Categories
Tulisan Mahasiswa

Menanggapi Kegiatan ProKlim 2020 Serta Dampak Turunannya di Tahun 2022

Program Kampung Iklim (Proklim) sebagai wujud dan tanggung jawab Dinas Lingkungan Hidup, Kebersihan dan Keindahan Kota Banda Aceh (DLHK3) Provinsi Aceh sebagai akuntabilitas publik dalam pembinaan kelompok masyarakat yang bertujuan untuk upaya penyelenggaraan pemerintahan yang baik terhadap lingkungan hidup (good environmental governance). Proklim sendiri merupakan program berlingkup nasional yang dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam rangka meningkatkan keterlibatan masyarakat dan pemangku kepentingan lain untuk melakukan penguatan kapasitas adaptasi perubahan iklim dan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK). Dalam perkembangannya, Proklim telah menjadi Program yang mendapat dukungan dari beberapa daerah di provinsi Aceh guna mengatasi dampak perubahan iklim.  

Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI SK.401/MENLHK/PPI.0/10/2020 tentang Penerima Penghargaan ProKlim Tahun 2020 beberapa Kampung Iklim di Aceh yang merupakan usulan ProKlim tahun 2020 meraih kategori ProKlim Utama. Gampong Padang, Kecamatan Manggeng, Kabupaten Aceh Barat Daya berhasil meraih Penghargaan Trophy, Sertifikat dan Insentif ProKlim Utama Tahun 2020. Disamping itu juga terdapat beberapa Gampong Iklim lainnya yang juga meraih penghargaan Sertifikat ProKlim Utama Tahun 2020 diantaranya Gampong Lawe Melang Kab. Aceh Selatan, Gampong Lawe Cimanok, Kab. Aceh Selatan, Gampong Koto, Kab. Aceh Selatan, Gampong Tetingi, Kab. Gayo Lues, dan Gampong Lambung, Kota Banda Aceh.

Kegiatan ini merupakan kegiatan yang menarik dan bermanfaat besar bagi masyarakat terkait mitigasi perubahan iklim. Namun saat ini kegiatan proklim sudah sangat jarang didengar, pemberitaan terakhir terkait kegiatan ini ialah pada bulan April 2021 yang mana merupakan publish laporan hasil dari kegiatan Proklim di tahun 2020. Jika ditinjau dari program yang telah terlaksana banyak sekali kegiatan administratif, persiapan dan sosialisasi yang telah terlaksana namun belum muncul upaya fisik yang telah dilakukan guna masyarakat bisa mencicipi hasil dari program tersebut. Hal ini sangat disayangkan mengingat pada tahun 2022 ini rata rata suhu tertinggi perkotaan di Provinsi aceh berkisar 32°-34° dilansir dari bmkg.go.id.

Dampak dari perubahan iklim ini sangat serius, menurut IPCC sebuah lembaga mediasi besutan dari WMO (World Meteorological Organization) dalam jangka waktu 2022- 2026 temperatur rata- rata permukaan bumi akan mengalami peningkatan suhu sebanyak 1°-1,5° dan kemungkinan akan terus bertambah seiring berjalannya waktu. Oleh karena itu perubahan dari hal paling mendasar perlu dilakukan oleh setiap lapisan golongan masyarakat guna memperlambat peningkatan suhu yang kemungkinan akan menyebabkan berbagai bencana di kemudian hari. Kegiatan Proklim merupakan kegiatan unggulan yang mendasar dengan menitik beratkan fokus pada masyarakat gampong. Kegiatan ini sangat menarik dan dibutuhkan oleh komunitas, namun pada kenyataannya, kegiatan ini hanyalah sebatas kegiatan penunjang yang perlahan mengering di tengah panasnya bumi akibat pembakaran yang dilakukan manusia sendiri. Perlu adanya usaha maksimal dari stakeholder terkait seperti Kementrian Lingkungan Hidup dan DLHK3 Aceh untuk terus menyerukan kegiatan Proklim, melanjutkan kegiatan yang sudah ada, serta dapat terus monitoring kegiatan Proklim. Ibarat manusia jika ingin berpindah tempat tidaklah cukup dengan berjalan selangkah namun perlu beberapa langkah yang jauh. Oleh karena itu kegiatan proklim harus terus dilanjutkan karena sebuah perubahan bukanlah didapat hanya dengan sekali melangkah melainkan dengan ratusan hingga ribuan langkah

Al Fadhil

Al Fadhil – Mahasiswa Prodi Teknik Komputer, USK

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Categories
pandemi Tulisan Mahasiswa

Vaksinasi COVID-19 & Pro – Kontra Di Media Sosial

Wabah Covid-19 yang melanda dunia pada tahun 2020 menimbulkan kedaduratan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaduratan Kesehatan Masyarakat Covid-19, menetapkan status kedaduratan kesehatan, yang juga diikuti dengan terbitnya Peraturan Peraturan Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2020 tetang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Peembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Pencepatan Penanganan Covid-19.

                Pada perkembangan penanganan Covid-19 di berbagai dunia, terdapat sejumlah penelitian dalam rangka pembuatan vaksin maupun obat untuk mengatasi Covid-19. Khusus berkaitan dengan vaksin, terdapat sejumlah merek vaksin untuk Covid-19 yang telah dibuat guna mencegah penyebaran virus ini.  Dalam menyingkapi hal tersebut, pemerintah Indonesia juga turut aktif dalam rencana kegiatan vaksinasi yang akan diberikan kepada masyarakatnya. Rencana vaksinasi tersebut juga haruslah mempertimbangkan berbagai masukan, diantaranya adalah dengan melihat bagaimana respon dan opini masyarakat terhadap wacana vaksinasi tersebut. Banyak masyarakat umum yang ingin mengungkapkan segala pendapat, aspirasi dan kritikan mengenai vaksinasi Covid-19 tersebut. Namun, karena keterbatasan waktu dan ruang membuat aspirasi masyarakat selalu tidak tersampaikan (Farina & Fikri, 2021).

