Categories
Penulis Tamu

POLITIK UNTUK KEMANUSIAAN

Rabu, 17 April 2019 merupakan hari bersejarah bagi Rakyat dan Bangsa Indonesia. Setiap 5 tahun sekali, para pemimpin bangsa ini dipilih oleh seluruh rakyat Indonesia melalui Pemilihan Umum (Pemilu) yang Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia (Luber) serta Jujur dan Adil (Jurdil).

Setiap daerah maupun Kabupaten/Kota juga tak luput dalam mengambil bagian dari moment bersejarah ini. Para calon wakil rakyat atau Calon Legislatif (Caleg) seperti DPR, DPD dan DPRD juga menikmati peran dalam menyemarakkan pesta akbar demokrasi republik ini dalam menyongsong menuju Indonesia yang lebih baik.

Bagi para Caleg (Calon Legislatif) baik DPR, DPD atau DPRD yang telah menyiapkan dirinya menjadi anggota dewan/wakil rakyat, sebaiknya memulai kembali dalam membangun pondasi pemikiran dan implementasi politik yang segar lagi jernih.

Terutama, memupuk kembali benih-benih politik kemanusiaan yang pro-rakyat, tanpa berpolitik pragmatis (proyek abal-abal), tanpa kolusi-nepotisme, tanpa intimidasi, bersih, bersyariat serta memenangkan hati rakyat.

Sehingga pemilu Luber ini bisa dikatakan sukses apabila para calon pemimpin dan wakil rakyatnya sama-sama membangun serta menjaga kesepahaman dan pemahaman yang utuh dan menyeluruh; Caleg tidak berpolitik pragmatis dan rakyat tidak golput (golongan putih/netral).

DILEMA POLITIK INDONESIA

Dalam berbagai pandangan politik memiliki banyak makna dan kebanyakan dari makna itu berkaitan dengan kekuasaan, tahta dan jabatan. Tidak salah, namun dalam sudut pandang yang berbeda pula, sejatinya pemahaman politik itu adalah sebagai industri atau bursa pemikiran yang bertugas memberi arah yang “super positif” bagi kehidupan masyarakat banyak untuk kehidupan yang lebih baik dan bermartabat.

Politik sering dianggap sebagai medan aktualisasi sehingga ia kerap hadir tanpa nilai ataupun substansi yang sebenarnya. Kemudian muncul lah berbagai opini masyarakat (publik) yang berasumsi bahwa politik itu sangat kotor atau kejam. Namun, kita tidaklah serta merta menyalahkan opini tersebut karena masyarakat hanya mendefinisikan politik dari apa yang mereka tangkap serta berbagai informasi yang beredar ditengah mereka.

Berbagai indikator yang membuat masyarakat beropini politik itu licik/kotor sehingga mereka menjadi golongan apatisme terhadap pelaku di dunia politik praktis ialah sebuah keresahan dan kekecewan bukan hanya stigma negatif yang mereka dengar namun seringkali gambaran politik yang mereka lihat itu sangat bertolak belakang dengan hati nurani.

Keresahan dan kekecewaan mereka timbul karena banyaknya faktor internal maupun eksternal yang terjadi baik di masyarakat maupun sesama Parpol (partai Politik) seperti politik tidak pro-rakyat, intimidasi, saling menjatuhkan sesama Parpol/Caleg, kolusi-nepotisme, janji manis tapi palsu, dan lain-lain.

Sangat wajar jika muncul sebuah keresahan dan kekecewaan terkait stigma negatif tersebut meski stigma tersebut tak sepenuhnya benar, tapi juga tak sepenuhnya salah. Oleh sebab itu, sesama masyarakat perlu ditegaskan bahwa hingga sekarang ini masih ada politisi langka yang tulus dan ikhlas bekerja serta berkontibusi untuk rakyatnya. Tidak melulu bahwa politik itu kotor dan tidak bisa dibersihkan lagi.

Dalam pandangan Islam, berpolitik juga diperbolehkan. Namun politik justru bukanlah rimba belantara yang senantiasa memberi kebebesan bagi penguasa (diamanahi kuasa) untuk bertindak sewenang-wenang bahkan membabi-buta. Sehingga bagi si pemegang kuasa, jabatan maupun tahta senantiasa menjadikannya sebagai senjata/alat dimana yang kuat menghardik yang lemah serta bawahan selalu menjadi korban penindasan.

Menurut Ibnu Al-Qayyim, “Politik merupakan segala aktivitas yang mendekatkan manusia kepada kemaslahatan dan menjauhkan mereka dari kerusakan.” Meskipun tidak pernah ditegaskan oleh Rasulullah SAW dan tidak pernah disinggung oleh wahyu yang diturunkan, sebab semua jalan yang ditempuh untuk mengantarkan kepada keadilan, kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat, maka jalan itu adalah bagian dari agama ini (Islam). Termasuk jalan politik yang mencita-citakan keadilan, kesejahteraan dan kemaslahatan ummah.

Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tindakan politik mesti mendapat legitimasi dari hukum agama Islam.” Oleh sebab itu, inilah yang menyebabkan kekuatan spiritual, moral dan intelektual menjadi pilar utama bagi penyelenggara negara untuk menunjukkan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat sehingga memiliki parameter yang jelas dalam mendukung atau menjadi penguasa negeri ini.

Oleh karena itu, peran politik yang menjadi generator dalam menopang dan membangun agama sebagai kesatuan utuh dan menyeluruh dapat diimplementasikan dalam praktik politik edukatif dan kontruktif sebagai gagasan segar dalam membangun pemahaman politik yang substansinya untuk keluar dari bingkai mainstream politik yang kerap dipandang oleh sebahagian masyarakat dengan stigma-stigma yang negatif. Maka, dibutuhkanlah mereka para generasi muda yang dipupuk dengan ideologi yang berbasis dan mengakar dalam berspiritual, bermoral sekaligus berintelektual.

SUARA ADALAH AMANAH

Dimasa Khulafaurrasyidin, indikator pemimpin terbaik itu tidaklah dipilih dan diukur melalui banyaknya suara melainkan seorang pemimpin yang berkepribadian arif, bijaksana, bersahaja dan mampu membangun negeri demi kemaslahatan ummat.

Sangat berbeda di era demokrasi saat ini, kita harus mengikuti mekanisme yang ada dimana seseorang yang diklaim sebagai pemimpin bangsa apabila memegang hak/suara terbanyak.

Melalui suara dengan prinsip one man one vote sebagai legitimasi kekuasaan, setiap warga negara tanpa mengenal level dan kasta juga berwenang dalam “menghakimi” siapa saja yang berhak dipilih sebagai pemimpin.

Sebaliknya melalui suara, kita juga bukan hendak memuja mereka yang berada dalam kebenaran. Namun impian kita adalah bagaimana menggeser paradigma suara murni kuantitas menjadi suara yang berbasis kualitas. Sebab saat ini hakikat demokrasi kita sangatlah simplistis bahwa “suara” yang terbanyak dan terbesar yang dapat “bergemuruh” dalam setiap pengambilan kebijakan.

Namun, apabila konten ini dapat dimaksimalkan dengan bobot dan pengaruh kapasitas yang mampu menjadi solusi di tengah-tengah masyarakat, jadilah suara ini menjadi yang berkualitas.

Kita berharap seorang pemimpin harus menyadari bahwa ia berperan sebagai ‘wakil’ Allah untuk mewujudkan kehidupan semesta ini lebih beradab. Dasar pemahaman ini menjadi indikator perilaku politik yang diartikan melalui berbagai kebijakan pemahaman yang berdimensi moral dan integritas yang tinggi dalam menyelaraskan suara aspirasi masyarakat dan bangsanya.

Kesadaran yang tinggi inilah yang dapat membangun identitas demokratis dengan segala kemajemukannya demi menciptakan visi dan misi yang harmoni/sinergi tatanan sistem ideologi, politik, sosoial, pendidikan, hukum, sosial dan ekonomi masyarakat bangsa Indonesia yang lebih stabil, mapan dan mengakar.

