Categories
Penulis Tamu

Anies dan Pribumi

Seperti lagu-lagu dalam film India yang umumnya antara cerita dan nyanyian tidak punya hubungan, begitulah pengutipan pribahasa-pribahasa dari berbagai daerah di Indonesia yang dikutip Anies Baswedan dalam pidato pelantikannya sebagai Gubernur DKI Jakarta baru-baru ini. Tujuan Anies mengutip pribahasa dari berbagai daerah untuk menunjukkan bahwa Jakarta adalah milik seluruh bangsa di Indonesia. Dia ingin menegaskan itu. Dia menegaskannya dengan mengatakan Jakarta adalah melting pot (titik kumpul) bagi seluruh warga Indonesia. Sepertinya istilah itu baru populer setelah buku Islamic Populism in Indonesia and Middle East yang ditulis oleh Vedi R. Hadiz.

Anies dikenal sebagai seorang retoris yang menggunakan bahasa secara sangat sistematis dan efektif. Dia mampu menggunakan diksi yang baik dan pemilihan kosakatanya sangat efektif dan efisien. Tetapi itu dilakukan oleh seorang Anies Baswedan sebagai akademisi. Dan itu tidak terlihat pada Anies Gubernur DKI. Dalam pidato sambutannya itu, kecerdasan Anis terintimidasi oleh hutangnya yang sangat besar. Dia bukan pilihan warga DKI. Dia terpilih hanya karena kaum Islamisme Ibu Kota membenci Ahok. Sebuah kebencian yang muncul dari propaganda Habib Rizik. Padahal secara positif, apa yang diucapkan Ahok adalah sebuah pernyataan abstrak. Tetapi kaum Islamisme menyeretnya ke ranah konkrit.

Menimbang hutang-hutangnya itulah, kecerdasan Anies harus berselingkuh dengan emosionalisme kaum Islamisme. Perselingkuhan itu menghasilkan anak pertama yang sama-sama kita saksikan yakni Pidato Sambutan Anies sebagai Gubernur DKI. Secara keseluruhan pidato Anies itu bagus: masih menunjukkan bekas kecerdasan seorang akademisi cari aman. Tetapi ketika dianalisa secara detail, pidato tersebut adalah dilema. Dilema bagi oratornya. Pada satu sisi Anies ingin mengesankan bahwa dirinya dapat diandalkan oleh seluruh rakyat Indonesia sebagai pemimpin Ibu Kota yang akan mampu memberikan rasa aman, nyaman dan tentram. Dia ingin mengesankan bahwa dirinya adalah orang yang sangat Pancasilais, menghormati dan menjunjung tinggi keberagaman. Pada sisi lain dia ingin sedikit mencicil hutangnya pada kaum Islamisme.

Beberapa pesan yang dapat dikatakan sebagai usaha mencicil hutang adalah dengan menjanjikan ruang seluas-luasnya bagi setiap acara pengajian, sebuah acara yang dibelenggu oleh musuh kaum Islamisme bernama Ahok. Tetapi sepertinya pemberi hutang menuntut banyak. Atau setidaknya Anies merasa harus membayar banyak. Dan stigma keburukan Ahok menurut saya dikiaskan dengan Kolonialisme. Terma Kolonialisme yang beberapa kali diulang Anies secara literal memang bermakna penjajah Belanda dan Jepang. Tapi tidak semua orang Indonesia bodoh. Sebagian besar orang tahu membahas kolonialisme, apalagi di Jakarta tidak relevan lagi. Sehingga orang banyak yang pajam bahwa kolonialisme yang dimaksud adalah rezim-rezim kepemimpinan Jakarta sebelum dirinya. Ketika memakai terma kolonialisme, maka otomatis terma itu menuntut kata ‘pribumi’ sebagai antonimnya.

