Categories
Penulis Tamu

Bersyariat Dari Pinggir

Artikel ini terinspirasi dari tulisan Muhammad Alkaf tahun 2016 yang berjudul Nasionalisme dari Pinggir. Dalam hal ini, Alkaf mengajukan kritik terhadap narasi nasionalisme yang dinilai terlalu terpusat. Narasi tersebut terkesan meminggirkan peran daerah dalam menjaga status kebangsaan nasional Indonesia. Bagi Alkaf, Indonesia adalah gabungan dari berbagai kultur, sejarah, narasi dan etnik. Sehingga, mengesampingkan “narasi pinggiran” adalah kecacatan yang bertentangan dengan semangat integrasi dan kebangsaan (lihat Alkaf 2016).

Artikel ini kemudian juga mempersoalkan gagasan syari’at Islam yang terlalu terpusat. Kesan regulasi syari’at dalam bentuk qanun misalnya tidak lebih dari gagasan intelektual elit Banda Aceh, yang berdiri di menara gading dan tidak mampu melihat syari’at secara mengakar dan substantif.

Jika Alkaf menulis bahwa nasionalisme yang terlalu terfokus kepada Jakarta hanya akan mengabaikan kaum pinggiran dan menafikan sumbangsih mereka (Muhammad Alkaf 2016), maka syari’at disini – dan hari ini – pun memiliki kesan yang sama. Bahwa pembangunan narasi syari’at yang bersifat banda-sentris pada akhirnya hanya akan meminggirkan dan mengesampingkan kontribusi daerah dalam membangun peradaban keislaman melalui jalan syari’at.

Narasi banda-sentris dalam syari’at misalnya terlihat dari pembangunan qanun (khususnya qanun jinayat) yang terlalu mengadopsi teks-teks abad pertengahan dan mengesampingkan fenomena keislaman dan kearifan yang telah mengakar dalam diri masyarakat Aceh sejak abad ke-16. Persoalan ini juga dapat dibuktikan dengan rendahnya kesadaran masyarakat akan urgensi bersyari’at versi qanun. Dimana masyarakat kemudian merasakan perbedaan antara syari’at yang dibangun oleh pemerintah dengan implementasi syari’at yang telah mereka praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Keadaan yang sama juga terlihat dari regulasi yang tertatih-tatih dan penghukuman terhadap pelaku pelanggaran syari’at yang terlalu tebang pilih.

Ketika pemerintah kemudian abai dalam memperhatikan “sumber daya aparatur” dan “kesadaran masyarakat.” Seolah, persoalan apakah pemerintah mampu menjalankan suatu aturan? Ataukah apakah masyarakat kemudian bersedia untuk mengikuti aturan tersebut? Tidak pernah dijadikan pertimbangan. Dialog syari’at yang menghabiskan “anggaran” di gedung-gedung pemerintahan, di kampus-kampus dan di lembaga-lembaga formal pada akhirnya hanya akan menghasilkan konsep syari’at yang melangit. Akibatnya, kemunculan peraturan baru selalu menimbulkan polemik dan polemik tersebut sering kali tidak mampu diselesaikan.

Sulit kita pastikan apakah sebelum membuat qanun, pemerintah dan pemangku syari’at pernah terjun ke lapangan, melakukan survei, memperhatikan model keislaman di wilayah pinggiran, kawasan pedalaman dan daerah perbatasan? Sulit untuk dipastikan apakah sebelum mengimplementasikan syari’at, pemerintah benar-benar melakukan peninjauan yang dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah, ke luar kawasan Banda Aceh? Sulit untuk dipastikan apakah syari’at Islam yang hari ini dipraktekkan telah direstui bukan saja oleh ulama fikh dan akademisi Islam kampus, tapi juga oleh ulama sufi yang tinggal di luar wilayah Banda Aceh?

