Categories
Penulis Tamu

REFORMA AGRARIA NEGARA KAPITALIS, DEVELOPMENTALISME NEGARA SOSIALIS

Locked in Place: State-Building and Late Industrialization in India Book Cover Locked in Place: State-Building and Late Industrialization in India
Vivek Chibber
History
Princeton University Press
2006
360

Buku Locked in Place: State Building and Late Industrialization in India (Princeton University Press, 2006) merupakan studi ilmu politik pasca colonial India. Menariknya, si penulis, Vivek Chibber membandingkan masa pemerintahan Jawaharlal Nehru Perdana Menteri pertama di India dengan rejim Park Chung-hee, di Korea Selatan. Korea menekankan pada kebijakan ELI (Export Led Institution), sebaliknya India menggunakan kebijakan ISI (Import Substitution Industrialization).

Penekanan pada ELI di Korea Selatan berhasil karena campur tangan pemerintah dalam mendisiplinkan bisnis-bisnis besar. Keberhasilan ELI jelas didukung dengan kualitas birokrasi yang bagus dan Negara yang kuat. Korea mempunyai rasionalitas birokrasi yang koheren dimana Negara bekerja sama dengan asosiasi industry mobil, sepatu, listrik, elektronik. Tangan Negara yang kuat dengan penciptaan bank-bank pemerintah merupakan upaya awal Negara dalam menciptakan kredit kepada pengusaha lokal. Nasionalisasi bank di Korea tahun 1960 an bertujuan untuk mencegah rent seeker (pengusaha yang melobi ke pemerintah/ kongres) dan mengontrol dunia finance. Tujuan dari nasionalisasi bank adalah untuk mengontrol belanja tahunan dan mengontrol arus finansial dan arus kredit industri di bawah pengawasan menteri keuangan. Berbeda dengan India, untuk memulai proyek-proyek industri, businessman tidak perlu mendapatkan ijin dari menteri keuangan dan parlemen, mereka hanya memerlukan ijin dari nodal agency atau komite dagang yang dibuat oleh pemerintah dan menteri keuangan sebagai penanggung jawab implementasi dari nodal agency. Komite dagang mempunyai kekuatan utama untuk menyediakan kredit dan pembelanjaan. Menteri keuangan tidak bisa menganulir kebijakan-kebijakan kamar dagang. Pemerintah mempunyai legitimasi untuk mengontrol modal dan menghukum bisnis yang tidak sejalan dengan agenda pembangunan. Berbeda dengan Park Chung-hee, Nehru tidak mempunyai keterlibatan langsung dengan kamar dagang. Ia bahkan tidak mempunyai kuasa penuh terhadap kongres.

