Categories
Penulis Tamu

Bersama Jokowi, Merawat Kemerdekaan

Di tengah turbulensi politik yang begitu mengguncang, isu terorisme yang terus mengancam, tindakan-tindakan intoleransi yang kian mengoyak rajutan tenun kebangsaan, tambah lagi reinkarnasinya gagasan-gagasan yang ingin mengganti Pancasila sebagai dasar negara, seolah tanpa lelah, Jokowi terus bekerja untuk merawat kemerdekaan Indonesia.

Sejak awal menjadi Presiden, Jokowi sudah menghadapi terpaan kekuatan politik oposisi, ditambah cacian dan hinaan, fitnah, kritikan, serta desakan untuk mundur. Belakangan, eskalasinya semakin meningkat. Isu komunisme ditebar menghantui rakyat, bahkan gelombang konservatisme yang melanda umat Islam Indonesia seolah dimanfaatkan untuk melawan pemerintah.

Categories
Penulis Tamu

Pancasila, Merajut Nusantara!

Jika kita berjalan dari barat hingga ke timur Indonesia, maka akan menemukan banyak sekali suku, bahasa, adat-istiadat, tradisi, dan kebudayaan. Kesemuanya itu hidup-subur secara terus-menerus dari generasi ke generasi. “Kekayaan” tersebut dapat menjadi aset berharga, namun jika diekploitasi bisa saja menjadi jurang pemisah yang menganga pula. Apa yang terjadi dalam satu dekade terakhir, akibat keterbukaan arus informasi-teknologi, siapa saja bisa menggunakan sosial-media tanpa saringan. Akibatnya gesekan-gesekan kecil mudah terjadi, saling hujat, sebar berita hoax, seolah-olah semua menyentuh esensi, padahal tidak sama sekali.

Sebenarnya, sesuatu yang dipolemikkan oleh beberapa kalangan itu sudah selesai dibahas saat negara ini hendak merdeka. Sejak pembentukan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan dibentuk pada 29 April 1945, pembahasan tentang falsafah yang mendasari negara itu secara maraton di perbincangkan. Dimana, badan ini memang diberikan mandat untuk menyusun rancangan Undang-Undang Dasar yang akan dipakai sebagai konstitusi tertulis jika kelak Indonesia merdeka.

Categories
Penulis Tamu

Pancasila dan Gebuk

Saya awali tulisan ini dengan mengutip sebuah kata yang diucapkan oleh Kakek Pramudya dalam  Novel Pikiran Indonesia,  “Sejarah itu penting,  Nak.”

“Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar – benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”  – Al-‘Ashr: 1-3

Novel Psiko-Historis Indonesia karya Hafis Azhari itu mengajak kita untuk membuka kembali lembaran-lembaran sejarah yang telah banyak dilupakan oleh diri kita sendiri. Bukan bermaksud untuk membuka luka lama atau aib, tetapi untuk sebuah penegakan keadilan dan kebenaran dibutuhkan bahasa ungkapan yang dapat membangkitkan dan menyadarkan suatu bangsa untuk beritikad keras agar tidak mengulangi dosa-dosa sejarah yang telah diperbuat oleh tangannya sendiri,  yang dampaknya justru ditanggung oleh generasi anak dan cucu dalam jangka panjang.

Pertengahan Mei 2017, Presiden Jokowi mengeluarkan pernyataan “jika ada yang melawan konstitusi akan “digebuk”. Apa itu “gebuk”? Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah memukul; menghantam. Pengamat komunikasi politik Tjipta Lesmana dalam bukunya “Dari Soekarno sampai SBY” mengatakan kata “gebuk” bermakna menghancurkan sampai rata tanpa belas kasihan.

Bagi sebagian orang pasti trauma mendengar kata-kata itu, terlebih lagi mereka yang pernah merasakan “digebuk”. Kenapa takut atau trauma? Kata-kata ancaman itu biasanya keluar bersamaan dengan ekspresi mata melotot dan tangan menggepal. Kata berbau ancaman ini potensial berujung pada berbagai bentuk tindakan, baik berupa kekerasan fisik maupun tindakan lainnya. Fakta sejarah masa lalu menyebutkan banyak sekali orang telah menjadi korban “gebuk”.

