Categories
Penulis Tamu

UUPA DAN ASAS AUDI ET ALTERAM PARTEM

Asas Audi et Alteram Partem adalah sebuah kalimat bahasa latin yang artinya “dengarkan sisi lain”. Kalimat ini merupakan sebuah ungkapan dalam bidang hukum demi menjaga keadilan. Agar sebuah persidangan berjalan seimbang maka dikenal adanya asas Audi et Alteram Partem yang bermakna “mendengarkan dua belah pihak” atau mendengarkan juga pendapat/argumentasi lain sebelum menjatuhkan suatu putusan agar peradilan dapat berjalan seimbang. Pengertian ini Penulis kutip dalam sebuah buku yang berjudul Hak Uji Materiil yang ditulis oleh Dr. H. Imam Soebechi (mantan Hakim Agung RI). Lantas bagaimana hubungannya dengan Pasal 269 ayat (3) UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) jika dikaitkan dengan dengan penerapan asas ini?. Pasal 269 ayat (3) UUPA menyebutkan “Dalam hal adanya rencana perubahan Undang-Undang ini dilakukan dengan terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapatkan pertimbangan DPRA”. Hal ini akan Penulis uraikan lebih lanjut dengan menggunakan beberapa teori yang relevan khususnya yang berlaku dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam pembentukan atau perubahan suatu undang-undang DPR dan Pemerintah memiliki kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD, maka dari itu setiap pembentukan atau perubahan suatu undang-undang memerlukan persetujuan dari kedua lembaga Negara tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap rancangan Undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”. Yang untuk menjalankannya menjadi tugas Pemerintah sedangkan DPR berperan untuk melakukan pengawasan terkait dengan implementasi suatu undang-undang yang dijalankan oleh Pemerintah. Maka dari itu DPR dan Pemerintah disebut sebagai positif legislator.

Selanjutnya dalam studi Hukum Tata Negara kita juga mengenal adanya Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai salah satu lembaga kekuasaan kehakiman yang kewenangan konstitusionalnya mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Konsekuensi dari putusannya apabila dikabulkan akan berdampak pada perubahan suatu undang-undang, kewenangan MK inilah yang dikenal sebagai negatif legislator yang merupakan antitesa dari positif legislator.

Pasal 8 ayat (2) juncto Pasal 269 ayat (3) UUPA merupakan suatu diskursus menarik untuk diuraikan terkait dengan teori positif legislator dan negatif legislator sebagaimana Penulis kemukakan diatas. Pasal 8 ayat (2) secara gramatikal menyebutkan frasa “rencana pembentukan undang-undang”, sedangkan Pasal 269 ayat (3) secara gramatikal pula menyebutkan frasa “rencana perubahan Undang-Undang ini”. Hemat Penulis Pasal 8 ayat (2) merupakan bagian dari positif legislator, sedangkan Pasal 269 ayat (3) merupakan bagian dari positif legislator dan juga dapat merupakan bagian dari negatif legislator. Karena Pasal 8 ayat (2) lebih menekankan pada rencana pembentukan undang-undang. sedangkan Pasal 269 ayat (3) lebih menekankan pada rencana perubahan undang-undang ini. Yang bunyi lengkapnya dapat kita bandingkan sebagai berikut : Pasal 8 ayat (2), “Rencana pembentukan undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA”. Pasal ini menunjukkan semua RUU yang memiliki hubungan dengan UUPA. Selanjutnya Pasal 269 ayat (3), “Dalam hal adanya rencana perubahan Undang-Undang ini dilakukan dengan terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapatkan pertimbangan DPRA”, Pasal ini menunjukkan khusus dalam kaitannya dengan perubahan UUPA. DPR dapat mengubahnya melalui political review sedangkan MK dapat mengubahnya melalui judicial review.

Dalam perkembangan sistem pemerintahan di Aceh selama ini ada warga masyarakat Aceh yang melakukan uji materiil UUPA ke Mahkamah Konstitusi, diantaranya ada dua yang telah dikabulkan yaitu Pasal 256 terkait dengan calon persorangan dan Pasal 67 ayat (2) huruf g terkait dengan mantan narapidana untuk ikut dalam Pilkada (Putusan Nomor 35/PUU-VIII/2010 dan Nomor 51/PUU-XIV/2016). Dalam kedua putusan tersebut MK tidak meminta keterangan dari DPRA sebagaimana bunyi Pasal Pasal 269 ayat (3). Khusus terkait Putusan Nomor 51/PUU-XIV/2016 (perkara Abdullah Puteh) terkesan MK terlalu menyederhanakan persoalan, karena mengenyampingkan Pasal 54 UU MK sendiri tanpa perlu mendengar keterangan dari DPR dan Pemerintah selaku pembentuk undang-undang, boro-boro meminta keterangan dari DPRA. Kongkritnya dalam perkara tersebut MK telah melakukan perubahan makna Pasal 67 ayat (2) huruf g secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.

