Categories
Uncategorized

Sharing Session : Kupas Tuntas Turkiye Bursalari (Beasiswa Turki) dan Study in US

Sabtu, tanggal 27 Januari 2024, telah diadakan acara sharing session yang bertajuk ‘Kupas Tuntas Turkiye Bursalari Scholarship dan Study in US dan tips jitu menulis essay di Aceh. Acara yang diselenggarakan di aula lantai 4 Perpustakaan Wilayah Provinsi Aceh atas kolaborasi Padebooks, Raja Ratu Baca Aceh 2022 dan Perpustakaan Wilayah Aceh ini berhasil menarik antusiasme peserta.

Acara dibuka oleh Kabid Perpustakaan Wilayah Aceh, Bapak Zulfadli, S.E, M.M, yang memberikan sambutan pembukaan. Kata sambutan juga disampaikan oleh Direktur Padebooks, Profesor Saiful Akmal, yang turut menyemarakkan acara tersebut. Acara di pandu oleh Ita Farida Ratu Baca Aceh 2022, yang memberikan pandangan inspiratif kepada para peserta.

Tujuan utama dari acara ini adalah untuk membagikan informasi mengenai pengalaman studi di Amerika Serikat dan memberikan kiat-kiat dalam menulis Letter of Intent (LoI)  untuk mendaftar beasiswa Turki yang sedang di buka dari tanggal 10 Januari 2024 sampai 20 Februari 2024. Materi tersebut disampaikan oleh Baiquni Hasbi, M.A, PhD, seorang alumnus University of North Carolina at Chapel Hill, Amerika Serikat di jenjang S3 dan penerima beasiswa Turkiye Bursalari tahun 2009 yang merupakan alumnus Ankara University.

Peserta juga mendapatkan tips-tips menulis essay dari Ari Zonanda Abd. Muiz yang merupakan founder dari Indonesian of Literacy serta Pemuda berprestasi Aceh 2022.

Peserta sharing session menunjukkan antusiasme yang tinggi dalam mendengarkan pengalaman serta tips dari Baiquni Hasbi dan Ari Zonanda. Kolaborasi antara Padebooks, Raja Ratu Baca Aceh dan Perpustakaan Wilayah Aceh dalam mengadakan acara ini berhasil menciptakan kesempatan berharga bagi para calon penerima beasiswa.

Categories
Uncategorized

WEBINAR Diskusi Publik Qanun No 4 Tahun 2020 & Focus Group Discussion “Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Aceh, What’s Next?”

Dalam rangka rangka pengendalian konsumsi rokok, termasuk mencegah bertambahnya jumlah perokok aktif, terutama di kalangan remaja, Pemerintah melalui Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 115, mewajibkan Pemerintah daerah menetapkan KTR di wilayahnya masing-masing. Penetapan KTR tersebut juga diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 Pasal 50.

Sejalan dengan ketentuan di atas, Provinsi Aceh telah mengesahkan peraturan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) melalui aturan yang ditetapkan dalam Qanun No. 4 Tahun 2020. Meskipun sampai tahun 2020, 19 Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh telah mengesahkan penetapan KTR di wilayahnya masing-masing, menurut sebagian pihak implementasi KTR di Provinsi Aceh masih sangat minim.

Pelaksanaan KTR di Provinsi Aceh dan Kota Banda Aceh khususnya diatur sedemikian rupa sesuai Qanun Nomor 4 Tahun 2020, yang menekankan kepada poin-poin penting berupa asas Syariah, penghormatan pada hak asasi manusia untuk hidup sehat, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, kelestarian dan keberlanjutan, partisipatif, keseimbangan, keadilan, perlindungan hukum, keterbukaan dan peran serta, dan akuntabilitas.

Qanun tersebut bertujuan untuk seperti tertera pada Pasal 3: (a) melindungi kesehatan individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat secara umum dari dampak buruk merokok baik langsung maupun tidak langsung, (b) memberikan ruang dan lingkungan yang bersih dan sehat bagi masyarakat, (c) membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat, (d) menekan angka pertumbuhan perokok pemula, (e) meningkatkan kesadaran bahaya konsumsi rokok.

Penting untuk menjadi perhatian kita Bersama akan pentingnya untuk mewujudkan prinsip dan tujuan di atas yang termaktub dalam Qanun Nomor 4 Tahun 2020 tersebut. Namun, masih menjadi pertanyaan bagi kita semua, sejauh mana akses informasi terkait pelaksanaan KTR serta pemahaman akan hak-hak tersebut diketahui oleh masyarakat luas.

Untuk mensinergikan upaya pelaksanaan KTR di wilayah Kota Banda Aceh, kegiatan Focus Group Discussion (FGD) direncanakan sebagai wadah komunikasi publik dan diseminasi informasi untuk menelusuri pandangan serta tanggapan pihak-pihak terkait serta masyarakat umum akan terkait pelaksanaan KTR di Kota Banda Aceh. Agenda ini dilaksanakan oleh Padebooks bersama dengan The Aceh Institute pada Kamis, 28 Oktober 2021 dengan judul “Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Aceh, What’s Next?” dihadiri oleh dinas-dinas dan stakeholders terkait dan juga beberapa NGO/CSO lokal.

Categories
Uncategorized

Deklarasi Sahabat KTR (Kawasan Tanpa Rokok) Kota Banda Aceh

Pada tanggal 31 Maret 2021, diadakan Deklarasi Sahabat Kawasan Tapa Rokok di Banda Aceh. Acara tersebut dihadiri oleh berbagai pihak, termasuk Dinas Kesehatan, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), WH (World Health Organization), dan jaringan anti-rokok. Tujuan dari deklarasi ini adalah untuk memberikan dukungan penuh terhadap penerapan Qanun Nomor 5 Tahun 2016 tentang Kawasan Tanpa Rokok. Dengan demikian, diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan bersih bagi seluruh warga di kota kita.

Dalam upaya menciptakan kawasan yang bebas dari asap rokok, pada tanggal 31 Maret 2021, Dinas Kesehatan, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), WH (World Health Organization), dan jaringan anti-rokok berkumpul di Banda Aceh untuk melakukan Deklarasi Sahabat Kawasan Tapa Rokok. Deklarasi ini merupakan langkah nyata dalam mendukung implementasi Qanun Nomor 5 Tahun 2016 tentang Kawasan Tanpa Rokok. Melalui kerjasama yang solid, diharapkan dapat terwujud lingkungan yang lebih sehat dan bersih bagi masyarakat kota kita.