Kata “gebuk” identik dengan Soeharto. Karena salah satu dari sejumlah kata agresif paling menonjol yang pernah diucapkan  Soeharto adalah “gebuk”. Pada masa Presiden Soeharto berkuasa, diberlakukan “reifikasi” ke segenap unsur kehidupan bangsa. Dengan reifikasi kekuatan Orde Baru dibangun dengan mengandalkan kemampuan berbahasa yang ditafsirkan oleh penguasa,  hingga muncullah istilah-istilah baru yang direkayasa oleh mereka: Gestapu, GPK,  OTB, Ekstrim Tengah, Terorisme, Komunisme.

Sekalipun kata “gebuk” identik dengan Soeharto-tetapi realitasnya dalam dunia politik kekuasaan di Indonesia, tindakan “gebuk” lawan atau bahkan kawan sendiri sangat lazim terjadi, baik sejak zaman Orde Lama hingga reformasi.

Dalam catatan sejarah Orde Lama, banyak yang kena “gebuk”.  Sebutlah beberapa orang, seperti Tan Malaka, Buya Hamka, Tengku Daud Beureuh, dan berbagai peristiwa lainnya. Dari 1959 hingga 1965, Presiden Soekarno juga berkuasa secara otoriter di bawah label “Demokrasi Terpimpin”.

Tindakan “gebuk” semakin keras bentuknya, pada menjelang pergantian rezim Orde Lama ke Orde Baru. Terjadi berbagai macam konspirasi dan “gebuk menggebuk”. Peristiwa Dewan Jenderal-peristiwa terbunuhnya enam dari tujuh jenderal angkatan darat yang dituduh akan melakukan “kudeta”. Tidak lama kemudian, terjadi pembantaian terorganisir terhadap PKI dan simpatisannya serta masyarakat yang tidak tau apa-apa (tindakan “gebuk” terhadap PKI terus berlanjut hingga saat ini).

Akibat “gebuk” kekuasaan Presiden Soekarno akhirnya ambruk “digebuk” Soeharto. Presiden Soekarno sempat berusaha mempertahankan kekuasaannya-tetapi tidak dapat mengelak ketika beberapa Jenderal mengintimidasi Soekarno untuk menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966-yang memberi wewenang kepada Mayor Jenderal Soeharto guna mengambil langkah yang dirasa perlu memulihkan keamanan dan ketertiban.

Dua hari setelah penandatanganan Supersemar, Presiden Soekarno dibawa dari Istana Bogor ke Wisma Yaso (sekarang Museum Satria Mandala). Di sana, Presiden Soekarno dilarang membaca koran atau sekadar mendengar siaran radio.

Soeharto akhirnya berhasil mendapatkan kekuasaan Presiden secara de-facto dari Soekarno. Kemudian mengambil langkah kritis yang mengukuhkan peran politisnya ketika parlemen menunjuknya sebagai Pejabat Presiden. Pada Maret 1968, Soeharto secara resmi ditunjuk sebagai Presiden selama lima tahun oleh MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat).

Soeharto naik tahta dengan cara “menggebuk” dan tentu mempertahankan tahtanya dengan cara “menggebuk.” Dapat kita lihat sepanjang sejarah Orde Baru, Presiden Soeharto “menggebuk” siapapun yang bertentangan dengannya. Berbagai peristiwa “gebuk” terjadi pada ORBA. Rakyat Aceh dan Papua habis “digebuk” dengan penerapan DOM (Daerah Operasi Militer).

Dalam rentang waktu itu, Pancasila juga disalahgunakan demi kepentingan jangka pendek penguasa. Rezim Orde Baru menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal dalam bernegara. Dengan mudah menghapus kelompok masyarakat yang dianggap bertentangan dengan Pancasila.

Munir mengingatkan dalam buku “Membangun Bangsa Menolak Militerisme” paham monolitik dalam  militerisme di masa Orde Baru muncul dalam bentuk dominasi idiologi negara, atau yang dikenal Pancasila sebagai asas tunggal.  Suasana ini telah menjebak semua kekuatan ke dalam kecurigaan ideologis,  dan menyerahkannya kembali kepada negara (state) sebagai pemilik ideologi tunggal. Negara sebagai representasi dari ideologi,  dan sekaligus pemilik tafsir tunggal atas ideologi itu.  Rakyat sebagai bagian dari kesatuan bangsa,  haruslah menjadi bagian dari pendukung kekuasaan yang terbalut ideologi tunggal. Semua kekuatan yang muncul di luar restu negara,  dinilai sebagai upaya menentang ideologi tunggal. Maka dikenalkanlah istilah ekstrim kiri, ekstrim kanan,  ultra nasionalis,  ekstrim kanan kiri oke (karaoke), untuk menjelaskan protes penguasa atas lahirnya upaya perlawanan rakyat.

