Categories
Press Release

Bedah Buku Biografi Amir Husin Al Mujahid, 2 Oktober 2017

Nama Amir Husin Al-Mujahid tidak dapat kita lepaskan dari penulisan sejarah Aceh kontemporer. Kehadirannya, hampir-hampir, tidak pernah luput dari pembahasan para penulis dan peminat kajian sejarah dan politik Aceh, baik itu para pemujanya, maupun para pengkritiknya.

Keterlibatannya di dalam dua peristiwa besar Aceh di awal masa Revolusi Sosial dan Darul Islam Aceh, telah mencatatkan namanya sebagai tokoh yang harus dibaca terus menerus, untuk memahami pergerakan sejarah Aceh itu sendiri.

Buku ini memperkaya historiografi Aceh dan terutama sejarah Aceh kontemporer karena dapat dikatakan telah kembali menempatkan ketokohan Amir Husin Mujahid di atas panggung sejarah kita. Setelah dalam rentang waktu yang lama, tidak mendapatkan perhatian dari khalayak . Buku ini-pun tepat hadir disaat pembicaraan tentang sejarah dan politik Aceh paska MoU Helsinki, banyak didominasi oleh narasi dari Gerakan Aceh Merdeka.

Padébooks akan mengadakan launching sekaligus bedah buku terbitan Padebooks tentang biografi salah satu tokoh Aceh: dengan judul Jenderal Mayor Amir Husein Al-Mujahid: “Aku Tetap Konsisten Terhadap Pesan Khusus Sultan Aceh Terakhir.” Buku yang ditulis Oleh: Dr. Ahmad Fauzi M.A. (Dekan Fakultas Tarbiah dan Ilmu Keguruan IAIN Langsa ini akan dibedah oleh ketiga pembicara Ir. Abdullah Puteh, M.Si (Gubernur Aceh ke 18), Barlian AW (Budayawan Aceh), M. Alkaf, M.Si (Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy). Sedangkan yang menjadi Keynote Speaker adalah Prof. Dr. Ir. Samsul Rizal, M.Eng (Rektor Universitas Syiah Kuala).

Acaranya akan berlangsung pada hari Senin, 02 Oktober 2017, Pukul 09.00 – 12.00 WIB, bertempat di Ruang Senat Rektor Unsyiah.

Acara ini diharapkan menjadi momentum untuk terus menggali lembaran kesejarahan aceh, beserta para tokoh-tokohnya yang telah berjasa. Dengan demikian, maka juga akan memperkaya narasi sejarah politik Aceh dewasa ini.

– Saiful Akmal (Direktur Padebooks)

Categories
Kolom Pendiri

RESENSI BUKU – THE ORDINANCES OF GOVERNMENT

The Ordinance of Government (Al-Ahkam al –Sultaniyah w’al Wilayat al-Diniyya) Book Cover The Ordinance of Government (Al-Ahkam al –Sultaniyah w’al Wilayat al-Diniyya)
Al-Mawardi
Agama
Garnet Publishing, United Kingdom
2010
301