Akibatnya, syari’at tidak mampu mengadopsi empat komponen spiritualitas yang mengakar dalam masyarakat Aceh yakni syari’at, tarikat, hakikat dan ma’rifat. Bersyari’at sebagai syari’at pada gilirannya hanya akan mengantarkan narasi keberislaman dalam satu step yaitu step birokratik semata, tanpa sampai kepada kesadaran, substansi dan pengakraban. Dengan kata lain, menghentikan makna syari’at sebatas fikih-birokratik, hanya akan mengkooptasi makna syari’at itu sendiri.

Bersyari’at dari Pinggir

Syari’at dari Pinggir kemudian mencoba hadir untuk memastikan, apakah pergerakan syari’at bersifat bottom up, yaitu aspirasi dari bawah, kemudian diimplementasikan oleh pemimpin, bukan nyanyian para pemimpin (top down) yang kemudian membebani dirinya dan memperburuk suasana hati rakyatnya?. Kita masih ingat bagaimana pemuda Langsa beberapa tahun yang lalu menyerang kantor WH di wilayah tersebut. Atau bagaimana oknum WH di sebuah wilayah tersandung kasus pelecehan dan tindakan amoral.

Kita juga masih ingat bagaimana syari’at menjadi “stigma negatif” yang memperburuk citra Aceh di mata nasional dan internasional. Kita juga dapat melihat bahwa syari’at tidak memberi pengaruh yang signifikan bagi prilaku dan akhlak manusia Aceh. Kita wajib melihat mengapa Aceh gagal menerapkan regulasi syari’at dan lebih jauh lagi, gagal menciptakan kesejahteraan? Artinya kita harus jujur untuk mengakui bahwa kita gagal dalam mengimplementasikan syari’at dan kita harus berani mengevaluasi tanpa perlu malu-malu kucing.

Syari’at Otonom

Dalam sosiologi hukum ada tiga model hukum yang berkembang yaitu hukum represif, hukum otonom dan hukum responsif (Nonet dan Selznick, 2016:18). Hukum represif artinya hukum dibuat bukan berdasarkan kebutuhan masyarakat yang diperintah akan tetapi lebih memperhatikan kepentingan penguasa (Sabian Usman, 2010:06). Adapun hukum otonom artinya hukum yang memuja legalitas (sifat transenden) suatu aturan tanpa memperhatikan perubahan sosiologis yang berkembang. Terakhir, hukum responsif yaitu hukum yang mengimajinasikan sifat responsif yaitu hukum yang merepresentasikan kebutuhan masyarakat yang dilingkupinya (Lihat Meri Andani, 2018). Tujuan hukum responsif adalah untuk membuat hukum menjadi lebih respon terhadap kebutuhan dan perubahan sosial dalam masyarakat (Nonet – Selznick, 2015: 82-83).

Jika mengacu kepada ketiga konsep sosiologi hukum tersebut, maka syari’at Islam di Aceh sepertinya lebih bersifat otonom. Dalam arti, bahwa Syari’at Islam lebih mengutamakan regulasi dan legitimasi semata yang pernah disandarkan kepada aturan masa lalu dan telah pernah dipraktekkan di dunia Islam dalam rentang ruang dan waktu yang berbeda. Syari’at Islam tidak dapat dikatakan sebagai hukum represif karena ia bukan datang dari ide penguasa lokal di Aceh. Buktinya, banyak diantara elit yang diam-diam, enggan dan bahkan menolak untuk menjalankan syari’at. Selain itu, syari’at juga tidak dapat dikatakan sebagai hukum responsif mengingat aturan-aturan yang dibuat masih terkesan janggal dan asing serta kurang mendapat apresiasi dari masyarakat. (Meri Andani, 2018: 27-28).

Syari’at otonom pada gilirannya berangkat dari paradigma tekstual “Seandainya penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa kepada Allah, niscaya dibukakan kepada mereka, berkah dari langit dan bumi.” (Al A’raaf: 96). Sehingga ada kesan bahwa jika teks-teks syari’at ditegakkan, maka otomatis kemakmuran akan datang begitu saja. Darimana datangnya? Tidak ada yang tahu!” Kata Fuad Zakaria, seorang Ulama Mesir (Charles Kurzman: 2001:xliv)

Syari’at otonom kemudian menjadi sangat tidak mengakar. Ia bukan sepenuhnya kehendak dayah, karena bertahun-tahun dayah mempelajari syari’at, dalam prakteknya mereka tidak terlalu terfokus apakah syari’at harus diregulasikan atau tidak? (KBA & Hasbi 2013:94) Justru syari’at kemudian didesain oleh intelektual kampus yang justru, maaf, juga tidak mengerti mengapa regulasi syari’at harus dibuat?