Pada akhirnya sekuat apapun Soeharto bertahan-bernasib serupa dengan pendahulunya,  Soerkarno. Apakah dalam hal ini “karma” berbicara. Saya mengutip kembali status facebook Afi Nihaya Faradisa yang menjadi viral di dunia maya. “Hidup adalah serangkaian “karma” yang berputar. Jangan harap bisa lolos dari kejaran karma, atau apapun yang biasa kau sebut: hukum tabur-tuai, sebab-akibat, ganjaran kebaikan-dosa, dan sebagainya”.

Mei 1998, Presiden Soeharto ambruk dari kekuasannya setelah “digebuk” oleh orang-orang terdekatnya,  massa rakyat dan mahasiswa. Bulan reformasi menerangi malam pergantian rezim. Banyak pihak mulai menata masa depan Indonesia yang lebih demokratis dan menghormati hak asasi manusia. Sejak awal reformasi, banyak pihak kemudian membangun kembali diskursus dan memaknai Pancasila sebagai falsafah negara dan nilai-nilainya harus diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tetapi sayangnya, oligarki tetap langgeng. Reformasi yang dicita-citakan tetap berada dibawah cengkraman oligarki. Tidak ada penanda garis demarkasi yang tegas antara rezim masa lalu dengan era reformasi. Agenda-agenda Keadilan Transisi  jauh dari harapan. Yang terjadi justru selama 19 tahun  reformasi juga “gebuk” masih menjadi prilaku elit politik, militer,  polisi dan masyarakat kita. Sebutlah Munir, Salim Kancil dan banyak lagi yang menjadi korban “gebuk” di era reformasi, termasuk Aceh dengan penerapan Darurat Militer (DM 2003), dan bahkan Papua hingga saat ini terus dilanda suasana mengerikan.

Sepuluh hari setelah 19 tahun usia reformasi, tepatnya pada 1 Juni 2017, Presiden Jokowi menetapkan 1 Juni  sebagai hari libur pertama untuk memperingatan Lahir Pancasila. Saya kutip dari koran Kompas “Rakyat Rayakan Pancasila”. Peringatan hari lahir Pancasila berlangsung meriah di sejumlah daerah di Indonesia. Hal ini menjadi awal yang baik untuk meneguhkan kembali kesadaran tentang Pancasila dan kebersamaan sebagai satu bangsa.

Presiden juga telah mengeluarkan Peraturan Presiden (PP) RI No. 54/2017 tentang Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila. Dalam bagian menimbang (a) dalam rangka aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara perlu dilakukan pembinaan ideologi Pancasila terhadap seluruh penyelenggara negara.

Tidak bisa dipungkiri, pengalaman masa lalu membuat banyak orang belum bisa percaya dan masih trauma dengan segala hal dan janji politik penguasa. Apalagi 20 hari lalu,  Presiden Jokowi masih memproduksi kata “gebuk”.

Muncul pertanyaan, apakah tanggal 1 Juni 2017 menjadi titik sejarah baru menuju masa depan yang lebih baik dan beda dengan masa rezim otoriter, atau putar balik ke masa lampau?

Tentu harapan kita agar sejarah tidak berulang- tidak ada lagi “gebuk menggebuk” dan orang-orang yang pernah kena “gebuk” bisa memperoleh haknya sebagaimana semangat Negara Pancasila.