Bicara tentang kinerja pemerintahan dan aparatur yang terlibat didalam pelayanan publik, tidaklah bisa dilepaskan dari konsep maupun prinsip-prinsip tata-kelola, aturan dan ketentuan yang ada dalam penyelenggaraan pemerintahan (good governance). Jika istilah good governance yang dikampanyekan (ulang) oleh IMF (International Monetary Fund) dan Bank Dunia (World Bank) dan badan-badan PBB (Perseikatan Bangsa-Bangsa) atau UN (United Nations) seperti misalkan UNDP (United Nations for Development Project) di akhir dekade 90-an merupakan terma yang sekarang secara meluas diberbagai negara, khususnya negara-negara yang dianggap belum dan sedang berkembang di ‘dunia ketiga’ seperti Asia, Afrika dan Amerika Selatan (Hout, 2007) dan melulu dikaitkan dengan politik bantuan 1) ke negara-negara tersebut maka tata-kelola dan prinsip aturan pemerintahan sudah lebih dulu diterapkan oleh peradaban Islam. Zaman kepemimpinan Muhammad SAW dan khalifah yang empat menjadi saksi sejarah bagaimana Piagam Deklarasi Madinah benar-benar menjadi dokumen tata-kelola pemerintahan pertama yang bisa dijadikan model dalam pengaturan pemerintahan demi mencapai masyarakat yang bertransformasi secara mandiri dalam hal administrasi kota dan segenap perangkatnya. Beberapa abad kemudian, Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Habib al-Mawardi (untuk kemudian disebut dengan Al-Mawardi) atau di dunia Barat dikenal dengan nama Alboacen (972-1058 M) mencoba merangkum, memadukan dengan pengalaman barunya, dan menerapkan konsep tata-kelola pemerintahan baik secara agamis, juridis, filosofis maupun administratif Piagam Madinah ditengah kekacauan politik pada masanya, sesuai dengan latar belakangnya sebagai ulama, filusuf, hakim dan juga pengambil keputusan di masa Dinasti Abbasiyah tersebut. Tata-kelola pemerintahan ala Al-Mawardi bisa dibaca dalam buku berjudul Al-Ahkam al-Sutaniyya w’al-Wilayat al-Diniyya yang sudah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa. Dalam Bahasa Inggris buku itu diterjemahkan menjadi The Ordinance of Government atau ‘Aturan-Aturan Penyelenggaraan Pemerintahan’ oleh Prof. Wafaa H.Wahba dan diproduksi berkali-kali untuk kepentingan kajian politik dan administrasi pemerintahan di Barat oleh The Center for Muslim Contribution to Civilization2). Buku klasik ini ternyata masih cukup relevan dan populer dengan kondisi aktual dinamika sekarang dan menjadi salah satu literatur yang paling banyak dirujuk secara konsep awal oleh banyak ilmuwan dalam kajian studi good governance di dunia. Dalam konteks inilah, buku yang dimaksud juga secara fundamental bisa sesuai dengan kondisi kekinian yang ada di Aceh sebagai salah satu provinsi yang mengadopsi aturan syariat Islam dalam tata-kelola pemerintahannya. Buku ini akan menjadi sangat menarik bagi peminat kajian administrasi pemerintahan, baik mahasiswa, maupun para pejabat publik, pemimpin pemerintahan atau politisi, peminat diskursus good governance seperti aktivis LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan lembaga-lembaga non pemerintahan yang concern dengan tema-tema ini.

Dalam bukunya yang terdiri dari 20 bab, Al-Mawardi memulainya dengan perlunya kepemimpinan (imamah) dan juga kriteria bagaimana mendapatkan pemimpin yang baik bagi masyarakat. Dalam hal kriteria kepemimpinan, ia menyebutkan ada paling tidak tujuh indikator: adil dan jujur, berilmu dan independen, terbuka terhadap kritik, sehat secara fisik, bijaksana dan hati-hati, berani, dan terakhir berasal dari kalangan Quraisy. Sementara dalam hal mengangkat pemimpin pemerintahan, ia menyarankan dua metoda: pemilihan dan penunjukan/pengangkatan langsung. Bab kedua sampai dengan bab keenam, Al-Mawardi masih membicatakan kriteria dan model pengangkatan pejabat publik lain dibawah pemimpin tertinggi suatu negara atau wilayah. Pengangkatan menteri, hakim, panglima militer, komandan atau pemimpin ekspedisi dari pasukan yang menjalankan operasi khusus demi kepentingan publik.

Kemudian bab ketujuh ia berbicara mengenai bagaimana menyelesaikan permasalahan diantara dua pihak berkonflik oleh pejabat publik yang berwenang. Bab kedelapan ia mengusulkan agar pemerintah mempunyai satu lembaga yang mengatur agar kelompok dari kalangan terhormat dalam masyarakat tidak diperintah oleh seorang pejabat publik yang berasal dari kalangan dibawahnya. Hal ini penting menurutnya dikarenakan bisa jadi mereka yang dari golongan ’atas’ tidak mau tunduk secara psikologis atas keputusan dalam permasalahan tertentu. Kelompok ’atas’ ini sebaliknya harus menerima apapun keputusan dari salah satu diantara tiga ofisial berikut: khalifah sendiri, sesorang yang didelegasikan oleh khalifah untuk menyelesaikan konflik dimaksud, atau perwakilan khalifah yang diberikan tugas dengan kewenangan tertentu yang terbatas. Menariknya di bab kesembilan Al-Mawardi kembali ke kriteria dan metode penunjukan imam shalat, setelah diselingi dengan dua bab mengenai penyelesaian sengketa publik.