Sebaliknya dari Korea Selatan, di India, tidak ada kerjasama yang koheren antara agen pemerintah dengan asosiasi-asosiasi perdagangan. Sifat red tape bureaucracy (regulasi birokrasi yang berlebihan) India di bawah Nehru yang sosialis malah acak adut mendisiplinkan pengusaha-pengusaha besar dan berakhir dengan menekankan kebijakan ISI. National congress di bawah Nehru kacau balau. Negara memberi subsidi kepada firma-firma, tapi banyak firma susah dikendalikan. India menggunakan kebijakan impor yang justru menyebabkan protes besar di tingkatan pemilik modal lokal dan para buruh yang ditekan upahnya. Hal ini berbeda dengan kebijakan ekspor di Korea yang mendapatkan dukungan penuh oleh pihak pemilik modal lokal yang sebagian besar bergerak di sektor manufaktur. Korea menyadari bahwa penekanan ekspor harus menjadi hasrat kelas pengusaha bukan hasrat negara, sebaliknya, kebijakan impor cenderung menjadi hasrat Negara. Sebaliknya India di bawah Nehru melalui proyek sosialisme “Bombay Plan” (BP) nya gagal untuk menekan kelas pengusaha. Para birokrat tetap mempertahankan elit-elit lamanya. Elit birokrat cenderung benci pengusaha dan menekannya. Bombay Plan menasionalisasi semua perusahaan dan menekan pajak yang tinggi kepada klas pengusaha. BP juga mengontrol upah minimum buruh dan training-training buruh. Industri Negara menguasai sektor-sektor yang berkenaan dengan sistem pertahanan, infrastruktur, seperti rel kereta api sampai proyek energi atom. Miskinnya investasi diperburuk dengan ketidaksambungan antara pihak kongres dan menteri-menteri di bawah Nehru. Masing-masing punya kepentingan. Pihak kamar dagang India kebingungan hendak mengajukan lobi ke menteri atau ke kongres. Kamar dagang terus berseteru dengan menteri keuangan soal kebijakan investasi. Sedangkan menteri-menteri menciptakan sel-sel kekuasaannya tersendiri. Ketidakkoherenan antar instansi ini diperburuk dengan berganti-gantinya kebijakan di setiap rencana pembangunan lima tahunan. Konsul-konsul pembangunan didominasi oleh aparatus birokrasi yang gagal untuk melobi target investasi. Tidak seperti di Korea Selatan, birokrasi India tidak mempunyai pendisiplinan yang efektif terhadap bisnismen yang secara mudah memonopoli sektor-sektor bisnis. Tidak ada tekanan secara langsung. Setelah mendapatkan lisensi investasi, pihak businessmen tinggal menjalankan operasinya. Bisnismen yang menjalankan investasinya dipastikan adalah segelontor elit yang mempunyai kedekatan dengan para birokrat pemberi ijin usaha. Hal ini tentu mematikan usaha-usaha kecil yang tidak mampu berkembang dikarenakan kerumitan birokrasi.

Di ranah agrikultur, ELI berhasil melakukan penguatan produksi agrikultur. Pemerintah Korea melakukan reformasi agraria, sehingga berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas pertanian. Reformasi agraria tentu saja sangat penting karena dapat mencegah impor bahan kebutuhan pokok. Tentu saja harus diakui bahwa reformasi agrarian ini juga tidak lepas dari desakan Amerika Serikat untuk mencegah menjalarnya ketidakpuasan petani yang berujung pada tumbuh suburnya ideologi sosialisme. Penguatan produksi agrikultur juga sangat signifikan untuk mencegah inflasi mata uang karena impor bahan pangan dapat menyebabkan penurunan nilai tukar mata uang. Selain itu, harga kebutuhan pokok dapat ditekan. Park juga sadar bahwa stabilisasi pangan adalah stabilisasi upah karena upah buruh pasti mengacu pada hal yang paling mendasar yakni konsumsi bahan pangan.

Negara yang kita lihat sangat kapitalistis, seperti Korea Selatan, bahkan Taiwan, berhasil menjalankan program-program yang esensinya merupakan agenda Negara sosialis, seperti reformasi agraria. Sebaliknya, Negara-negara yang menjalankan program sosialisme di tahun 1960an, seperti India, termasuk juga Indonesia, berakhir dengan program “developmentalisme” yang dijalankan secara masif.

India tidak mempunyai state managerial yang bagus dan tidak mempunyai asosiasi sektoral yang memonitor kebijakan-kebijakan ekonomi seperti di Korea Selatan. Di bawah Nehru, kapitalisme tidak dapat dibungkam karena Negara tidak demikian kuat. Sementara di bawah Park Chung-hee di Korea Selatan, kapitalisme dapat berkembang dengan baik justru karena adanya negara yang kuat. Namun demikian, saya tidak mengatakan bahwa campur tangan negara perlu dihilangkan, kasus India dan Korea Selatan justru sekaligus menunjukkan gagalnya pasar sebagai sistem “self regulatory” karena ketika tidak dikekang oleh Negara, harga-harga komoditas menjadi naik tinggi, sebagai misal harga gula dan harga tekstil di India yang melonjak di akhir tahun 1940an. Gagalnya pasar untuk mengatur dirinya sendiri menyebabkan kaum industrialis mengandalkan peran Negara, yang ironinya ternyata berjalan dengan sistem birokrasi kacau balau.