Pada tanggal 31 Maret 2021, Kota Banda Aceh menyaksikan momen penting dengan dilaksanakannya Deklarasi Sahabat Kawasan Tapa Rokok. Dalam acara ini, Dinas Kesehatan, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), WH (World Health Organization), dan jaringan anti-rokok secara bersama-sama berkomitmen untuk mendukung penerapan Qanun Nomor 5 Tahun 2016 tentang Kawasan Tanpa Rokok. Dengan adanya deklarasi ini, diharapkan dapat tercipta lingkungan yang lebih sehat dan bersih di kota kita, di mana masyarakat dapat menikmati udara segar tanpa terpapar asap rokok.

“Tobacco-free is the way to be!” Pada tanggal 31 Maret 2021, Banda Aceh mengadakan Deklarasi Sahabat Kawasan Tapa Rokok sebagai langkah konkret untuk mendukung implementasi Qanun Nomor 5 Tahun 2016 tentang Kawasan Tanpa Rokok. Acara ini melibatkan berbagai pihak, termasuk Dinas Kesehatan, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), WH (World Health Organization), dan jaringan anti-rokok. Dengan semangat bersama, kita berharap dapat menciptakan kota yang lebih sehat dan bersih, di mana masyarakat dapat hidup tanpa terpapar bahaya merokok.

Categories
pandemi Uncategorized

Kewajiban Penggunaan Vaksin dan Peraturan Hukum Atas Vaksin

Pandemi Covid-19 menimbulkan status kedaruratan di Indonesia. Melalui keputusan Presiden Nomor 11 tahun 2020, Indonesia telah mengumumkan status kedaduratan kesehatan. Berbagai upaya dilakukan dalam rangka mengatasi dampak pandemi Covid-19. Salah satunya adalah upaya vaksinasi. Pemerintah melalui Menteri Kesehatan menyatakan bahwa telah mendistribusikan 1,2 juta dosis vaksin Covid 19 ke 34 provinsi di seluruh Indonesia per 7 januari 2021. Sedangkan pelaksanaan vaksin direncanakan akan dilakukan pada minggu kedua januari 2021, setela dikeluarkan izin penggunaan darurat atau Emergency Use Authorization. Oleh BPOM (Badan Pengawasan Obat dan Makanan). Namun, di masyarakat timbul pro kontra terkait vaksinasi tersebut (Sekretariat Kabinet Republik Indonesia,9 Januari 2021). Sejumlah kalangan masyarakat menolak untuk divaksin. Sejumlah pihak mempertanyakan apakah vaksinasi untuk masyarakat merupakan hak ataukah kewajiban. Pemerintah melalui wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia menyampaikan bahwa vaksinasi Covid 19 merupakan bagian dari kewajiban seluruh warga Negara untuk mewujudkan kesehatan masyarakat.namun sejumlah aktivis pada bidang Hak Asasi Manusia tegas menyatakan bahwa menolak vaksi adalah hak asasi rakyat (Law Justice, 13 Januari 2021). Vaksin berasal dari bahasa Inggris yaitu vaccin yang artinya suspensi dari bibit penyakit yang hidup, namun telah dilemahkan atau dimatikan untuk menimbulkan kekebalan dalam tubuh (Nuryani et al., 2015). Vaksin yang diciptakan juga berhubungan dengan penyakit yang sedang diteliti dan bagaimana cara agar tidak menyebar cepat ke seluruh tubuh bahkan menular ke orang lain (Azizah Palupi, 2018).

Selain itu masyarakat juga mempertanyakan efikasi dan efektivitas dari vaksin covid-19 tersebut dengan dalih seperti tidak efektif, isu konspirasi, menimbulkan efek samping termasuk aspek kehalalannya (walaupun berkaitan dengan aspek kehalalannya telah dinyatakan suci dan halal oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)). Bahkan terdapat daerah yang menyatakan bahwa masyarakat yang menolak vaksin covid 19 akan dikenakan denda. Sebagai contoh DKI Jakarta, yang mana pada peraturan daerah provinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta Nomor 2 Tahun 2020 tentang penanggulangan Covid 19 DKI Jakarta yang menyebutkan bahwa setiap orang yang sengaja menolak untuk dilakukan pengobatan dan/atau vaksinasi covid 19 dapat di pidana dengan denda paling banyak sebesar Rp. 5.000.000. Akibatnya, sejumlah pihak yang kontra menyatakan bahwa pasal pada perda tersebut bertentangan dengan undang-undang maupun ha katas kesehatan yang tertuang dalam undang-undang dasar Negara Indonesia tahun 1945. Sedangkan pihak yang pro menyatakan pasal tersebut secara khusus maupun adanya pelaksanaan vaksinasi di Indonesia secara umum adalah bertujuan untuk menyelamatkan masyarakat dari wabah covid-19.

Hak atas kesehatan sebagai hak asasi manusia telah diakui dan diatur dalam berbagai instrumen internasional. Jaminan pengakuan hak atas kesehatan tersebut secara eksplisit dapat dilihat dari beberapa instrumen internasional. Indonesia merupakan Negara yang memberikan pelindung secara konstitusional terhadap hak asasi manusia (HAM). Pelindungan terhadap HAM tersebut dimasyarakat secara luas dalam rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai ciri yang penting suatu Negara hukum yang demokratis. Berkaitan dengan pelindungan konstitusional terhadap hak atas kesehatan mental tercermin dalam pasal 28H ayat (1) Undang-undang dasar Negara republik Indonesia tahun 1945 yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidupbyang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Bahkan, lebih lanjut disebutkan juga mengenai kewajiban Negara terkait hal tersebut dalam pasal 34 ayat (3) yang menyatkan bahwa “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan umum yang layak”. Hal ini menunjukan bahwa ha katas kesehatan termasuk di dalam kesehatan mental dilindungi secara konstitusional. Disebutkannya konsep mengenai hak asasi yang berkaitan dengan kesehatan tersebut, maka Negara mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak tersebut.

Di tingkat masyarakat, terjadi pro dan kontra terkait pelaksanaan vaksinasi di Indonesia. Salah satu hukum berkaitan dengan vaksinasi ini adalah apakah vaksinasi untuk masyarakat merupakan hak ataukah kewajiban. vaksin adalah hak asasi rakyat. aktivis tegas menyatakan bahwa menolak vaksin adalah hak asasi rakyat. Mereka menggunakan dasar hukum pasal 5 ayat (3) undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya”.