                Penggunaan media sosial saat ini telah menjadi salah satu kebutuhan vital baik dimasyarakat maupun institusi atau lembaga. Beragam informasi dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat melalui perangkat teknologi yang mereka miliki. Para pengguna media sosial dapat mengakses dengan mudah informasi terkaiat kesehatan yang beredar diberbagai bentuk platform media sosial yang ada. Salah satunya adalah penyebaran informasi tentang adanya vaksinasi Covid-19. Banyak dari masyarakat menyampaikan pendapat mereka, ada yang pro dan tidak sedikit masyarakat yang kontra terhadap informasi tersebut.

                Penyebaran informasi tentang vaksinasi Covid-19 menuai pro dan kontra. Banyak masyarakat biasa maupun publik figur menyampaikan kekhawatirannya tentang adanya vaksin ke media sosial yang mereka miliki. Kekhawatiran yang masyarakat sampaikan dimedia sosial biasanya terkait dengan keraguan keefektifan vaksin tersebut terhadap pencegahan virus Covid-19, kecemasan setelah divaksin (pasca-vaksin), kecemasan kerena usia, bahkan ada yang lebih parah yaitu secara terang-terangan menyampaikan penolakan terhadap vaksin. Lebih bahaya lagi adalah ada orang yang tidak percaya terhadap Covid-19 dan langsung menyampaikannya dimedia sosial yang mereka miliki dengan jumlah pengikut yang banyak. Hal ini tentu sangat berdampak terhadap masyarakat luas, mengingat mereka memiliki followers yang banyak, dan tentu saja postingan yang mereka upload akan menuai komentar yang tidak sedikit ikut menyetujui terhadap postingan tersebut, tanpa menganalisis kebenaran terhadap apa yang disampaikan terlebih dahulu. Word Health Organisation (WHO) pada tahun 2019, menyatakan bahwa keengganan untuk divaksin menjadi salah satu dari 10 (sepuluh) ancaman teratas terhadap kesehatan masyarakat dimana Mathew Toll dan Ang Li menyebutkan bahwa keengganan untuk divaksin ini disebut sebagai sifat negatif atau disebut juga sebagai prilaku anti vaksin (2020). Kecemasan ini merupakan suatu hal yang wajar, karena minimnya informasi yang didapatkan oleh masyarakat tentang vaksin Covid-19 (Kumparan, 25 April 2021). Kecemasan ini juga bisa disebabkan banyaknya penyebaran informasi bohong (hoax) yang tersebar luas di media sosial yang tentu saja sangat mudah diakses oleh masyarakat luas.

                Menyampingkan kecemasan, tidak sedikit juga masyarakat biasa dan publik figur yang menyetujui program pemerintah tentang vaksin Covid-19. Bahkan banyak para medis menyampaikan keampuhan vaksin dalam mencegah dan memutuskan mata rantai penularan virus Covid-19 di paltform media sosial yang mereka miliki. Dengan hal ini seharusnya masyarakat tidak perlu khawatir dengan adanya vaksin ini, karena proses tahapan pengujian vaksin Covid-19 dilakukan dengan ketat.

Banyak hal yang mengakibatkan kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap vaksin Covid-19, salah satunya adalah kurangnya kepercayaan masyarakat Indonesia terdapat pemerintah terutama dalam hal keamanan vaksin. Ketidakpercayaan terhadap pemerintah dapat berkontribusi pada keraguan vaksin, penolakan vaksin dari masyarakat bahkan tidak sedikit masyarakat yang menganggapp bahwa vaksinasi hanyalah bisnis yang dilakukan oleh para elit.

Untuk itu pemerintah perlu membangun membangun kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan tenaga kesehatan, sistem biomedis, dan teknologi vaksin yang semuanya diperlukan untuk menciptakan lingkungan penerimaan vaksinasi. Instansi pemerintah perlu menjangkau masyarakat yang enggan divaksin melalui pihak-pihak melalui pemerintah terutama penyedia layanan kesehatan. Pemerintah memerlukan teknik komunikasi yang lebih efektif dan inovatif untuk mendapatkan kepercayaaan masyarakat terutama memamnfaatkan teman sebaya seperti asosiasi, profesional, kelompok agama dan juga memperkuat hubungan antara pejabatkesehatan dengan praktisi pengobatan alternatif agar dapat menjangkau masyarakat yang masih ragu tentang program vaksinasi (Era & Astriana, 2021)

Untuk meminimalisir hasil negatif dari komunikasi bencana kesehatan terutama vaksinasi maka diperlukan mobilisasi permainan media sosial terutama para ahli dan pemerintah untuk mengerahkan perhatian publik pada sumber informasi sains yang terpercaya. Ini harus menjadi upaya utama pemerintah dalam menangapi ketidakpercayaan masyarakat terutama dalam aspek keamanan vaksin dan efek samping dari vaksin. Sehingga informasi palsu yang beredar di media sosial dapat diminimalisir jika masyarakat terus diarahkan pada sumber sains yang terpercaya. (Limaye RJ, 2020). Dengan demikian, status darurat keamanan kesehatan (health security) masyarakat yang menjadi tanggung jawab pemerintah, meskipun berat, bisa diminimalisir ke depan.

 

Referensi:

Jurnal:

Era Purike & Astriana Baiti. (2021). Informasi Vaksin di Media Sosial dan Program Vaksin Covid-19: Langkah Apa yang Dapat Dilakukan Oleh Pemerintah Republik Indonesia?, iasambas, 4(2), 58-69.

Farina Gandryani & Fikri Hadi. (2021). Pelaksanaan Vaksinasi Covid-19 di Indonesia: Hak Atau Kewajiban Warga Negara, Rechts Vinding Media Pembinaan Hukum Nasional, 10(1), 23-41.

Limaye RJ, S. M. (2020). Building Trust While Influencing Online Covid-19 Content in The Social Media Word. Lancet Digital Health. 7500(20).