Pengelolaan kegiatan publik seperti administrasi jemaah haji, zakat dan harta rampasan perang menjadi perhatiannya pada bab-bab berikutnya. Selain itu ia juga mengupas mengenai bagaimana mengelola pajak hasil bumi dan bangunan yang ditujukan kepada pihak non-muslim. Dengan lugas ia secara bertahap membagi kategori-kategori dan tata cara pemungutan pajak, dan yang menarik adalah ketentuan bahwa ’pajak tidak bisa sama sekali dipungut sebelum waktunya jatuh tempo.

Di bab selanjutnya, bab keempat belas, Al-Mawardi membagi kategori yang disebut wilayah (kedaulatan) otorita pemerintahan Islam. Pada bab kelima belas ia kembali membahas bagaimana mengatur adminsitrasi pelayanan publik, yakni berkenaan dengan reklamasi tanah/pembukaan lahan dan pembagian pasokan air bersih. Di bab keenam belas ia fokuskan pada pembahasan mengenai pembukaan sarana dan fasilitas publik, perlindungan terhadap tanah tidak tergarap dari kepentingan individu non-publik. Hibah tanah dan pemberian hak pengelolaan tanah dan hasilnya merupakan fokus Al-Mawardi di bagian bab ketujuh belas. Ia mendefinisikan tanah dalam tiga pengertian: tanah mati dan tidak tergarap, tanah yang sudah diolah/tanah garapan, dan tanah yang jadi sumber pertambangan.

Perhatian figur cendikia asal Basra ini kemudian beralih ke persoalan status dan ketentuan pengelolaan lembaga atau pusat adminsitrasi negara (semacam LAN/Lembaga Administrasi Negara). Ia mengatakan bahwa lembaga ini diperlukan untuk menjaga keamanan dokumen dan properti pemerintahan dan kemiliteran beserta personil yang terlibat didalamnya. Lembaga itu diberi nama Diwan. Lembaga administrasi negara ini harus dibagi kedalam empat departemen yaitu: departemen arsip dan gaji kemiliteran, departemen arsip pajak dan kewajiban keuangan daerah, departemen catatan penunjukan dan pemberhentian pejabat publik, dan yang terakhir, departemen arsip penerimaan negara dan pajak dari baitul maal. Ia juga menjelaskan secara rinci dan panjang bagaimana klasifikasi data dan arsip negara disimpan secara rapi. Di akhir penjelasan, ia menekankan dua kategori wajib bagi kepala lembaga pusat administrasi dan arsip negara, yaitu: jujur dan punya kompetensi.

Sebelum menutup penjelasan panjangnya di bab keduapuluh tentang proses pengangkatan petugas dan lembaga pengawas pasar dan perdagangan (sejenis Ombudsman3) dan hisba4) ) dan memastikan semua aktivitas pelayanan publik dari negara berjalan sesuai standar ia menyinggung tentang administrasi dan prosesi penjatuhan hukuman secara gamblang di bab kesembilan belas. Beberapa kasus yang disebutkan dalam penjelasannya adalah kasus perzinahan, pencurian, pemabuk, fitnah dan pencemaran nama baik (terkait kasus asusila dan zina), kompensasi dan hak balas dalam kasus kematian dan hukuman mati, serta terakhir berkaitan dengan hukuman non-legal terkait pelanggaran disiplin dan hukuman non-publik. Sementara di bagian akhir, Al-Mawardi menjelaskan panjang lebar mengenai pentingnya lembaga pengawas dan penjaga moral ofisial negara dalam menjalankan tugas sebagai penyedia jasa layanan publik agar tidak melakukan tindakan diluar kewenangan, penyelewengan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme yang merugikan masyarakat.