Sekilas, alasan hukum tersebut dapat menjadi legitimasi terhadap penolakan vaksin covid 19 berdasarkan hukum di Indonesia. Namun bila dikaji berdasarkan kondisi bernegara Indonesia di masa pandemi covid 19, pelaksanaan vaksinasi dapat menjadi suatu hal yang bersifat wajib. terdapat sejumlah alasan terkait dengan hal tersebut yaitu bila dikaji dalam konteks penanganan wabah, khususnya dimasa pandemi covid 19, terdapat undang-undang lain untuk menentukan apakah vaksinasi adalah hak dan kewajiban. Pasal 14 ayat (1) undang-undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang wabah penyakit menular yang menyatakan bahwa “Barang siapa yang sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, diancam dengan pidana penjara selama-lamanyasatu tahun atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000.”  

Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa vaksinasi dalam rangka penanganan covid 19 adalah suatu hak dan kewajiban dari warga Negara. Memang, terdapat hak seseorang untuk memilih pelayanan kesehatan baginya . Namun bila dilihat pada konteks virus covid 19 yang berskala pandemi, serta merujuk pada point kedua bahwa seseorang yang tidak divaksin justru dapat berpotensi menjadi virus carrier bagi orang lain, maka hak tersebut dapat dikurangi dalam rangka untuk mencapai tujuan negera yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia (dalam hal ini melindungi dari virus covid 19), dan juga termasuk melindungi hak asasi seseorang itu sendiri dalam rangka memperoleh hak untuk hidup secara sehat. Oleh sebab itu, vaksinasi mulanya adalah suatu hak bagi seseorang dapat merubah menjadi suatu kewajiban mengingat Negara dalam keadaan darurat dan selanjutnya adalah berkaitan dengan kewajiban asasi manusia untuk menghargai hak asasi orang lain, dalam hal ini adalah hak atas kesehatan orang lain. Adapun terkait sanksi pidana dalam pemberlakukan kewajiban vaksinasi, seyogianya tetap menjadi suatu sarana terakhir (ultimum remedium) apabila pranata-pranata lainya tidak berfungsi. Namun, melihat situasi kondisi di Indonesia semakin memburuk akibat covid 19, sehingga dimungkinkan untuk menyelamatkan Indonesia beserta segenap unsurnya dari kondisi yang kian memburuk tersebut dengan penerapan sanksi pidana bisa saja diberlakukan. Alternatif lain bisa jadi adalah, adanya kerjasama antara pemilik usaha, apalagi institusi pemerintah secara formal untuk mendukung program vaksinasi dan pewajiban bagi para karyawan yang beraktivitas di ruang publik.

Referensi

Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, ”Menkes Sebut Vaksinasi COVID-19 Akan Dimulai Pekan Depan”, 2021, dikutip dari laman resmi Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, https://setkab.go.id/menkes-sebut-vaksinasiCovid-19-akan-dimulai-pekan-depan/ . (diakses pada 9 Januari 2021).

Law Justice, ”Natalius Pigai: Menolak Vaksin adalah Hak Asasi Rakyat!”, 2021, Dikutip dari laman https:// www.law-justice.co/artikel/100970/natalius-pigai-menolak-vaksin-adalah-hak-asasi-rakyat/(diakses  pada 13 Januari 2021).

Nuryani, A., Pratiwi, N., & Mohammad, A. B. (2015). Penggunaan Insulin dan Vaksin Meningitis Kepada Jemaah Haji Menurut Perspektif Islam. Fikiran Masyarakat, 3(1), 13-21–21.

Azizah Palupi, S. (2018). Tinjauan Maslahah Terhadap Penggunaan Vaksin Meningitis Pada Jemaah Haji dan Umroh [PhD Thesis]. IAIN Ponorogo.

Gandryani. F., Hadi, F., (2021). Pelaksanaan Vaksinasi COVID-19 di Indonesia : hak atau kewajiban warga Negara. Jurnal Rechts vinding (media pembinaan hukum internasional), volume 10 Nomor 1

Hafidzi, A. (2020). Kewajiban penggunaaan vaksin : antara legalitas dan formalitas perspektif maqashid al-syaria. Yudisia: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam. Volume 11, Nomor 2,

 



Nama           : Maula Masthura  (Mahasiswa IPOL, FISIP UIN Ar-Raniry Banda Aceh)
Link sosmed : email (maula.masthura@gmail.com) , instagram (maula.masthura)

 

Categories
Uncategorized

POLEMIK ISTILAH KAFIR

Menuju Pilpres April 2019 mendatang, berbagai hal hal kontroversial seolah-olah timbul tenggelam dan menjadi asupan publik setiap hari. Berbagai polemik terus bermunculan setiap saat,dan menjadi bahan perdebatan di kalangan akademisi, publik figur, maupun masyarakat awam sekalipun. Salah satunya mengenai penggunaan istilah “kafir” yang menjadi polemik dipusaran Pilpres kali ini.

Nahdhatul ulama(NU) sebagai salah satu organisasi Islam massa terbesar di dunia, tempo lalu membuat heboh jagat maya. Pasalnya, NU secara resmi menganjurkan anggotanya untuk tidak lagi menggunakan sebutan istilah kafir terhadap non-Islam, karena menganggap penggunaan istilah tersebut terlihat ofensif dan cenderung mengambil konotasi yang buruk (menghina). Dalam rapat pleno Munas NU yang dilaksanakan di Banjar beberapa minggu yang lalu, organisasi itu menjelaskan penyebutan istilah kafir tidak dikenal dalam sistem negara bangsa. Karena dalam negara kebangsaan setiap warga negara dianggap sama dimata hukum (konstitusi), oleh karena itu, NU menganjurkan para anggotanya untuk menyebut non-muslim sebagai muwathin atau warga negara.

Berbagai reaksi muncul ditengah masyarakat, sebagian sepakat atas keputusan hasil munas NU tersebut. Keputusan itu dinilai sejalan dengan asas bangsa Indonesia, yang menghargai keberagaman beragama. Apalagi, Indonesia negara yang berdasarkan pada falsafah Pancasila bukan formalisasi Islam. Keputusan NU tersebut juga menemukan momentumnya beberapa tahun belakangan ini, yaitu ketika ujaran kebencian berbau agama telah menjadi suatu momok yang memperihatinkankan dalam wacana politik di tanah air.

Pun demikian, tidak sedikit masyarakat muslim yang menolak keputusan NU tersebut. Pihak yang menolak membangun argumen bahwa apa yang dilakukan oleh “organisasi sarungan” itu telah menyalahi aturan kaidah dalam agama Islam karena berusaha mengamandemen al-Quran dan menghilangkan kata kafir. — satu istilah kafir yang tertera di dalam ayat al-Quran. Bahkan salah satu surat dalam al-Qur’an bernama surat al-Kafirun (orang-orang kafir). Di sisi lain, sebagian masyarakat juga menilai adanya kepentingan terkait kontestasi politik, lantaran NU dianggap pro petahana. Keputusan NU itu dianggap bertujuan untuk menggalang suara dari pemilih non-muslim, pada Pemilu 2019.Tudingan bahwa NU pro petahana bukan tanpa alasan, pasalnya, Joko Widodo pada ajang Pilpres 2019 ini menggaet Ma’ruf Amin yang menjabat sebagai rais aam PBNU, sebagai pendampingnya.