KONTRIBUSI KEMANUSIAAN

Dewasa ini, tantangan terberat bagi setiap parpol sebagai pilar demokrasi bangsa ini adalah dengan menyiapkan kader-kadernya bukan hanya ketika hendak pemilu tapi jauh-jauh hari sebelum pemilu, baik dalam mempersiapkan aktor sebagai agent of change (agen perubahan) dalam setiap diri kader-kadernya maupun membentuk ideologi yang memiliki nilai-nilai kepribadian, baik intelektualitas, moralitas, maupun sosial bermasyarakat.

Tanpa menyiapkan aktor sebagai generator yang mampu bekerja, secanggih apapun ideologi yang dimilikinya akan lumpuh. Hanya saja, ia akan menjadi sebagai simbol hiasan dialektika yang dikenal masyarakat sebagai sosok pemimpin citra namun kurang memiliki idealisme dan integritas diri yang berbasis dan mengakar.

Hingga pemilu tahun ini terlepas dari beragam partai yang ada, masyarakat Indonesia sangat mendambakan baik tokoh legislatif maupun eksekutifnya mampu menjalankan mandat dan amanah masyarakat dengan baik, santun dan jujur.

Tidak hanya sekedar memenangkan perlombaan pemenangan kekuasan melalui suara pemilu saja, namun bisa berkontribusi nyata terhadap kesejahteraan, kemakmuran dan kemaslahatan ummat.

Dalam pencapaiannya dalam memenangkan simpati dari masyarakat hendaknya para pemimpin dan calegnya memiliki karakter dan kepribadian yang profesional, kreatif, populis dan mampu bersosial masyarakat untuk membawa bangsa ini menuju ke arah perubahan yang lebih baik.

Tulisan ini terilhami dari buku bacaan karya Tamsil Limrung yang berjudul Politik untuk Ummat. Sebagai catatan akhir dalam mengembalikan gagasan atau makna filosofis, moral, dan etika politik ke dalam praktek yang sebenarnya diperlukan ide orisinil politik yang memiliki nilai substansial, baik yang berbasis dan mengakar di tengah gurun sahara demokrasi Indonesia demi menyelamatkan kembali generasi muda dari siklus lubang hitam yang nihil ideologi yang berbasis adalah tanggung jawab kita bersama.

Sehingga dapat mempersiapkan dan melahirkan generasi pemimpin muda yang ideal dan politisi berkarakter kuat untuk menghancurkan penguasa zalim dan palsu, wakil rakyat yang tidak pro-rakyat, serta para koruptor yang menyedot hasil alam dan bumi Indonesia.

– Riri Isthafa Najmi * –

Riri Isthafa Najmi – Koordinator Forum Aceh Menulis

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Photo copyright of macrovector from freepix.com

Categories
Uncategorized

DEMOKRASI ELEKTORAL DAN HOAX

Pemilihan umum atau pemilu adalah kontestasi politik untuk memilih orang-orang untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu di ranah pemerintahan. Pesta demokrasi ini selalu dilakukan secara rutin oleh negara untuk keberlangsungan demokrasi. Tujuannya adalah untuk meraih kemenangan dan kekuasaan. Tentu saja akan ada dinamika yang terjadi, dan itu bisa sangat beragam. Terkadang ada tindakan kekerasan terhadap lawan politik baik verbal maupun non-verbal, termasuk penyebaran isu negatif untuk menjatuhkan lawan. Hoax atau fenomena penyebaran isu bohong adalah satunya. Apalagi ditengah hiruk-pikuk politik menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum Presiden dan Calon Legislatif tahun 2019 mendatang. Masyarakat umumnya cenderung mudah terpengaruh isu-isu sensitif yang dimainkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab dan mereka juga rentan dipengaruhi pola pikirnya ditengah kebiasaan malas membaca. Hal ini semakin membuat berita bohong atau hoax akan sangat mudah menyebar.

Hoax adalah tindakan, dokumen atau artefak yang tidak benar adanya atau yang “sengaja” dibuat dan disebar luaskan di kalangan masyarakat yang bertujuan untuk menjatuhkan lawan. Hoax sangat perlu diantisipasi dalam pemilu, karena mengakibatkan terjadinya kekacauan dan permusuhan serta saling mencurigai dalam masyarakat. Fenomena ini sudah mulai menjadi masalah sejak Pemilu 2014.

Munculnya hoax sendiri tidak terlepas dari perkembangan dunia informasi dan teknologi. Saat ini dimana penggunaan sosial media yang semakin meninggi dimana sebagaimana data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet (APJII) menyatakan bahwa data pengguna internet di Indonesia sudah mencapai 132,7 juta. Karakter daerah dengan pengguna smart phone yang tinggi menjadi penentu besar kecilnya dampak penyebaran hoax. Metode kampanye dengan menggunakan media sosial, pemberitaan, dan penyiaran bisa membuat hoax dalam sekejap mata dengan mudah tersebar. Bahkan sejak pileg/pilpres tahun 2014, pemilihan kepala daerah 2017 dan 2018, berita hoax memiliki dampak yang luas dalam konteks pemilu dan diprediksikan bahwa, pemilu 2019 penyebaran hoax akan tinggi frekuensinya di kalangan masyarakat. Indonesia sendiri adalah negara dengan pengguna media sosial tertinggi kelima di dunia. Diiringi dengan rendahnya semangat membaca dan tingginya penggunaan teknologi informasi, ketidak seimbangan informasi sampai munculnya hoax menjadi semakin sulit dikendalikan.

Hoax sendiri yang muncul dari sumber media sosial dan media informasi lainnya. Sebagaimana data dari 2017 Keminfo bahwa hoax menyebar dari berbagai media. Rinciannya adalah 92,4 persen media sosial, 62, 8 persen aplikasi chat, 8,7 persen situs web, 5 persen televisi, 3,1 persen media cetak, menyusul email dan radio dengan 1,2 persen. Oleh karena itu pihak penyelenggara Pemilu juga berupaya menangkal perkembangan hoax dengan berbagai metode. Salah satunya ada dalam pasal 310 dan 311 KUHP dan UU ITE sudah dijelaskan bahwa “barangsiapa yang menyebarkan atau memberikan informasi buruk di internet bisa diancam pidana”. Selain itu berbagai regulasi hukum juga terus dibenahi bagi para penyebar berita palsu dan pengelola akun hantu.

Disisi lain, hendaknya masyarakat diharapkan mengenal dan menghindari hoax dalam pemilu dengan berbagai cara. Pertama cek narasumber dan cek sumbernya dengan jelas. Jika tidak ada kejelasan narasumber dan sumber bisa dipastikan berita itu hoaxKedua, antisipasi judul berita provokatif. Hindari judul berita yang provikatif dengan cara membaca berita dari sumber-sumber yang lain. Judul berita yang provokatif sengaja dibuat untuk meningkatkan kunjungan pembaca padahal belum tentu konteks tersebut benar adanya. Ketiga, baca berita menyeluruh. Setiap berita yang didapat harus dibaca secara menyeluruh, biasanya orang hanya suka membaca headline nya saja, yang bisa jadi itu sengaja dimegah-megahkan untuk menarik perhatian pembaca. Keempat, jangan mudah percaya dengan foto atau video yang dibagikan di media sosial karena hasil editan dengan yang aslinya sangat sulit untuk dibedakan. Kelima, jangan latah dalam bagikan berita. Harus berpikir panjang dan cek kebenarannya sebelum berita dibagikan. Keenam, kritis dan cuek. Kritis dalam memilih informasi, mana yang benar dan mana yang salah serta cuek dalam menanggapi berita yang bersifat provokatif.