Buku Vivek Chibber ini merefleksikan dua hal besar. Pertama, mengajak kita beranjak dari debat lama soal pelemahan Negara dan penguatan pihak pengusaha swasta. Korea Selatan menunjukkan bahwa salah satu syarat dari pertumbuhan eksport led industrialization adalah karena rasionalitas birokrasi dimana terjadi koherensi antara kerjasama menteri-menteri dengan pihak pemilik industri. Dengan demikian, untuk melakukan pembukaan investasi, justru dibutuhkan negara yang kuat, khususnya secara hukum dan koherensi antar birokrasi. Pertumbuhan ekonomi jelas merupakan kebijakan memerlukan Negara yang kuat, bukan sebaliknya . Intervensi negara jelas diperlukan untuk mencegah instabilitas pasar, naik nilai tukar mata uang, menciptakan tingkat upah yang stabil, meregulasi arus modal yang masuk dan mendisiplinkan kapital. Negara, seperti Korea, tidak berperan sebagai pemberi subsidi (seperti yang selama ini dilakukan oleh Indonesia) yang menyebabkan jatuh terjebak ke dalam hutang. Kedua, buku ini sekaligus merefleksikan kondisi pasca ideologi. Negara yang selama ini kita anggap menjalankan sistem kapitalisme mutakhir, seperti Korea Selatan, Taiwan dan Jepang, justru sangatlah sosialis. Parameternya pada pembagian tanah secara merata pada penggarap. Sebaliknya, negara yang dulunya menjalankan program sosialisme justru menyerah dengan menjalankan berbagai macam program pembangunan (developmentalisme) dan menjadi sasaran empuk berbagai proyek politik neoliberalisme.

Namun demikian, di buku ini, Chibber tidak menggambarkan skala politik regional. Mengapa India cenderung gagal? Mengapa Korea Selatan justru sukses?

Yang patut diperhatikan adalah pada negara-negara disekitarnya sebagai penunjang kerjasama. Secara regional, kasus India karena tidak ada negara-negara pendukung industri yang kuat. India dikelilingi oleh Bangladesh, Srilanka, dan Pakistan. Bandingkan dengan Korea yang disekitarnya didukung oleh Taiwan dan Jepang. Kondisi regional jelas terhubung dengan konteks waktu. Tahun 1960an, Amerika memaksa Korea untuk lebih menerapkan ekspor karena pada saat yang Amerika membutuhkan ekspor tekstil dalam jumlah besar. Hal paling terpenting adalah aliansi Jepang dan Korea. Amerika melakukan proteksi ketat terhadap ekspor dari Jepang. Namun Jepang menanamkan investasi industry offshore ke Korea yang nantinya di ekspor Amerika. Jepang memperbaharui mesin-mesin tekstil di Korea yang sudah menua demi meningkatkan kualitas ekspor. Di bawah rejim Park Chung-hee, kurang lebih terdapat 15 firma Jepang di Korea yang sampai 86% mendominasi ekspor ke Amerika. Tentu saja Park Chung Hee gembira karena ia juga mendapatkan pajak dari firma-firma Jepang tersebut.

– Hatib Abdul Kadir* –

* Hatib Abdul Kadir, Mahasiswa PhD jurusan antropologi University of California, Santa Cruz. Juga seorang dosen antropologi di Universitas Brawijaya.

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Categories
Penulis Tamu

Sawit Dengan Logika Produktivisme

Seratus tahun sebelum persoalan ekologi diangkat di seluruh dunia, Karl Marx mengatakan bahwa modus produksi kapitalis, ketika mengembangkan teknologi dan proses-proses sosial produksi, secara bersamaan merusak sumber-sumber awal semua kekayaan alam seperti tanah dan pekerja (Kapital Jilid I, 1990: 836). Hari ini kita semua tahu betapa benar Marx. Alam raya kita ini sedang berada dalam keadaan yang memilukan, bahaya akan kepunahan jika kita tidak mengambil tindakan sungguh-sungguh untuk menurunkan konsumerisme dan menghindari merusak alam.