Ketua konferensi Abdul Moqsith Ghazali, mengatakan, penggunaan istilah kafir mengandung “kekerasan teologis” dan sering digunakan oleh oknum-oknum tertentu sebagai alat mendiskriminasi kaum minoritas (non-muslim). Dia juga menegaskan bahwa NU tidak bermaksud untuk mengubah makna dan istilah kafir dalam al-Qur’an.

Tidak dapat dipungkiri, dengan meningkatnya ekstremisme Islam – oleh golongan tertentu, penggunaan istilah kafir tidak lagi pada konteksnya. Malah menjadi semacam suatu batasan penutup dan alat untuk mengintimidasi dalam masyarakat Indonesia yang pluralis dan heterogen. Kata “kafir” dengan mudah mengalir dari mulut kemulut untuk ditujukan kepada mereka yang dianggap tidak sepemahaman dan yang berbeda pendapat.

Ditambah, ini adalah tahun-tahun dimana dunia politik yang paling kacau, pasca jatuhnya rezim Orde Baru. Terjadinya berbagai perubahahan tatanan arah perpolitikan di Indonesia, mulai dari munculnya berbagai partai-partai politik baru, yang mengusung berbagai ideologi. Selain itu berbagai kebijakan mulai disusun secara lebih sistematik sesuai alur demokrasi. Kebebasan berpendapat di ruang publik terbuka. Namun, tampaknya kebebasan tersebut, member ruang pula untuk tumbuh pesatnya perkembangan ormas ormas Islam ekstrim, seperti HTI maupun FPI,yang beberapa tahun terakhir ini mulai menunjukan sikap yang radikal terhadap sistem yang ada. Hal yang tidak akan kita temukan di zaman Orde Baru. Di mana ormas maupun parpol yang yang tidak sejalan dengan pemerintah cenderung dibungkam dan kehilangan eksistensinya sama sekali. Berkembangnya paham radikal golongan islam konservatif menjadi sesuatu yang amat mengkhawatirkan terhadap kedaulatan NKRI dikarenakan mereka berusaha meraungkan paham khilafah yang notabene bertentangan dengan konstitusi maupun sistem negara Indonesia.

Hal ini pula yang menjadi perhatian serius para kyai NU,yang dalam pandangan mereka Pancasila merupakan suatu landasan final dan tidak dapat diganggu gugat. NU yang merupakan ormas yang lahir tahun 1920 ini punya pandangan yang lebih moderat, terbuka dan pluralisBahkan sering dicap liberal oleh kelompok ormas ekstrim lainnya.

Hal yang harus direnungkan, dalam cara kita bernegara adalah bahwa perbedaan pendapat dalam suatu negara demokrasi merupakan hal yang lumrah dan lazim . Malahan hal itulah yang menjadi ciri khas dalam sistem demokrasi, sebagai perwujudan kebebasan beraspirasi baik secara individual, kelompok serta golongan dalam masyarakat yang plural. Sehingga tidak mengherankan munculnya pro-kontra bahkan konflik dalam masyarakat sekalipun, yaitu manakala suatu masalah dilihat dari persepsi dan sudut pandang yang berbeda,yang diiringi dengan sikap tidak toleran. Perihal benar atau salahnya adalah kembali kepada tingkat kemampuan individu meninjau permasalahan sesuai konteks dan konsep yang diterapkan.

Alhasil terlepas dari berbagai stigma yang bermunculan, patutlah kita sadari, bahwa intisari serta tujuan dalam merumuskan persoalan polemik istilah kafir tersebut, apalagi dalam subtansi keagamaan yang relatif sensitif, tentu perlu pengkajian yang lebih serius dan matang. Melalui pembacaan referensi keagamaan yang disandingkan dengan konsepsi Pancasila sebagai ideologi yang final di negeri ini.

-Sahirdin*-

Sahirdin – Mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Langsa dan Pegiat di Kelompok Diskusi Bawah Pohon

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Categories
Uncategorized

DEMOKRASI ELEKTORAL DAN HOAX

Pemilihan umum atau pemilu adalah kontestasi politik untuk memilih orang-orang untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu di ranah pemerintahan. Pesta demokrasi ini selalu dilakukan secara rutin oleh negara untuk keberlangsungan demokrasi. Tujuannya adalah untuk meraih kemenangan dan kekuasaan. Tentu saja akan ada dinamika yang terjadi, dan itu bisa sangat beragam. Terkadang ada tindakan kekerasan terhadap lawan politik baik verbal maupun non-verbal, termasuk penyebaran isu negatif untuk menjatuhkan lawan. Hoax atau fenomena penyebaran isu bohong adalah satunya. Apalagi ditengah hiruk-pikuk politik menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum Presiden dan Calon Legislatif tahun 2019 mendatang. Masyarakat umumnya cenderung mudah terpengaruh isu-isu sensitif yang dimainkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab dan mereka juga rentan dipengaruhi pola pikirnya ditengah kebiasaan malas membaca. Hal ini semakin membuat berita bohong atau hoax akan sangat mudah menyebar.

Hoax adalah tindakan, dokumen atau artefak yang tidak benar adanya atau yang “sengaja” dibuat dan disebar luaskan di kalangan masyarakat yang bertujuan untuk menjatuhkan lawan. Hoax sangat perlu diantisipasi dalam pemilu, karena mengakibatkan terjadinya kekacauan dan permusuhan serta saling mencurigai dalam masyarakat. Fenomena ini sudah mulai menjadi masalah sejak Pemilu 2014.

Munculnya hoax sendiri tidak terlepas dari perkembangan dunia informasi dan teknologi. Saat ini dimana penggunaan sosial media yang semakin meninggi dimana sebagaimana data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet (APJII) menyatakan bahwa data pengguna internet di Indonesia sudah mencapai 132,7 juta. Karakter daerah dengan pengguna smart phone yang tinggi menjadi penentu besar kecilnya dampak penyebaran hoax. Metode kampanye dengan menggunakan media sosial, pemberitaan, dan penyiaran bisa membuat hoax dalam sekejap mata dengan mudah tersebar. Bahkan sejak pileg/pilpres tahun 2014, pemilihan kepala daerah 2017 dan 2018, berita hoax memiliki dampak yang luas dalam konteks pemilu dan diprediksikan bahwa, pemilu 2019 penyebaran hoax akan tinggi frekuensinya di kalangan masyarakat. Indonesia sendiri adalah negara dengan pengguna media sosial tertinggi kelima di dunia. Diiringi dengan rendahnya semangat membaca dan tingginya penggunaan teknologi informasi, ketidak seimbangan informasi sampai munculnya hoax menjadi semakin sulit dikendalikan.

