Categories
Penulis Tamu

PETANI ACEH DAN KESADARAN KELAS

Masyarakat Aceh adalah masyarakat agraria. Alasannya, mayoritas rakyat Aceh adalah petani. Sektor pertanian menyerap 44.09 persen tenaga kerja di Aceh (BPS 2015). Tulang punggung ekonomi rakyat adalah pertanian. Konsekuensinya, kesejahteraan petani berarti kesejahteraan Aceh. Petani miskin artinya Aceh miskin. Pertanyaannya kemudian: kenapa petani di Aceh terus-terusan miskin?

Banyak ahli dan orang pintar yang telah memberikan argumen tentang penyebab kemiskinan di kalangan petani. Jawaban yang paling sering didengar adalah tidak adanya kepedulian pemerintah terhadap nasib petani. Pemerintah Aceh bukannya tidak tahu cara mensejahterakan petani. Sudah banyak alumni dalam dan luar negeri yang memberikan saran agar agraria di Aceh maju dan petaninya makmur sentosa. Hanya saja elit pemerintah tak mau tahu dan tak mau berbuat. Kita sebut saja pendapat ini sebagai political will argument.

Pendapat kedua adalah soal kepemilikan luas lahan. Rata-rata petani di Aceh hanya memiliki luas area pertanian kurang dari satu-setengah hektar. Hitung-hitungannya, menurut mantan menteri pertanian Suswono, 1 hektar lahan pertanian akan menghasilkan laba bersih 6 juta perbulannya. Karena petani di Aceh punya lahan kurang dari setengah hektar, bisa dihitung pendapatannya kurang dari 3 juta perbulan. Solusi dari persoalan ini adalah inovasi pertanian, yakni membuat lahan yang sempit mampu memproduksi padi berkali-kali lipat. Misalkan saja sistem vertikultur, pemanfaatan lahan bisa sampai empat kali lipat. Kembali lagi, ini persoalan kemauan pemerintah untuk menginovasi pertanian di Aceh.

Alasan ketiga penyebab petani di Aceh miskin adalah karena masalah kultural. Yakni etos kerja petani di Aceh rendah, tapi gaya hidup mereka mahal. Beberapa studi tahun 1980-an ada yang membandingkan petani Aceh dengan petani asal luar Aceh (imigran), ternyata petani imigran hidupnya lebih giat bekerja dan gemar menabung, sehingga hidup mereka lebih sejahtera. Tentu saja kesimpulan penelitian ini bisa didebat, tapi fenomena ini memang ada.

Saya berpendapat bahwa ketiga argumentasi di atas tak lengkap. Mereka melupakan dimensi ekonomi-politik di persoalan agraria di Aceh. Yakni tidak adanya kesadaran kelas di kalangan petani Aceh. Ini bisa dilihat dari fakta lapangan bahwa tidak ada perkumpulan petani yang solid, kokoh, mandiri, dan militan di Aceh. Organisasi petani memang ada, tapi lemah dan tidak terorganisir dengan baik. Bahkan ada beberapa organisasi petani justru berafiliasi dengan elit penguasa. Akibatnya, tidak ada demonstrasi petani besar-besaran saat uang APBA digunakan elit penguasa untuk membeli mobil dinas yang mewah, sementara irigasi atau benih untuk petani tidak ada yang peduli. Petani gagal panen karena kekeringan dikatakan secara gampang disebabkan faktor alam. Tak ada usaha gigih dari pemerintah untuk berinovasi membangun sistem pengairan yang mantap atau melakukan hujan buatan.

Kekosongan ‘kesadaran kelas’ petani inilah yang membuat kelas penguasa bisa seenaknya melupakan nasib petani. Toh, petani tak akan melawan. Anggaran lebih banyak dihabiskan untuk membangun infrastruktur yang menguntungkan kontraktor bangunan. Ini terjadi karena banyak dari politisi Aceh sendiri memang kontraktor atau memiliki hubungan dekat dengan kontraktor. Berbeda dengan kelas petani, penguasa Aceh tak memiliki kepentingan untuk menghabiskan dana anggaran untuk para petani. Oleh karena itu, kelas petani yang lemah dan tidak kritis justru menguntungkan elit penguasa dan predator anggaran. Bahkan demi kepentingan mereka, kelas petani perlu dibuat lemah dan terpecah secara politik.