Pemerintah mempunyai peranan penting untuk mencegah hoax dalam pemilu dan mencegah hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Hal-hal yang dilakukan oleh pemeintah untuk menangkal hoax dalam pemilu, yaitu regulasi kampanye pemilu 2019 mewajibkan peserta pemilu mendaftarkan akun resmi media sosial yang dimilikinya sehingga apabila ketahuan melalukukan kampanye hitam bisa diberikan sanksi, membuat komitmen dengan peserta pemilu untuk tidak berkampanye hitam, penyelenggara pemilu memperkuat kemitraan dengan cyber-crime kepolisian, penyelenggara pemilu menguatkan hubungan dengan kominfo untuk memberikan sosialisasi kepada masyarakat, memberikan sanksi kepada media yang menyebarkan berita hoax dan isu SARA, dan bekerjasama dengan media sosial untuk menyebarkan konten positif dalam pemilu dan dipastikan peserta pemilu akan menggunakan saluran tersebut karena dianggap praktis dalam kampanye pemilihan.

-Elizawati dan Toni Ruswandi*-

Mahasiswa FISIP UIN Ar-Raniry

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Categories
Penulis Tamu

“THE SMILING FACE” ISLAM INDONESIA: MEMBACA TUNISIA*

PENDAHULUAN

Mencermati perkembangan yang terjadi di Islam Indonesia sepanjang tahun 2016, terutama beberapa peristiwa yang terkait dengan persoalan soisal-politik-keagamaan, penulis menjadi kembali ingin membaca tulisan Martin Van Bruinessen yang memunculkan istilah conservative turn in Indonesia. Apa sebenarnya pesan yang ingin disampaikan oleh Martin melalui istilah itu. Apakah ia ingin mengatakan bahwa pemahaman keagamaan Muslim Indonesia sebelumnya adalah konservatif, lalu berevolusi dan keluar dari konservatisme itu dan kini konservatisme itu terulang kembali? Istilah conservative turn yang pertama sekali digunakan oleh Martin tahun 2013 dalam asumsi penulis menjadi suatu prediksi akademik yang terbukti kebenarannya hari ini, meski dalam pemahaman penulis conservative turn yang dimaksudkan Martin adalah adanya sejumlah gejala bahwa pemahaman Muslim terhadap agamanya semakin menguat, kalau tidak ingin dikatakan mengarah kepada kekerasan berjamaah (communal violence) dengan mengatasnamakan agama mengutip istilah Duncan. Kasus-kasus di mana pemahaman keagamaan Muslim, terutama konservatisme mereka membaca teks-teks suci terbuka untuk ditunggangi oleh aktivitas politik. Tulisan ini dibagi atas dua pembahasan. Pertama, tentang hasil penelitian lembaga riset dan sejumlah pakar tentang Islam Indonesia dengan perdebatan seputar kecenderungan ke arah konservatisme, sebagai the outsider’s perspective. Kedua, mengenai konservatisme Islam sebagai tunggangan politik: pengalaman Tunisia.

HASIL RISET TENTANG ISLAM INDONESIA SEPANJANG TAHUN 2010-2014

Freedom House menggambarkan perubahan Indonesia sebagai “model dari integrasi yang sukses antara demokrasi dan Islam” menjadi negara dengan “merosotnya pluralisme” akibat peristiwa-peristiwa yang terjadi sejak satu dasawarsa lalu. Penilaian lain atas kondisi Muslim di Indonesia kontemporer kerap juga diungkapkan sebagai meningkatnya “political Islam”, “radical Islam”, atau “Islamist political violence”.

Martin Van Bruinessen, tahun 2011 menulis artikel di salah satu jurnal ilmiah RSIS Singapura. Dalam tulisan itu, terlihat kecemasan dan kegelisahan Martin terhadap perubahan umat Islam Indonesia yang terbesar di dunia secara kuantititatif, terutama pasca Orde Baru. Ia menulis judul: “What happened to the smiling face of Indonesian Islam?”. Ia menilai Islam Indonesia yang ia kenal melalui studinya sepanjang tahun 1970-an sampai tahun 1980-an yang selalu menampakkan wajah yang manis, penuh senyuman (the smiling face), mulai berubah menyeramkan, tidak enak dipandang dll. Era ini melahirkan Cak Nur dan Gusdur sebagai representasi tokoh Islam paling brilian. Namun berakhirnya masa orde baru, mereka mulai kehilangan “power” dalam debat-debat publik dengan munculnya Islam radikal dengan tampilan yang lebih kuat.

Tahun 2013, ISAS Singapura merilis hasil studi lapangan Martin dkk sepanjang tahun 2007-2008 dengan judul: “Contemporary Developments in Indonesia Islam: Explaining the Conservative Turn”. Dalam buku ini, Martin dan Baqir masih meyakini adanya wajah non-konservatif Islam di Indonesia. Namun posisi saya setelah menyimpulkan tulisan Martin dan Baqir justru menegaskan bahwa konservatisme Muslim di Indonesia semakin mengkristal, menguat, membaja. Conservative turn dalam bahasa mereka hanya masih sebatas kecenderungan.

Beberapa catatan Martin dalam buku Contemporary Developments in Indonesia Islam: Explaining the Conservative Turn bahwa (1) Demokratisasi politik telah menarik banyak orang yang sebelumnya terlibat dalam organisasi atau lembaga-lembaga yang mendukung perdebatan intelektual ke dalam karier di partai politik atau institusi, sehingga melemahkan landasan sosial bagi wacana Islam liberal dan progresif, (2) Asumsi bahwa mayoritas itu bersifat konservatif atau cenderung berpandangan fundamentalis tidak bisa diyakini begitu saja, (3) Pemikiran Islam liberal hanya bisa berkembang apabila dilindungi oleh rezim otoriter, (4) Conservative turn di Indonesia sebagian disebabkan adanya pengaruh dari Timur Tengah, khususnya Semenanjung Arab, dalam bentuk kembalinya para lulusan dari perguruan tinggi di Arab Saudi, institut pendidikan yang didanai Arab Saudi dan Kuwait untuk mensponsori penerjemahan sejumlah teks “fundamentalis”, dukungan ideologis dan keuangan untuk gerakan Islam lintas negara, (5) Menonjolnya keturunan Arab yang memegang kepemimpinan gerakan radikal tampaknya mengarah kepada peran mereka sebagai perantara proses Arabisasi Islam Indonesia. Tak bisa disangkal, pelaku keturunan Arab dan dana Arab memang meningkat, tetapi pengaruh mereka tidak secara khusus bekerja dalam arah anti-liberal maupun fundamentalis.

Istilah conservative turn di Indonesia juga digunakan oleh Hamayotsu (2014) dalam bukunya Conservative Turn? Religion, State and Conflict in Indonesia. Dia mengatakan bahwa ketika ada konflik yang melibatkan etnis dan identitas lainnya, maka yang yang menjadi pemicunya itu adalah bukan persoalan etnis dan identitas lain tersebut, tapi kompetisi politik antar elit terkait pembagiaan sumber-sumber kekayaan negara dan tanah (political competition among elites over distribution of state resources, land. Ethnicity and other identities were not the primary cause of the conflict)”

Berbeda dengan Hamayotsu, Duncan mengatakan bahwa…”the essential source and character of the communal violence is religion..” (agama adalah sumber penting dan karakter kekerasaan komunal). Berdasarkan observasi dan interview lebih dari 17 tahun pada internal masyarakat yang dibuang dan terdampak kekerasan, ia menyimpulkan bahwa the communal violence diakibatkan oleh kompetisi politik antar elite terhadap pembagian sumber-sumber kekayaan negara dan tidak ada kaitannya dengan agama. Oleh mereka, agama dijadikan alat untuk mencapai kekuasaan yang kemudian menjadi pemicu kekerasan (political competition among elites over distribution of state resources, land and other religious issues). Kemudian dia menyimpulkan bahwa agama sebagai identitas bersama dan klaim, lebih mendapatkan ciri khas bagi orang-orang yang terlibat dalam konflik (…religion as a collective identity and claim has gained more salience among participants in the conflict…). Duncan menyimpulkan bahwa…”the essential source and character of the communal violence is religion..” (agama adalah sumber penting dan karakter kekerasaan komunal). Kesimpulan Duncan ini perlu diperhalus lagi untuk mengatakan bahwa bukan agama yang sebagai ajaran itu yang menjadi pemicu kekerasan komunal itu. Lalu apa kaitan antara konservatisme dengan kekerasan komunal?