Hoax sendiri yang muncul dari sumber media sosial dan media informasi lainnya. Sebagaimana data dari 2017 Keminfo bahwa hoax menyebar dari berbagai media. Rinciannya adalah 92,4 persen media sosial, 62, 8 persen aplikasi chat, 8,7 persen situs web, 5 persen televisi, 3,1 persen media cetak, menyusul email dan radio dengan 1,2 persen. Oleh karena itu pihak penyelenggara Pemilu juga berupaya menangkal perkembangan hoax dengan berbagai metode. Salah satunya ada dalam pasal 310 dan 311 KUHP dan UU ITE sudah dijelaskan bahwa “barangsiapa yang menyebarkan atau memberikan informasi buruk di internet bisa diancam pidana”. Selain itu berbagai regulasi hukum juga terus dibenahi bagi para penyebar berita palsu dan pengelola akun hantu.

Disisi lain, hendaknya masyarakat diharapkan mengenal dan menghindari hoax dalam pemilu dengan berbagai cara. Pertama cek narasumber dan cek sumbernya dengan jelas. Jika tidak ada kejelasan narasumber dan sumber bisa dipastikan berita itu hoaxKedua, antisipasi judul berita provokatif. Hindari judul berita yang provikatif dengan cara membaca berita dari sumber-sumber yang lain. Judul berita yang provokatif sengaja dibuat untuk meningkatkan kunjungan pembaca padahal belum tentu konteks tersebut benar adanya. Ketiga, baca berita menyeluruh. Setiap berita yang didapat harus dibaca secara menyeluruh, biasanya orang hanya suka membaca headline nya saja, yang bisa jadi itu sengaja dimegah-megahkan untuk menarik perhatian pembaca. Keempat, jangan mudah percaya dengan foto atau video yang dibagikan di media sosial karena hasil editan dengan yang aslinya sangat sulit untuk dibedakan. Kelima, jangan latah dalam bagikan berita. Harus berpikir panjang dan cek kebenarannya sebelum berita dibagikan. Keenam, kritis dan cuek. Kritis dalam memilih informasi, mana yang benar dan mana yang salah serta cuek dalam menanggapi berita yang bersifat provokatif.

Pemerintah mempunyai peranan penting untuk mencegah hoax dalam pemilu dan mencegah hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Hal-hal yang dilakukan oleh pemeintah untuk menangkal hoax dalam pemilu, yaitu regulasi kampanye pemilu 2019 mewajibkan peserta pemilu mendaftarkan akun resmi media sosial yang dimilikinya sehingga apabila ketahuan melalukukan kampanye hitam bisa diberikan sanksi, membuat komitmen dengan peserta pemilu untuk tidak berkampanye hitam, penyelenggara pemilu memperkuat kemitraan dengan cyber-crime kepolisian, penyelenggara pemilu menguatkan hubungan dengan kominfo untuk memberikan sosialisasi kepada masyarakat, memberikan sanksi kepada media yang menyebarkan berita hoax dan isu SARA, dan bekerjasama dengan media sosial untuk menyebarkan konten positif dalam pemilu dan dipastikan peserta pemilu akan menggunakan saluran tersebut karena dianggap praktis dalam kampanye pemilihan.

-Elizawati dan Toni Ruswandi*-

Mahasiswa FISIP UIN Ar-Raniry

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Categories
Uncategorized

DARI KUTU BUKU KE KUTU GOOGLE

Refleksi Hari Buku Nasional, 17 Mei 2017.

Dahulu, sebutan kutu buku diberikan kepada mereka yang kesehariannya tak pernah lepas dengan buku. Benda ini menjadi teman setia kemana saja pergi. Di dalam bus, di jalan raya, di caffee, hingga di kamar tidur, buku menjadi teman hingga terlelap.

Ada sesuatu yang kurang bila sehari saja tidak mengisi aktivitas dengan membaca buku. Belum selesai membaca satu buku, sudah membaca buku yang lain. Buku membuat hidup mereka lupa dengan segalanya. Di mana ada mereka di situ ada buku, begitulah sebutan untuk para kutu buku.

Namun setelah kehadiran google saat ini, menyebabkan terjadi perubahan besar-besaran dalam dunia membaca. Hampir semua orang menghabiskan waktu dengan smartphone untuk membaca. Tak jarang kita lihat orang-orang yang kakinya sedang berjalan tetapi matanya di smartphone. Mungkin saja yang dibaca sekedar status atau notifikasi pada facebook. Sehingga fenomena inilah yang kemudian penulis sebut sebagai sebuah peralihan dari kutu buku ke kutu google.

Zaman telah berganti. Kita seakan dituntun dari sesuatu yang nyata menuju sesuatu yang maya. Termasuk halnya dalam proses memebaca. Jika dahulu dikenal istilah buku jendela dunia, sekarang berubah menjadi google jendela dunia. Cukup dengan hitungan detik, bacaan yang diinginkan dengan mudah ditemukan. Buku saat ini sudah ditinggalkan. Semua beralih ke dunia cyber (internet) yang hanya bermodalkan smartphone dan paket data yang cukup, dunia berada dalam genggaman kita.

Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan MCLuhan dalam buku Matinya Dunia Cyberspace (Hadi, 2005: 3). Ia meyakini bahwa perkembangan teknologi telah memungkinkan manusia hidup dalam dunia yang disebut desa global (global village). Yaitu sebuah dunia yang tidak lebih besar dari sebuah layar kaca.

Fenomenanya hari ini, tak jarang ketika seorang anak demam panas, para ibu cukup membuka google untuk mengetahui obat apa yang mesti diberikan tanpa harus mempertanyakan kepada orang lain terlebih dahulu. Canggihnya lagi, google tak hanya menyuguhkan sekedar bacaan, tetapi audio visual seperti film dan berbagai tutorial dapat ditemukan di mesin pencari ajaib itu, termasuk tutorial memasak dan berenang. Sangat terkesan lebih canggih dari sebuah buku, bukan?

Namun, bila kita renungi kembali, apakah kemajuan teknologi ini benar-benar telah memudahkan kita? Dari segi kualitas, apakah kita melesat jauh dibandingkan orang-orang terdahulu?