Methew Toll, A. L. (2020). Vaccine Sentiment and Under-Vaccination : Attitudes and Behavior Around Measles, Mumps, and Rubella Vaccine (MMR) in an Australian Cohort. 11(021), 1-9.

Kurniawan, R,. & Aprilia, A. (2020). Analisis Sentiment Masyarakat Terhadap Virus Corona Berdasarkan Opini Dari Twitter Berbasis Web Scraper. Jurnal INSTEKS (Informasi Sains dan Ternologi), 5(1), 67-75.

Media Massa:

Syarbiansyah, Rijal. (2021), “Pro dan Kontra Vaksin COVID-19”. Kumparan.

Anwar, Firdaus (2021), “Pro dan Kontra Sertifikat Vaksinasi COVID-19 Jadi Syarat Perjalanan. Detikcom.

Putri, Vanya Karunia Mulia (2021), “Contoh Mosi Debat Po dan Kontra Tentang Covid-19”. Kompas.com

 

Sri Multi Mailisa (Mahasiswa Ilmu Politik, FISIP UIN Ar-Raniry Banda Aceh)

Link Media Sosial: Instagram (smmailisa) email: sri.multi.maylisa@gmail.com

 

Categories
Uncategorized

POLEMIK ISTILAH KAFIR

Menuju Pilpres April 2019 mendatang, berbagai hal hal kontroversial seolah-olah timbul tenggelam dan menjadi asupan publik setiap hari. Berbagai polemik terus bermunculan setiap saat,dan menjadi bahan perdebatan di kalangan akademisi, publik figur, maupun masyarakat awam sekalipun. Salah satunya mengenai penggunaan istilah “kafir” yang menjadi polemik dipusaran Pilpres kali ini.

Nahdhatul ulama(NU) sebagai salah satu organisasi Islam massa terbesar di dunia, tempo lalu membuat heboh jagat maya. Pasalnya, NU secara resmi menganjurkan anggotanya untuk tidak lagi menggunakan sebutan istilah kafir terhadap non-Islam, karena menganggap penggunaan istilah tersebut terlihat ofensif dan cenderung mengambil konotasi yang buruk (menghina). Dalam rapat pleno Munas NU yang dilaksanakan di Banjar beberapa minggu yang lalu, organisasi itu menjelaskan penyebutan istilah kafir tidak dikenal dalam sistem negara bangsa. Karena dalam negara kebangsaan setiap warga negara dianggap sama dimata hukum (konstitusi), oleh karena itu, NU menganjurkan para anggotanya untuk menyebut non-muslim sebagai muwathin atau warga negara.

Berbagai reaksi muncul ditengah masyarakat, sebagian sepakat atas keputusan hasil munas NU tersebut. Keputusan itu dinilai sejalan dengan asas bangsa Indonesia, yang menghargai keberagaman beragama. Apalagi, Indonesia negara yang berdasarkan pada falsafah Pancasila bukan formalisasi Islam. Keputusan NU tersebut juga menemukan momentumnya beberapa tahun belakangan ini, yaitu ketika ujaran kebencian berbau agama telah menjadi suatu momok yang memperihatinkankan dalam wacana politik di tanah air.

Pun demikian, tidak sedikit masyarakat muslim yang menolak keputusan NU tersebut. Pihak yang menolak membangun argumen bahwa apa yang dilakukan oleh “organisasi sarungan” itu telah menyalahi aturan kaidah dalam agama Islam karena berusaha mengamandemen al-Quran dan menghilangkan kata kafir. — satu istilah kafir yang tertera di dalam ayat al-Quran. Bahkan salah satu surat dalam al-Qur’an bernama surat al-Kafirun (orang-orang kafir). Di sisi lain, sebagian masyarakat juga menilai adanya kepentingan terkait kontestasi politik, lantaran NU dianggap pro petahana. Keputusan NU itu dianggap bertujuan untuk menggalang suara dari pemilih non-muslim, pada Pemilu 2019.Tudingan bahwa NU pro petahana bukan tanpa alasan, pasalnya, Joko Widodo pada ajang Pilpres 2019 ini menggaet Ma’ruf Amin yang menjabat sebagai rais aam PBNU, sebagai pendampingnya.

Ketua konferensi Abdul Moqsith Ghazali, mengatakan, penggunaan istilah kafir mengandung “kekerasan teologis” dan sering digunakan oleh oknum-oknum tertentu sebagai alat mendiskriminasi kaum minoritas (non-muslim). Dia juga menegaskan bahwa NU tidak bermaksud untuk mengubah makna dan istilah kafir dalam al-Qur’an.

Tidak dapat dipungkiri, dengan meningkatnya ekstremisme Islam – oleh golongan tertentu, penggunaan istilah kafir tidak lagi pada konteksnya. Malah menjadi semacam suatu batasan penutup dan alat untuk mengintimidasi dalam masyarakat Indonesia yang pluralis dan heterogen. Kata “kafir” dengan mudah mengalir dari mulut kemulut untuk ditujukan kepada mereka yang dianggap tidak sepemahaman dan yang berbeda pendapat.

Ditambah, ini adalah tahun-tahun dimana dunia politik yang paling kacau, pasca jatuhnya rezim Orde Baru. Terjadinya berbagai perubahahan tatanan arah perpolitikan di Indonesia, mulai dari munculnya berbagai partai-partai politik baru, yang mengusung berbagai ideologi. Selain itu berbagai kebijakan mulai disusun secara lebih sistematik sesuai alur demokrasi. Kebebasan berpendapat di ruang publik terbuka. Namun, tampaknya kebebasan tersebut, member ruang pula untuk tumbuh pesatnya perkembangan ormas ormas Islam ekstrim, seperti HTI maupun FPI,yang beberapa tahun terakhir ini mulai menunjukan sikap yang radikal terhadap sistem yang ada. Hal yang tidak akan kita temukan di zaman Orde Baru. Di mana ormas maupun parpol yang yang tidak sejalan dengan pemerintah cenderung dibungkam dan kehilangan eksistensinya sama sekali. Berkembangnya paham radikal golongan islam konservatif menjadi sesuatu yang amat mengkhawatirkan terhadap kedaulatan NKRI dikarenakan mereka berusaha meraungkan paham khilafah yang notabene bertentangan dengan konstitusi maupun sistem negara Indonesia.