Syari’at otonom kemudian tidak lebih dari re-regulasi hukum-hukum abad pertengahan yang diambil dari fikh syafi’i yang nyatanya juga dibentuk menurut konteks dan situasi yang berbeda. Kenyataannya, paradigma ilahiyat (transedental) lebih mendominasi hukum syari’at daripada aspek muamalat-nya sendiri. Padahal untuk membuat sebuah rancang bangun syari’at, perlu melalui metode historical approach. Karena jika selama ini hukum Islam dianggap sebagai hukum keilahian yang final maka sejatinya ia hanyalah fenomena historis yang terkait dengan realitas sosial (asbabun nuzul atau asbabul wurud) (Akh. Minhaji, 1992: 19-20) Sehingga perlu untuk mengembangkan konsep hukum Islam berbasis pendekatan sejarah dan realitas.

Akhirnya, dengan menetapkan hukum syari’at yang responsif dalam bingkai kesadaran fenomena historis (zaman) dan realitas sosial (makan), syari’at lebih merasuk dalam hati dan fikiran rakyat. Penegakan syari’at dengan memperhatikan kultur dan narasi sufisme yang berkembang, pada gilirannya akan mengembalikan sifat imanensi dalam syari’at. Sehingga, syari’at dapat mendongkrak kualitas moral dan kesejahteraan bukannya menjadi rentetan wajah buruk dan rapor merah bagi pemerintah dan rakyat Aceh.

– Ramli Cibro* –

Ramli Cibro, Penulis Buku Aksiologi Ma’rifah Hamzah Fansuri (2017) dan Dosen Ilmu Agama Islam STIT Hamzah Fansuri – Kota Subulussalam

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Foto featured image diolah digital dengan sumber diambil dari: pixabay.com dan freepik.com

Categories
Diskusi

Aceh Pasca 2005: Ruang Politik untuk Syariat Islam*

Mesjid di pusat kota Beureuneun, Pidie, belum selesai dibangun. Compton yang datang dari Banda Aceh, melihat bangunan itu dari jauh, dan membayangkan perasaan yang sedang dialami oleh Daud Beureuh. Tujuannya datang ke kota itu untuk menemui Daud Beureuh, ulama sekaligus pemimpin politik Aceh. Beureuh sedang gusar dan frustasi. Negeri yang dia bela mati-matian di zaman revolusi fisik, ternyata tidak seiring sejalan dengannya kemudian hari. Compton hendak melihat kegusaran itu dari dekat. Kegusaran, yang dibaca dari Jakarta akan menimbulkan gesekan yang tidak kecil.

Dari dekat, Compton menyaksikan, Daud Beureueh yang ditemuinya lebih mirip pensiunan tentara ketimbang ahli agama. Badannya kurus dan kokoh. Compton memperhatikan betul gesture pemimpin yang paling dihormati sejak tahun 1930-an itu. Memperhatikan apa yang akan dilakukannya ketika Aceh yang berjasa, tidak mendapatkan balasan setimpal. Balasan yang diyakini oleh pemimpin Aceh kala itu, dapat mengembalikan daerah ini jaya seperti dalam masa lalunya

“Kami ingin Aceh ini seperti zaman Iskandar Muda,” kata Daud Beureuh dengan masygul. Ucapan disampaikannya dengan mendalam, sampai-sampai membuat pengikutnya yang hadir pada pertemuan itu menjadi menjadi kikuk.