Sebenarnya, kecenderungan konservatisme tidak selalu negatif, karena masyarakat muslim membutuhkan itu untuk menjaga harmoni dalam masyarakat. Namun, jika kecenderungan konservatisme itu menjadi opini publik, ini sangat mengkhwatirkan sebagaimana yang dikatakan oleh Syarafi (2011), bahwa menghadapi opini publik yang dikuasai kekuatan konservatif itu jauh lebih sulit dari pada menghadapi kekuatan politik yang despotik. Despotisme juga bisa lahir dari konservatisme yang mendapat sokongan politik. Menguatnya konservatisme di Indonesia bisa jadi seperti yang dikatakan Baqir (2013) bahwa ketika pemerintah tampak seperti tidak peduli untuk menjaga batas-batas wacana publik, beberapa varian kelompok konservatif itu seperti mendominasi. Karenanya, tidak selalu negatif jika dalam tulisan ini penulis merekomendasikan untuk penguatan pemerintah untuk mengontrol conservative turn dalam wacana publik.

KONSERVATISME ISLAM SEBAGAI TUNGGANGAN POLITIK: PENGALAMAN TUNISIA

Beberapa kasus di Indonesia, sekilas mirip dengan dalam sejarah Tunisia modern, di mana konservatisme Islam ditunggangi oleh politik. Haddad dan Bourguiba adalah contoh di mana politik menunggangi konservatisme di Tunisia. Haddad yang oleh Tha’alibi diberi signal untuk meneruskan kepemimpinan dalam partai harus menghadapi tragedi “penggulingan” agar ia tidak mewarisi kepemimpinan pendahulunya Tha’alibi. Berawal dari pergumulan dalam tubuh partai, kemudian dipolitisasi menjadi provokasi berbalut isu penistaan agama melalui masterpiece Tahir Haddad dalam bidang sosial-keagamaan, yaitu Imra’atuna fi al-Syari’ah wa al-Mujtama’. Ibn Milad (1991) menggarisbawahi peristiwa itu dengan sebuah ungkapan: Siyasatun qabla an-takuna diniyyatan. Berawal dari persoalan politik kemudian melebar menjadi persoalan keagamaan.

Haddad terjun langsung dalam gerakan kebangsaan sejak awal berdirinya partai al-Dustur pada saat statusnya masih sebagai pencari ilmu di Jami’ Zaytuna. Dia aktif dalam surat kabar milik partai. Dia banyak menulis di situ. Dia juga mendirikan organisasi yang diberi namaiMuqawamah al-Bida’ wa al-Israf di bawah pimpinan Husayn al-Jaziriy (pemilik surat kabar al-Nadim) yang didirikan dengan misi perlawanan terhadap zawiyah dan tarekat sufi, serta life-style sebagian besar masyarakat Muslim Tunisia yang dikenal boros saat itu. Pada saat ia ingin mendirikan serikat buruh/pekerja (al-niqabat al-‘ummaliyyah), dengan keyakinan bahwa pendirian serikat ini akan dapat membuka jalan bagi kemerdekaan buruh, dan mengajukan proposal kepada partai untuk bersedia mendanai serikat tersebut, namun niat dan usaha dan permintaannya tersebut tidak dikabulkan oleh pengurus partai lainnya. Pasca penolakan itu, Haddad mengurangi aktivitasnya di kepartaian. Ia bersama-sama dengan Muhammad al-Dar’i memberitakan ke publik bahwa partai tidak berkeinginan mendukung serikat buruh. Haddad lalu dinilai telah memecah-belah internal-partai dan merusak perjuangan partai. Di tempat lain, lajnah tanfidziyyah partai juga masih menyimpan konflik dengan Haddad. Maka saat Haddad meluncurkan bukunya Imra’atuna fi al-Syari’ah wa al-Mujtama’, kalangan partai yang tidak bersimpati dengan Haddad semakin melihat adanya penyimpangan yang dilakukan oleh Haddad sebagai kader partai, meski dalam buku tersebut terdapat pemikiran-pemikiran progresif dan berani, jika dibandingkan dengan tulisan-tulisan dalam tema yang sama pada periode ini.

Kalangan partai kemudian memanfaatkan pemikiran-pemikiran Haddad ini sebagai jalan untuk merusak ketokohan Haddad. Prahara pun terjadi, sebab partai akhirnya mengeksploitasi isu ini menjadi isu keagamaan di masa itu. Konflik yang terjadi antara Haddad dan orang-orang di internal partai digiring kepada persoalan agama untuk menutupi akar konflik sebenarnya. Konflik politik internal partai bermetamorfosa menjadi konflik keagamaan, syariah, hukum Islam. Karya Haddad kemudian diserang oleh banyak sekali penulis saat itu, di antaranya adalah Syaikh Raji Ibrahim, anggota lajnah tanfidziyyah, bukan cuma itu, masyayikh Zaytuna juga turut meramaikan pergumulan ini. Mereka mengkitik, menerbitkan sejumlah karya yang meng-counter pikiran-pikiran Haddad. Pimpinan tertinggi Jami’ Zaytuna juga mengeluarkan rekomendasi untuk “membredel” karya Haddad sekaligus mencabut gelar akademik yang pernah diraihnya dari Jami’ Zaytuna. Anehnya, pasca pecahnya partai pada tahun 1934, tokoh-tokoh partai kubu al-diwan al-siyasiy mengklaim bahwa Haddad adalah bagian dari mereka yang mereka dukung serta mereka anggap sebagai “tumbal” politik lajnah tanfidziyyah.

Pasca kepemimpinan Tha’alibiy, al-Hurr al-Dusturiy menciptakan dua sayap di internal partai. Sayap pertama dimotori oleh Bourguiba yang menguasai al-diwan al-siyasi atau Bourgibiyyun di mana ke-Tunisan (al-huwiyyah al-tunisiyyah) sebagai ideologinya yang tidak pro-Timur atau pro-Barat (la syarqiyyatan wa la gharbiyyah). Dan sayap kedua, Salih Bin Yusuf yang memotori al-amanah al-‘ammah atau Yusfiyyun yang menggunakan kekuatan Arab-Islam sebagai ideologinya, menimbulkan ketegangan di internal partai. Pergolakan politik ini mendesak Bourguiba menentukan pilihan politik liberal-sekular. Pada saat yang sama, Bin Yusuf bergabung dengan kekuatan Islam tradisionalis dan tokoh-tokoh yang berafiliasi dengan nasionalisme Arab dan Timur Tengah. Pedagang dan petani kaya yang berasal dari dua wilayah Sfax dan Jerba juga berada di belakang dan mendukung keputusan politik Bin Yusuf, termasuk juga masyarakat dari Selatan Tunisia. Bin Yusuf juga tercatat menghadiri KTT Asia-Afrika di Bandung tahun 1955. Di sini ia mempertegas posisi politiknya dan aliansinya dengan Jamal ‘Abd al-Nasir Presiden Mesir saat itu. KKT Bandung ini mengeluarkan sejumlah rekomendasi yang kontra terhadap Barat. Di tahun yang sama, pada tanggal 14 Oktober, Bourguiba menghadiri pertemuan di Kairo. Pertemuan itu mempertegas posisi politik Bourguiba untuk berafiliasi kepada Barat. Pertemuan Kairo ini melahirkan sejumlah keputusan diantaranya yang paling penting adalah sayap al-diwan al-siyasiy pimpinan Bourguiba menarik dukungan dan memisahkan diri dari partai al-hurr al-dusturiy. Konflik dengan Bin Yusuf dan al-Yusfiyyun mendorong Bourguiba mempercepat dan meneguhkan aliansinya dengan Perancis, bukan saja dalam masalah politik, tapi juga dalam masalah budaya. Karenanya, pasca konflik itu, Bourguiba melakukan sterilisasi sebanyak mungkin terhadap pengaruh Arab-Islam.