Bukan hanya negara-negara kapitalis maju yang bertanggung jawab atas keadaan ini tetapi banyak negara-negara sedang berkembang juga harus bertanggung jawab, karena mereka telah menjual kekayaan sumber daya alamnya ke negara kapitalis maju, khususnya yang didorong oleh produktivisme, tidak menyadari betapa besar kerusakan ekologis yang mereka timbulkan. Ironis seperti ini jelas sekali terpampang, misalnya di Indonesia. Orang-orang sengaja menebang hutan alam untuk menanam sawit dengan logika produktivisme, dan mengikuti agenda neoliberal melalui free market. Tidak menyadari bahwa setiap produksi mereka akan membawa malapetaka bagi alam, serta kemelaratan kaum tani ketika infiltrasi tanah mulai rusak.

Petani-petani ini bisa hidup tanpa sawit, tetapi petani tidak bisa hidup tanpa air. Saya rasa, tidak hanya petani yang membutuhkan air, semua umat manusia di dunia ini membutukan air sebagai konsumsi utama. Apabila produktivisme kapitalis perkebunan memasuki hutan, tidak menutup kemungkinan bahwa hulu dan pinggiran sungai tak digarap. Jika sumber air telah dirusak, kita akan mengalami krisis air. Nantinya orang-orang akan lantang bicara “Indonesia tanah airku, air kubeli mahal sekali”.

Logika produktivisme kapitalis ini tidak mungkin bisa diintervensi, sebab campur tangan orang lain dianggap sebagai penghambat investasi. Celakanya, mereka akan berbuat sesuka hati asalkan produksi lebih. Pertanyaannya, bagaimana kita bisa melawan mereka? Jika kita tidak sedikitpun memahami konsep ekonomi kerakyatan yang humanisme. Dalam pidatonya Chavez terkait ekonomi alternatif, ia memberikan pilihan untuk ekonomi alternatif dari neoliberal. Chavez berkata, kita akan lebih baik apabila menggunakan ekonomi kerakyatan yang humanis dari pada ekonomi kapitalistik yang sangat individualis. Marta Harnecker (2015) menulis dalam bukunya yang terbaru, terkait Model ekonomi yang sedang dibangun ini harus amat sangat memperhatikan krisis ekologi dan perjuangan melawan konsumerisme. Kita harus menggalakkan ide bahwa tujuan kita, seperti dikatakan oleh Presiden Bolivia Evo Morales, bukanlah hidup lebih baik tetapi hidup baik.

Praktik-praktik tradisional komunitas-komunitas pribumi memiliki satu sikap positif terhadap alam, dan kita harus menyelamatkan dengan menghormatinya.

HEGEMONI SAWIT

Di Indonesia, kehadiran perkebunan sawit kapitalis telah memicu berbagai persoalan ekologi, sawit-sawit ini oleh Parlemen Uni Eropa dianggap sebagai penyebab utama kerusakan lingkungan, menciptakan deforestasi, korupsi, pekerja anak, sampai pelanggaran HAM (Kompas, 10/04/2017). Pasar dunia mulai menolak sawit dari Indonesia, penolakan itu direspon oleh Indonesia dengan mensertifikatkan perusahaan kapitalis ini berupa ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil).

Di Aceh, kerusakan lingkungan sering dikaitkan dengan ekspansi sawit yang berlebihan. Berdasarkan data Pemerintah Aceh per Maret 2015 penguasaan ruang/kawasan untuk sektor ini mencapai 1.195.528 ha (perkebunan besar 385.435 ha dan perkebunan rakyat 810.093 ha). Perkebunan besar dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) dengan penguasaan lahan terluas berada di Kabupaten Aceh Timur 101.321 ha, kemudian disusul Kabupaten Nagan Raya 65.455 ha, Aceh Tamiang 46.371 ha, Aceh Singkil 45.008 ha, Aceh Barat 42.322 ha, Aceh Utara 35.200 ha, Subulussalam 14.973 ha, Aceh Barat Daya 12.772 ha, Aceh Jaya 11.317 ha, Aceh Selatan 5.201 ha, Bireuen 4.371 ha, Pidie Jaya 416 ha, Aceh Tengah 353 ha, Pidie 242 ha, dan Aceh Besar 113 ha.

