Categories
Penulis Tamu

FRIDAY FORUM IAIN LANGSA DAN KEMBALINYA PERBINCANGAN INTELEKTUAL DI ACEH

Publik Aceh telah mengenal lama Darussalam sebagai pusat pendidikan. Kehadiran Unsyiah dan UIN Ar-Raniry telah membuat kawasan Darussalam menjadi poros utama dalam pengembangan pengetahuan di Aceh. Sulit membayangkan Aceh memiliki poros lain dalam soal pengembangan pengetahuan.

Darussalam memang dirancang sejak awal sebagai pusat pendidikan. Kondisi ini sangat berbeda dengan Meurandeh yang tidak dibuat atas desain tersebut. Alih-alih sebagai pusat pendidikan, Meurandeh pada awalnya hanya terdiri dari semak-semak dan pohon sawit. Namun kini, Meurandeh mulai berjuang menjadi produsen pengetahuan selayaknya Darussalam. Keberadaan IAIN Langsa dan Unsam Langsa di Meurandeh perlahan mulai memperlihatkan terbukanya poros baru pengembangan pengetahuan di Aceh.

Terbukanya poros baru di Meurandeh dapat terlihat pada Friday Forum IAIN Langsa. Forum yang baru dimulai 3 minggu belakangan. Meski masih berumur sangat muda, forum ini telah menyerap perhatian besar kalangan intelektual Aceh. Selain, karena tema-tema yang diperbincangkan cukup berani, kehadiran forum ini seperti oase ditengah keringnya forum-forum ilmiah di Aceh.

Setidaknya ada 2 cara pikir yang mencetuskan ide Friday Forum. Pertama, kurangnya komunikasi serta sharing pengetahuan diantara akademisi dalam forum-forum intelektual. Kedua, minimnya produktifitas publikasi yang dapat dikatakan cukup mampu bersaing dengan akademisi luar Aceh.

Padahal, secara sadar Aceh diakui merupakan wilayah yang paling banyak digali oleh para akademisi. Kita dapat melihat banyaknya tulisan yang menjadikan Aceh sebagai sebuah studi pada jurnal ternama. Namun situasi demikian kontras dengan capaian akademisi asal Aceh. Sulit menemukan akademisi asal Aceh yang menjadi kontributor dalam jurnal-jurnal ternama tersebut. Studi Aceh sampai saat ini masih dikuasai oleh akademisi dari luar Aceh.

Kesadaran seperti diatas mulai tumbuh di kalangan akademisi IAIN Langsa. Untuk itu dibutuhkan rangkaian tindakan bersama agar dapat keluar dari situasi tersebut. Tercetus sebuah ide awal untuk membuat kelas pelatihan penelitian dan penulisan artikel jurnal bagi para dosen muda di Fakultas Syariah IAIN Langsa. Harapannya agar budaya menulis berbasis penelitian mulai tumbuh dan tertanam sejak muda. Penulis dan beberapa rekan mulai membuat rangkaian materi yang akan disampaikan dalam kelas tersebut.

Akan tetapi, dalam diskusi selanjutnya muncul kesadaran baru yang pada akhirnya menggeser ide awal tersebut. Ada 2 kesadaran yang muncul dan menjadi sangat krusial dalam perbincangan penulis dan beberapa rekan. Pertama, bagaimana cara meningkatkan minat menulis dikalangan dosen-dosen muda jika tidak di imbangi oleh literasi yang baik?. Pertanyaan itu penting, mengingat IAIN Langsa bukanlah wilayah yang cukup baik dalam hal distribusi buku-buku maupun jurnal-jurnal yang bersifat akademik. Kedua, bagaimana bisa mengharapkan karya-karya yang dituliskan oleh akademisi IAIN Langsa dapat bersaing dengan tulisan luar ketika isu-isu yang saat ini sedang menjadi perbincangan akademisi di luar tidak menjadi perhatian serius di IAIN Langsa?

Melalui 2 pertanyaan diatas, penulis dan beberapa rekan mulai merubah format tindakan bersama ini. Format yang awalnya merupakan kegiatan semi-kelas, diubah menjadi forum diskusi. Namun, tujuan dari tindakan bersama ini tetap tidak berubah. Tindakan bersama ini masih bertujuan untuk membangun komunikasi dan berbagi pengetahuan yang pada akhirnya menaikkan minat publikasi tulisan-tulisan ilmiah di IAIN Langsa. Untuk itu, format forum diskusi dirasa lebih baik. Nama Friday Forum pun dipilih karena kegiatan forum diskusi dilakukan setiap hari Jum’at.