Pertanyaannya kemudian, apa yang membuat petani di Aceh tidak memiliki ‘kesadaran kelas’? Alasan utamanya adalah karena ide-ide kritis-progresif tidak hidup di masyarakat kita, terutama di masyarakat bawah. Tak ada narasi dikalangan petani bahwa mereka miskin bukan karena takdir mereka miskin, tapi karena struktur kekuasaanlah yang membuat mereka miskin. Mereka miskin karena dilupakan penguasa dan mereka dilupakan karena mereka lemah secara politik. Mereka, sebagai pemilik sah negeri ini, terasing dari kebijakan-kebijakan anggaran dan publik yang diambil elit penguasa.

Narasi ide yang dominan di Aceh ada dua, yakni narasi agama dan narasi etno-nasionalisme. Pengusung dua narasi itu pun sama sekali tidak menghidupkan kesadaran kelas di kalangan petani. Para agamawan menghidupkan sentimen keagamaan dan mobilisasi massa untuk hal-hal tidak substantif seperti memegang tongkat saat khutbah jumat. Seolah-olah rakyat miskin karena tidak menganut paham atau mazhab tertentu. Tak ada khutbah atau ceramah yang menggelorakan semangat perlawanan terhadap elit yang korup dan yang tak peduli para petani.

Golongan etno-nasionalis memobilisasi emosi massa untuk soal seperti bendera, lambang, atau himne Aceh. Tak ada narasi bahwa harkat dan martabat Aceh berdiri tegak jika petaninya mandiri dan pemimpinnya peduli pada nasib petani. Tak ada orasi bahwa kejayaan Aceh ditentukan oleh kelas petani yang makmur, atau jika Aceh telah menjadi daerah agro-industri dan pengekspor hasil olah pertanian.

Oleh karena itu, yang perlu dilakukan adalah memasukkan kesadaran kelas dalam narasi keagamaan dan politik identitas kita sebagai orang Aceh. Petani Aceh perlu disadarkan secara politik bahwa mereka berhak dilayani penguasa. Jika penguasa tak memperdulikan mereka, para petani harus mengorganisir diri mereka untuk melakukan aksi protes massa agar didengar. Mereka perlu dididik secara politik, diajari cara berorganisasi dan mengadvokasi. Petani Aceh perlu juga berkoalisi dengan kelompok nelayan dan buruh, menekan pemerintah agar lebih peduli pada nasib kehidupan mereka.

Salah satu alasan mengapa kehidupan petani diluar negeri sejahtera, Australia misalnya, karena mereka berorganisasi secara kuat dan solid. Mereka mampu dalam memaksa pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mendorong sektor pertanian menjadi maju. Oleh sebab itu, petani di Aceh tak boleh membiarkan dana otonomi khusus dinikmati oleh kalangan elit politisi, sementara rakyat bawah kelaparan dalam kemiskinan.

Persoalannya kemudian, siapa yang berperan untuk membangun kesadaran politik para petani, mengajarkan mereka untuk berorganisasi dan beradvokasi? Disinilah peran intelektual diperlukan. Sayangnya, elit intelektual kita lebih senang jika menjadi staf ahli atau konsultan para politisi. Mereka menghabiskan waktu dan ilmunya agar politisi menang pemilu, lalu diam jika kebijakan politisi menginjak-injak masyarakat bawah. Padahal yang perlu didampingi dengan ilmu dan keterampilan mereka adalah masyarakat kelas bawah itu, yakni para petani, buruh, dan nelayan di Aceh. Tuhan tidak akan mengubah nasib petani Aceh sebelum mereka mengubah nasibnya sendiri. Petani di seluruh Aceh, bersatulah!

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Sumber Foto sebelum olah digital : beritasumut.com

Categories
Penulis Tamu

Oasis Perumusan Agapol

Dapat dipastikan bahwa kajian dan permasalahan tentang agama dan politik tidak akan pernah habis selama manusia masih beraktivitas di permukaan bumi. Ontologi aktivitas manusia secara tidak langsung bersinggungan dengan berbagai kompleksitas alam semesta. Sebagai ciptakan Allah Swt. Alam semesta tidak mampu menjelaskan dan memberi informasi (iktibar) kepada manusia sebagai khalifah di permukaan bumi, dan manusiapun dengan kecanggihan akalnya juga tidak mampu untuk memahami hakikat Alam semesta. Kompleksitas alam semesta tersebut diartikan sebagai nilai-nilai ilahiah yang dapat bersentuhan dengan manusia, baik dalam bentuk teoritis (abstrak) maupun dalam bentuk praktis (konkret). Dalam bentuk teoritis misalnya studi tentang keagamaan, politik, ekonomi, sosial hingga kesehatan. Dan dalam bentuk praktis misalnya teknik cara beribadah atau kemampuan dalam beradaptasi dengan lingkungan.