#G_IQRA
#MFK-6Juni17

– Malik Feri Kusuma* –

Malik Feri Kusuma – Koordinator Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Jakarta

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Hak cipta gambar sebelum olah digital oleh : pixabay.com dan welogo

Referensi:

  1. Kompas.com, 2017, “Jokowi: Kalau PKI Nongol, Gebuk Saja”. http://nasional.kompas.com/read/2017/05/17/16433321/jokowi.kalau.pki.nongol.gebuk.saja.
  2. Okezone.com, 2015, “Perlakuan Kelewatan Soeharto pada Soekarno”. http://news.okezone.com/read/2015/03/11/337/1116780/perlakuan-kelewatan-soeharto-pada-soekarno
  3. Kompas.com, 2017, “Ini Status-status Afi yang Viral di Dunia Maya,”. http://regional.kompas.com/read/2017/05/30/06062481/ini.status-status.afi.yang.viral.di.dunia.maya?page=4
  4. tirto.id, 2017. “Politik Gebuk Menggebuk ala Soeharto dan Jokowi”. https://tirto.id/politik-gebuk-menggebuk-ala-soeharto-dan-jokowi-coXP
  5. Koran KOMPAS, 2017, “Rakyat Rayakan Pancasila”.
  6. Ken Conboy, 2007, Judul asli; Intel: Inside Indonesia’s Intelligence Service. Judul Indonesia; Intel; Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia. Pustaka Primatama.
  7. Jejak Pemikiran Munir (1965-2004), 2006. “Membangun Bangsa dan Menolak Militerisme”. KASUM.
  8. Hafis Azhari, 2014. “Pikiran Orang Indonesia”. Fikra Publising.
Categories
Penulis Tamu

Dari Soekarno Kepada Umat Islam

“…Kita berkata, 90% daripada kita beragama Islam, tetapi lihatlah dalam sidang ini, berapa persen yang memberikan suaranya kepada Islam? Maaf seribu maaf, saya tanya hal itu! Bagi saya hal itu adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan rakyat…” – Soekarno, dalam sidang BPUPK, 1 Juni 1945

Categories
Penulis Tamu

Piagam Aceh untuk Keutuhan NKRI

Dunia kampus Islam bersatu menyatakan perang melawan radikalisme dan terorisme. Berpusat di Aceh, sebanyak lima puluh pimpinan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) se-Indonesia mendeklarasikan maklumat penting yang tertuang dalam Piagam Aceh (26/4). Gerakan yang dimotori kaum cendekiawan muslim tersebut menghasilkan beberapa kesepakatan yang bermuara untuk keutuhan NKRI.

Categories
Penulis Tamu

Islam, Bung Karno dan Pancasila

Judul tersebut saya kutip dari buku  Dr. Ahmad Basarah,”Bung Karno, Islam dan Pancasila”. Baskara, begitu saya dengar para ketua DPP, termasuk Ketua Umum, Hajjah Megawati Soekarno Putri memanggil dirinya, menulis buku tersebut  setebal 151 halaman yang diperas dari desertasi doktoralnya.

Baskara merupakan fungsionaris DPP yang mendalami dan mempelajari sejarah Pancasila ini dari semua sisi, termasuk “menelusurinya” melalui jalur akademis yang memenuhi kaedah ilmiah. Promosi Doktoralnya disampaikan dihadapan para professor, dua diantaranya adalah pimpinan dan mantan pimpinan Mahkamah Konstitusi. Dirinya juga begitu cakap dalam menjelaskan tentang Pancasila secara oral. Tidak berlebihan jika menyebutnya “Profesor” Pancasila atau “Jurubicara” Pancasila.

Tulisan ini barangkali tidak dengan detail membahas tentang Islam, Bung Karno dan juga Pancasila. Tapi bagaimana ketiganya memiliki korelasi dan mempengaruhi pada nilai-nilai, dan itu pula yang hendak disampaikan dalam tulisan singkat ini, tentu salah satu inspirasi dan sumbernya adalah Dr. Ahmad Basarah, tadi.

Islam merupakan agama yang sudah masuk ke nusantara sejak abad ke tujuh. Dalam perkembangannya, Islam diterima dengan baik di nusantara, terutama di Jawa sebagai pusat pergerakan kemerdekaan. Serupa dengan Islam, agama-agama lain juga mendapat tempat untuk berkembang. Dan secara umum kesadaran masyarakat nusantara adalah berketuhanan, mengakui adanya agama dan Tuhan.

Dengan demikian, para tokoh pergerakan kemerdekaan saat itu bergerak dengan membawa serta nilai-nilai yang dianut didalam kepercayaan masing-masing. Begitu juga dengan Ir. Soekarno, selanjutnya saya sebut Bung Karno. Sebagai salah satu tokoh kunci yang sudah mulai berfikir dan berbicara kemerdekaan di awal tahun 1900-an, Bung Karno juga dibekali dengan nilai-nilai spritualitas.