Apa yang sudah ditawarkan oleh Al-Mawardi tentunya menjadi demikian penting ditengah memuncaknya rasa ketidakpercayaan publik terhadap administrasi pemerintahan kita saat ini. Meskipun konsep yang dikemukakannya sedikit klasik, namun tidak dapat dipungkiri bahwa ia telah memberikan inspirasi secara langsung dan tidak langsung terhadap penyelenggaraan aparatur pemerintahan. Konsep pengawasan pasar yang bisa dilacak jauh ke masa Khalifah Umar bin Khattab sekarang dipakai dimana-mana. Dalam pemaknaan lebih luas, konsep pengawasan pasar berkembang secara aplikatif dalam hal pengawasan moral pejabat publik. Konsep yang dibarengi dengan aturan yang sangat jelas, lugas dan tegas. Penyelesaian sengketa publik, pengadaaan fasilitas publik oleh negara, ataupun metoda dan kriteria seleksi pengangkatan pejabat publik akan terus menjadi topik hangat dalam transformasi administrasi. Latar belakang yuridisnya juga menyebabkan ia sangat paham tentang bagaimana menjaga rasa keadilan publik dan membuat aturan-aturan yang empirik berbasis kejadian sehari-hari masyarakat kedalam aturan dan hukum administrasi pemerintahan. Demikian juga dengan ide pembentukan lembaga pusat administrasi negara tidak bisa tidak adalah terobosan formal yang ternyata sudah ada sejak masa Al-Mawardi hidup. Gaya paparannya yang empirikal, kategorikal, numerikal, filosofikal , jelas, tegas, dan lugas dalam hal-hal mendasar publik (fundamental) membuat buku ini menjadi semakin dibutuhkan ditengah ‘kegalauan publik’ akan kemampuan aparatur daerah dan negara saat ini.

Namun demikian, meskipun Al-Mawardi sudah berupaya kuat untuk membukukan pengalamannya selama mengabdi sebagai hakim, politisi sekaligus ilmuwan pada masa itu, bukunya meskipun fenomenal dan fundamental juga tidak sepenuhnya komprehensif. Barangkali kondisi masyarakat pada masa itu membuat kriteria seleksi kepemimpinan, khususnya poin tentang calon pemimpin harus dari kalangan Quraisy tidak bisa sepenuhnya diterapkan saat ini. Meskipun demikian, filosofi pentingnya adalah kalau bisa memilih pemimpin yang merupakan putra lokal/pribumi jika ingin mudah diterima oleh masyarakat yang awalnya biasanya apatis dan tidak partisipatif. Hal lain yang perlu jadi catatan adalah tidak adanya tawaran mekanisme promosi aparatur publik dalam buku ini. Benar bahwa ia sempat menyebutkan prosedur pemberian hukuman bagi pelanggar aturan agama dan publik, namun bab mengenai mekanisme promosi dan degradasi pejabat juga dirasa perlu ditambahkan disini. Idenya tentang pembagian wilayah jelas tidak sesuai dengan kondisi kita disini, dimana ia membagi tiga klasifikasi daerah: daerah Haram5), Hijaz dan daerah diluar Haram dan Hijaz. Demikian juga halnya dengan penyeleggaraan badan negara yang secara khusus menyelesaikan problem antar kelas di bab delapan. Kritik lain terhadap bukunya adalah meskipun fokus dalam tema-tema tertentu, kelihatannya bukunya tidak disusun dalam urutan kronologis tematik yang membuat pembaca mudah mengikutinya. Sebagai contoh misalkan, setelah berbicara detil tentang mekanisme dan kriteria pengangkatan pejabat publik di bab-bab awal, tiba-tiba beralih ke topik penyelesaian sengketa publik di bab ketujuh. Atau misalkan saat mendeskripsikan mengenai administrasi pelayanan publik dan pengadaan fasilitas publik, mendadak beralih ke permasalahan hukuman dan kriminalitas di bab kesembilan belas untuk kemudian kembali ke tema mengenai perlunya kantor atau dinas pengawasan perdagangan dan standar pelayanan publik di bab terakhir (bab keduapuluh).