Menurut data yang dikeluarkan Walhi Aceh, sepanjang tahun 2016 Rp. 375 Miliar kerugian akibat bencana banjir. Kerugian ini tak sebanding dengan apa yang dihasilkan ketika hutan alam dijadikan sebagai wahana produksi sawit kapitalis dengan jargon, mensejahterakan masyarakat sekitar. Padahal, ekspansi sawit secara masif yang menggantikan hutan alam menjadi perkebunan sawit yang elok dan rapi telah mengakibatkan krisis lingkungan saat ini dan sulit untuk dipulihkan kembali.

Sampai saat ini belum ada satu penelitianpun yang mempublikasi terkait ekspansi perkebunan sawit di Aceh mampu menjawab persoalan kemiskinan. Meskipun secara rata – rata pada tahun 2014 (data Aceh dalam angka tahun 2014) terjadi penurunan 1% angka kemiskinan di Aceh, tentu dipengaruhi oleh sektor lain. Kabupaten Aceh Barat di tahun 2013 justru terjadi peningkatan 1% angka kemiskinan, dimana setahun sebelumnya 22,76% dan pada tahun 2013 meningkat 23,70%. Jikapun sektor perkebunan sawit menjawab persoalan kemiskinan, seharusnya Kabupaten Aceh Barat berada pada angka rata – rata penurunan kemiskinan. Karena Kabupaten Aceh Barat berada pada peringkat kelima penguasaan lahan perkebunan (HGU) di Aceh, dan berada di peringkat ke tujuh jumlah perusahaan perkebunan di Aceh. Akan tetapi, Kabupaten Aceh Barat berada di peringkat kesepuluh luas perkebunan rakyat di Aceh (Walhi, 26/12/2015).

PARADOKS SAWIT

Aceh adalah daerah sarat paradoks, daerah kaya ini seolah berjalan tanpa ada rencana jauh menjangkau ke masa depan. Pembangunan ekonomi jangka pendek yang mengabaikan syarat keseimbangan lingkungan kini gencar dilakukan, dan tak ada kesadaran bahwa perlimpahan sumber daya alam pasti akan menipis dan berakhir. Alih-alih memiliki sense of urgency dan keberpihakan pada masyarakat luas, realitanya sumber daya alam cenderung diobral dan dikelola sembrono (Chamim, 2012). Walhasil, sumber daya alam yang melimpah itu kerap menorehkan luka dan disharmonis sosial. Persoalan sengketa lahan antara kapitalis yang menguasai lahan HGU dengan masyarakat sering terjadi, dan masyarakat harus kehilangan tanahnya, padahal mereka telah menduduki lahan tersebut sebelum Indonesia merdeka. Akibat masyarakat tidak memiliki surat tanah, perampasan lahanpun terjadi.

Luka lainnya, ekspansi perkebunan sawit kapitalis tak menjadi berkah bagi masyarakat. Misalnya Aceh Singkil, meskipun dikelilingi oleh beberapa perusahaan sawit, masyarakat Aceh Singkil masih hidup di bawah garis kemiskinan. Ini membuktikan bahwa keberadaan HGU, khususnya sawit tidak berdampak pada peningkatan ekonomi rakyat. Bahkan, Aceh Singkil termasuk salah satu wilayah yang ditetapkan sebagai daerah tertinggal dan termiskin berdasarkan Perpres Nomor 131 Tahun 2015. Di samping persoalan kemiskinan, sebelum adanya perkebunan sawit, setiap tahunnya di Kabupaten ini hanya mengalami satu atau dua kali banjir, tetapi pasca-perkebunan sawit mengelilingi, meningkat menjadi lima kali banjir setahun (Mongabay.17/3/2016). Maraknya perkebunan sawit selama ini telah menyebabkan kehilangan jutaan tutupan hutan Aceh, dan telah menyebabkan terjadinya bencana tahunan. Banjir tiba, gagal panenpun mengiringinya.