Dalam hal ini seyogyanya MK juga dapat mengikutsertakan DPRA agar dapat menggali secara subtantif nilai-nilai yang terkandung dalam UUPA sesuai dengan asas Audi et Alteram Partem (dengarkan sisi lain). Sejauh yang penulis baca kedua putusan tersebut DPRA tidak terlibat sebagai Pihak Terkait yang seharusnya bagian dari sahabat peradilan (amicus curiae). Padahal dalam Pasal 11 UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan perubahannya membuka ruang untuk itu, karena untuk kepentingan pelaksanaan wewenangnya MK dapat memanggil pejabat negara, pejabat pemerintah, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan lisan maupun tertulis termasuk dokumen yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa. Sehingga oleh karena itu tidak jarang dalam praktik beracara MK selain mendengarkan keterangan dari Pemerintah dan DPR juga mendengarkan argumentasi dari Pihak Terkait. Ketentuan Hukum Acara MK sendiri sebenarnya secara jelas mengatur hal ini khususnya ditegaskan dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, expressis verbis menyebutkan Pihak Terkait langsung dapat diberikan hak yang sama dengan Pemohon dalam memberikan keterangan dan alat bukti, apalagi DPRA merupakan pihak yang hak dan/atau kewenangannya terpengaruh langsung oleh pokok permohonan.

Apabila kita membaca dengan seksama kandungan UUPA memang tidak bisa sembarangan untuk mengubahnya. Setidaknya ada beberapa pasal yang mirip antara satu dan lainnya yaitu Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 23 ayat (1) huruf i, Pasal 42 ayat (2) dan Pasal 269 ayat (3). Bila kita renungkan pasal atau norma yang dituangkan secara berulang-ulang pastilah memiliki nilai penting karena dirumuskan dalam suasana yang penuh dengan duka konflik, gempa, dan tsunami. Padahal MK juga memahami dua pasal yang pernah diuji tersebut sangat erat kaitannya dengan Pilkada Aceh, yang dalam uji materiil UU Pemerintahan Daerah dan UU Kekuasaan Kehakiman (Perkara Nomor 97/PUU-XI/2013) sebelumnya MK menegaskan bahwa Pilkada merupakan rezim pemerintahan daerah bukan rezim pemilihan umum, dalam hal ini DPRA adalah lembaga perwakilan rakyat yang secara konstitusional merupakan bagian dari penyelenggara pemerintahan daerah sejatinya harus didengar keterangannya sebagai pihak terkait.

Kesimpulan Penulis memang pengujian undang-undang terhadap UUD merupakan hak konstitusional setiap warga Negara dan putusan pengadilan harus dihormati. Akan tetapi kedepan MK juga harus lebih jeli melihat urgensi kelahiran UUPA dengan menjadi hakim yang aktif sesuai dengan kaidah hukum acara agar dapat menemukan keadilan subtantif sebagaimana yang MK dengungkan selama ini. Selanjutnya para pemangku kepentingan di Aceh khususnya DPRA harus berperan aktif untuk mengajukan diri sebagai Pihak Terkait langsung maupun tidak langsung jika dikemudian hari UUPA kembali di uji materiil, agar tidak satu persatu norma UUPA saling berguguran seperti sekarang ini. Disinilah sejatinya letak penerapan asas Audi et Alteram Partem untuk mendengarkan keterangan pemohon dan pihak terkait secara seimbang. Semoga tulisan ini dapat menjadi sumbangsih pemikiran bagi kita yang masih memiliki kepekaan dan semangat untuk menjaga purifikasi Undang-Undang Pemerintahan Aceh.

– Hesphynosa Risfa, S.H., M.H. –

Hesphynosa Risfa, S.H., M.H., Advokat
(Email : hesphy_nosa@yahoo.co.id)

Sumber :

  1. Buku Hukum Acara Pengujian Undang-Undang (Prof. Jimly Assiddiqie)
  2. Buku Hak Uji Materiil (Dr. H. Imam Soebechi)
  3. UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan perubahannya
  4. UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh
  5. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Sumber foto asli sebelum olah digital: pixabay dengan lisensi CC0.