Ketegangan politik antara Bourguiba dan Bin Yusuf juga memantik sentimen konservatisme di Tunisia. Saat Majallat al-Ahwal al-Sykhshiyyah (MAS) dirilis tahun 1956 yang merupakan produk undang-undang pertama masa pemerintahan Bourguiba dalam masalah hukum keluarga, Salih Bin Yusuf, menurut catatan Kenneth J. Perkins, yang menjadi rival politik Bourguiba, menuduhnya melakukan pengharaman terhadap sesuatu yang dihalalkan Tuhan dan sebaliknya, terutama dalam pasal 18 tentang pelarangan poligami MAS 1956. Menurut keterangan Mastiri, ketegangan antara Bourguiba dan Bin Yusuf berawal dari persoalan politik di internal partai al-hurr al-dusturiy. Keduanya berkompetisi untuk merebut kekuasaan sebagai ketua partai pada permulaan tahun 1954. Sebagaimana diketahui secara umum bahwa Salih Bin Yusuf tidak menerima menjadi orang nomor dua di Republik Tunisia. Secara kepartaian, Bin Yusuf merupakan al-amin al-‘amm dan Bourguiba sebagai ketua al-diwan al-siyasi yang mengeksekusi program kerja partai. Selain itu, keduanya juga bersitegang dalam hal kesepakatan kemerdekaan dalam negeri Tunisia. Pasca Bourguiba menjadi presiden, kompetisi itu berlanjut menjadi serangan-serangan terhadap pemerintahan Bourguiba (al-tanafus alladzi tahawwala ila shira’ a’a al-hukm).

Kelompok salafi juga memanfaatkan isu agama untuk menyerang Bourguiba yang mereka cap sebagai pemimpin yang mengganti wajah Tunisia yang dahulu merupakan sebuah negara Islam menjadi negara sekular-kafir jika dibandingkan dengan negara-negara Arab lainnya. Meski konstitusi Tunisia tahun 1959 dalam Bab I tentang Aturan Umum Pasal 1 dengan tegas menyebut bahwa Tunisia merupakan negara Islam di mana bahasa Arab menjadi bahasa resmi negara, dan republic sebagai sistem pemerintahannya (tunis dawlatun mustaqillatun, dzatu siyadatin, al-islamu dinuha, wa al-‘arabiyyatu lughatuha, wa al-jumhuriyyatu nizamuha), namun terlihat bahwa kelompok salafi belum merasa puas sebab pasal satu konstitusi Tunisia tahun 1959 tidak menyebut syariat Islam sebagai landasan konstitusi dan sistem pemerintahannya. Bagi Bourguiba, sebagaimana pidato yang disampaikannya tertanggal 23 Februari 1965, bahwa Islam adalah sebagai perekat kuat yang menyatukan seluruh elemen umat, menjadikannya seperti satu tubuh meski mereka berbeda. Bourguiba menunjukkan bahwa ia mampu menyatukan masyarakat dengan meunifikasi hukum dan peradilan dalam satu undang-undang dan peradilan di mana warga negara dari suku, agama, ras, dan agama apa pun tunduk pada pada aturan di dalamnya. Pernyataan Bourguiba ini senafas dengan Bhinneka Tunggal Ika di Indonesia. Menurut penulis, Bourguiba berhasil memenangkan perdebatan sekitar sistem pemerintahan yang tercantum dalam konstitusi Tunisia tahun 1959 Bab I tentang Aturan Umum Pasal 1 untuk sebuah negara baru pasca kemerdekaannya. Fadhil ibn ‘Asyur secara resmi pernah menyusun draf rancangan konstitusi negara baru Tunisia. Dalam draf tersebut disebutkan bahwa Tunisia merupakan negara Islam dengan menerapkan manhaj Islam atau syariat Islam dalam pemerintahannya. Namun, faktanya meski mereka sepakat bahwa Islam adalah agama resmi negara Tunisia, namun syariat Islam tak pernah ada dalam konstitusi Tunisia tahun 1959 itu.

Di level global, Bourguiba difatwakan kafir dan murtad oleh Syaikh Bin Baz. Luthfi Hajji mengutip fatwa Bin Baz tahun 1401 H yang berjudul: al-radd ‘ala al-ra’is Abi Bourguiba (hakadza) fi-ma nusiba ilayhi min dzalik. Selain memfatwakan kafir dan murtad terhadap Bourguiba, Bin Baz juga menyerukan kepada seluruh pemimpin di negara-negara Muslim untuk memutuskan hubungan diplomatik-politik dengan Bourguiba sampai Bourguiba mau bertaubat atas pandangannya yang melarang poligami dan kesetaraan dalam pembagian waris.

Meski banyak kritik terhadap relasi Bourguiba dan Islam, namun pembelaan terhadap Bourguiba selalu disuarakan oleh masyarakat dan ulama Tunisia. Ketika banyak orang yang menyalahkan Bourguiba karena pidatonya tentang kebolehan berbuka bagi bagi sejumlah profesi di Tunisia, sejumlah Imam di Bizerte justeru mengeluarkan keputusan bersama untuk mendukung Bourguiba. Ahmad al-Mastiri menegaskan perlunya pembacaan ulang terhadap sejarah pemerintahan Bourguiba bagi generasi hari ini. lembaran-lembaran kelam tentang sejarah Bourguiba banyak ditulis di masa presiden selanjutnya, dan semakin menguat terutama pada tahun 2000 pasca wafatnya Bourguiba. Sejumlah tulisan itu hanya memuat sisi gelap dari kehidupan Bourguiba tanpa menampilkan sisi positif dari seorang Presiden pertama Tunisia tersebut dengan target generasi baru Tunisia. Muhsin Marzuq (Ketua Organisasi Arab Demokrat) mengatakan bahwa Bourguiba adalah seorang Muslim moderat-reformis. Ini menyangkal pernyataan yang mengatakan bahwa Bourguiba adalah sekularis, berseberangan dengan agama. Bagi Amal Musa, Bourguiba bukanlah seorang kafir, dia juga bukan seorang ateis. Bourguiba menurut Musa, melihat Islam sebagai agama yang harus memiliki pemahaman kontemporer tanpa melepaskan turath. Umat harus memiliki pemahaman baru terkait dengan hubungan antar manusia di era modern.

KESIMPULAN

Peristiwa sejarah di Tunisia, paling tidak dapat menggambarkan kepada masyarakat di Indonesia, betapa sebenarnya politik itu sangat mungkin sekali menunggangi konservatisme Muslim Indonesia. Membersihkan politik untuk tidak menunggangi konservatisme Islam bukanlah persoalan mudah. Namun, jika itu dapat dilakukan, tidak tertutup kemungkinan munculnya kembali wajah ramah Islam Indonesia. Semoga. Wallahu a’lam bi al-shawab.

– Budi Juliandi –

* Makalah ini disampaikan pada diskusi Friday Forum IAIN Langsa, 23 Februari 2018
Budi Juliandi – Dosen IAIN Langsa

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Sumber gambar tajuk sebelum olah digital: flickr USArmyAfrica, lisensi CC By 2.0

Categories
Kolom Pendiri

Bendera dan Wibawa Bangsa

Tak ada yang membantah bahwa Aceh berhak memiliki bendera sendiri berdasarkan di Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan MoU Helsinki. Tak ada pula yang berhak melarang jika ada anggota dewan lebih memilih menghabiskan waktu dan tenaganya untuk isu bendera ketimbang isu yang lain. Tapi, berasumsi bahwa jika memiliki bendera sendiri maka harkat dan martabat rakyat Aceh akan naik, maka itu adalah sebuah kesesatan berpikir yang nyata.