Pemerintah sudah saatnya mereview izin HGU, dan menertibkan para kapitalis yang saat ini masih melakukan eksploitasi dan eksplorasi tanpa izin yang jelas. Sebab jika persoalan itu tetap dibiarkan, land clearing, perampasan, dan pencaplokan lahan masyarakat akan terus terjadi hingga masyarakat tersebut akan kehilangan lahan produktifnya. Sawit harus dikelola dan ditata dengan benar, proses perizinan yang transparan dan akuntabel harus dikedepankan. Memajukan masyarakat petani sebagai ujung tombak, menghormati hak ulayat, ramah lingkungan, dan memperlakukan buruh pekerja dengan baik merupakan sebuah keniscayaan yang harus dilakukan oleh kapitalis perkebunan sawit.

– Shaivannur M. Yusuf* –

Shaivannur M. Yusuf – adalah penggiat Ekologi-Politik, Staff Pengajar Ekonomi Politik Internasional di Ilmu Politik Unsyiah, Alumnus Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Diponegoro, Semarang

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Hak cipta gambar sebelum olah digital oleh : margenauer dibawah lisensi CC0 Public Domain dan wikimedia.org

Categories
Penulis Tamu

Rayuan Gaya Hidup Mengganti Nilai

Suatu waktu saya harus menumpang sebuah ojek dengan ongkos yang relatif mahal di Kota Banda Aceh, tepatnya rute perjalanan dari Terminal Bus di Batoh menuju Simpang Dodik. Tujuan saya menuju Meulaboh dengan langsung menunggu angkutan L300 yang keluar dan tidak lagi menjemput penumpang. Dalam perjalanan ini, saya sempat bertanya jawab dengan pengendara ojek. Saya tanyakan, abang narik ojek dari jam berapa sampai jam berapa? Ia menjawab, saya narik dari setelah subuh sampai jam 11 siang. Ia juga melanjutkan, sebenarnya gak cukup (keuangan-red), tapi untuk apa pula kita kejar kali uang itu, pasti kita gak pernah cukup—saya memiliki tiga orang anak, yang tertua sudah kuliah. Kalau terlalu kita kejar uang itu, hubungan kita dengan keluarga menjadi jarang. (ia menjelas panjang lebar jika kita harus pulang sore, capek, nggak sempat bercanda, rentan sakit, dan lain-lain). Saya pun kembali mengingat diri sendiri dengan kondisi pekerjaan yang saya jalani.

Orang tua saya, orang tua anda, atau orang tua siapa-pun pernah berujar, ‘hidup itu hanya sesaat, berbuatlah sesuatu yang bermanfaat’. Saya berfikir ungkapan orang tua seperti ini sarat dengan makna kehidupan sebagaimana kehidupan yang penuh liku yang pernah beliau alami. Belum lagi ungkapan teman-teman sejawat kita, jika dalam bahasa Aceh sering diungkapkan begini, ‘nyan donya mandum hai rakan’. Ungkapan tersebut dapat kita artikan dengan ‘itu semua yang kamu kerjakan adalah dunia kawan’. Kalimat ini bermakna jangan terlalu lalai dengan dunia, hidup kita hanya sesaat—berbuatlah sesuatu untuk akhirat yang lebih nyata.

Hidup kita penuh persaingan, perselisihan bahkan pertikaian. Sehingga kita terus dikejar waktu, menyelesaikan banyak hal untuk menggapai harapan kehidupan. Kita terus-menerus di atur oleh pekerjaan dalam hubungan-hubungan sosial yang selalu di tuntut oleh efektivitas hukum pasar. Hubungan kerja seperti ini menuntut setiap kita untuk bisa bekerja dibawah tekanan, teliti, cekatan bahkan tanpa kesalahan. Sedikit kesalahan yang kita lakukan berhadapan rincian potongan pendapatan, dan terhambat dalam rangkaian selanjutnya.