Hal ini pula yang menjadi perhatian serius para kyai NU,yang dalam pandangan mereka Pancasila merupakan suatu landasan final dan tidak dapat diganggu gugat. NU yang merupakan ormas yang lahir tahun 1920 ini punya pandangan yang lebih moderat, terbuka dan pluralisBahkan sering dicap liberal oleh kelompok ormas ekstrim lainnya.

Hal yang harus direnungkan, dalam cara kita bernegara adalah bahwa perbedaan pendapat dalam suatu negara demokrasi merupakan hal yang lumrah dan lazim . Malahan hal itulah yang menjadi ciri khas dalam sistem demokrasi, sebagai perwujudan kebebasan beraspirasi baik secara individual, kelompok serta golongan dalam masyarakat yang plural. Sehingga tidak mengherankan munculnya pro-kontra bahkan konflik dalam masyarakat sekalipun, yaitu manakala suatu masalah dilihat dari persepsi dan sudut pandang yang berbeda,yang diiringi dengan sikap tidak toleran. Perihal benar atau salahnya adalah kembali kepada tingkat kemampuan individu meninjau permasalahan sesuai konteks dan konsep yang diterapkan.

Alhasil terlepas dari berbagai stigma yang bermunculan, patutlah kita sadari, bahwa intisari serta tujuan dalam merumuskan persoalan polemik istilah kafir tersebut, apalagi dalam subtansi keagamaan yang relatif sensitif, tentu perlu pengkajian yang lebih serius dan matang. Melalui pembacaan referensi keagamaan yang disandingkan dengan konsepsi Pancasila sebagai ideologi yang final di negeri ini.

-Sahirdin*-

Sahirdin – Mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Langsa dan Pegiat di Kelompok Diskusi Bawah Pohon

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Categories
Uncategorized

DEMOKRASI ELEKTORAL DAN HOAX

Pemilihan umum atau pemilu adalah kontestasi politik untuk memilih orang-orang untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu di ranah pemerintahan. Pesta demokrasi ini selalu dilakukan secara rutin oleh negara untuk keberlangsungan demokrasi. Tujuannya adalah untuk meraih kemenangan dan kekuasaan. Tentu saja akan ada dinamika yang terjadi, dan itu bisa sangat beragam. Terkadang ada tindakan kekerasan terhadap lawan politik baik verbal maupun non-verbal, termasuk penyebaran isu negatif untuk menjatuhkan lawan. Hoax atau fenomena penyebaran isu bohong adalah satunya. Apalagi ditengah hiruk-pikuk politik menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum Presiden dan Calon Legislatif tahun 2019 mendatang. Masyarakat umumnya cenderung mudah terpengaruh isu-isu sensitif yang dimainkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab dan mereka juga rentan dipengaruhi pola pikirnya ditengah kebiasaan malas membaca. Hal ini semakin membuat berita bohong atau hoax akan sangat mudah menyebar.

Hoax adalah tindakan, dokumen atau artefak yang tidak benar adanya atau yang “sengaja” dibuat dan disebar luaskan di kalangan masyarakat yang bertujuan untuk menjatuhkan lawan. Hoax sangat perlu diantisipasi dalam pemilu, karena mengakibatkan terjadinya kekacauan dan permusuhan serta saling mencurigai dalam masyarakat. Fenomena ini sudah mulai menjadi masalah sejak Pemilu 2014.

Munculnya hoax sendiri tidak terlepas dari perkembangan dunia informasi dan teknologi. Saat ini dimana penggunaan sosial media yang semakin meninggi dimana sebagaimana data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet (APJII) menyatakan bahwa data pengguna internet di Indonesia sudah mencapai 132,7 juta. Karakter daerah dengan pengguna smart phone yang tinggi menjadi penentu besar kecilnya dampak penyebaran hoax. Metode kampanye dengan menggunakan media sosial, pemberitaan, dan penyiaran bisa membuat hoax dalam sekejap mata dengan mudah tersebar. Bahkan sejak pileg/pilpres tahun 2014, pemilihan kepala daerah 2017 dan 2018, berita hoax memiliki dampak yang luas dalam konteks pemilu dan diprediksikan bahwa, pemilu 2019 penyebaran hoax akan tinggi frekuensinya di kalangan masyarakat. Indonesia sendiri adalah negara dengan pengguna media sosial tertinggi kelima di dunia. Diiringi dengan rendahnya semangat membaca dan tingginya penggunaan teknologi informasi, ketidak seimbangan informasi sampai munculnya hoax menjadi semakin sulit dikendalikan.

Hoax sendiri yang muncul dari sumber media sosial dan media informasi lainnya. Sebagaimana data dari 2017 Keminfo bahwa hoax menyebar dari berbagai media. Rinciannya adalah 92,4 persen media sosial, 62, 8 persen aplikasi chat, 8,7 persen situs web, 5 persen televisi, 3,1 persen media cetak, menyusul email dan radio dengan 1,2 persen. Oleh karena itu pihak penyelenggara Pemilu juga berupaya menangkal perkembangan hoax dengan berbagai metode. Salah satunya ada dalam pasal 310 dan 311 KUHP dan UU ITE sudah dijelaskan bahwa “barangsiapa yang menyebarkan atau memberikan informasi buruk di internet bisa diancam pidana”. Selain itu berbagai regulasi hukum juga terus dibenahi bagi para penyebar berita palsu dan pengelola akun hantu.