Fragmen menarik ini dapat dibaca di buku Boyd R. Compton, Kemelut Demokrasi Liberal: Surat-surat Rahasia Boyd R. Compton (1992). Buku yang diterbitkan oleh LP3ES ini adalah kesaksiannya, atas peristiwa politik di zaman ketika nasion sedang dibangun. Buku ini memuat banyak cerita, tentang hiruk pikuk politik. Tentang Aceh dan Daud Beureuh. Mengenai Sukarno. Islam yang terus mencari jalan. Dan, Indonesia yang terus mencari keseimbangan. Buku yang sebenarnya berasal dari surat-suratnya itu, kemudian menjadi warisan Compton.

Compton berada di Indonesia untuk menyelesaikan studinya, namun gagal. Sehingga dia tidak dikenal sebagai ahli politik. Namun surat suratnya itu menjadi penting karena menjelaskan hal yang luput dari peneliti lain tentang Indonesia.

“Kendatipun Compton gagal menulis disertasinya — analisa-analisa politik Indonesia tahun lima puluhan –dalam bentuk surat-surat panjangnya –toh sangat berharga untuk disimak,” tulis Fachry Ali dalam pengantarnya.

Dari Compton kita melihat Beureuh sebagai perwujudan imaji terdalam dalam masyarakat Aceh: bahwa kembali ke masa lalunya yang agong adalah pra-syarat untuk kemajuan di masa mendatang. Iskandar Muda tentunya dimaknai sebagai raja besar yang memiliki kekuatan dan menjalankan syariat Islam. Apalagi dengan cerita, bahwa dia telah menghukum putera mahkotanya, karena melanggar syariah. Sebuah tindakan heroik yang dikenang melalui hadih maja “mate aneuk meupat jeurat, gadoh adat pat ta mita.” Adat di sini ditafsirkan sebagai penegakan syariah Islam.


Aceh oleh generasi Beureuh dibangun dengan imaji dan ingatan kolektif mengenai Islam, ketika generasi Beureuh berada di zaman yang saling silang. Hal yang diakibat bertemunya Aceh dengan kemajuan yang dibawa oleh bangsa Barat atas praktik kolonialisme. Perjumpaan itu yang dinamakan dengan modernisme. Sebuah ide yang menolak dan mengambil dari Barat sekaligus. Dari jalan Barat, generasi Beureuh memahami tentang Aceh yang baru. Lalu membangun apa yang diyakini dari masa lalunya; Islam. Tanpa Islam, maka bukan Aceh. Konstruksi itu dilakukan dengan baik oleh generasi Beureuh, dan diceritakan melalui kisah epos perang suci Aceh melawan Belanda, yang diwakili sosok Tgk. Chik di Tiro.

T.A. Talsya, wartawan cum sasterawan menyebut sosok ini yang memiliki perasaan meluap-luap untuk memimpin perjuangan melawan kaphe Belanda. “Dengan penuh kesadaran dan semangat anti Belanda (kafir) yang melupa-luap, beliau bersedia untuk memimpin perjuangan suci ini,” tulisnya.

Sosok ini pula yang menjadi inspirasi generasi Beureuh ketika mengobarkan semangat jihad, melalui maklumat ulama, 15-10-1945, untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan Indonesia,

“…bahwa perjuangan ini adalah sebagai sambungan perjuangan dahulu di Aceh yang dipimpin oleh Almarhum Tgk. Chik di Tiro dan pahlawan-pahlawan kebangsaan yang lain.” (Hasjmy, 1984)

Bahkan atas nama Tgk. Chik di Tiro pula, PUSA menyusun sebuah memorandum politiknya, di tahun 1950, mengenai keabsahan ulama untuk memegang posisi kepemimpinan di Aceh yang kosong, akibat perang yang berkecamuk.

“…Karena itu, pendirian PUSA adalah jawaban terhadap kekosongan kepemimpinan. Maka PUSA mengambil alih kepemimpinan Aceh. Berdasarkan kenyataan bahwa ulama Tiro yang akhirnya memegang hak kepala negara Aceh, kebangkitan PUSA sebagai organisasi ulama telah sekaligus menjadi pewaris langsung dari kekuasaan sultan.” (Ali dkk, 2008)

Namun ironi, dengan nama Tgk. Chik di Tiro pula, Sukarno meyakinkan Daud Beureueh untuk mempertahankan proklamasi 1945. Bahwa peperangan yang berkobar-kobar dalam revolusi nasional, merupakan maksud perang yang digelorakan oleh Tgk. Chik di Tiro.