Semangat untuk berkomunikasi dan berbagi pengetahuan menjadi ruh Friday Forum. Forum ini tidak bisa didominasi oleh satu bidang ilmu ataupun satu cara pandang tertentu. Friday Forum dapat dikatakan hanya merupakan sebuah wadah yang kosong. Untuk mengisi wadah kosong tersebut, diperlukan beragam jenis pengetahuan yang berasal dari beragam bidang ilmu. Diharapkan nantinya akademisi yang berada di Meurandeh dapat mengolah pengetahuan yang berasal dari wadah tersebut untuk dikonsumsi oleh publik.

Perguruan tinggi harus kembali menengahkan perbincangan intelektual (intelectual discourse) yang bermutu dan dapat dikonsumsi oleh publik. Jangan sampai karena terlalu gersangnya intelectual discourse, berakibat pada kejumudan berpikir publik.

Harus diakui perbincangan intelektual telah lama hilang di publik kita. Aceh lebih khusus menggambarkan kehilangan tersebut. Hampir-hampir perbincangan dikuasai oleh opini publik yang saat ini mulai sulit disaring kebenarannya.

Tokoh-tokoh publik yang lahir dari media sosial kini mengambil peran besar dalam membentuk narasi publik. Mereka dibesarkan oleh media sosial dengan menyasar market-market yang sudah lama tidak mendapatkan perhatian intelektual.

Melalui peran mereka media sosial yang sejatinya memberi ruang dan kesempatan orang luas untuk dapat berbincang, justru telah mematikan perbincangan. Opini publik mendapatkan posisi strategis dalam memenangkan diskursus pengetahuan. Untuk mengatasi kondisi tersebut tidak ada cara lain kecuali merebut kembali perbincangan di media sosial.

Keberanian Friday Forum berupaya kembali menghadirkan intelectual discourse ditengah-tengah kondisi seperti sekarang ini patut dicontoh oleh perguruan tinggi lain di Aceh secara khusus. Kini, sudah saatnya masyarakat kembali disuguhi oleh perbincangan intelektual.

Perguruan tinggi harus menjadi role model narasi masyarakat. Perbincangan jangan sampai ditutup oleh kejumudan berpikir hanya karena para intelektual mulai takut berhadapan dengan publik.

– Yogi Febriandi –

Yogi Febriandi – Kurator Friday Forum IAIN Langsa

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Sumber gambar tajuk sebelum olah digital: muslimheritage.com

 

 

Categories
Resensi buku

Ringkasan Buku-buku Terbitan Padebooks

     1. Buku “Jenderal Mayor Amir Husin Al-Mujahid: Aku Tetap Konsisten Terhadap Pesan Khusus Sultan Aceh Terakhir”

Sejak muda Al-Mujahid telah memperlihatkan kemampuan leadership yang dimilikinya dengan memimpin teman-temanya melalui fase-fase perjuangan. Jasa Al-Mujahid yang besar untuk tanah air, diketahui oleh semua khalayak, seperti pada saat-saat genting beliau melindungi dan memobilisasi kembali Pangkalan Berandan, sebagai awal untuk membangun PT. PERTAMINA. Tidak hanya itu karena kemampuan menggunakan akal cerdiknya dalam berdebat beliau diibaratkan seperti Abu Nawas dari Jazakhtan. Buku “Jenderal Mayor Amir Husin Al-Mujahid: Aku Tetap Konsisten Terhadap Pesan Khusus Sultan Aceh Terakhir” menarik untuk dibaca sebagai bukti perjuangan beliau dari berbagai dimensi sejarah yang terjadi. Beliau adalah pembuat sejarah bangsa yang berkedudukan di Aceh dan fenomenal dengan  keunikan karakter yang ada dalam dirinya.

     2. Buku “Habis Terang Terbitlah Stress”

Pelabelan Wahabi, aliran sesat dan gerakan lainnya yang dianggap sesuai dengan keyakinan Ahlussunnah Waljamaah menjelma menjadi sebuah gerakan struktural bahkan liar tak terkendali meninggalkan pokok persoalan. Sedikit sekali penulis Aceh yang berani memberi warna berbeda pada alur diskusi wahabi, sesat dan Ahlussunnah Waljamaah. Membaca buku karya Khairul Miswar ini membawa pembaca seperti menyelam samudera untuk menumukan mutiara. Label sesat yang disematkan tidak sepenuhnya representasi agamis, melaikan politis. Penulis juga mengajak kita untuk saling memahami dan saling berdiskui dalam menyikapi setiap persoalan dalam kehidupan sosial keagamaan.