Disisi lain, hendaknya masyarakat diharapkan mengenal dan menghindari hoax dalam pemilu dengan berbagai cara. Pertama cek narasumber dan cek sumbernya dengan jelas. Jika tidak ada kejelasan narasumber dan sumber bisa dipastikan berita itu hoaxKedua, antisipasi judul berita provokatif. Hindari judul berita yang provikatif dengan cara membaca berita dari sumber-sumber yang lain. Judul berita yang provokatif sengaja dibuat untuk meningkatkan kunjungan pembaca padahal belum tentu konteks tersebut benar adanya. Ketiga, baca berita menyeluruh. Setiap berita yang didapat harus dibaca secara menyeluruh, biasanya orang hanya suka membaca headline nya saja, yang bisa jadi itu sengaja dimegah-megahkan untuk menarik perhatian pembaca. Keempat, jangan mudah percaya dengan foto atau video yang dibagikan di media sosial karena hasil editan dengan yang aslinya sangat sulit untuk dibedakan. Kelima, jangan latah dalam bagikan berita. Harus berpikir panjang dan cek kebenarannya sebelum berita dibagikan. Keenam, kritis dan cuek. Kritis dalam memilih informasi, mana yang benar dan mana yang salah serta cuek dalam menanggapi berita yang bersifat provokatif.

Pemerintah mempunyai peranan penting untuk mencegah hoax dalam pemilu dan mencegah hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Hal-hal yang dilakukan oleh pemeintah untuk menangkal hoax dalam pemilu, yaitu regulasi kampanye pemilu 2019 mewajibkan peserta pemilu mendaftarkan akun resmi media sosial yang dimilikinya sehingga apabila ketahuan melalukukan kampanye hitam bisa diberikan sanksi, membuat komitmen dengan peserta pemilu untuk tidak berkampanye hitam, penyelenggara pemilu memperkuat kemitraan dengan cyber-crime kepolisian, penyelenggara pemilu menguatkan hubungan dengan kominfo untuk memberikan sosialisasi kepada masyarakat, memberikan sanksi kepada media yang menyebarkan berita hoax dan isu SARA, dan bekerjasama dengan media sosial untuk menyebarkan konten positif dalam pemilu dan dipastikan peserta pemilu akan menggunakan saluran tersebut karena dianggap praktis dalam kampanye pemilihan.

-Elizawati dan Toni Ruswandi*-

Mahasiswa FISIP UIN Ar-Raniry

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Categories
Tulisan Mahasiswa

Indeks Prestasi Puasa

Setiap ujian pasti punya nilai akhir. Perkuliahan selama satu semester, akan diambil satu masa penilaian pada ujian akhir, atau yang disebut dengan masa final. Pada masa itu sangat menentukan berapa nilai yang akan didapat pada transkrip nilai yang dikeluarkan akademik nantinya, nilai itulah yang disebut dengan Indeks Prestasi (IP).

Tidak jauh berbeda dengan puasa Ramadhan. Selama 11 bulan terhitung sejak Syawal hingga Syahban, ada satu bulan yang disebut bulan ujian yaitu bulan Ramadhan. Kita diuji selama sebulan penuh menahan hawa nafsu mulai dari makan dan minum di siang hari, mengendalikan emosi, melihat maksiat, berbicara yang sia-sia hingga mendengar sesuatu yang menjauhkan diri kepada Allah SWT.

Setelah ujian sebulan penuh berlangsung, maka didapatlah hasil transkrip nilai yang dikeluarkan oleh Allah SWT dalam bentuk indeks prestasi puasa, atau yang lebih familiar disebut dengan sebutan taqwa (Al-Baqarah 185). Namun bagaimana mengidentifikasi gelar taqwa pasca Ramadhan? Apakah semudah mengindentifikasi indeks prestasi pada perkuliahan yang hanya membuka portal web lalu memasukan username dan password maka semuanya sudah tertera di sana?

Categories
Uncategorized

DARI KUTU BUKU KE KUTU GOOGLE

Refleksi Hari Buku Nasional, 17 Mei 2017.

Dahulu, sebutan kutu buku diberikan kepada mereka yang kesehariannya tak pernah lepas dengan buku. Benda ini menjadi teman setia kemana saja pergi. Di dalam bus, di jalan raya, di caffee, hingga di kamar tidur, buku menjadi teman hingga terlelap.

Ada sesuatu yang kurang bila sehari saja tidak mengisi aktivitas dengan membaca buku. Belum selesai membaca satu buku, sudah membaca buku yang lain. Buku membuat hidup mereka lupa dengan segalanya. Di mana ada mereka di situ ada buku, begitulah sebutan untuk para kutu buku.

Namun setelah kehadiran google saat ini, menyebabkan terjadi perubahan besar-besaran dalam dunia membaca. Hampir semua orang menghabiskan waktu dengan smartphone untuk membaca. Tak jarang kita lihat orang-orang yang kakinya sedang berjalan tetapi matanya di smartphone. Mungkin saja yang dibaca sekedar status atau notifikasi pada facebook. Sehingga fenomena inilah yang kemudian penulis sebut sebagai sebuah peralihan dari kutu buku ke kutu google.

Zaman telah berganti. Kita seakan dituntun dari sesuatu yang nyata menuju sesuatu yang maya. Termasuk halnya dalam proses memebaca. Jika dahulu dikenal istilah buku jendela dunia, sekarang berubah menjadi google jendela dunia. Cukup dengan hitungan detik, bacaan yang diinginkan dengan mudah ditemukan. Buku saat ini sudah ditinggalkan. Semua beralih ke dunia cyber (internet) yang hanya bermodalkan smartphone dan paket data yang cukup, dunia berada dalam genggaman kita.

Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan MCLuhan dalam buku Matinya Dunia Cyberspace (Hadi, 2005: 3). Ia meyakini bahwa perkembangan teknologi telah memungkinkan manusia hidup dalam dunia yang disebut desa global (global village). Yaitu sebuah dunia yang tidak lebih besar dari sebuah layar kaca.