Sekarang hampir tidak ditemukan lagi aktivitas masyarakat yang disibukkan dengan buku. Semua tugas, baik pelajar maupun mahasiswa larinya ke warung kopi yang tersedia wifi gratisnya. Tidak perlu bersusah  payah lagi mencari literature bacaan pada pustaka dan toko buku yang sangat menyita waktu dan melelahkan. Cukup dengan memesan secangkir kopi, maka mesin ajaib google dapat digerakkan dengan menyuguhkan semuanya secara gratis.

Akibatnya pustaka sepi. Bila pun ada, kebanyakan mereka adalah para mahasiswa semester akhir yang tengah merampungkan skripsinya. Sangat disayangkan. Berbeda dengan orang-orang terdahulu. Ketika mendapat tugas, semua pustaka dijajal. Buku menjadi rujukan utama.  Pantang pulang sebelum dapat. Kalau buku yang dicari belum ditemukan, beralih ke segala sudut kota mencari toko buku. Yang terpenting pada saat itu, buku dapat, dan tugas selesai.  Sehingga tak jarang uang jajan disisihkan demi membeli buku yang dicari. Perjuangan memang berat di zaman itu.

Dengan buku, pada masa itu semua orang dipaksa untuk membaca. Tak ada istilah mengerjakan makalah dalam waktu sehari. Butuh waktu berhari-hari untuk menyelesaikan satu tugas saja. Mau tidak mau. Jika ingin sebuah tugas selesai maka baca dulu bahan dari buku, baru kemudian ditulis dan disusun hingga menjadi sebuah makalah. Sehingga zaman itu sedikit sekali terdengar adanya plagiat. Kualitas para lulusan pun, sarjana sudah dipastikan jauh dari pengangguran.

Berbeda dengan apa yang terjadi hari ini. Tak jarang sebagian pelajar dan mahasiswa dengan seenaknya mencomot makalah yang tidak diketahui siapa penulisnya, siapa yang bisa mempertanggungjawabkan isinya dan seberapa besar keabsahannya. Plagiarisme dan copy-paste (copas) menjadi lumrah dan dianggap sah-sahnya saja. Hal ini kemudian menjadi keresahan kita bersama terhadap kehadiran dunia cyber di tengah masyarakat.

Sehingga tak heran bila berkembangnya teknologi, bukan mempermudah, tetapi malah menyulitkan dan mematikan kreatifitas bahkan kualitas manusia. Miris memang. Saat ini kita seperti salah kaprah dan belum bisa menempatkan diri sebagai konsumen yang cerdas terhadap perkembangan dunia cyber. Hal ini sebenarnya dapat disiasati dengan kesadaran pengguna internet untuk menempatkan diri sebagai pengguna yang cerdas.

Google dapat menjadi referensi yang baik bila digunakan dengan cerdas. Dalam google ada yang namanya Google Buku. Isinya ada ribuan buku yang dapat digunakan sebagai referensi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Kemudian ada pula Google Cendikia yang isinya memuat berbagai jurnal-jurnal terbaru yang cukup baik digunakan sebagai referensi dengan mudah dan gratis.

Atau jika ingin mengambil data yang akurat, gunakan rujukan dari situs-situs resmi pemerintahan yang berujung ‘go.id’ atau situs-situs resmi perguruan tinggi yang berujung ‘ac.id’ pada URL masing-masing situs tersebut.

Mirisnya, sudah semudah itu google menyediakan referensi, kita masih saja memilih jalan pintas dengan merujuk dan meng-copas  makalah orang lain yang biasanya dengan ujung URL wordpress.com atau blogspot.com. Sumber-sumber dari situs semacam ini sangat diragukan kesahihan dan kebenarannya. Belum lagi apakah sumber tersebut bisa dipertanggungjawabkan atau tidak.

Dan parahnya lagi generasi hari ini, sudah copas bulat-bulat, kemudian tidak dibaca. Setelah di-copy kemudian susun ala kadarnya agar tidak berantakan sesuai format Microsoft Word, lalu print. Besok tampil seakan sudah mengerjakan sebuah makalah sebagai mana orang-orang pada umumnya.

Di era modern ini, kemudahan teknologi telah mengajak generasi muda cendrung memilih jalan pintas yang sangat tidak beretika, yaitu plagiarisme. Sehingga tak heran bila kualitas pendidikan hari ini tak lagi menjamin setiap individu untuk keluar dari permasalahan hidup. Karena memang kemudahan teknologi telah melahirkan generasi-generasi malas dengan wawasan yang terbatas.

Pada akhirnya, penulis mengajak kita semua agar senantiasa menjadi pemeran yang cerdas di era modern ini. Tidak salah ketika zaman menuntun kita dari kutu buku ke kutu google. Yang terpenting, mari jadikan kemudahan itu sebagai sarana untuk melesat jauh. Bukan malah menyulitkan atau sampai kepada tahap menumpulkan kualitas geutanyoe yang katanya generasi The Light of Aceh. Nah!

-Sara Masroni*-

Sara Masroni – Lulusan Terbaik Muharram Jurnalis College 2017

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com
Hak cipta gambar sebelum olah digital oleh : Nata-Ap dan Google dibawah lisensi CC0 Public Domain.

Categories
Uncategorized

MAHASISWA UIN AR-RANIRY DAN KITAB KUNING YANG KESEPIAN

Universitas Islam Negeri Ar-Raniry mungkin merupakan satu dari sedikit tempat di Aceh dimana orang-orang mempelajari beragam ilmu-ilmu keislaman. Berbeda dengan lembaga pendidikan Islam tradisional yang hanya menekankan pembelajaran Islam dalam bidang tauhid, tasawuf dan fiqh saja, pembelajaran Islam di UIN memberikan konsentrasi-konsentrasi yang berbeda. Ada yang fokus pada kajian hukum, ekonomi, aqidah, sosial, Alquran dan hadis, sastra, sejarah, bisnis, perbankan Islam dan lain-lain. Para pelajar pun diharapkan dapat menggunakan ilmu yang ia peroleh untuk menjawab dan menyelesaikan atau minimal memahami masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat.

Seorang pelajar  yang memilih satu konsentrasi ilmu tertentu mestinya sudah lebih dulu memiliki dasar pengetahuan yang memadai dalam permasalahan-permasalahan pokok dalam agama Islam. Pokok-pokok agama itu dapat juga disebut dengan ilmu fardhu ain, sedangkan pengetahuan mendalam dalam bidang-bidang keilmuan tertentu adalah ilmu fardhu kifayah.