Merujuk kias, maka pribumi itu adalah dirinya dam kaum Islamisme. Terma ‘pribumi’ otomatis menjadi “santapan” dan “gorengan” pengamat dan kritikus. Terma itu menjadi senjata makan tuan bagi seorang Anies Baswedan. Semua orang tahu bahwa Baswedan adalah marga bagi orang Arab. Sehingga, merujuk kias kembali, maka muncullah kesan pribumi adalah Arab dan Cina adalah Kolonial. Tentu saja ini adalah sebuah bahan tertawaan bagi orang yang bernalar.

Dengan terma-terma analogis yang dipakai Anies, maka itu menuntut orang untuk melihat bahwa pertarungan DKI 2017 adalah pertarungan Arab dan Cina. Merujuk sejarah Batavia dan Indonesia umumnya, persaingan Arab dan Cina adalah salah satu tema utamanya. Pertarungan Cina dan Arab adalah persaingan ekonomi. Pedagang Arab dan pedagang Cina tidak berhenti bertarung sepenjang sejarah Batavia dan Jakarta. Dan selalu Arab punya beberapa keberuntungan. Keberuntungan utamanya adalah mereka sama-sama beragama Islam, sehingga sangat mudah mereka diterima warga Betawi yang memang fanatik dalam beragama.

Bila teorema di atas diterima, maka tentu Anies hadir untuk membela kepentingan Arab di DKI. Sebagaimana umumnya, Arab selalu membawa kepentingan-kepentingan mereka atas nama agama (Ibn Khaldun, 2011) Sehingga Anies hadir untuk mengawal proyek-proyek pengajian para Habib dan proyek-proyek agama lainnya. Di Jakarta, jangankan pengajian besar, menjadi guru privat mengaji untuk anak usia dini saja sudah memberikan uang yang melimpah. Karena itu, pengajian-pengajian besar yang dikoordinir Arab adalah proyek-proyek besar.

Tentu saja Anies tidak sepakat dengan proyek reklamasi karena itu tidak menguntungkan Arab dan kaum Islamisme. Orang-orang Arab di Jakarta tidak punya keuntungan dengan proyek-proyek pulau itu. Pengusiran-pengusiran bangsa Arab yang menjual kurma, perlengkapan shalat dan haji oleh rezim Ahok tentu saja tidak dapat dilepaskan dari diskursus ini.

Yang perlu dikhawatirkan adalah nasib etnis Cina dalam kepemimpinan Anies. Tapi mereka tidak punya sejarah sebagai orang yang terpinggirkan oleh rezim. Cina selalu dekat dengan rezim. Mereka selalu mampu merangkul rezim untuk memuluskan usaha dagangnya. Semoga dengan kehadiran Anies, tidak membenarkan apa yang dikatakan Ibn Khaldun (2011) bahwa setiap bangsa yang dipimpin orang Arab akan menuai kehancuran.

– Miswari* –

*Penulis adalah pengajar Filsafat Islam
di IAIN Zawiyah Cot Kala Langsa
dan Penulis buku Filsafat Terakhir.

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Sumber gambar asli sebelum olah digital: world economic forum dengan lisensi by-nc-sa 2.0.

Categories
Penulis Tamu

Anies, Tegakkanlah Keadilan

“Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan”, – Pramodya Ananta Toer, Bumi Manusia.

Anies adalah sosok yang terpelajar. Ia adalah seorang intelektual dan akademisi. Pendidikan kesarjanaannya dienyam pertama kali di Fakultas Ekonomi UGM, kampus yang banyak melahirkan pejabat negara. Selanjutnya ia meneruskan pendidikan master di bidang keamanan internasional dan kebijakan ekonomi di School of Public Affairs, University of Maryland, College Park. Di sanalah ia dianugrahi William P. Cole III Fellow.

Setelah lulus dari Maryland, Anies kembali mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliahnya dalam bidang ilmu politik di Northern Illinois University pada tahun 1999, ia lulus dengan judul disertasi Regional Autonomy And Pattern of Democracy in Indonesia. Keilmuan yang ia miliki ini menjadi bekal untuk mengajar di Universitas Paramadina hingga menjadi rektor pada usia 38 tahun, ia tercatat sebagai rektor termuda di Indonesia.