Categories
Penulis Tamu

Bersama Jokowi, Merawat Kemerdekaan

Di tengah turbulensi politik yang begitu mengguncang, isu terorisme yang terus mengancam, tindakan-tindakan intoleransi yang kian mengoyak rajutan tenun kebangsaan, tambah lagi reinkarnasinya gagasan-gagasan yang ingin mengganti Pancasila sebagai dasar negara, seolah tanpa lelah, Jokowi terus bekerja untuk merawat kemerdekaan Indonesia.

Sejak awal menjadi Presiden, Jokowi sudah menghadapi terpaan kekuatan politik oposisi, ditambah cacian dan hinaan, fitnah, kritikan, serta desakan untuk mundur. Belakangan, eskalasinya semakin meningkat. Isu komunisme ditebar menghantui rakyat, bahkan gelombang konservatisme yang melanda umat Islam Indonesia seolah dimanfaatkan untuk melawan pemerintah.

Categories
Penulis Tamu

UUPA DAN ASAS AUDI ET ALTERAM PARTEM

Asas Audi et Alteram Partem adalah sebuah kalimat bahasa latin yang artinya “dengarkan sisi lain”. Kalimat ini merupakan sebuah ungkapan dalam bidang hukum demi menjaga keadilan. Agar sebuah persidangan berjalan seimbang maka dikenal adanya asas Audi et Alteram Partem yang bermakna “mendengarkan dua belah pihak” atau mendengarkan juga pendapat/argumentasi lain sebelum menjatuhkan suatu putusan agar peradilan dapat berjalan seimbang. Pengertian ini Penulis kutip dalam sebuah buku yang berjudul Hak Uji Materiil yang ditulis oleh Dr. H. Imam Soebechi (mantan Hakim Agung RI). Lantas bagaimana hubungannya dengan Pasal 269 ayat (3) UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) jika dikaitkan dengan dengan penerapan asas ini?. Pasal 269 ayat (3) UUPA menyebutkan “Dalam hal adanya rencana perubahan Undang-Undang ini dilakukan dengan terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapatkan pertimbangan DPRA”. Hal ini akan Penulis uraikan lebih lanjut dengan menggunakan beberapa teori yang relevan khususnya yang berlaku dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam pembentukan atau perubahan suatu undang-undang DPR dan Pemerintah memiliki kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD, maka dari itu setiap pembentukan atau perubahan suatu undang-undang memerlukan persetujuan dari kedua lembaga Negara tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap rancangan Undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”. Yang untuk menjalankannya menjadi tugas Pemerintah sedangkan DPR berperan untuk melakukan pengawasan terkait dengan implementasi suatu undang-undang yang dijalankan oleh Pemerintah. Maka dari itu DPR dan Pemerintah disebut sebagai positif legislator.

Selanjutnya dalam studi Hukum Tata Negara kita juga mengenal adanya Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai salah satu lembaga kekuasaan kehakiman yang kewenangan konstitusionalnya mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Konsekuensi dari putusannya apabila dikabulkan akan berdampak pada perubahan suatu undang-undang, kewenangan MK inilah yang dikenal sebagai negatif legislator yang merupakan antitesa dari positif legislator.

Pasal 8 ayat (2) juncto Pasal 269 ayat (3) UUPA merupakan suatu diskursus menarik untuk diuraikan terkait dengan teori positif legislator dan negatif legislator sebagaimana Penulis kemukakan diatas. Pasal 8 ayat (2) secara gramatikal menyebutkan frasa “rencana pembentukan undang-undang”, sedangkan Pasal 269 ayat (3) secara gramatikal pula menyebutkan frasa “rencana perubahan Undang-Undang ini”. Hemat Penulis Pasal 8 ayat (2) merupakan bagian dari positif legislator, sedangkan Pasal 269 ayat (3) merupakan bagian dari positif legislator dan juga dapat merupakan bagian dari negatif legislator. Karena Pasal 8 ayat (2) lebih menekankan pada rencana pembentukan undang-undang. sedangkan Pasal 269 ayat (3) lebih menekankan pada rencana perubahan undang-undang ini. Yang bunyi lengkapnya dapat kita bandingkan sebagai berikut : Pasal 8 ayat (2), “Rencana pembentukan undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA”. Pasal ini menunjukkan semua RUU yang memiliki hubungan dengan UUPA. Selanjutnya Pasal 269 ayat (3), “Dalam hal adanya rencana perubahan Undang-Undang ini dilakukan dengan terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapatkan pertimbangan DPRA”, Pasal ini menunjukkan khusus dalam kaitannya dengan perubahan UUPA. DPR dapat mengubahnya melalui political review sedangkan MK dapat mengubahnya melalui judicial review.

Dalam perkembangan sistem pemerintahan di Aceh selama ini ada warga masyarakat Aceh yang melakukan uji materiil UUPA ke Mahkamah Konstitusi, diantaranya ada dua yang telah dikabulkan yaitu Pasal 256 terkait dengan calon persorangan dan Pasal 67 ayat (2) huruf g terkait dengan mantan narapidana untuk ikut dalam Pilkada (Putusan Nomor 35/PUU-VIII/2010 dan Nomor 51/PUU-XIV/2016). Dalam kedua putusan tersebut MK tidak meminta keterangan dari DPRA sebagaimana bunyi Pasal Pasal 269 ayat (3). Khusus terkait Putusan Nomor 51/PUU-XIV/2016 (perkara Abdullah Puteh) terkesan MK terlalu menyederhanakan persoalan, karena mengenyampingkan Pasal 54 UU MK sendiri tanpa perlu mendengar keterangan dari DPR dan Pemerintah selaku pembentuk undang-undang, boro-boro meminta keterangan dari DPRA. Kongkritnya dalam perkara tersebut MK telah melakukan perubahan makna Pasal 67 ayat (2) huruf g secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.

Dalam hal ini seyogyanya MK juga dapat mengikutsertakan DPRA agar dapat menggali secara subtantif nilai-nilai yang terkandung dalam UUPA sesuai dengan asas Audi et Alteram Partem (dengarkan sisi lain). Sejauh yang penulis baca kedua putusan tersebut DPRA tidak terlibat sebagai Pihak Terkait yang seharusnya bagian dari sahabat peradilan (amicus curiae). Padahal dalam Pasal 11 UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan perubahannya membuka ruang untuk itu, karena untuk kepentingan pelaksanaan wewenangnya MK dapat memanggil pejabat negara, pejabat pemerintah, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan lisan maupun tertulis termasuk dokumen yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa. Sehingga oleh karena itu tidak jarang dalam praktik beracara MK selain mendengarkan keterangan dari Pemerintah dan DPR juga mendengarkan argumentasi dari Pihak Terkait. Ketentuan Hukum Acara MK sendiri sebenarnya secara jelas mengatur hal ini khususnya ditegaskan dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, expressis verbis menyebutkan Pihak Terkait langsung dapat diberikan hak yang sama dengan Pemohon dalam memberikan keterangan dan alat bukti, apalagi DPRA merupakan pihak yang hak dan/atau kewenangannya terpengaruh langsung oleh pokok permohonan.

Apabila kita membaca dengan seksama kandungan UUPA memang tidak bisa sembarangan untuk mengubahnya. Setidaknya ada beberapa pasal yang mirip antara satu dan lainnya yaitu Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 23 ayat (1) huruf i, Pasal 42 ayat (2) dan Pasal 269 ayat (3). Bila kita renungkan pasal atau norma yang dituangkan secara berulang-ulang pastilah memiliki nilai penting karena dirumuskan dalam suasana yang penuh dengan duka konflik, gempa, dan tsunami. Padahal MK juga memahami dua pasal yang pernah diuji tersebut sangat erat kaitannya dengan Pilkada Aceh, yang dalam uji materiil UU Pemerintahan Daerah dan UU Kekuasaan Kehakiman (Perkara Nomor 97/PUU-XI/2013) sebelumnya MK menegaskan bahwa Pilkada merupakan rezim pemerintahan daerah bukan rezim pemilihan umum, dalam hal ini DPRA adalah lembaga perwakilan rakyat yang secara konstitusional merupakan bagian dari penyelenggara pemerintahan daerah sejatinya harus didengar keterangannya sebagai pihak terkait.