Fenomenanya hari ini, tak jarang ketika seorang anak demam panas, para ibu cukup membuka google untuk mengetahui obat apa yang mesti diberikan tanpa harus mempertanyakan kepada orang lain terlebih dahulu. Canggihnya lagi, google tak hanya menyuguhkan sekedar bacaan, tetapi audio visual seperti film dan berbagai tutorial dapat ditemukan di mesin pencari ajaib itu, termasuk tutorial memasak dan berenang. Sangat terkesan lebih canggih dari sebuah buku, bukan?

Namun, bila kita renungi kembali, apakah kemajuan teknologi ini benar-benar telah memudahkan kita? Dari segi kualitas, apakah kita melesat jauh dibandingkan orang-orang terdahulu?

Sekarang hampir tidak ditemukan lagi aktivitas masyarakat yang disibukkan dengan buku. Semua tugas, baik pelajar maupun mahasiswa larinya ke warung kopi yang tersedia wifi gratisnya. Tidak perlu bersusah  payah lagi mencari literature bacaan pada pustaka dan toko buku yang sangat menyita waktu dan melelahkan. Cukup dengan memesan secangkir kopi, maka mesin ajaib google dapat digerakkan dengan menyuguhkan semuanya secara gratis.

Akibatnya pustaka sepi. Bila pun ada, kebanyakan mereka adalah para mahasiswa semester akhir yang tengah merampungkan skripsinya. Sangat disayangkan. Berbeda dengan orang-orang terdahulu. Ketika mendapat tugas, semua pustaka dijajal. Buku menjadi rujukan utama.  Pantang pulang sebelum dapat. Kalau buku yang dicari belum ditemukan, beralih ke segala sudut kota mencari toko buku. Yang terpenting pada saat itu, buku dapat, dan tugas selesai.  Sehingga tak jarang uang jajan disisihkan demi membeli buku yang dicari. Perjuangan memang berat di zaman itu.

Dengan buku, pada masa itu semua orang dipaksa untuk membaca. Tak ada istilah mengerjakan makalah dalam waktu sehari. Butuh waktu berhari-hari untuk menyelesaikan satu tugas saja. Mau tidak mau. Jika ingin sebuah tugas selesai maka baca dulu bahan dari buku, baru kemudian ditulis dan disusun hingga menjadi sebuah makalah. Sehingga zaman itu sedikit sekali terdengar adanya plagiat. Kualitas para lulusan pun, sarjana sudah dipastikan jauh dari pengangguran.

Berbeda dengan apa yang terjadi hari ini. Tak jarang sebagian pelajar dan mahasiswa dengan seenaknya mencomot makalah yang tidak diketahui siapa penulisnya, siapa yang bisa mempertanggungjawabkan isinya dan seberapa besar keabsahannya. Plagiarisme dan copy-paste (copas) menjadi lumrah dan dianggap sah-sahnya saja. Hal ini kemudian menjadi keresahan kita bersama terhadap kehadiran dunia cyber di tengah masyarakat.

Sehingga tak heran bila berkembangnya teknologi, bukan mempermudah, tetapi malah menyulitkan dan mematikan kreatifitas bahkan kualitas manusia. Miris memang. Saat ini kita seperti salah kaprah dan belum bisa menempatkan diri sebagai konsumen yang cerdas terhadap perkembangan dunia cyber. Hal ini sebenarnya dapat disiasati dengan kesadaran pengguna internet untuk menempatkan diri sebagai pengguna yang cerdas.

Google dapat menjadi referensi yang baik bila digunakan dengan cerdas. Dalam google ada yang namanya Google Buku. Isinya ada ribuan buku yang dapat digunakan sebagai referensi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Kemudian ada pula Google Cendikia yang isinya memuat berbagai jurnal-jurnal terbaru yang cukup baik digunakan sebagai referensi dengan mudah dan gratis.

Atau jika ingin mengambil data yang akurat, gunakan rujukan dari situs-situs resmi pemerintahan yang berujung ‘go.id’ atau situs-situs resmi perguruan tinggi yang berujung ‘ac.id’ pada URL masing-masing situs tersebut.

Mirisnya, sudah semudah itu google menyediakan referensi, kita masih saja memilih jalan pintas dengan merujuk dan meng-copas  makalah orang lain yang biasanya dengan ujung URL wordpress.com atau blogspot.com. Sumber-sumber dari situs semacam ini sangat diragukan kesahihan dan kebenarannya. Belum lagi apakah sumber tersebut bisa dipertanggungjawabkan atau tidak.

Dan parahnya lagi generasi hari ini, sudah copas bulat-bulat, kemudian tidak dibaca. Setelah di-copy kemudian susun ala kadarnya agar tidak berantakan sesuai format Microsoft Word, lalu print. Besok tampil seakan sudah mengerjakan sebuah makalah sebagai mana orang-orang pada umumnya.

Di era modern ini, kemudahan teknologi telah mengajak generasi muda cendrung memilih jalan pintas yang sangat tidak beretika, yaitu plagiarisme. Sehingga tak heran bila kualitas pendidikan hari ini tak lagi menjamin setiap individu untuk keluar dari permasalahan hidup. Karena memang kemudahan teknologi telah melahirkan generasi-generasi malas dengan wawasan yang terbatas.

Pada akhirnya, penulis mengajak kita semua agar senantiasa menjadi pemeran yang cerdas di era modern ini. Tidak salah ketika zaman menuntun kita dari kutu buku ke kutu google. Yang terpenting, mari jadikan kemudahan itu sebagai sarana untuk melesat jauh. Bukan malah menyulitkan atau sampai kepada tahap menumpulkan kualitas geutanyoe yang katanya generasi The Light of Aceh. Nah!

-Sara Masroni*-

Sara Masroni – Lulusan Terbaik Muharram Jurnalis College 2017

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com
Hak cipta gambar sebelum olah digital oleh : Nata-Ap dan Google dibawah lisensi CC0 Public Domain.