     3. Buku Introduction to Linguistics for English Language Teaching

Buku ini bertujuan untuk memberikan gambaran luas tentang bagaimana pengenalan linguistik untuk Pengajaran Bahasa Inggris. Buku ini menguraikan berbagai topik penting linguistic dan menyoroti masalah kunci di setiap bab.  Buku ini ditulis untuk mahasiswa, dan dijelaskan dalam bahasa yang mudah dipahami.

     4. Buku Pemikiran Ali Hasyimi

Rasanya tanpa Ali Hasjmy peradaban Aceh pasca kemerdekaan Indonesia akan cacat. Alasannya Ali Hasjmy telah mampu mentransformasikan daerah Aceh dari suasana konflik ke suasana perdamaian intelektual yang diwarnai dengan pendidikan dan adat istiadat.  Sejarah mencatat bahwa Ali Hasjmy memiliki hubungan baik dengan Presiden Soekarno maupun Soeharto. Hubungan tersebut terjadi ketika Ali Hasjmy menjabat sebagai Gubernur Provinsi Aceh dan sebagai Rektor IAIN Ar-Raniry. Buku ini lahir karena kekaguman penulis terhadap sosok Ali Hasyimi. Pembaca diajak untuk mengetahui lebih dalam bagaimana ide-ide transformasi intelektual yang dilahirkan oleh Ali hasyimi.

     5. Buku “De Atjehers: Dari Serambi Mekkah ke Serambi Kopi”

Buku ini mengurai berbagai fenomena warung kopi dan ngopi sebagai salah satu alat transformasi budaya yang paling revolusioner di Aceh dalam lebih dari satu dekade terakhir. Ekosistem yang diciptakan oleh kopi, budaya ngopi, warung kopi serta penikmat kopi di Aceh tidak hanya berhenti menjadi fakultas kopi, tapi lebih dari itu, bisa menjadi universitas kopi di mana siapa saja bisa belajar, kapan saja, dan di mana saja untuk menyelesaikan problematika sosial secara egaliter, rileks dan bersahaja. Karena jika ditempat lain tidak mampu lagi menyelesaikan masalah, maka silahkan bawa ke warung kopi. Sambil ngopi, maka semua masalah akan selesai di warung kopi!

     6. Buku “Dan Tuhan Milik Orang Aceh Yang Gembira”

Buku ini memberikan pencerahan kepada pembaca agar tidak menjadi manusia yang reaktif, hoehoe yang meuroen-roen dan suka merespon sesuatu secara konyol. Apresiasi besar patut diberikan kepada penulis Zulfikar RH Pohan karena di saat orang lain sibuk menulis untuk kepentingan yang lebih berorientasi subjektif, baik itu material maupun narsisme, seperti menulis artikel di jurnal bergengsi supaya dianggap hebat. Sibuk menulis esai untuk disayembarakan supaya dianggap pintar dan sibuk menulis artikel opini media cetak supaya dapat uang saku, dia malah dengan serius berusaha supaya orang Aceh dapat tertawa.

      7. Buku EFL-Research Design

Buku ini terdiri dari enam bab yang saling terkait dan menjelaskan secara komprehensif tentang bagaimana melakukan penelitian di bidang bahasa inggris.  Buku ini sangat tepat menjadi pilihan dosen sebagai bahan ajar alternatif matakuliah Research Methodology, bagi mahasiswa buku ini menjadi buku rekomendasi sebagai pedoman ketika melakukan penelitian di bidang ELT sebagai pelaporan tugas akhir skripsi.

     8. Buku “Panduan Pengembangan Kota Layak Anak Dan Rencana Aksi Daerah Kota Banda Aceh Menuju Kota Layak 2019-2021″

 Buku ini ditulis sebagai upaya menghargai kerja keras yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Banda Aceh khususnya Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kota Banda Aceh sebagai Leading Sector yang akhirnya dapat mewujudkan dokumen berharga ini. Hadirnya buku ini diharapkan menjadi gerakan menuju Kota Banda Aceh kota layak anak melalui gerakan yang terkoordinasi dan tersistem dengan baik sehingga pentingnya Kota Banda Aceh menjadi Kota Layak Anak disadari oleh seluruh pemangku kepentingan dan warga kota Banda Aceh.

     9. Buku “Muhammaddiyah di Ujung Barat

 Buku ini berisi kumpulan tulisan berupa pemikiran, ide, dan gagasan dari angkatan muda Muhammadiyah di Aceh yang selama ini menghiasi media dan wacana intelektual di Aceh. Secara lebih khusus buku ini bisa memberikan insentif kajian dan solusi pemikiran terhadap berbagai isu aktual dan kebijakan pemerintah yang menyangkut kehidupan rakyat banyak. Tema-tema penting di bidang politik dan pemerintahan, dinamika elektoral, kepemimpinan, pendidikan, hukum dan keadilan, diskursus islam dan post-islamisme rekonsiliatif, filosofi, budaya, kesehatan masyarakat, ekonomi yang berkemajuan, serta pelayanan public dieksplorasi secara populer namun ilmiah.