”Kakak! Memang yang saya maksudkan adalah perang yang seperti telah dikobarkan oleh pahlawan-pahlawan Aceh yang terkenal seperti Tgk. Chik di Tiro dan lain-lain…” Pungkas Sukarno dalam dialognya dengan Daud Beureuh di tahun 1947 (El Ibrahimy, 1984).

Disebut ironi karena fragmen itulah yang menjadi titik anjak kemarahan berdekade antara Aceh dengan Jakarta. Maksud Aceh membantu mempertahankan proklamasi kemerdekaan Indonesia, guna mengembalikan Islam di Aceh seperti zaman Iskandar Muda. Dan apa yang telah ditunjukkan oleh Tgk. Chik di Tiro dalam peperangan suci. Namun yang terjadi, Aceh dilebur ke dalam provinsi Sumatera Utara. Hal yang kemudian memulai narasi perlawanan Aceh terhadap Jakarta.

Perlawanan pertama melalui Darul Islam, dipimpin oleh Daud Beureuh. Meletus tahun 1953 dan berhenti di tahun 1962, melalui upaya damai dan bermartabat, baik melalui Ikrar Lamteh dan Kongres Kerukunan Rakyat Aceh. Darul Islam adalah gerakan politik menuntut apa yang belum diberikan, hak untuk melaksanakan Syariat Islam. Hak tersebut diberikan melalui skema Daerah Istimewa Aceh.

Perlawanan kedua, melalui Gerakan Aceh Merdeka, 1976-2005, dipimpin oleh murid Daud Beureuh, Hasan Tiro. Berbeda dengan Darul Islam, perlawanan kali ini adanya perpindahan gagasan, dari islamisme ke (etno)nasionalisme. Gagasan yang dibangun dengan letupan bedil itu, akhirnya juga berhenti di meja perundingan. Berdamai di Helsinki. Lalu, kembali, otonomi khusus diberikan untuk Aceh. Perbedaannya, kali ini lebih besar wewenangnya yang diberikan, dibandingkan setelah penyelesaian peristiwa Darul Islam. Ada kebebasan untuk menampilkan eskpresi politik dan budaya lokal, penguasaan sumber daya alam, pembagian alokasi dana yang lebih besar dan wewenang luas untuk melaksanakan syariat Islam.

Pendeknya, perdamaian dari Helsinki telah membuka ruang politik yang lebar untuk segala ekspresi yang ada. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa ide Syariat Islam malah semakin mendapatkan ruang politiknya, paska 2005, di saat ruang itu dibuka oleh gerakan yang tidak mengusung gagasan islamisme.


Tulisan ini[ref]Bagian ini telah dipublikasi di http://www.bung-alkaf.com/2017/12/08/gam-setelah-41-tahun-demokrasi-dan-ruang-politik-untuk-syariah/[/ref] hendak menjawab pertanyaan di atas melalui penelusuran secara genealogis.

Sejak memasuki abad kontemporer, Aceh telah membuka ruang untuk melakukan perbincangan antara gagasan Islam dengan nasionalisme. Cita-cita mengenai kejayaan Islam Aceh di masa lampau, kemudian dicoba terapkan dalam eksperimen politik modern. Melalui pertemuan dengan gagasan baru yang bernama Indonesia. Untuk itu, Aceh menjadikan Islam persyaratan utama ketika mendukung proklamasi Indonesia. Sehingga ketika Darul Islam Aceh itu terjadi, hal tersebut haruslah dilihat sebagai ungkapan politik untuk memasukkan Islam dalam kehidupan bernegara.

Perjumpaan Islam dan nasionalisme menjadi lebih tajam, ketika Hasan Tiro melakukan revisi terhadap gagasan kebangsaan Indonesia. Dia memasuki, bahkan berpindah dari gagasan islamisme kepada apa yaang disebut sebagai etnonasionalisme (Damanik, 2010). Untuk memperkuat gagasannya itu, Tiro menjadikan analisa sejarah dan hukum sebagai dasar pijakannya (Ali dkk, 2008).