Salah satu pengetahuan dasar yang harus dimiliki oleh seorang pelajar adalah pengetahuan bahasa Arab. Kemampuan berbicara dalam bahasa Arab mungkin tidak terlalu urgen, namun kemampuan dasar berbahasa Arab untuk sekedar dapat membaca, memahami dan menganalisa sebuah tulisan berbahasa Arab adalah suatu hal yang mutlak diperlukan. Dalam pembelajaran Islam, seorang pelajar tidak mungkin terlepas dari pemahaman Alquran, hadis dan literatur-literatur yang ditulis para ulama, dan untuk dapat mengambil pelajaran dari sana, sudah pasti penggunaan bahasa Arab adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari.

Kitab kuning merupakan sebuah istilah yang sering kita dengar. Meskipun secara bahasa, istilah tersebut tidak berdasarkan pada landasan keilmuan apapun, karena kitab merupakan kata dari bahasa Arab yang bermakna “sekumpulan lembaran-lembaran yang dijilid”, atau jika dalam bentuk kata kerjanya berarti “sebuah kegiatan melambangkan pemikiran seseorang melalui rangkaian huruf-huruf”. Penggunaan kata kitab disini berlaku untuk Segala bentuk tulisan apa saja, tidak hanya terbatas pada tulisan-tulisan seputar ilmu keislaman saja. Sedangkan, istilah kuning hanya didasarkan pada warna kertas cetakannya saja.

Kenyataannya, tulisan-tulisan apapun dalam bahasa Arab disebut juga disebut “kitab” dan kitab-kitab para ulama juga tidak hanya dicetak diatas kertas berwarna kuning.

Istilah yang lebih sesuai untuk menyebut karya-karya tulis para ulama besar dalam berbagai cabang ilmu adalah “kitab klasik”. Keistimewaan dari kitab-kitab klasik sebagai rujukan bukanlah pada bentuk fisiknya, melainkan pada tingkatan penulis itu sendiri. Para ulama-ulama besar dianggap memiliki kedudukan ilmiah yang jauh diatas penulis buku-buku berbahasa Indonesia pada umumnya. Oleh karena itu, merujuk pada pemikiran langsung para ulama tanpa melalui perantara “penerjemah” atau tulisan-tulisan orang lain dianggap lebih bernilai. Hal ini tidaklah berarti sama sekali tidak boleh merujuk pada buku-buku berbahasa Indonesia, tetapi lebih kepada agar seorang pelajar jangan melupakan bahwa ia dituntut untuk mencari sumber ilmu sejauh mungkin sampai kepada hulunya, bukannya malah berpuas diri dan berhenti ditengah jalan.

Suatu yang sudah mengakar dalam masyarakat kita adalah istilah kitab klasik hanya digunakan oleh lembaga pendidikan Islam tradisional saja. Padahal nyatanya,  di lembaga pendidikan Islam manapun, membaca kitab-kitab para ulama besar adalah sebuah keniscayaan. Rasanya sungguh tidak menyenangkan ketika seorang mahasiswa dalam diskusinya selalu memulai dengan kalimat “menurut pendapat saya, atau menurut pendapat kami”. Hal itu menimbulkan kesan bahwa kita tidak sadar bahwa kita belum memiliki wewenang apapun untuk menyejajarkan argumentasi pribadi dengan pendapat para ahli. Diskusi yang lebih bernilai adalah apa yang kita sampaikan bersumber dari Alquran, hadis dan pendapat ulama yang kompeten.

Permasalahan lain yang sering terlihat adalah beberapa orang yang dengan lantang menyampaikan sebuah penjelasan yang ia katakan berasal dari Nash Alquran dan hadis, padahal nyatanya ia hanya menumpang pada terjemahan orang lain terhadap Nash tersebut. Terjemahan tersebut hanya ia hafal dan tidak ia pahami darimana asalnya. Bersandar kepada Nash adalah memahami isi teks aslinya langsung, bukan menghafal terjemahan yang dibuat orang lain.

Kepercayaan diri dengan pendapat-pendapat pribadi dan merasa puas dengan terjemahan orang lain dirasa oleh penulis merupakan suatu hal yang umum terjadi dikalangan mahasiswa UIN Ar-Raniry.

Bahasa adalah kunci sebuah pengetahuan. Dalam pembelajaran Islam, bahasa yang menjadi kuncinya adalah bahasa Arab. Hal ini telah disebutkan oleh para ulama. Tidak mungkin seseorang dapat menjadi seorang intelektual dalam suatu cabang ilmu keislaman apapun tanpa pengetahuan sedikitpun tentang bahasa Arab, minimal kemampuan untuk membaca.

Kitab-Kitab yang Kesepian

Salah satu fasilitas yang disediakan oleh kampus bagi para pelajar adalah perpustakaan yang berisi beragam buku tentang berbagai ilmu keislaman. Buku-buku yang disediakan ada yang berbahasa Indonesia dan Arab. Meskipun ketersediaan buku-buku yang berbahasa Indonesia sudah cukup banyak, kebutuhan terhadap buku-buku yang berbahasa Arab tetap sangat penting. Rujukan-rujukan primer sebuah cabang ilmu biasanya adalah kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama dalam bahasa Arab. Oleh karena itu, kita dapat menyaksikan beragam kitab yang memiliki belasan jilid seperti tafsir ar-Razy, ath-Thabary, Syarah hadis Fath al-Bary, kitab-kitab fiqh dalam berbagai mazhab seperti al-Majmu’, al-Mughni, al-Mabsuth, al-Muhalla dan lain-lain didalam perpustakaan. Karena kitab-kitab tersebut memang rujukan yang sangat menentukan.

Kenyataannya, kitab-kitab tersebut nyaris tidak tersentuh oleh para pelajar. Penyebab pertama adalah memang minat membaca dikalangan masyarakat kita yang rendah. Namun, penyebab lain adalah pelajar tidak mampu memahami dan membacanya karena berbahasa Arab. Hal ini tentu menjadi sebuah masalah yang perlu diselesaikan. Para pelajar kita dikenal manja dengan merasa puas merujuk pada tulisan-tulisan ringkas saja, atau lebih parahnya hanya mencari ilmu agama di internet saja. Rujukan-rujukan tersebut tidak mampu menjawab banyak persoalan dan tidak sampai kepada inti masalah. Bahkan, banyak perdebatan yang tidak akan pernah selesai jika kita tidak melacaknya sampai kepada kitab-kitab induknya. Kebiasaan hanya mengandalkan rujukan yang kurang bernilai membuat seorang pelajar hanya memperoleh ilmu yang parsial dan membuatnya menjadi tertutup, merasa diri paling pintar dan benar dan sangat berani memvonis kesalahan orang lain.