Keterpelajaran Anies bukan hanya dari keilmuan semata. Semasa sekolah ia telah aktif di berbagai organisasi. Sejak sekolah di SMP Negeri 5 Yogyakarta, Anies telah bergabung di Organisasi Siswa Intra Sekolah, dan menduduki jabatan sebagai pengurus bidang humas.

Saat meneruskan pendidikannya di SMA Negeri 2 Yogyakarta, dia tetap aktif berorganisasi hingga terpilih menjadi Wakil Ketua OSIS, dan mengikuti pelatihan kepemimpinan bersama tiga ratus orang Ketua OSIS se-Indonesia. Hasilnya, ia terpilih menjadi Ketua OSIS se-Indonesia pada tahun 1985. Bahkan pada tahun 1987, dia terpilih untuk mengikuti program pertukaran pelajar AFS dan tinggal selama setahun di Milwaukee, Wisconsin, Amerika Serikat.

Saat kuliah, Anies juga bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan salah satu anggota Majelis Penyelamat Organisasi HMI UGM, organisasi yang banyak melahirkan politisi ulung negeri ini. Di UGM dia juga terpilih sebagai Ketua Senat Universitas pada kongres tahun 1992, dan membuat beberapa gebrakan dalam lembaga kemahasiswaan.

Dari riwayat pendidikannya tersebut, tambah lagi dengan gebrakannya melahirkan program Indonesia Mengajar, dan posisinya yang pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, maka patutlah disebut bahwa Anies adalah sosok terdidik yang pendidik. Karenanya, keadilan harus melekat dalam dirinya, terutama sejak terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta dalam hasil perhitungan Quick Count oleh beberapa lembagai survey.

Sulit untuk menepis bahwa kemenangan Anies menjadi Gubernur di DKI Jakarta adalah kemenangan “rasis” dan sentimen agama. Bahasa yang kerap terdengar selama masa kampanye adalah “Jangan pilih Ahok, dia Cina, dia kafir, dan dia penista agama, siapa yang memilihnya berarti kafir”.

Agama memang kerap dijadikan bahtera untuk berlayar gemilang menyebrangi lautan politik guna menduduki singgasana kuasa. Sifatnya yang sakral membuat para elit politik gemar mendandani diri berpenampilan agamais. Simbol-simbol kesalehan sering dipakai di ruang publik. Parade ritus digebyarkan. Semuanya dilakukan untuk memikat konstituen seagama.

Pada saat yang sama, agama juga dijadikan sebagai alat sentimen guna melumpuhkan lawan-lawan yang tak seagama. Ironisnya, ketika tampil di hadapan pemeluk agama yang berbeda, mereka berlagak seperti manusia paling nasionalis, pluralis, toleran, serta anti rasisme dan radikalisme.

Pola-pola kampanye yang mengedepankan fanatisme dan membakar rasa sentimen agama paling disenangi oleh kelompok-kelompok islamis. Dan Anies memiliki kekuatan politik yang digemuki oleh kalangan tersebut. Padahal pergerakan kaum islamis cukup berbahaya bagi masa depan rawatan keragaman di Indonesia.

Gerakan dan doktrin mereka dikhawatirkan akan memperlebar kanal konflik antar agama. Terlebih di alam demokrasi, yang justru semakin membuat mereka lebih “liar” untuk menebar dogma-dogma agama yang konservatif sampai ke pelosok desa di seluruh penjuru nusantara. Militansi, pengorbanan, dan komitmen spritual yang tinggi membuat mereka lebih gampang terpaut di hati dan pikiran umat.

Sayangnya, kaum islam moderat sebagai paham pribumi negeri ini–untuk tidak mengatakan semua–telah tercerabut dari akar sosialnya, sehingga tidak dapat membendung gerakan kaum islamis.