Categories
Penulis Tamu

Balada Mencari Hakim MK

Dalam perjalanan Amsterdam-Jakarta, setelah mengikuti seminar Internasional, di pesawat saya berkesempatan duduk bersebelahan dengan seorang pakar hukum, profesor terkenal dari kampus negeri di Jakarta. Hampir tiap hari mukanya muncul di media massa. Kualitas, kredibilitas, dan integritasnya tidak diragukan.

Dalam perbincangan yang panjang, kami saling bercerita banyak hal. Salah satunya terkait lowongan hakim konstitusi. Saat itu, saya mendorongnya untuk ikut seleksi. Namun dengan beberapa pertimbangan ia menyatakan: tidak! Satu dari banyak pertimbangan yang diungkapkan adalah terkait seleksi politik yang tidak menentu. Mekanisme like and dislike sangat kental dalam proses itu.

Pembicaraan itu berkisar di penghujung tahun 2014. Setelah itu, saya sendiri akhirnya harus meninggalkan MK untuk sementara waktu, hijrah ke negeri kangguru.

Januari 2017, setelah baru 2 minggu kembali bergabung dengan MK, peristiwa sangat memilukan itu terjadi. Patrialis Akbar, Hakim Konstitusi ditangkap KPK dengan dugaan melakukan tindak pidana korupsi. Sejak saat itu, MK harus menjalankan tugas-tugas konstitusionalnya hanya dengan delapan hakim. Bisa dibayangkan betapa beratnya para hakim MK menyelesaikan perkara-perkara yang masuk, termasuk dalam menyidangkan sengketa Pilkada Serentak seluruh Indonesia saat ini. Biasanya dalam sengketa Pilkada, MK membentuk 3 panel hakim yang masing-masing terdiri dari 3 orang hakim. Namun karena sekarang kosong satu, maka hanya bisa dibentuk 2 panel hakim. Sempat saya menawarkan diri untuk mengisi kekosongan itu, namun tidak dikabulkan. Untuk yang terakhir itu saya hanya bergurau, hehe.

Sampai tulisan ini dibuat, hakim MK belum terpilih. Tadinya saya dan beberapa teman di internal MK, berharap hakim yang baru sudah terpilih sebelum perkara Pilkada Serentak masuk ke MK. Rupanya harapan itu meleset. Memilih hakim konstitusi bukanlah hal yang mudah. Banyak tahapan yang harus dipenuhi oleh Panitia Seleksi (Pansel) yang dibentuk oleh Presiden.

Sampai pendaftaran ditutup, hanya 45 orang yang resmi mendaftar. Dari jumlah itu kemudian dikerucutkan oleh Pansel menjadi 12 kandidat. Itu pun ternyata mengundurkan satu orang, sehingga kandidat tersisa tinggal 11 orang.

Dari nama-nama yang beredar di media, saya bisa mengelompokkan ke dalam tiga kategori: birokrat, praktisi hukum, dan akademisi. Ketiga kategori tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan. Lalu, kategori apa yang dibutuhkan MK saat ini?

Mendaftar, Dukungan Nyata

Berangkat dari peristiwa penangkapan Patrialis Akbar, maka yang sangat dibutuhkan MK saat ini adalah sosok negarawan yang benar-benar negarawan. Sampai saat ini, para ahli sulit untuk mengkategorikan sifat-sifat seorang negarawan.

Ketua MK Prof. Arief Hidayat menyebut negarawan adalah orang sudah selesai dengan hidupnya. Seseorang yang sudah tidak memikirkan untuk kepentingan dirinya. Semua yang dilakukan terpulang untuk bangsa dan negara.

J. Rufus Fears, sebagaimana dikutip oleh Brett & Kate Mckay (2012) menyampaikan 4 kriteria seseorang dikatakan sebagai negarawan: memiliki keteguhan prinsip, bermoralitas, bervisi, dan berjiwa pemimpin.

Pandangan Fears ini pernah saya kupas dalam artikel “Menyederhanakan Negarawan” yang dimuat Majalah Konstitusi Edisi Maret 2017. Dalam artikel tersebut saya sampaikan bahwa sangat sulit mencari seseorang yang pada dirinya melekat 4 kriteria dimaksud. Oleh karenanya, saya mengajukan sedikitnya dua syarat—yang untuk memudahkan pembaca, saya copy paste dalam artikel tersebut—sebagai berikut.

Pertama, moralitas. Seorang hakim konstitusi harus memiliki moral yang cukup tinggi. Banyak cara untuk mengukur moralitas ini. Cara yang paling sederhana, dan mudah untuk dilakukan Pansel adalah dengan melihat perilaku sehari-hari. Pansel tinggal melakukan pengecekan terhadap para calon terkait dengan kehidupan pribadinya.