Categories
Penulis Tamu

TUHAN DAN SEJARAH AKHLAK PEMBEBASAN

Sejarah perkembangan Islam pada dasarnya tidak pernah terlepas dari tindakan-tindakan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat dalam upaya membentuk karakter akhlaqul karimah pada umatnya. Mengingat pentingnya misi ini, Nabi bersabda bahwa “Sesungguhnya Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia”. Nilai inilah yang selanjutnya melatari setiap tindakan Rasulullah dalam menyampaikan syiar Islam pada zamannya. Bahkan ketinggian nilai akhlak dalam hal tertentu dapat mengenyampingkan aspek teologi demi perdamaian dan toleransi, seperti yang telah terukir dengan baik dalam sejarah perjanjian Hudaibiyah.

Peristiwa perjanjian hudaibiyah ini terjadi pada tahun 628 M. Pada saat itu Rasulullah bersama rombongan sedang dalam perjalanan menuju Madinah untuk menunaikan ibadah haji. Namun kondisi kekhawatiran dan kesulitan menghinggapi umat muslim yang ikut bersama Rasulullah, karena pada saat itu kota Mekkah masih dikuasai sepenuhnya oleh kaum penentang dari Suku Quraisy. Menyadari hal ini dalam menempuh perjalanan dari Madinah ke Mekkah Rasululullah telah menyiapkan beberapa strategi khusus untuk mencegah timbulnya peperangan dengan kaum Quraisy yang tidak rela kaum muslimin memasuki kota mekkah. Untuk itu Rasulullah menerapkan beberapa strategi, Pertama, Memilih rute perjalanan yang tidak menimbulkan kecurigaan kaum penentang dari suku Quraisy. Kedua, Kendaraan yang ditunggangi untuk perjalanan ke Mekkah diberikan tanda khusus agar tidak dicurigai sebagai kendaraan perang. Ketiga, Rasulullah juga memerintahkan agar seluruh pedang yang dibawa agar disarungkan. Hal ini untuk menunjukkan bahwa kedatangan kaum muslimin tidak bermaksud untuk berperang, melainkan untuk beribadah semata. Namun ketika akan sampai kota Mekkah, Rombongan Rasulullah dihalangi oleh kaum penentang dan tidak mengizinkan mereka masuk ke Mekkah. Melihat hal tersebut, untuk menghindari peperangan akhirnya Rasulullah atas saran Umar Bin Khattab mengutus Usman Bin Affan untuk menemui Abu Sufyan, perwakilan dari kelompok penentang untuk menjelaskan bahwa maksud kedatangan kaum muslimin hanya untuk beribadah. Namun perundingan itu gagal, karena Abu Sufyan tetap melarang kaum muslimin memasuki kota mekkah.

Selanjutnya perundingan dilanjutkan kembali dengan Suhail Bin Amr. Hasil Perjanjian ini awalnya mendapat penolakan keras dari para sahabat dan rombongan pada saat itu, karena perjanjian ini dinilai akan sangat merugikan kaum Muslimin. Salah satu butir perjanjian tersebut adalah kaum Quraisy menolak perjanjian itu dimulai dengan kata kata “Bismillahirrahmanirrahim”, Suhail menyebutkan bahwa “kami tidak mengenal Ar-Rahman!” tulis saja seperti biasanya,“bismika allahumma”. Nabi menuruti permintaan Suhail dan meminta Ali menuliskan “bismika allahumma”. Namun Rasulullah juga meminta Ali menambahkan kata kata “hadza ma Qadha ‘alaih Muhammad Rasulullah” (inilah ketetapan muhammad rasulullah). Namun Suhail kembali menolak hal ini, karena ia dan kaumnya tidak mengakui Muhammad sebagai rasulullah, Namun Rasulullah tetap menerima perjanjian tersebut.

Butir perjanjian lainnya yang merugikan adalah gagalnya kaum muslimin menunaikan ibadah haji pada saat itu juga, karena menurut perjanjian ibadah haji baru dapat dilaksanakan tahun depan. Meskipun niat awal kaum muslimin untuk menunaikan ibadah haji pada tahun itu gagal, namun sejarah memperlihatkan bahwa setelah peristiwa perjanjian Hudaibiyah itu, kaum muslimin justru semakin berjaya pada masa-masa selanjutnya.