Apapun itu, buku ini telah memberikan efek serta kontribusi luar biasa bagi khasanah dan praktik tata kelola pemerintahan negara sampai saat ini. Apalagi sebagian besar tawaran Al-Mawardi cocok dengan negara-negara dan daerah yang mayoritas penduduknya muslim dan atau mengadopsi sistem pemerintahan Islam atau hukum Islam. Getaran keilmuan buku ini masih hangat diperdebatkan, diterapkan dan diperkaya saat ini. Penulis merasa berkewajiban membagi informasi ini mengingat terbatasnya akses terhadap buku-buku klasik bertemakan administrasi pemerintahan, dan kinerja aparatur publik (bernuansa Islam) di nusantara. Meski konsep Al-Mawardi jelas-jelas berorientasikan hukum Islam dan dilegkapi dengan referensi kuat dari Al-Qur’an dan Hadist, namun teori dan ide fundamentalnya sangatlah universal dan compatible untuk diterapkan di negara non-muslim sekalipun. Di beberapa negara, konsep Al-Mawardi langsung atau tidak langsung sudah berjalan dengan sangat baik. Oleh karena itulah penulis sangat merekomendasikan kepada pembaca untuk menyerap inspirasi dan belajar banyak dari buku yang satu ini.

Tulisan ini pernah diterbitkan di Jurnal Transformasi Administrasi LAN, Vol.III, Issue I, Hal. 517-521, Tahun 2013 Penerbit: PKP2 A Lembaga Administrasi Negara, Jakarta.

.

Categories
Kolom Pendiri

Eee – KTP…

Gerakan perlawanan anti korupsi di Indonesia kini menghadapi babak baru.  Kasus mega korupsi proyek E-KTP menjadi benchmark terhadap keseriusan elemen perlawanan terhadap praktik korupsi, termasuk pemerintah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan LSM anti korupsi.  Babak baru bagi pemerintah, karena ini merupakan ujian kesekian kalinya bagi pemerintah bahwa pemberantasan korupsi dan segala jenis praktik turunannya sepertinya bukan semakin terminimalisir, tapi malah semakin menjadi-jadi. Disisi lain bagi lembaga super bodi seperti KPK, kasus E-KTP juga menjadi ujian kredibilitas bagi mereka untuk menangani kasus tersebut secara tuntas tanpa terseret arus kepentingan dan politicking elit politik nasional.  Sementara untuk para aktivis LSM anti korupsi ini juga menjadi sebuah pertanda, entah baik atau buruk. Baik jika dimaknai bahwa ini adalah salah satu indikator kesuksesan, dimana kasus-kasus korupsi raksasa akhirnya terkuak. Buruk jika ini dirasai sebagai salah satu kegagalan program anti korupsi yang selama ini didengungkan. Bahwa dengan adanya LSM anti korupsi, praktik rasuah bukannya malah menurun, tapi justru semakin merajalela.

Categories
Kolom Pendiri

OM-OM, TELOLIS OM!

Fenomena sosial media akhir-akhir ini semakin menegaskan bahwa sesuatu yang terjadi di satu belahan dunia, bisa menjadi viral dan membuat bagian dunia lain menjadi ikut-ikutan latah. Disatu sisi fenomena tersebut seolah menjadi hiburan bagi kebanyakan khalayak untuk seolah sejenak keluar dari himpitan problema kehidupan yang begitu serius dan hampir tidak terpecahkan. Fenomena viral di sosial media “Om Telolet Om“ juga seakan menjadi jalan keluar instan bagi anak bangsa dari segenap permasalahan, mulai dari air mata, makar, penistaan agama, 212, 412, pilkada, kemiskinan, komunisme, radikalisme, terorisme (baca: telolisme) dan lain sebagainya yang jauh lebih serius untuk dicarikan solusinya.