Pada usia remaja (sekitar 15 tahun), ayahnya menitipkan Bung Karno pada tokoh besar Islam pada saat itu, Haji Omar Said Tjokroaminoto. Soal ini, Bung Karno kepada Cindy Adam menyebutkan bahwa,”Pak Cokro adalah idolaku, aku muridnya. Secara sadar atau tidak dia telah menggembleng ku,” ucap Bung Karno. Pada tahun-tahun tersebut Bung Karno mengakui bahwa kontruksi pemikirannya dipengaruhi oleh islam.

Termasuk, salah satu faktor pendorong Bung Karno dalam bergerak melawan kolonialisme dan imperialisme adalah nilai-nilai Islam yang dipelajari dan dihayatinya ketika itu. Bung Karno mengartikulasikan pemahaman keislaman kedalam wujud anti pejajah. Ketertarikan Bung Karno kepada Islam juga mendorong dirinya untuk mengikuti tabligh-tabligh Kyai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Soal kedekatan dengan Muhammadiyah ini, Bung Karno juga pernah menyampaikan dalam pidatonya pada saat penutupan Mukhtamar tahun 1962, jika suatu saat dia meninggal untuk ditutupi dengan panji kebesaran Muhammadiyah.

Selanjutnya, Bung Karno juga dekat dengan pendiri Nahdlatul Ulama, KH, Hasyim ‘Asyari. Dalam Mukhtamar NU tahun 1954 di Surabaya, Bung Karno dianugerahi gelar Waliyul Amri Ad Dharuri Bi Assyaukah (pemimpin pemerintahan di masa darurat yang mengikat oleh sebab kekuasaannya atau pemegang pemerintahan de facto dengan kekuasaan penuh).

Dari 26 penghargaan akademis, dua diantaranya menegaskan tentang dimensi keislaman Bung Karno. Gelar Doktor Honoris Causa yang ke 24 pada tanggal 2 Desember 1964 dari IAIN (UIN) Jakarta dalam Fakultas Ushuluddin jurusan Dakwah dengan pidatonya yang berjudul “Tjilaka Negara Jang Tidak ber-Tuhan”. Gelar Doktor Honoris Causa yang ke 26 dari Universitas Muhammadyah Jakarta pada 3 Agustus dalam Filsafat Ilmu Tauhid dengan Pidatonya yang berjudul “Tauhid adalah Djiwaku”.

Bung Karno juga memiliki sumbangsih terhadap Islam di dunia internasional. Misalnya, Bung Karno ikut berperan dalam penemuan kembali makam imam Bukhari di Samarkand, Uzbekistan, di tahun 1961. Bung Karno juga yang mengusul padang Arafah ditanami pohon yang dinamakan “Syajarah Soekarno” atau “Pohon Soekarno”. Bung Karno juga berperan terhadap hidupnya kembali Mesjid Jamul Muslim (Mesjid Biru) di sebuah negara komunis yaitu Saint Petersburg, Uni Soviet.

PERUMUSAN PANCASILA

Dalam proses perumusan falsafah bangsa, Bung Karno juga memiliki peran besar. Dimulai dengan terbentuknya BPUPK pada 29 April 1945 yang diketuai oleh KRT. Radjiman Wediodiningrat. Pada masa sidang pertama, lembaga ini fokus pada merumuskan Fhilosofisce Grondslag, dasar falsafah yang harus dipersiapkan dalam rangka negara Indonesia merdeka.

Pidato pertama ketua BPUPK mempertanyakan apa yang menjadi dasar negara yang akan dibentuk ini. Dari sekian orang yang berpidato, belum ada yang bisa menjawab pertanyaan ketua tadi, karena ini dianggap penting bagi sebuah negara yang baru merdeka. Disaat Bung Karno menyampaikan pidato baru mengarah kepada dasar negara, yaitu Pancasila.

Pada akhir masa persidangan yang pertama, ketua BPUPK membentuk panitia kecil yang terdiri dari delapan orang yang bertugas mengumpulkan masukan dari anggota untuk disampaikan pada masa persidangan kedua, Bung Karno ditunjuk sebagai ketua. Komposisi tim ini terdiri dari Bung Karno, M. Hatta, M. yamin, A. Maramis, M. Sutardjo Kartohadikoesoemo, Otto Iskandardinata, Ki Bagoes Hadikoesoemo, KH. Wachid Hayim.