Kesadaran akan tingginya nilai akhlak tidak hanya bersemayam dalam ajaran Islam saja, melainkan juga mengakar pada agama agama yang menekankan pada spiritualitas seperti halnya Buddha. Tidak sulit bagi kita untuk menemukan samudera kata kata Buddha yang menganjurkan berbuat baik bagi sesama manusia dan alam, menghindari kejahatan dan saling menghormati sesama. Diantara ajaran tersebut dapat dilihat dalam ungkapan “Barangsiapa mencari kebahagiaan dari diri sendiri dengan jalan menganiaya makhluk lain yang juga mendambakan kebahagiaan, maka setelah mati ia tidak akan memperoleh kebahagiaan” (Danda Vagga 3, Dhammapada X; 131).

Pencapaian seluruh aturan “Budi Dharma” dalam ajaran Buddha hanya dapat ditempuh melalui meditasi dan pembersihan diri seperti dinyatakan “Tidak melakukan segala bentuk kejahatan, senantiasa mengembangkan kebajikan, dan membersihkan batin; inilah Ajaran Para Buddha” (Buddha 5, Dhammapada XIV; 183). Bagi Buddhist yang senantiasa memelihara ajaran tersebut maka nilai itu juga akan tertanam sampai kapanpun. Dalam lintas sejarah kemanusiaan, nilai ini telah banyak dipraktikkan oleh tokoh tokoh spiritual Buddha, seperti halnya Dalai Lama. Pada Tahun 1950 pada saat China menduduki Tibet, masyarakat Tibet seringkali menerima kekerasan dan penganiayaan dari tentara China. Sikap kekerasan tersebut tidak diladeni oleh Dalai Lama XIV, karena berpegang teguh pada ajaran Buddha yang melarang melakukan kekerasan. Namun perlawanan diplomatis tetap dilakukan Dalai Lama selama kurang lebih empat puluh tahun lamanya. Pada tahun 1950 Dalai Lama secara resmi menduduki tahta kepemimpinan tertinggi baik secara spiritual maupun temporal bagi 6 juta rakyat Tibet. Karena situasi pendudukan dan penganiayaan tentara RRC terhadap rakyat Tibet, Dalai yang ketika itu berusia 15 tahun memutuskan untuk mengakhiri konflik dengan cara diplomasi. Dalai Lama mengutus delegasi ke berbagai Negara seperti Amerika, Inggris, Nepal dan termasuk RRC sendiri. Namun upaya upaya itu gagal membuahkan hasil. Pada 17 maret 1959 muncul desas desus akan ada serangan baru dari tentara China melalui udara, sehingga Dalai Lama terpaksa mengasingkan diri ke India.

Untuk mencegah terjadinya kekerasan yang berlarut larut, Dalai Lama memutuskan untuk mengeluarkan lima poin resolusi konflik kepada Amerika, diantara point penting tersebut Dalai Lama meminta agar seluruh Tibet dijadikan sebagai wilayah ahimsa (zona tanpa kekerasan), menghormati hak azasi manusia warga Tibet, serta mendorong berlangsungnya negosiasi dan dialog antara Tibet dan masyarakat China. Pasca resolusi tersebut, dukungan dunia mulai mengalir dan ketegangan antara China dan Tibet mulai sedikit mereda. Atas usaha-usahanya menghindari kekerasan dan mendorong perdamaian dunia, Tenzin Gyatso (Dalai Lama XIV) memperoleh penghargaan Nobel Perdamaian pada Tahun 1989. Dalam konteks peristiwa aktual, untuk kasus Konflik umat Buddha dan Muslim Rohingnya, Dalai lama XIV melalui surat kabar The Australian telah berulang kali meminta Aung San Suu Kyi untuk membantu dan berbuat lebih banyak untuk muslim Rohingnya. Dalam suratkabar tersebut ia juga menyebutkan “Ada yang salah dengan cara manusia berpikir, pada akhirnya kita kurang peduli dengan kehidupan orang lain”.

Demikian juga halnya dengan dengan beberapa agama lainnya di dunia, seperti Yahudi dan Kristen. Meski bagi sebagian besar umat Islam memiliki sikap antipati terhadap Yahudi, namun tentu tidak semua umat yahudi pro terhadap zionisme dan kekerasan. Kesadaran ini telah diwujudkan dalam lensa sejarah dunia oleh sekumpulan Rabi Yahudi Ortodoks yang bermukim di Amerika Serikat untuk mengkampanyekan anti zionisme dan kekerasan.