Categories
Uncategorized

MAHASISWA UIN AR-RANIRY DAN KITAB KUNING YANG KESEPIAN

Universitas Islam Negeri Ar-Raniry mungkin merupakan satu dari sedikit tempat di Aceh dimana orang-orang mempelajari beragam ilmu-ilmu keislaman. Berbeda dengan lembaga pendidikan Islam tradisional yang hanya menekankan pembelajaran Islam dalam bidang tauhid, tasawuf dan fiqh saja, pembelajaran Islam di UIN memberikan konsentrasi-konsentrasi yang berbeda. Ada yang fokus pada kajian hukum, ekonomi, aqidah, sosial, Alquran dan hadis, sastra, sejarah, bisnis, perbankan Islam dan lain-lain. Para pelajar pun diharapkan dapat menggunakan ilmu yang ia peroleh untuk menjawab dan menyelesaikan atau minimal memahami masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat.

Seorang pelajar  yang memilih satu konsentrasi ilmu tertentu mestinya sudah lebih dulu memiliki dasar pengetahuan yang memadai dalam permasalahan-permasalahan pokok dalam agama Islam. Pokok-pokok agama itu dapat juga disebut dengan ilmu fardhu ain, sedangkan pengetahuan mendalam dalam bidang-bidang keilmuan tertentu adalah ilmu fardhu kifayah.

Salah satu pengetahuan dasar yang harus dimiliki oleh seorang pelajar adalah pengetahuan bahasa Arab. Kemampuan berbicara dalam bahasa Arab mungkin tidak terlalu urgen, namun kemampuan dasar berbahasa Arab untuk sekedar dapat membaca, memahami dan menganalisa sebuah tulisan berbahasa Arab adalah suatu hal yang mutlak diperlukan. Dalam pembelajaran Islam, seorang pelajar tidak mungkin terlepas dari pemahaman Alquran, hadis dan literatur-literatur yang ditulis para ulama, dan untuk dapat mengambil pelajaran dari sana, sudah pasti penggunaan bahasa Arab adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari.

Kitab kuning merupakan sebuah istilah yang sering kita dengar. Meskipun secara bahasa, istilah tersebut tidak berdasarkan pada landasan keilmuan apapun, karena kitab merupakan kata dari bahasa Arab yang bermakna “sekumpulan lembaran-lembaran yang dijilid”, atau jika dalam bentuk kata kerjanya berarti “sebuah kegiatan melambangkan pemikiran seseorang melalui rangkaian huruf-huruf”. Penggunaan kata kitab disini berlaku untuk Segala bentuk tulisan apa saja, tidak hanya terbatas pada tulisan-tulisan seputar ilmu keislaman saja. Sedangkan, istilah kuning hanya didasarkan pada warna kertas cetakannya saja.

Kenyataannya, tulisan-tulisan apapun dalam bahasa Arab disebut juga disebut “kitab” dan kitab-kitab para ulama juga tidak hanya dicetak diatas kertas berwarna kuning.

Istilah yang lebih sesuai untuk menyebut karya-karya tulis para ulama besar dalam berbagai cabang ilmu adalah “kitab klasik”. Keistimewaan dari kitab-kitab klasik sebagai rujukan bukanlah pada bentuk fisiknya, melainkan pada tingkatan penulis itu sendiri. Para ulama-ulama besar dianggap memiliki kedudukan ilmiah yang jauh diatas penulis buku-buku berbahasa Indonesia pada umumnya. Oleh karena itu, merujuk pada pemikiran langsung para ulama tanpa melalui perantara “penerjemah” atau tulisan-tulisan orang lain dianggap lebih bernilai. Hal ini tidaklah berarti sama sekali tidak boleh merujuk pada buku-buku berbahasa Indonesia, tetapi lebih kepada agar seorang pelajar jangan melupakan bahwa ia dituntut untuk mencari sumber ilmu sejauh mungkin sampai kepada hulunya, bukannya malah berpuas diri dan berhenti ditengah jalan.

Suatu yang sudah mengakar dalam masyarakat kita adalah istilah kitab klasik hanya digunakan oleh lembaga pendidikan Islam tradisional saja. Padahal nyatanya,  di lembaga pendidikan Islam manapun, membaca kitab-kitab para ulama besar adalah sebuah keniscayaan. Rasanya sungguh tidak menyenangkan ketika seorang mahasiswa dalam diskusinya selalu memulai dengan kalimat “menurut pendapat saya, atau menurut pendapat kami”. Hal itu menimbulkan kesan bahwa kita tidak sadar bahwa kita belum memiliki wewenang apapun untuk menyejajarkan argumentasi pribadi dengan pendapat para ahli. Diskusi yang lebih bernilai adalah apa yang kita sampaikan bersumber dari Alquran, hadis dan pendapat ulama yang kompeten.

Permasalahan lain yang sering terlihat adalah beberapa orang yang dengan lantang menyampaikan sebuah penjelasan yang ia katakan berasal dari Nash Alquran dan hadis, padahal nyatanya ia hanya menumpang pada terjemahan orang lain terhadap Nash tersebut. Terjemahan tersebut hanya ia hafal dan tidak ia pahami darimana asalnya. Bersandar kepada Nash adalah memahami isi teks aslinya langsung, bukan menghafal terjemahan yang dibuat orang lain.

Kepercayaan diri dengan pendapat-pendapat pribadi dan merasa puas dengan terjemahan orang lain dirasa oleh penulis merupakan suatu hal yang umum terjadi dikalangan mahasiswa UIN Ar-Raniry.

Bahasa adalah kunci sebuah pengetahuan. Dalam pembelajaran Islam, bahasa yang menjadi kuncinya adalah bahasa Arab. Hal ini telah disebutkan oleh para ulama. Tidak mungkin seseorang dapat menjadi seorang intelektual dalam suatu cabang ilmu keislaman apapun tanpa pengetahuan sedikitpun tentang bahasa Arab, minimal kemampuan untuk membaca.