Perlu Perbaikan

Solusi untuk permasalahan ini adalah, semua pelajar Islam harus menyadari betapa pentingnya Bahasa Arab dalam pembelajaran mereka. Setiap lembaga pendidikan dasar dan menengah islam harus benar-benar memberi perhatian khusus terhadap pengajaran bahasa Arab. Metode pelajaran bahasa Arab yang berlaku sekarang perlu diperbaiki. Bahasa jangan diposisikan sebagai ilmu “tujuan”, melainkan ilmu alat atau sarana. Pada umumnya kita belajar bahasa apapun adalah agar ia bisa digunakan untuk berbicara, menulis, membaca atau mendengar, bukan hanya tumpukan wawasan saja. Percuma menghafal seluruh kaidah-kaidah ketatabahasaan namun tidak mampu mengaplikasikannya.
Singkatnya, pembelajaran bahasa lebih diarahkan kepada kemampuan praktisnya, bukan menamatkan seluruh kaidah-kaidah ketatabahasaannya.

Perpustakaan UIN sendiri dapat mengambil tindakan agar ilmu-ilmu didalam kitab-kitab besar para ulama tidak lapuk sendiri tanpa pernah dibaca dan diteguk manfaatnya. Tindakan yang dimaksud adalah dengan menyediakan layanan penerjemahan terhadap kitab-kitab yang berbahasa Arab. Jadi, jika ada para pelajar yang hendak mempelajarinya namun tidak memiliki kemampuan untuk membacanya, mereka dapat menggunakan layanan penerjemahan yang disediakan. Tenaga-tenaga penerjemah dapat dipilih dari kalangan mahasiswa yang memiliki kemampuan di bidang itu. Nanti hasil dari penerjemahan seseorang akan diperiksa kebenarannya dan disimpan sebagai sebuah catatan yang bermanfaat. Tenaga penerjemah sendiri akan mendapatkan bayaran yang sepadan.

Seandainya keadaan semacam ini dibiarkan, dimana kebanyakan para pelajar justru merasa sangat asing dengan bahasa Arab, maka perkembangan keilmuan Islam di Aceh akan terus jalan di tempat. Bahasa Arab adalah bahasa Alquran dan hadis, dan keduanya merupakan sumber segala ilmu. Sungguh sangat aneh saat seseorang menempuh pendidikan tinggi dalam kajian Islam namun buta sama sekali terhadap sumber pengetahuannya.

Rudy Fachruddin-
Mahasiswa UIN Ar-Raniry Jurusan Ilmu Alquran dan Tafsir

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Categories
Uncategorized

Gerakan Literasi Padi

Banyak yang meyakini bahwa literasi adalah kunci bangkitnya sebuah peradaban. Perintah agar mampu membaca dan menulis merupakan siklus awal dari puncak kebudayaan. Ia juga menjadi prasyarat mutlak dalam proses pendidikan dan pembentukan kepribadian. Itu sebabnya membaca dan menulis menjadi komponen elementer dalam pembentukan individu yang progresif, berkemajuan. Kumpulan individu berkepribadian yang terliterasi ini akan terkulminasi menjadi kelompok manusia yang mampu melahirkan kemajuan berarti bagi kemuliaan dan eksistensinya di dunia, dimanapun mereka berada. Generasi yang terliterasi inilah yang kemudian akan membawa pencerahan kepada komunitas disekelilingnya. Mereka akan meniupkan ruh yang akan menggerakkan aktivitas manusia lebih terarah, kegiatannya lebih bermanfaat, kebudayaannya menjadi terdepan dan peradabannya menjadi lambang kemajuan dan keunggulan. Ia harus bergerak mencari ruang ekspresi, laksana air yang terus mengalir mencari tempat yang rendah agar mereka bisa terus berbagi, sampai akhirnya mereka terhenti mati. Air yang tidak bergerak, tidak mengalir, stagnan hanya akan membawa penyakit bagi peradaban.

Literasi menjadi jendela dan pintu bagi tersebarnya ilmu pengetahuan. Sebagai salah satu keahlian mendasar manusia, membaca dan menulis mendorong manusia agar menjadi lebih kreatif. Ia ibarat cahaya terang penunjuk jalan di tengah dunia yang kalut. Jika membaca adalah jendela ilmu pengetahuan, maka menulis adalah refleksi keilmuan yang terangkum dalam susunan kalimat yang menggerakkan, yang menginspirasi, yang membebaskan. Jika banyak orang bisa membaca, tidak begitu banyak yang mampu merefleksikan, menginterpretasikan dan menterjemahkan hasil bacaannya kedalam tulisan yang menggerakkan. Bukankah Cordoba dan Granada di Andalusia adalah saksi  abadi ketika literasi menjadi kepentingan bersama dan meninggalkan ego-ego sektarian? Oleh karena itu, ilmu pengetahuan pada akhirnya akan dan harus mampu membawa manusia merancang peradaban yang spektakuler, yang melampaui zamannya, menjadi sesuatu yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Literasi dan ilmu pengetahuan adalah tandem abadi. Mereka adalah sejoli visioner. Pasangan serasi yang tidak akan pernah berhenti menebarkan manfaat.

Ditengah kecamuk ide dan gagasan yang melahirkan beragam produk kebudayaan dan peradaban. Gerakan literasi bisa secara gradual membawa masyarakat keluar dari himpitan kebodohan, kemiskinan dan ketidakberdayaan. Namun gerakan literasi yang bagaimana yang bisa meningkatkan kesadaran akan pentingnya ilmu pengetahuan untuk menciptakan tatanan masyarakat yang setara, terbebas dari tekanan, dan berkemanusiaan? Sebagai bagian integral dari peradaban, gerakan literasi harus mengisi ruang kosong intelektual. Tersemainya ide-ide baru yang bisa berkontribusi bagi adanya sikap respek, saling terbuka, dan humanisme ditengah masyarakat baru akan bisa terealisasi dengan memahami filosofi padi. Produksi ide dan wacana ditengah masyarakat, akan bergerak menjadi aksi dan mendapat dukungan luas jika dia diketengahkan dengan bersahaja dan sederhana.  Bersahaja karena ia adalah literasi yang memberi substansi eksistensi, bukan melulu menampilkan diri. Sederhana karena ia merupakan wujud dari kerendahan hati tapi sebenarnya memberi manfaat tinggi. Generasi literasi padi berupaya selalu memberi ruang aspirasi dan ekspresi bagi entitas yang ada di negeri.  Dengan catatan, mereka sepakat bahwa literasi adalah bukan gerakan memonopoli dan mendominasi, tapi lebih merupakan refleksi dan pondasi bagi kegemilangan peradaban di masa depan yang sepertinya akan terlihat lebih menjanjikan dan lebih pasti.

Hak cipta gambar oleh : toshi.panda dibawah lisensi CC-NC-SA.