Para Tokoh agama Yahudi ini berkumpul dalam suatu wadah organisasi yang bernama “Neturei Karta”, Organisasi ini telah berdiri mulai tahun 1935 yang dipelopori oleh Rabi Yisroel Ben Eliezer. Juru bicara Neturei Karta, Rabi Yisroel Dovid Weiss menyebutkan bahwa “Zionisme” tidak sama dengan “Yudaisme”. Bagi Yisroel, zionisme merupakan tindakan yang telah mengotori dinding ratapan. Yisroel bersama Rabi lainnya juga secara aktif mengkampanyekan gerakan anti zionisme ke berbagai Negara, termasuk Iran dan Indonesia. Selain itu mereka juga menjumpai tokoh tokoh agama muslim untuk menjalin persahabatan dan persaudaraan global.

Tidak jauh berbeda dengan itu, dikalangan umat kristiani juga telah banyak bermunculan tokoh tokoh perdamaian antar umat beragama seperti Dr. Paul Marshall, Pdt. Stephen Tong, Pdt. Benyamin F Intan dan yang cukup popular di Indonesia Franz Magnis Suseno. Mereka ini secara aktif terus menerus menyuarakan perdamaian dan toleransi antar umat beragama. Menurut Pdt. Benyamin F Intan berbuat kebajikan dan mendorong perdamaian merupakan perintah kitab suci injil seperti yang tertuang dalam Efesus 2 : 10 ; “Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan perbuatan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya”.

Pemaparan kisah sejarah diatas tentu saja bukanlah suatu upaya menghubung-hubungkan penggalan sejarah yang ada, tapi secara lebih mendasar ia merupakan suatu susunan mosaik yang membantu kita memahami makna khsusus dari kesatuan penggalan sejarah tersebut. Dari latar belakang sejarah ini, kita melihat bahwa diatas segala perbedaan yang ada, perdamaian dan toleransi adalah metode paling religius dalam upaya menghadirkan nilai nilai Tuhan di muka bumi. Jika setiap orang bisa berbeda dengan yang lainnya baik dari sisi ideologi maupun agama karena menggunakan hak kebebasan individualnya masing masing, maka tanpa adanya kebebasan dapat dipastikan tidak ada satupun pemahaman yang muncul.

Setiap manusia, apapun latar belakang hidup dan agamanya, memiliki hasrat manusiawi untuk mengetahui sesuatu yang benar. Agama yang benar, sistem politik yang benar, ekonomi yang benar dan berbagai konsep kebenaran lainnya. Karena itu, Untuk mengetahui sesuatu disebut benar atau tidak, pertama-tama manusia harus memiliki setidak tidaknya kebebasan bagi diri individunya untuk mencari dan memahami segala sesuatu, sehingga dengan memanfaatkan kebebasan yang ada dalam dirinya tersebut, setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh kebenaran hidup. Oleh sebab itu, Tuhan Yang Maha Bijaksana telah menganugerahkan kebebasan bagi setiap individu untuk memahami kalamnya yang Agung. Tuhan secara azali telah menyadari bahwa konsekuensi penciptaan makhluk yang beragam akan menimbulkan keragaman pandangan yang berpotensi melahirkan pertikaian. Namun dibalik itu semua, Tuhan telah menurunkan seperangkat pranata sosial suci yang berguna bagi harmonisasi segala keragaman itu, yakni “akhlak”. Kata akhlak dalam bahasa arab berasal dari kata “khalqun” yang terambil dari kata “Khaliq” (pencipta). Hal ini menununjukkan bahwa perilaku akhlak dapat terbentuk sebagai ekses hubungannya dengan sang Khaliq sebagai referen bagi makhluk.

Dari sinilah kita menyadari pentingnya menyemai dimensi spiritual bagi setiap manusia, karena bagi jiwa manusia yang terjebak dalam raga, ia berhenti pada keterbatasannya dan tidak mampu keluar dari ego kebenaran yang ia ciptakan sendiri. Sedangkan dimensi spiritual agama merupakan instrument khusus bagi manusia untuk membebaskan jiwa dari keterkungkungan raga yang terbatas. Melalui jiwa yang telah terbebas inilah manusia mampu membentuk karakater akhlak yang pada gilirannya menciptakan kedamaian dalam keragaman dan sekaligus menjadi rahmat bagi semesta.

– T. Muhammad Jafar Sulaiman* & Zuhri A. Sabri** –

*T. Muhammad Jafar Sulaiman,
Pemikir muda, Pengajar Filsafat Politik
**Zuhri A. Sabri, Alumnus fakultas hukum Universitas Syiah Kuala

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Foto featured image diambil dari: commons.wikimedia.org. dengan lisensi public domain