Kitab-Kitab yang Kesepian

Salah satu fasilitas yang disediakan oleh kampus bagi para pelajar adalah perpustakaan yang berisi beragam buku tentang berbagai ilmu keislaman. Buku-buku yang disediakan ada yang berbahasa Indonesia dan Arab. Meskipun ketersediaan buku-buku yang berbahasa Indonesia sudah cukup banyak, kebutuhan terhadap buku-buku yang berbahasa Arab tetap sangat penting. Rujukan-rujukan primer sebuah cabang ilmu biasanya adalah kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama dalam bahasa Arab. Oleh karena itu, kita dapat menyaksikan beragam kitab yang memiliki belasan jilid seperti tafsir ar-Razy, ath-Thabary, Syarah hadis Fath al-Bary, kitab-kitab fiqh dalam berbagai mazhab seperti al-Majmu’, al-Mughni, al-Mabsuth, al-Muhalla dan lain-lain didalam perpustakaan. Karena kitab-kitab tersebut memang rujukan yang sangat menentukan.

Kenyataannya, kitab-kitab tersebut nyaris tidak tersentuh oleh para pelajar. Penyebab pertama adalah memang minat membaca dikalangan masyarakat kita yang rendah. Namun, penyebab lain adalah pelajar tidak mampu memahami dan membacanya karena berbahasa Arab. Hal ini tentu menjadi sebuah masalah yang perlu diselesaikan. Para pelajar kita dikenal manja dengan merasa puas merujuk pada tulisan-tulisan ringkas saja, atau lebih parahnya hanya mencari ilmu agama di internet saja. Rujukan-rujukan tersebut tidak mampu menjawab banyak persoalan dan tidak sampai kepada inti masalah. Bahkan, banyak perdebatan yang tidak akan pernah selesai jika kita tidak melacaknya sampai kepada kitab-kitab induknya. Kebiasaan hanya mengandalkan rujukan yang kurang bernilai membuat seorang pelajar hanya memperoleh ilmu yang parsial dan membuatnya menjadi tertutup, merasa diri paling pintar dan benar dan sangat berani memvonis kesalahan orang lain.

Perlu Perbaikan

Solusi untuk permasalahan ini adalah, semua pelajar Islam harus menyadari betapa pentingnya Bahasa Arab dalam pembelajaran mereka. Setiap lembaga pendidikan dasar dan menengah islam harus benar-benar memberi perhatian khusus terhadap pengajaran bahasa Arab. Metode pelajaran bahasa Arab yang berlaku sekarang perlu diperbaiki. Bahasa jangan diposisikan sebagai ilmu “tujuan”, melainkan ilmu alat atau sarana. Pada umumnya kita belajar bahasa apapun adalah agar ia bisa digunakan untuk berbicara, menulis, membaca atau mendengar, bukan hanya tumpukan wawasan saja. Percuma menghafal seluruh kaidah-kaidah ketatabahasaan namun tidak mampu mengaplikasikannya.
Singkatnya, pembelajaran bahasa lebih diarahkan kepada kemampuan praktisnya, bukan menamatkan seluruh kaidah-kaidah ketatabahasaannya.

Perpustakaan UIN sendiri dapat mengambil tindakan agar ilmu-ilmu didalam kitab-kitab besar para ulama tidak lapuk sendiri tanpa pernah dibaca dan diteguk manfaatnya. Tindakan yang dimaksud adalah dengan menyediakan layanan penerjemahan terhadap kitab-kitab yang berbahasa Arab. Jadi, jika ada para pelajar yang hendak mempelajarinya namun tidak memiliki kemampuan untuk membacanya, mereka dapat menggunakan layanan penerjemahan yang disediakan. Tenaga-tenaga penerjemah dapat dipilih dari kalangan mahasiswa yang memiliki kemampuan di bidang itu. Nanti hasil dari penerjemahan seseorang akan diperiksa kebenarannya dan disimpan sebagai sebuah catatan yang bermanfaat. Tenaga penerjemah sendiri akan mendapatkan bayaran yang sepadan.

Seandainya keadaan semacam ini dibiarkan, dimana kebanyakan para pelajar justru merasa sangat asing dengan bahasa Arab, maka perkembangan keilmuan Islam di Aceh akan terus jalan di tempat. Bahasa Arab adalah bahasa Alquran dan hadis, dan keduanya merupakan sumber segala ilmu. Sungguh sangat aneh saat seseorang menempuh pendidikan tinggi dalam kajian Islam namun buta sama sekali terhadap sumber pengetahuannya.

Rudy Fachruddin-
Mahasiswa UIN Ar-Raniry Jurusan Ilmu Alquran dan Tafsir

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Categories
Tulisan Mahasiswa

Perkawinan Musik-Politik

Musik masih menjadi seni yang paling populer hingga hari ini, keberadaannya dianggap mampu menyampaikan segala sesuatu secara universal. Enak dinikmati dan mudah diterima adalah kelebihan tersendiri yang dimiliki oleh seni musik. Sebagai sebuah seni yang mudah diterima serta paling populer, maka muatan yang terkandung dan tersampaikan dalam sebuah musik pun beragam, salah satunya adalah politik.

Categories
Tulisan Mahasiswa

Kekuasaan Ditangan Media Massa

Dahulu ketika duduk di bangku sekolah kelas VIII semester II, penulis masih diingatkan dengan materi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dengan sebuah teori yang disebut trias politika. Teori ini menjelaskan dimana kekuasaan itu dibagi tiga yaitu, Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif (Kaelan, 2003).

Kekuasan ketiga lembaga tinggi negara ini kemudian menempatkan para individunya pada posisi tertinggi dalam sebuah demokrasi terpimpin seperti, DPR yang berwewenang dalam mengubah dan menetapkan undang-undang, presiden dengan wewenang sebagai pemegang kekuasaan dalam sebuah pemerintahan dan menjalankan undang-undang, kemudian mahkamah agung dengan wewenang memberikan sanksi terhadap individu yang melanggar undang-undang.