Siapa yang tidak akan bersitegang dan berkonflik, jika tuntutan kehidupan begitu tinggi—tapi sistem hari ini memang menghendaki persaingan menjadi prinsip penggerak. Alhasil kita terus di sistem berada dalam ruang ketegangan dan konflik yang selalu mewarnai dalam hubungan sesama. Inilah yang kami maksud menggantikan nilai dalam tulisan ini—nilai itu adalah nilai solidaritas.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana mungkin perubahan ini terjadi secara drastis? Saya berfikir cerita tukang ojek di atas adalah kita—bukankah kita harus realistis dan responsif dengan kondisi sosial, karena ia sangat berhubungan dengan pembentukan karakter diri dan watak anak bangsa dimasa-masa yang akan datang. Jika kita mengutip Lipovetsky—ini semua tidak terlepas dan dimulai dari perubahan sistem ekonomi, yaitu dari kapitalisme produksi menjadi ekonomi konsumsi dan komunikasi massa. Perubahan menurut Haryatmoko dimulai oleh masyarakat dengan gaya hidup yang dibangun oleh teknik-teknik lewat-sekejap, pembaruan terus menerus. Pada titik inilah kita terus berada dalam ruang Rayuan Maut untuk menggantikan nilai dengan konsumerisme. Rayuan itu berbentuk kenikmatan yang sangat memikat; baru, banyak pilihan, swalayan, humor, merangsang, erotisme, perjalanan, hiburan, nampak muda, nampak cantik, selalu sehat, puas dan lain sebagainya.

Dunia kita nantinya akan dikuasai oleh dunia konsumsi dan komunikasi massa yang merupakan dunia mimpi yang akan menjadi kenyataan, dunia yang penuh bujuk rayu sehingga memacu gerak yang tidak pernah akan berhenti. Mungkin tidak untuk si tukang ojek dalam cerita pembuka di atas. Kita akan berada dalam perseteruan  gaya hidup yang terus merambah pada masayarakat yang selalu di nyanyikan oleh berbagai media. Sistem gaya hidup akan menjadikan pola pikir menjadi ukuran utama waktu sosial yang paling diikuti.

Gaya hidup tidak dirangsang oleh bakat bawaan, namun ia terus di organisasi oleh diri sesuai dengan posisi seseorang dalam masyarakat—dibalik itu juga tersurat tingkat pendapatan. Bukan hanya itu, bahkan kegiatan dalam keseharian tidak terlepas dari sistem-sistem representasi khas sosial suatu kelompok masyarat. Disinilah selera akan menguak posisi mereka dalam masyarakat dan memperlihatkan ambisi sosial dimana mereka menempatkan diri dalam kekuasaan.

Namun pada sisi lain posisi tidak selamanya mengontrol keberadaan masyarakat dalam gaya hidup yang sepantasnya. Namun ilusi kehidupan akan selalu berusaha mensejajarkan kehidupan dengan kekuasaan yang tidak ia dapatkan. Saya pikir, pada awal-awal tahun 80-an hingga akhir 90-an olah raga Golf adalah miliki kelas dan kuasa masyarakat tertentu di negara ini—namun masuki era 2000-an hingga saat ini masyarakat menengah juga mulai menjangkau olahraga sejenis ini, disisi lain masyarakat kelas atas yang merasa ruang kuasa dan kelasnya mulai dijangkau oleh kelas berbeda mereka memasuki ke equitasi yang mengeluarkan biaya mahal. Hal ini menjelaskan kesetaraan akses budaya dan berbeda nilai itu, memampangkan gaya-gaya hidup dan wacana-wacana yang dibangun oleh lingkungan sosial tertentu yang kemudian dibangun pondasinya oleh lembaga pendidikan.

Mengutip Sebastien Charles (2004), ada dua nilai logika gaya hidup; Pertama, gaya hidup memungkinkan mendiskualifikasi yang lalu, dan memberi penghargaan terhadap yang baru. Hal yang baru dapat memberikan ekstase yang menggantikan yang lama. Kedua, Gaya hidup dapat mengafirmasikan keberadaan individu ketika berhadapan dengan kolektivitas komunitasnya. Kedua hal inilah yang membangun budaya hedonis semakin meraja dalam kehidupan.