Kaum moderat yang berepisentrum di kampus hanya berkutat dengan setumpukan karya jurnal dan buku yang sarat dengan kata-kata melangit, sulit dimengerti penduduk awam mayapada. Sedangkan ormas moderat seperti NU, Muhammadiyah, dan Alwashliyah telah lama mengalami kemerosotan kader, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.

Bahkan, di era post modernisme sekarang ini, tekstur keagamaan islamis mulai laku keras di kalangan masyarakat urban. Sebab, masyarakat urban sudah jenuh melihat morat-maritnya kehidupan bangsa yang tak kunjung usai. Ideologi-ideologi modern dianggap gagal menghantarkan rakyat pada kemakmuran dan kesejahteraan. Bahkan asa mulia dalam pancasila sendiri mulai diragukan. Mereka menjadi lebih spritualis dan konservatif.

Titik rawan dari kondisi ini adalah terjadinya kesepahaman apik antara kaum urban, masyarakat desa, dan para pemufakat khilafah berserta “cukong” politiknya. Kalau ini terjadi, bisa-bisa Jakarta akan menjadi “toa” dari pengumandangan gerakan penggusuran Pancasila dan rumah besar demokrasi Indonesia. Padahal Jakarta adalah rahimnya pancasila dilahirkan untuk merawat kemajemukan bangsa.

Bangsa ini harus dirawat keragamannya. Membiarkan bangsa retak adalah perbuatan kufur nikmat, sama dengan mengundang azab dari Sang Maha Pencipta, seperti kata Yudi Latif (Suara Pembaruan, 17/4/2017)–bahwa persembahan kebangsaan Indonesia ialah ekspresi rasa syukur atas desain sunnatullah (hukum Tuhan).

Fenomena rasisme dan intoleransi yang mengotori hiruk pikuk Pilkada DKI Jakarta sudah saatnya berakhir. Persaingan-persaingan sengit yang sempat menimbulkan gesekan harus segera dicairkan.

Anies sebagai calon gubernur yang telah memenangkan Pilkada DKI Jakarta harus berdiri tegak di atas semua golongan. Tidak ada lagi dukung-dukungan. Tidak ada lagi atribut kepartaian. Tidak ada lagi kafir-mengkafirkan dan sesat-menyesatkan. Tidak ada lagi sentimen SARA. Tidak ada lagi tamasya al-Maidah. Tidak ada lagi rumah lembang dan roemah joeang, Jakarta adalah rumah semua warga, juga untuk Indonesia.

Anies harus memastikan hadirnya keadilan di Jakarta. Keadilan akan membawa pada kemakmuran yang berkeadaban (civilized). Keadilan akan meniadakan kemiskinan, ketidakmerataan pendidikan, kesenjangan sosial, pastinya, keadilan akan meniadakan ketidakadilan itu sendiri.

Keadilan yang diinginkan warga bukanlah keadilan yang dipidatokan dan diperdebatkan. Seperti kata Iwan Fals dalam bait lagunya: “keadilan bukan untuk diperdebatkan.” Karenanya keadilan harus menjadi ruh kepemimpinan dan kebijaksanaan seorang Anies.

Ia harus menghadirkan keadilan bagi segenap warga, mulai dari mereka yang mengisi gedung tinggi perkantoran dan pertokoan, rumah-rumah gedongan, sampai pada mereka yang ada di kolong jembatan, hingga penduduk terluar di kepulauan.

Dengan demikian, sebagai kaum terpelajar, Anies adalah sosok yang tepat untuk menjadi teladan kepemimpinan yang berkeadilan. Di tangannya, Jakarta harus menjadi jangkar peradaban nusantara. Di tangannya pula, Jakarta adalah tempat di mana pancasila menjadi kompas nilai dalam menata keragaman yang berkeadilan.

– Mustamar Iqbal Siregar*

*Pengajar di IAIN Zawiyah Cot Kala Langsa-Aceh, sekaligus pemerhati dan pegiat pendidikan multikultural di Aceh.

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Gambar fitur diambil dari youtube.com