Categories
Uncategorized

Gerakan Literasi Padi

Banyak yang meyakini bahwa literasi adalah kunci bangkitnya sebuah peradaban. Perintah agar mampu membaca dan menulis merupakan siklus awal dari puncak kebudayaan. Ia juga menjadi prasyarat mutlak dalam proses pendidikan dan pembentukan kepribadian. Itu sebabnya membaca dan menulis menjadi komponen elementer dalam pembentukan individu yang progresif, berkemajuan. Kumpulan individu berkepribadian yang terliterasi ini akan terkulminasi menjadi kelompok manusia yang mampu melahirkan kemajuan berarti bagi kemuliaan dan eksistensinya di dunia, dimanapun mereka berada. Generasi yang terliterasi inilah yang kemudian akan membawa pencerahan kepada komunitas disekelilingnya. Mereka akan meniupkan ruh yang akan menggerakkan aktivitas manusia lebih terarah, kegiatannya lebih bermanfaat, kebudayaannya menjadi terdepan dan peradabannya menjadi lambang kemajuan dan keunggulan. Ia harus bergerak mencari ruang ekspresi, laksana air yang terus mengalir mencari tempat yang rendah agar mereka bisa terus berbagi, sampai akhirnya mereka terhenti mati. Air yang tidak bergerak, tidak mengalir, stagnan hanya akan membawa penyakit bagi peradaban.

Literasi menjadi jendela dan pintu bagi tersebarnya ilmu pengetahuan. Sebagai salah satu keahlian mendasar manusia, membaca dan menulis mendorong manusia agar menjadi lebih kreatif. Ia ibarat cahaya terang penunjuk jalan di tengah dunia yang kalut. Jika membaca adalah jendela ilmu pengetahuan, maka menulis adalah refleksi keilmuan yang terangkum dalam susunan kalimat yang menggerakkan, yang menginspirasi, yang membebaskan. Jika banyak orang bisa membaca, tidak begitu banyak yang mampu merefleksikan, menginterpretasikan dan menterjemahkan hasil bacaannya kedalam tulisan yang menggerakkan. Bukankah Cordoba dan Granada di Andalusia adalah saksi  abadi ketika literasi menjadi kepentingan bersama dan meninggalkan ego-ego sektarian? Oleh karena itu, ilmu pengetahuan pada akhirnya akan dan harus mampu membawa manusia merancang peradaban yang spektakuler, yang melampaui zamannya, menjadi sesuatu yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Literasi dan ilmu pengetahuan adalah tandem abadi. Mereka adalah sejoli visioner. Pasangan serasi yang tidak akan pernah berhenti menebarkan manfaat.

Ditengah kecamuk ide dan gagasan yang melahirkan beragam produk kebudayaan dan peradaban. Gerakan literasi bisa secara gradual membawa masyarakat keluar dari himpitan kebodohan, kemiskinan dan ketidakberdayaan. Namun gerakan literasi yang bagaimana yang bisa meningkatkan kesadaran akan pentingnya ilmu pengetahuan untuk menciptakan tatanan masyarakat yang setara, terbebas dari tekanan, dan berkemanusiaan? Sebagai bagian integral dari peradaban, gerakan literasi harus mengisi ruang kosong intelektual. Tersemainya ide-ide baru yang bisa berkontribusi bagi adanya sikap respek, saling terbuka, dan humanisme ditengah masyarakat baru akan bisa terealisasi dengan memahami filosofi padi. Produksi ide dan wacana ditengah masyarakat, akan bergerak menjadi aksi dan mendapat dukungan luas jika dia diketengahkan dengan bersahaja dan sederhana.  Bersahaja karena ia adalah literasi yang memberi substansi eksistensi, bukan melulu menampilkan diri. Sederhana karena ia merupakan wujud dari kerendahan hati tapi sebenarnya memberi manfaat tinggi. Generasi literasi padi berupaya selalu memberi ruang aspirasi dan ekspresi bagi entitas yang ada di negeri.  Dengan catatan, mereka sepakat bahwa literasi adalah bukan gerakan memonopoli dan mendominasi, tapi lebih merupakan refleksi dan pondasi bagi kegemilangan peradaban di masa depan yang sepertinya akan terlihat lebih menjanjikan dan lebih pasti.

Hak cipta gambar oleh : toshi.panda dibawah lisensi CC-NC-SA.