Dua seting politik di atas penting sebagai cara membaca Aceh lebih utuh. Apalagi wajah Aceh tidak lagi sama setelah 41 tahun GAM dan 12 tahun kesepakatan damai di Helsinki. Perdamaian politik Helsinki itu telah menghentikan cita-cita kemerdekaan GAM dan berganti dengan jalan demokrasi.

Namun, ternyata, demokrasi memunculkan masalah berikutnya.

Ketika demokrasi hanya meniscayakan satu hal, yaitu, diskursif, ternyata tidak dapat diikuti sepenuhnya oleh para mantan kombatan. Karena demokrasi menyediakan ruang deliberatif, meminjam frasa dari Habermas, yang memungkinkan setiap ide, gagasan melalui proses yang diskursif dan melewati uji publik (Hardiman 2009).

Demokrasi yang meniscayakan diskursif dan uji publik demikian, tidak dikenal dalam tradisi pergerakan politik Aceh Merdeka. Demokrasi jelas menghendaki ruang percakapan publik yang luas, tentu tidak efektif dalam masa perang. Sebab perang, harus dibangun dengan agitasi dan propaganda. Sehingga yang terjadi adalah mantan kombatan, yang sudah berpolitik itu, malah gagal memanfaatkan ruang politik yang terbuka lebar sejak tahun 2005.

Dalam keadaan demikianlah, kita kemudian dapat mulai memahami, mengapa gagasan etnonasionalisme, sebagai ide utama organisasi GAM, itu kalah dengan gagasan islamisme, yang merupakan ide utama di Aceh sejak zaman revolusi nasional. Padahal, kedua topik pernah itu menjadi perdebatan sengit di masa-masa awal reformasi, tentang apakah Aceh lebih menghendaki formalisasi hukum syariah atau keadilan (baca: merdeka).

Formalisasi hukum syariah sendiri merupakan gagasan yang lama mengendap setelah berakhirnya peristiwa Darul Islam Aceh, yang terus dicoba dalam berbagai kebijakan pelaksanaan hukum syariah. Misalnya, apa yang dilakukan oleh Gubernur Hasby Wahidy, yang pernah menjadi aktivis pemuda PUSA , dengan membentuk Biro Unsur-Unsur Syariat Islam di tahun, yang berujung pada pergantiannya oleh Pemerintah Pusat oleh Muzakkir Walad di tahun 1968 (Nashir, 2013). Namun, cara rezim Orde Baru menangani Aceh demikian, dalam pandangan Sjamsuddin (1989) telah membuat Beureuh kecewa. Lalu, karena sentimen itulah terjadi perjumpaan antara veteran Darul Islam dengan Hasan Tiro, yang lebih menjadikan isu pengelolaan kekayaan alam, sebagai bentuk ketidakadilan Pemerintah Pusat kepada Aceh, sebagai alasan untuk melakukan perlawanan kembali.

Namun, ketika Tiro mulai bergerak kepada gagasan etnonasionalisme, ide islamisme masih kuat mengendap di kepala elite politik dan intelektual Aceh. Kelompok bahkan bergerak dari tengah untuk mendorong agenda politiknya itu.

Oleh elite politik, hal itu ditunjukkan dengan mendukung penuh kepada PPP untuk mengalahkan dominasi Golkar. Dukungan kepada PPP dijadikan sebagai tempat pertujukan komitmen Aceh terhadap Islam (Ali, 1996). Sedangkan oleh golongan intelektual, yaitu para sarjana dari IAIN Ar Raniry, Darussalam, lebih mengisi ruang-ruang birokrasi, seperti menjadi pengajar di perguruan tinggi, bekerja di Kementerian Agama dan menjadi pengurus di Majelis Ulama Indonesia. Selanjutnya gagasan-gagasan tentang Islam juga mendapatkan ruang diskursusnyanya di media Sinar Darussalam, sebuah majalah ilmiah yang terbit secara rutin sejak tahun 1969 sampai akhir tahun 1990-an.