Kesimpulan Penulis memang pengujian undang-undang terhadap UUD merupakan hak konstitusional setiap warga Negara dan putusan pengadilan harus dihormati. Akan tetapi kedepan MK juga harus lebih jeli melihat urgensi kelahiran UUPA dengan menjadi hakim yang aktif sesuai dengan kaidah hukum acara agar dapat menemukan keadilan subtantif sebagaimana yang MK dengungkan selama ini. Selanjutnya para pemangku kepentingan di Aceh khususnya DPRA harus berperan aktif untuk mengajukan diri sebagai Pihak Terkait langsung maupun tidak langsung jika dikemudian hari UUPA kembali di uji materiil, agar tidak satu persatu norma UUPA saling berguguran seperti sekarang ini. Disinilah sejatinya letak penerapan asas Audi et Alteram Partem untuk mendengarkan keterangan pemohon dan pihak terkait secara seimbang. Semoga tulisan ini dapat menjadi sumbangsih pemikiran bagi kita yang masih memiliki kepekaan dan semangat untuk menjaga purifikasi Undang-Undang Pemerintahan Aceh.

– Hesphynosa Risfa, S.H., M.H. –

Hesphynosa Risfa, S.H., M.H., Advokat
(Email : hesphy_nosa@yahoo.co.id)

Sumber :

  1. Buku Hukum Acara Pengujian Undang-Undang (Prof. Jimly Assiddiqie)
  2. Buku Hak Uji Materiil (Dr. H. Imam Soebechi)
  3. UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan perubahannya
  4. UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh
  5. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Sumber foto asli sebelum olah digital: pixabay dengan lisensi CC0.

Categories
Penulis Tamu

SPIRITUALITAS POLITIK, “MACHIAVELLIAN ACEH” DAN KESELAMATAN MANUSIA

“Hakikat Manusia tidak lain adalah kehendak untuk Berkuasa”, demikian sebaris kalimat dari Friedrich Nietzsche, sang filosof aforis yang menyibak hakikat keberadaan manusia di kedalamannya yang tak terbendung. Pemikir yang selalu “meresahkan” ini membongkar sisi tertajam “kehewanian” manusia dari ranah yang tanpa sadar di imani manusia, yaitu kehendak untuk berkuasa. Kita bisa saja membenci Nietzsche, hatta karena dia dicap atheis. Namun, itulah kita, kita membenci sekaligus mempraktekkan apa yang di urainya.

Dalam setiap helat pesta demokrasi pilkada, kita bisa membaca, bahwa pertarungan mendapatkan kekuasaan di Aceh adalah perkara hidup dan mati, perkara kehormatan dan marwah yang wajib di dapatkan, bahwa pekerjaan untuk merebut kekuasaan harus dilakukan dengan menghalalkan segala cara “ala machiavelian” untuk mendisiplinkan, membuat patuh dan menundukkan manusia, sehingga apabila keinginan ini tidak tercapai, maka manusia akan melukai, akan menganiaya, akan mengancam dengan berbagai kalimat hegemonik bahkan membunuh manusia lainnya untuk sebuah kekuasaan.

Dari segala kesadaran kita untuk bisa hidup nyaman di Aceh, maka kita wajar bertanya: “Bisakah setiap perhelatan perebutan kekuasaan Aceh tanpa mengorbankan manusia ?. Bisakah setiap perhelatan demokrasi kita tanpa menumbalkan manusia sebagai persembahan bagi sebuah kekuasaan ?”. Ini bukanlah pertanyaan cengeng, tetapi pertanyaan pemberontakan atas kondisi yang selalu saja berulang dimana manusia selalu jadi sasaran yang dikorbankan untuk menciptakan ketakutan agar manusia tunduk dan patuh pada kerja kekuasaan yang ingin direbut.

Melakukan kekerasan, mengancam manusia, menumbalkan manusia untuk mencapai tujuan kekuasaan dan mengorbankan manusia sebagai objek untuk menakuti yang lain adalah sebuah peradaban kuno barbarian yang sudah sangat layak ditinggalkan. Siapapun dan dimanapun keberadaan orang yang tetap melakukan ini, maka ini adalah tindakan paling pengecut dan paling tidak berperadaban dalam sejarah panjang hidup manusia.

Peristiwa penembakan yang telah lalu, di Peunaron Aceh Timur, juga di Sigli misalnya, yang melukai dan meneror, dan berbagai rangkaian kekerasan lainnya yang sudah sering terjadi disetiap kontestasi pilkada maupun berbagai ancaman paska pilkada, semakin meneguhkan bahwa keberadaan manusia di Aceh hanyalah semata-mata kehendak untuk berkuasa. Perebutan Kekuasaan bagi segelintir manusia ini dimaknakan sebagai sebuah kerja Machiavellian, yang merasionalkan kebiasaan dan kebolehan mengorbankan manusia.

Manusia di Aceh, oleh kelompok ini tidak pernah dibaca sebagai sebuah tubuh yang harus di hargai hidupnya, karena seandainya manusia dihargai hidupnya, maka narasi yang akan menjadi panduan adalah : “Jika tubuh ini hidup dan tidak mati, maka tubuh ini tetap harus memperlakukan tubuh-tubuh lain sama seperti ia memperlakukan tubuhnya sendiri. Tubuh itu sendiri berhak untuk tumbuh, berkembang, dan menjadi tubuh yang diakui dan dihormati keberadaaannya, karena tubuh  ini adalah tubuh yang penting bagi kebaikan manusia ”. Dari sekian lama cita-cita bangunan peradaban kita, maka perilaku sebagian kelompok ini adalah aib peradaban kita sebagai Aceh.

Maka sangat berbahaya bagi kemanusiaan dan peradaban kita di Aceh ketika kita terus membiarkan segelintir manusia ini mempraktekkan politik “Machiavelian”, yang terjadi persis didepan jantung kesadaran kita, karena ketika kelompok seperti ini berkuasa maka kekuasaan ini akan menjadi klaim kebenaran sebagai kekuasaan yang dianggap mewakili rasionalitas persetujuan seluruh manusia di Aceh.

MAKNA KESELAMATAN MANUSIA

Dalam agama manapun, menjaga keselamatan manusia adalah kemutlakan. Islam adalah agama yang menghargai kehidupan. Membunuh satu jiwa dalam Islam sama dengan membunuh seluruh manusia dibumi. Ruh dan spirit Islam adalah rahmat bagi semesta, melakukan kerusakan, kekacauan, teror bukanlah spirit rahmatan lil’alamin, itu adalah semangat barbarian dan machiavelian. Salah satu tujuan Islam sebagai agama adalah menjaga jiwa (menjaga keselamatan jiwa manusia). Karena itu setiap ikhtiar dalam kondisi apapun untuk menjaga keselamatan jiwa manusia adalah jihad besar, karena dengan menjaga keselamatan satu jiwa  sama dengan menjaga keselamatan seluruh jiwa lainnya.

Mengapa kita tidak melakukan kebalikannya saja, bahwa perebutan kekuasaan adalah sebuah kompetisi untuk saling menyelamatkan manusia dan bukan saling melukai dan membunuh manusia . Manusia harus dikenali sebagai manusia, memahami manusia oeh manusia adalah kesibukan tertua dalam sejarah manusia, tujuannya adalah supaya kita belajar  dan tidak mengulangi. Kekerasan, pembunuhan, teror terjadi karena manusia dikenali tidak oleh manusia, tetapi oleh hasrat kebinatangan yang saling berkompetisi sebagai predator agar eksis dan berkuasa. Karena itu, manusia Aceh dengan segala ikhtiar dan mujahadahnya, harus menjadi  manusia yang mengenal dirinya sendiri agar mengenal manusia lain dengan cara manusia.