Setelah mengadakan rapat untuk merumuskan beberapa hal teknis yang akan disampaikan pada masa persidangan kedua, Bung Karno berinisiatif untuk membentuk panitian Sembilan untuk menyelidiki usul-usul menganai perumusan dasar negara yang melahirkan konsep rancangan Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Perubahan komposisi panitia delapan menjadi panitia Sembilan karena keinginan Bung Karno untuk memberikan penghormatan kepada golongan islam dan menjaga keseimbangan golongan Islam dengan golongan kebangsaan.

Tim Sembilan ini diketuai oleh Bung Karno. Dalam kelanjutannya, memang ditemukan perbedaan pandangan, namun disepakati pada 22 Juni 1945. Ada beberapa penamaan terhadap hasil kesepakatan ini, Bung Karno menyebutnya “Mukhaddimah”, M. Yamin menyebutnya “Piagam Jakarta”, Sukiman menyebutnya “Gentlemen’s Agreement”.

Hasil kerja tim Sembilan ini disampaikan dalam masa sidang kedua. Laporan tersebut ternyata mendapat penentangan dari anggota BPUPK yang lain, salah satunya adalah Latuharhary. Dia menyebutkan kata Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya dapat menimbulkan diskriminasi bagi pemeluk agama lain. Persidangan hampir menemui jalan buntu. Bung Karno mencoba menjelaskan betapa apiknya perumusan di panitia Sembilan, dan meminta kepada yang tidak setuju untuk meninggalkan pendapatnya demi persatuan Indonesia. Hasilnya piagam Jakarta tersebut bertahan hingga akhir masa persidangan.

Selanjutnya, pada tanggal 18 Agustus 1945 kesepakatan yang terdapat dalam Piagam Jakarta tersebut diubah pada bagian akhirnya oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Tentang penghapusan tujuh kata tersebut, beberapa tokoh bangsa saat itu memiliki peran, diantaranya adalah Mohammad hatta. Hatta mencoba meyakinkan tokoh-tokoh Islam untuk mengganti kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” dengan kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Melunaknya tokoh-tokoh Islam pada saat itu harus dipahami sebagai bentuk keluasan pikir, karena pada saat yang sama tokoh-tokoh diluar Islam yang mendiami wilayah timur Indonesia menganggap diskriminasi, dan berkeinginan untuk berada diluar Indonesia.

Ternyata, untuk Indonesia tetap utuh, para pendahulu kita menemukan consensus nasional. Hidup bergandengan dalam bingkai Negara Kesatuan. Bhinneka Tunggal Ika. Jika tokoh besar seperti mereka bisa merajut perbedaan, kenapa sampai pada generasi kita harus mencabik nya?!

– Alja Yusnadi* –

Alja Yusnadi – Penulis adalah Anggota DPRK Aceh Selatan dari PDI Perjuangan

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Hak cipta gambar sebelum olah digital oleh : wikimedia.org.

Categories
Penulis Tamu

Anies, Tegakkanlah Keadilan

“Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan”, – Pramodya Ananta Toer, Bumi Manusia.

Anies adalah sosok yang terpelajar. Ia adalah seorang intelektual dan akademisi. Pendidikan kesarjanaannya dienyam pertama kali di Fakultas Ekonomi UGM, kampus yang banyak melahirkan pejabat negara. Selanjutnya ia meneruskan pendidikan master di bidang keamanan internasional dan kebijakan ekonomi di School of Public Affairs, University of Maryland, College Park. Di sanalah ia dianugrahi William P. Cole III Fellow.

Setelah lulus dari Maryland, Anies kembali mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliahnya dalam bidang ilmu politik di Northern Illinois University pada tahun 1999, ia lulus dengan judul disertasi Regional Autonomy And Pattern of Democracy in Indonesia. Keilmuan yang ia miliki ini menjadi bekal untuk mengajar di Universitas Paramadina hingga menjadi rektor pada usia 38 tahun, ia tercatat sebagai rektor termuda di Indonesia.

Keterpelajaran Anies bukan hanya dari keilmuan semata. Semasa sekolah ia telah aktif di berbagai organisasi. Sejak sekolah di SMP Negeri 5 Yogyakarta, Anies telah bergabung di Organisasi Siswa Intra Sekolah, dan menduduki jabatan sebagai pengurus bidang humas.