Hal-hal yang harus ditelusuri, misalnya terkait hubungan sosial sang calon dengan tetangganya, dan keluarganya. Bahkan harus juga diselidiki berapa jumlah istrinya. Berapa istri yang sah, yang remang-remang, dan yang gelap gulita. Dalam hal hubungan dengan Tuhan-nya, penting juga bagi Pansel untuk menelusuri apakah sang calon adalah sosok yang religius, atau bukan.

Selain itu, pansel juga harus menelusuri soal gaya hidup sang calon. Misalnya, terkait dengan pola pembelanjaan uangnya: berapa harga baju yang dia pakai, berapa harga jasnya, berapa harga sepatu-nya, berapa harga tasnya, mobil jenis apa yang ia gunakan. Apakah dia sosok yang suka berfoya-foya: menghabiskan waktunya berjam-jam di restoran-restoran elit, berolah raga di tempat-tempat yang berbiaya mahal seperti golf, atau juga suka nongkrong di tempat hiburan yang berpotensi melanggar susila.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut terkesan terlalu remeh-temeh, dan pribadi. Tetapi menurut saya, belajar dari beberapa kasus karupsi yang mendera MK selama ini, jelas terlihat kaitan antara perilaku sehari-hari dengan potensinya melakukan tindak pidana korupsi. Orang yang hidupnya sederhana, dalam artian yang benar-benar sederhana—bukan pencitraan—akan jauh dari korupsi. Tambahkan Formulir Kontak

Kedua, bervisi. Syarat ini menjadi penting sebab MK adalah lembaga yang sangat strategis. Dalam pundak MK terpanggul tugas sebagai pengawal konstitusi dan demokrasi. Dalam menjalankan tugasnya tersebut, lembaga ini harus mampu memberi tafsir konstitusi yang berimbang antara berbagai kepentingan. Dalam prinsip Triple Helix (meminjam bahasanya Etzkowitz dan Leydersdorff), MK harus mampu menyeimbangkan antara state, market, dan society. Ketiadaan keseimbangan di antara ketiga hal tersebut, diyakini akan berdampak buruk pada keberlangsungan berbangsa dan bernegara.

Oleh karenanya, MK membutuhkan hakim yang bervisi. Dalam penerapan yang paling sederhana bervisi ini harus dimaknai—setidaknya—hakim tersebut bertipe ilmuan. Wujud dari tipe ini, bisa digambarkan sebagai seseorang yang selalu haus dengan ilmu. Tiada hari yang dilewatkan tanpa membaca buku dan menuliskan ide-idenya. Tipe yang selalu sulit tidur karena selalu memikirkan putusan yang akan diambilnya. Ia sadar bahwa putusannya akan berdampak luas pada kehidupan masyarakat. Ia juga sadar bahwa kalau tidak difikirkan secara matang, putusan ini akan bisa mengganggu keberimbangan kehidupan berbangsa dan benegara.

Oleh karena itu, penting bagi Pansel untuk menyelidiki berapa buku yang sudah dibuat. Berapa karya yang sudah dipublikasikan. Buku terbaru apa saja yang sudah dibaca. Dan, tentu saja, berapa bahasa asing yang dikuasai.

***

Dengan menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada semua kandidat, baik yang sudah dicukupkan di tengah jalan, maupun terhadap yang masih berjuang, secara pribadi saya mengucapkan terima kasih. Di mata saya, Anda adalah orang-orang yang nyata, serius, dan kongkrit dalam memberi dukungan untuk kemajuan MK yang lebih baik. Buat apa ber-koar MK harus begini dan begitu, tetapi ciut nyali ketika MK mengundang dan membutuhkan seorang hakim yang berkualitas.

Terkhusus kepada 11 kandidat yang tersisa saat ini, saya melihat semua adalah orang baik dan pilihan. Banyak nama-nama yang sudah dikenal integritas, kualitas, dan moralnya. Sebut saja misalnya, Saldi Isra. Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas ini menurut saya cukup layak dan memenuhi dua kriteria yang diajukan oleh Fears di atas. Mengapa? Karena saya cukup mengenalnya. Sering baca tulisan-tulisannya. Bagi Anda yang belum begitu mengenal, gugling saja sendiri, hehe.

– AB Ghoffar –

AB Ghoffar – Peneliti Mahkamah Konstitusi

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Foto featured image sebelum olah digital diambil dari: batamtoday.