Berabad-abad lalu, Sokrates telah mengingatkan manusia, bahwa mustahil manusia mencapai pengetahuan tentang berbagai fakta dan kondisi objektif (peradaban, kebudayaan,kebahagiaan) kalau belum memahami hakikat manusia itu sendiri dan mustahil kita mengenal manusia sebelum kita mengenal diri kita sendiri sebagai manusia. Sokrates adalah peletak dasar bagi esensialitas manusia agar mengenal dirinya sendiri, melalui ungkapannya yang sangat terkenal yaitu : “Gnothi Seauton” (Kenalilah dirimu), bahwa setiap kerja membangun peradaban kita, membangun demokrasi kita, membangun budaya kita maka harus selalu diawali dengan petanyaan : “kenalilah dirimu, agar engkau mengenal manusia  lainnya dilaur dirimu dengan cara manusia”, agar peradaban, kebudayaan dan kehidupan yang kita bangun adalah peradaban, kebudayaan dan kehidupan yang memanusiakan manusia.

SPIRITUALITAS POLITIK VERSUS “MACHIAVELLIAN ACEH”

Atas nama apapun,  praktek mengancam manusia, membunuh dan melukai manusia apalagi demi kekuasaan, adalah pengingat kita untuk tidak lupa bahwa betapa merusak dan berbahayanya gerakan politik ala Machiavellian. Fondasinya adalah nasehat Machiaveli kepada sang pengeran (penguasa), yang mengadu kepada Machiavelli, tentang bagaimana membuat rakyatnya agar takut, tunduk dan patuh. Lalu terzahirlah satu kalimat yang kelak menjadi fondasi teror didunia yaitu : “Bagi seorang Pangeran (Penguasa), ketakutan lebih penting daripada dicintai”. Sehingga untuk melaksanakan nasehat Machiaveli, penguasa harus meneror dan membunuh banyak orang.

Penanda dari betapa tidak manusiawinya merebut kuasa ala Machiavellian ini adalah karena gerak politik yang dipakai untuk merebut kekuasaan ini terjadi secara liar dalam kendali manusia irrasional baik pelaku maupun pendesain tanpa ada satu sosok yang disebut sebagai ada subyek agung dibelakangnya. Semua ini adalah gerak liar yang berjalan secara mekanis sebagai mesin perusak, tanpa bayangan Tuhan dan tanpa arah. Karena, kalau ada sosok Pencipta (Tuhan) dan sosok agung yang holisitik dan transenden dibelakang gerak politik ini, maka tidak akan ada teror, kekerasan dan pembunuhan.

Gerakan politik ala Machiavelian Aceh ini harus sesegera mungkin dihentikan dalam konteks masa depan peradaban Aceh, karena kalau tidak, keberadaannya akan semakin memperpanjang rantai kekerasan dan teror berulang yang sangat mengganggu setiap usaha memajukan Aceh. Menghilangkan ini, kita tidak bisa berharap banyak dari apapun selain kepada spiritualitas politik. Berharap pada politik yang bukan spiritualitas politik adalah “nihilisme belaka”. Hanya kekecewaan dan keberulangan yang akan kita dapatkan.

Spiritualitas politik disini adalah gerakan politik sebagai sebuah gagasan dan narasi besar pembebasan manusia, ketika sebagian manusia melalui kekuasaannya dan tujuan merebut kuasa untuk memenjara manusia dengan menciptakan ketakutan, pendisiplinan dan penciptaan kepatuhan menggunakan agama, maka spiritualitas politik berdiri digarda depan mengembalikan agama yang dibajak untuk kepentingan kekuasaan tersebut kepada ruh agama sebagai spirit pembebasan, karena di belakang gerakan spiritualitas politik ada satu sosok agung transenden (Guru/Mursyid) yang bisa menciptakan kepatuhan suci, yaitu kepatuhan dan kebersamaan pembebasan manusia.

Gerakan spiritualitas politik ini, dalam sejarah dunia banyak dipraktekkan oleh gerakan spiritualitas kaum Sufi, karena kaum Sufi tidak lagi bermain diwilayah simbolik kulit luar, tetapi sudah bermain diwilayah hakikat terdalam yaitu makrifat politik yang bekerja menurunkan keadilan Ilahiyah kepada manusia di bumi melalui kerja-kerja narasi dan aksi untuk menyelamatkan manusia dari setiap upaya upaya mematikan manusia oleh manusia. Salah satu diskursus dari narasi spiritualitas politik adalah “Kepemimpinan yang melayani”, yaitu membebaskan kekuasaan dari paradigma yang elitis dan menakutkan sehingga kekuasaan tersebut harus dilayani kepada kekuasaan sebagai pelayan, yang melayani rakyat seperti sahabat. Gerakan politk ini telah dipraktekkan dalam pilkada Aceh kemarin  dan telah memberikan pelajaran penting bagi perlawanan terhadap “industrialisasi-komersialisasi politik” dan “politik Machiavellian” yang kering dari kesejatian pembebasan manusia. Sejatinya, gerakan spiritualitas politik kaum Sufi dalam era kekinian adalah gerakan yang menyongsong segala tantangan dan permasalahan untuk menyelesaikannya sampai tuntas dan berjangka panjang, tidak temporal dan tidak berdasarkan kepentingan kelompok tetapi berdasarkan kepentingan umat.

Politik Machiavellian Aceh tidak pernah menginginkan Aceh bersatu, mencapai tujuan bersama demi kepentingan rakyat, tetapi lebih memilih mengelola ego hegemoniknya demi kepentingannya sendiri. Sedang spiritualitas politik selaku bekerja pada upaya menyatukan manusia tanpa sekat apapun, karena spiritnya adalah pengabdian dan pengabdian itu adalah penghambaan transenden dari tujuan diciptakannya manusia yaitu untuk saling membahagiakan sesama manusia. Spiritualitas politik ini adalah narasi jangka panjang bagi Aceh dan akan terus mengisi ruang-ruang perlawanan dan pendidikan karena ini merupakan jihad untuk menghilangkan politik Machiavellian di Aceh.

– T. M. Jafar Sulaiman –

T. M. Jafar Sulaiman, Pemikir muda, Pengajar Filsafat Politik

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Categories
Penulis Tamu

Bangkitnya Right-wing Populism, dan Ringkihnya Demokrasi Liberal yang Kita Anut

Kemenangan pemilih ‘leave’ pada referendum Brexit Juni 2016 lalu dan terpilihnya seorang terduga fasis, rasis, dan xenophobic seperti Donald Trump di pemilihan Presiden Amerika sontak mengejutkan banyak pihak. Seolah tak percaya dengan hasil pemilihan demokratis ternyata telah mengkhianati nilai-nilai political correctness yang selama ini dianggap telah menjadi bagian penting dari peradaban modern barat. Analisa-analisa yang muncul kemudian bermuara pada kesimpulan; bahwa kebangkitan populisme politik sayap kanan sedang berada pada titik tertingginya selama dekade terakhir ini. Diluar dua kejadian penting dalam tahun 2016 itu, negara-negara di Eropa daratan juga menyiratkan kejadian yang kemungkinan mirip.

Categories
Kolom Pendiri

Kepada Sukarno-Hatta

Perhatikan kalimat terakhir dari bunyi teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
“… Atas nama bangsa Indonesia, Sukarno-Hatta.”
Terkesan ada harmoni di sana. Namun, sungguh, di sanalah sebenarnya cerita tentang hiruk-pikuk, banting-tulang, jatuh-bangun tentang bangunan keindonesiaan ini bermula.

Melalui dua nama itu pulalah apa dan bagaimana Indonesia merdeka disusun dan dibangun. Tidak ada harmoni pada keduanya, sebagaimana yang tertera di teks proklamasi di atas, terutama pada ide dan gagasan. Sebab dari keduanya, terpancang perdebatan ide yang mengagumkan. Ada banyak perbedaan diantara keduanya. Namun tidak kurang juga, terdapat banyak titik temu.