Saat meneruskan pendidikannya di SMA Negeri 2 Yogyakarta, dia tetap aktif berorganisasi hingga terpilih menjadi Wakil Ketua OSIS, dan mengikuti pelatihan kepemimpinan bersama tiga ratus orang Ketua OSIS se-Indonesia. Hasilnya, ia terpilih menjadi Ketua OSIS se-Indonesia pada tahun 1985. Bahkan pada tahun 1987, dia terpilih untuk mengikuti program pertukaran pelajar AFS dan tinggal selama setahun di Milwaukee, Wisconsin, Amerika Serikat.

Saat kuliah, Anies juga bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan salah satu anggota Majelis Penyelamat Organisasi HMI UGM, organisasi yang banyak melahirkan politisi ulung negeri ini. Di UGM dia juga terpilih sebagai Ketua Senat Universitas pada kongres tahun 1992, dan membuat beberapa gebrakan dalam lembaga kemahasiswaan.

Dari riwayat pendidikannya tersebut, tambah lagi dengan gebrakannya melahirkan program Indonesia Mengajar, dan posisinya yang pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, maka patutlah disebut bahwa Anies adalah sosok terdidik yang pendidik. Karenanya, keadilan harus melekat dalam dirinya, terutama sejak terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta dalam hasil perhitungan Quick Count oleh beberapa lembagai survey.

Sulit untuk menepis bahwa kemenangan Anies menjadi Gubernur di DKI Jakarta adalah kemenangan “rasis” dan sentimen agama. Bahasa yang kerap terdengar selama masa kampanye adalah “Jangan pilih Ahok, dia Cina, dia kafir, dan dia penista agama, siapa yang memilihnya berarti kafir”.

Agama memang kerap dijadikan bahtera untuk berlayar gemilang menyebrangi lautan politik guna menduduki singgasana kuasa. Sifatnya yang sakral membuat para elit politik gemar mendandani diri berpenampilan agamais. Simbol-simbol kesalehan sering dipakai di ruang publik. Parade ritus digebyarkan. Semuanya dilakukan untuk memikat konstituen seagama.

Pada saat yang sama, agama juga dijadikan sebagai alat sentimen guna melumpuhkan lawan-lawan yang tak seagama. Ironisnya, ketika tampil di hadapan pemeluk agama yang berbeda, mereka berlagak seperti manusia paling nasionalis, pluralis, toleran, serta anti rasisme dan radikalisme.

Pola-pola kampanye yang mengedepankan fanatisme dan membakar rasa sentimen agama paling disenangi oleh kelompok-kelompok islamis. Dan Anies memiliki kekuatan politik yang digemuki oleh kalangan tersebut. Padahal pergerakan kaum islamis cukup berbahaya bagi masa depan rawatan keragaman di Indonesia.

Gerakan dan doktrin mereka dikhawatirkan akan memperlebar kanal konflik antar agama. Terlebih di alam demokrasi, yang justru semakin membuat mereka lebih “liar” untuk menebar dogma-dogma agama yang konservatif sampai ke pelosok desa di seluruh penjuru nusantara. Militansi, pengorbanan, dan komitmen spritual yang tinggi membuat mereka lebih gampang terpaut di hati dan pikiran umat.

Sayangnya, kaum islam moderat sebagai paham pribumi negeri ini–untuk tidak mengatakan semua–telah tercerabut dari akar sosialnya, sehingga tidak dapat membendung gerakan kaum islamis.

Kaum moderat yang berepisentrum di kampus hanya berkutat dengan setumpukan karya jurnal dan buku yang sarat dengan kata-kata melangit, sulit dimengerti penduduk awam mayapada. Sedangkan ormas moderat seperti NU, Muhammadiyah, dan Alwashliyah telah lama mengalami kemerosotan kader, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.

Bahkan, di era post modernisme sekarang ini, tekstur keagamaan islamis mulai laku keras di kalangan masyarakat urban. Sebab, masyarakat urban sudah jenuh melihat morat-maritnya kehidupan bangsa yang tak kunjung usai. Ideologi-ideologi modern dianggap gagal menghantarkan rakyat pada kemakmuran dan kesejahteraan. Bahkan asa mulia dalam pancasila sendiri mulai diragukan. Mereka menjadi lebih spritualis dan konservatif.