Ada apa dengan hedonisme…? hedonisme akan mengejar dan mendorong setiap individu untuk segera mungkin memenuhi semua kebutuhan yang ia angan-angankan. Budaya hedonisme ini tidak hanya mampu mendorong tapi juga merangsang kenikmatan. Tidak ada yang tidak membutuhkan kesehatan, tingkat kenyamanan, dan waktu yang bebas. Maka lembaga produsen yang memproduksi gaya hidup pun tumbuh bak jamur di musim hujan. Ada banyak pusat kebugaran; rumah makan bebas kolestror dan sejenisnya; industri pariwisata; cafe-cafe dengan suasana yang nyaman. Semua ini dihadirkan memenuhi gaya hidup masyarakat hipermodern.

Keseharian kaum hedonis ini sangat dekat dengan kerja, waktu luang, keluarga, hubungan sosial yang diorganisasikan sesuai dengan lingkungan privatnya. Ruang ini ditandai dengan kebebasan individu, adopsi lingkungan sejauh dapat memberikan rasa nyaman dan aman, dan tidak perduli dengan pihak lain. Mereka sangat takut ketidak nyamanan dan sangat menjaga jarak dengan hal itu. Pemahaman kaum ini sangat lekat dengan ketidaknyamanan itu, bagai lekatnya tanda yang diberikan melalui komunikasi masa. Komunikasi masa yang kerap diterima melalui berbagai tayangan televisi tentang kerusuhan, bencana alam, kemiskinan, kekejaman, disambut dengan tontonan santai sambil meneguk minuman berenergi yang penuh gizi. Hal ini hanya menjadi komunikasi tanda dan gambar yang merusak kenyamanan, tapi dengan tetap menafikan dunia real yang keras.

Situasi langit dan bumi ini membangun mentalitas kaum konsumerisme menjadi karakter yang fatalistik. Mengkonsumsi hidup dengan penuh kenikmatan—disisi lain merasa terancam dengan lingkungan yang miskin dan penuh kekerasan. Bahkan tidak berkeinginan mengulurkan tangan untuk mengurangi penderitaan—konsumerisme berparadigma gunakan kesempatan yang ada untuk sebuah kenyamanan, karena esok hari belum tentu menjadi miliknya lagi. Semua orang pun dianggap pesaing dalam era hipermodern, kondisi membuat mereka selalu berada dalam ruang dilema, jika tidak membunuh, maka ia akan dibunuh.

– Noviandy Husni –

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Hak cipta gambar sebelum olah digital oleh : jordandemuth dan stevepb dibawah lisensi CC0 Public Domain.

Categories
Kolom Pendiri

Konservatisme dan Politik Identitas (Kritik atas Kapitalisme dan Demokrasi Liberal)

Kebangkitan konservatisme di berbagai penjuru dunia mengagetkan banyak orang. Munculnya ISIS, fenomena Brexit di Britania, terpilihnya Trump sebagai presiden Amerika Serikat, populernya Marine Le Pen di Perancis, hingga mobilisasi massa Islam untuk ‘menggagalkan’ seorang non-muslim menjadi gubernur di Jakarta (Ahok) membuat banyak pihak khawatir dengan masa depan dunia. Bahkan Fukuyama, si pendeklarasi “akhir sejarah”, khawatir dengan perkembangan dunia. Ia mengubah pandangannya tentang akan “abadinya” ekonomi pasar bebas dan demokrasi liberal sebagai tatanan final sistem ekonomi politik dunia. Kondisi saat ini, ujarnya, menunjukkan tanda-tanda adanya potensi perubahan sistem ekonomi politik dunia menuju ke masa lalu[ref]https://www.washingtonpost.com/news/worldviews/wp/2017/02/09/the-man-who-declared-the-end-of-history-fears-for-democracys-future/?utm_term=.120bd5f9d99b[/ref].