu panjang seperti datang menimba air laut dengan botol. Ada juga hamba Tuhan dengan kapasitas akalnya yang rendah, seperti orang yang datang mengambil air laut dengan tutup botol.

Setiap dari mereka benar selama mengatakan “Di dalam wadah saya ini adalah air laut”. Mereka seperti orang yang mengatakan, “Mazhab (atau aliran) yang saya pegang ini saya yakini adalah benar”. Tetapi mereka menjadi salah ketika mengatakan, “Lautan adalah di dalam wadah saya.” Itu seperti mengatakan, “Hanya mazhab (atau aliran) yang saya pegang inilah yang benar.”

Kita perlu sadar bahwa Islam yang kita pelajari dari Al-Qur’an, Hadits, pengajian, ceramah-ceramah dan tulisan-tulisan, semuanya dilimit oleh batas akal kita dalam memahaminya. Sekalipun itu fatwa ulama yang kita sangat yakin akan keilmuan dan kewibawaannya, tetap saja ulama itu memahami Islam menurut batas akalnya. Lalu kita memahami fatwa ulama itu menurut batas akal kita.

Khairil Miswar, dengan corak buku yang diminati di masa kini, diharap tidak hanya sebatas memeriahkan kebangkitan intelektualisme Aceh pasca konflik-tsunami, tetapi menjadi bagian rujukan penting bagi manusia masa depan yang ingin mengetahui Aceh pasca konflik-tsunami. Semoga.

– Miswari* –

*Penulis adalah pengajar Filsafat Islam di IAIN Zawiyah Cot Kala Langsa dan Penulis buku Filsafat Terakhir.

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com