Proses yang sistematis dari golongan elite politik dan intelektual tersebut, kemudian ikut menjelaskan mengapa setelah Aceh mendapatkan otonomi khusus di tahun 2001, untuk menjalankan Syariat Islam, maka produk hukum di bidang aqidah, ibadah, syiar Islam dan jinayah mampu dilahirkan dengan cepat.

Lalu, ketika ide islamisme bergerak dari tengah, di saat yang bersamaan, gagasan etnonasionalisme berada di pinggiran. Di saat pendukung gagasan islamisme menulis buku yang sistematis, mengadakan pengajaran dan seminar secara regular. Pendukung gagasan etnonasionalisme hanya mampu berpidato di tempat terpencil, mendengar ceramah dari kaset secara diam-diam, mencetak pamflet dan mengedarkan stensilan ceramah secara terbatas. Baru setelah rezim Orde Baru tumbang, ada peluang politik untuk membangun framing tentang etnonasioanalisme secara luas.

Ada euforia di sana-sini. Salah satunya dengan aksi-aksi kolosal, seperti referendum, mogok massal dan perayaan hari milad GAM secara terbuka. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama. Operasi militer dari pemerintah pusat berhasil membuat gagasan etnonasionalisme kembali ke pinggir. Bahkan setelah MoU Helsinki pun tidak mampu membawa gagasan itu kembali ke tengah, hatta mantan kombatan menduduki posisi politik yang strategis di Aceh.

Bahkan kini, produk hukum syariah lebih banyak lahir dan mendapat sambutan masyarakat, seperti Jinayah dan Hukum Acara Jinayah, Bank Syariah, Dinas Dayah dan keterlibatan ulama dalam memberi pertimbangan pada setiap kebijakan. Berbanding terbalik dengan produk hukum bercorak etnonasionalisme yang tidak mendapat dukungan penuh bahkan memunculkan riak-riak perlawanan, seperti kelembagaan Wali Nanggroe, bendera, lambang dan himne Aceh.

Perubahan sosial politik ini tentulah tidak ajeg. Namun bila ditelusuri secara genealogis, dapat dikatakan, bahwa gagasan islamisme dalam bentuk formalisasi hukum Islam di Aceh, telah memenangkan pertarungan narasi. Dan akan semakin kuat posisinya dalam membentuk identitas politik dan budaya di Aceh di kemudian hari.

* Makalah ini disampaikan pada diskusi Friday Forum IAIN Langsa, 2 Maret 2018

 

Gambar sebelum olah digital diambil dari : republika.co.id.

Categories
Penulis Tamu

MEMBEDAH NALAR SYARI

Tulisan ini hendak menjelaskan tiga persoalan penting. Pertama, adalah implementasi syari’at Islam yang sejauh penulis amati masih jauh dari kesempurnaan. Pelanggaran syari’at justru semakin tinggi dan masyarakat tidak merasa terlibat dalam wacana syari’at yang ditawarkan oleh pemerintah. Kedua, adanya tanggapan sebagian masyarakat bahwa model keislaman yang dipraktekan sehari-hari oleh masyarakat Aceh belum dapat dikatakan sebagai Islam. Karena dianggap penuh dengan tahayyul dan bid’ah, serta tidak mencerminkan nilai-nilai normatif Al-Qur’an, hadits, dan tradisi ulama-ulama salaf. Ketiga, adanya kesan pemisahan antara ‘Agama’ dan ‘Budaya.’ Dimana dalam tatanan praktis-nya, keduanya dipisahkan dalam dua diktum yang berbeda. Agama berjalan sendiri dan budaya berjalan sendiri. Agama adalah urusan agama, dan budaya adalah persoalan budaya.

Categories
Penulis Tamu

Dari Soekarno Kepada Umat Islam

“…Kita berkata, 90% daripada kita beragama Islam, tetapi lihatlah dalam sidang ini, berapa persen yang memberikan suaranya kepada Islam? Maaf seribu maaf, saya tanya hal itu! Bagi saya hal itu adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan rakyat…” – Soekarno, dalam sidang BPUPK, 1 Juni 1945