Titik rawan dari kondisi ini adalah terjadinya kesepahaman apik antara kaum urban, masyarakat desa, dan para pemufakat khilafah berserta “cukong” politiknya. Kalau ini terjadi, bisa-bisa Jakarta akan menjadi “toa” dari pengumandangan gerakan penggusuran Pancasila dan rumah besar demokrasi Indonesia. Padahal Jakarta adalah rahimnya pancasila dilahirkan untuk merawat kemajemukan bangsa.

Bangsa ini harus dirawat keragamannya. Membiarkan bangsa retak adalah perbuatan kufur nikmat, sama dengan mengundang azab dari Sang Maha Pencipta, seperti kata Yudi Latif (Suara Pembaruan, 17/4/2017)–bahwa persembahan kebangsaan Indonesia ialah ekspresi rasa syukur atas desain sunnatullah (hukum Tuhan).

Fenomena rasisme dan intoleransi yang mengotori hiruk pikuk Pilkada DKI Jakarta sudah saatnya berakhir. Persaingan-persaingan sengit yang sempat menimbulkan gesekan harus segera dicairkan.

Anies sebagai calon gubernur yang telah memenangkan Pilkada DKI Jakarta harus berdiri tegak di atas semua golongan. Tidak ada lagi dukung-dukungan. Tidak ada lagi atribut kepartaian. Tidak ada lagi kafir-mengkafirkan dan sesat-menyesatkan. Tidak ada lagi sentimen SARA. Tidak ada lagi tamasya al-Maidah. Tidak ada lagi rumah lembang dan roemah joeang, Jakarta adalah rumah semua warga, juga untuk Indonesia.

Anies harus memastikan hadirnya keadilan di Jakarta. Keadilan akan membawa pada kemakmuran yang berkeadaban (civilized). Keadilan akan meniadakan kemiskinan, ketidakmerataan pendidikan, kesenjangan sosial, pastinya, keadilan akan meniadakan ketidakadilan itu sendiri.

Keadilan yang diinginkan warga bukanlah keadilan yang dipidatokan dan diperdebatkan. Seperti kata Iwan Fals dalam bait lagunya: “keadilan bukan untuk diperdebatkan.” Karenanya keadilan harus menjadi ruh kepemimpinan dan kebijaksanaan seorang Anies.

Ia harus menghadirkan keadilan bagi segenap warga, mulai dari mereka yang mengisi gedung tinggi perkantoran dan pertokoan, rumah-rumah gedongan, sampai pada mereka yang ada di kolong jembatan, hingga penduduk terluar di kepulauan.

Dengan demikian, sebagai kaum terpelajar, Anies adalah sosok yang tepat untuk menjadi teladan kepemimpinan yang berkeadilan. Di tangannya, Jakarta harus menjadi jangkar peradaban nusantara. Di tangannya pula, Jakarta adalah tempat di mana pancasila menjadi kompas nilai dalam menata keragaman yang berkeadilan.

– Mustamar Iqbal Siregar*

*Pengajar di IAIN Zawiyah Cot Kala Langsa-Aceh, sekaligus pemerhati dan pegiat pendidikan multikultural di Aceh.

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Gambar fitur diambil dari youtube.com

Categories
Kolom Pendiri

Kepada Sukarno-Hatta

Perhatikan kalimat terakhir dari bunyi teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
“… Atas nama bangsa Indonesia, Sukarno-Hatta.”
Terkesan ada harmoni di sana. Namun, sungguh, di sanalah sebenarnya cerita tentang hiruk-pikuk, banting-tulang, jatuh-bangun tentang bangunan keindonesiaan ini bermula.

Melalui dua nama itu pulalah apa dan bagaimana Indonesia merdeka disusun dan dibangun. Tidak ada harmoni pada keduanya, sebagaimana yang tertera di teks proklamasi di atas, terutama pada ide dan gagasan. Sebab dari keduanya, terpancang perdebatan ide yang mengagumkan. Ada banyak perbedaan diantara keduanya. Namun tidak kurang juga, terdapat banyak titik temu.

Categories
Kolom Pendiri

Menjaga Pancasila, Menjaga Indonesia

”Pantjasila adalah satu alat mempersatu, jang saja jakin sejakin-jakinnja Bangsa Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke hanjalah dapat bersatu padu diatas dasar Pantjasila itu.”
(Bung Karno dalam Pantjasila Dasar Filsasat Negara)