     10. Buku “Sosiologi Cinta”

 Kebahagiaan tidak selamanya bisa menjadi baik atau buruk. Dalam kuantitas kuantitas kebahagiaan bisa saja menjadi sebuah bumerang yang akan memperburuk jalan kehidupan.  Siapa saja mahkluk yang ada di alam semesta ini pasti menginginkan kebahagiaan.  Bahkan, orientasi alam semesta ini dipusatkan sebagai rahmat yang harus bermanfaat bagi seluruh mahkluk.  Namun, tidak semua orang mampu meraih kebahagiaan dengan jalan yang benar-benar tepat. Sehingga, mereka merasa susah untuk memperjuangkannya. Buku memberikan metode-metode unik membantu perjuangan pembaca untuk meraih kebahagiaan dengan pandangan-pandangan yang sangat aneh.  Mulai dari hikayat-hikayat klasik yang tidak masuk akal dan omong kosong durjana yang berguna untuk mengasah otak pembaca untuk berfikir secara  mendalamdan mengakar.

      11. English For Flight Attendance

Buku ini dikembangkan berdasarkan kebutuhan bahan pelengkap untuk melakukan proses belajar mengajar bahasa Inggris khususnya bagi pramugari. Buku ini dikembangkan berdasarka hasil analisis dokumen, observasi, angket dan wawancara di BATC Denpasar, Bali. Di dalam buku ini terdiri dari 13 unit yang terdiri dari 12 unit bahan utama dan 1 unit tambahan. Materi pembelajaran diambil dari silabus Bahasa Inggris Pramugari dan SOP Pramugari NAM AIR Training Center.

 Oleh : Khairul Azmi (Padebooks)

Categories
Penulis Tamu

Fenomena Labil Dalam Kebijakan Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Daerah Aceh Terkait COVID-19

Wabah corona masih meneror, Indonesia masih dihantui virus ini. Akan tetapi, karena sudah mulai terbiasa dengan kehadiran pembunuh yang tak kelihatan ini, rakyat sudah mulai agak tenang. Keangkeran sang virus pun sudah mulai agak memudar,walaupun angka positif makin bertambah, namun angka kematian makin berkurang. Meski demikian gerakan jurus sang virus hingga sekarang belum bisa dipatahkan, seranngan sang virus masih menakutkan dan belum bisa dikalahkan. Kehadiran sang virus masih mengancam dan belum bisa dihancurkan.

Lalu, apa tindakan hebat Pemerintah Indonesia dalam menanggulangi aksi teror corona yang masih berlangsung, apa langkah jituPemerintah Daerah Aceh menghadapi wabah pandemik corona yang masih mengancam.untuk membahas hal ini, maka kita harus menoleh kebelakang sebentar untuk melihat serangkaian intruksi Presiden Indonesia dan intruksi Plt Gubernur Aceh terkait wabah corona.

Presiden Joko Widodo mengeluarkan sejumlah kebijkan untuk menangani wabah Covid-19 yang saat ini sedang melanda Indonesia. Di antaranya keringanan biaya listrik sebagai wujud bantuan kepada masyarakat. Pemerintahmenggratiskan beban listrik bagi konsumen PLN dengan daya 450 VA selama 3 bulan ke depan, yakni untuk biaya April, Mei, dan Juni. Kebijakan lainnya PembatasanSosial BerskalaBesar (PSBB). Dalam hal ini Presiden memintaPSBB ini didampingi dengan kebijakan Darurat Sipil. Berikutnya larangan mudik.[1]

Sementara Pemerintah Aceh meluncurkan Maklumat Bersama Forkopimda Aceh tanggal 29 Maret 2020 di antaranya menghimbaumasyarakat untuk tetap tinggal di rumah, ibadah di rumah, belajar di rumah, bekerja di rumah, serta menerapkan kaidah-kaidah menjaga jarak antar sesama (physical distancing). Pemerintah Aceh juga mengimbau agar tetap menjaga persatuan, kesatuan dan kekompakan serta kerjasama semua elemen untuk memerangi Covid-19, juga berhati-hati dan bijak dalam mengkonsumsi berita dari media sosial yang belum tentu kebenarannya (Hoax/berita palsu).[2]

Pemerintah Aceh juga mengeluarkan surat Instruksi Gubernur Aceh tentang sosialisasi dan imbauan kepada masyarakat dan aparatur sipil negara agar tidak mudik guna menghindari virus korona atau Covid-19.[3]Intruksi ini bertujuan untuk meminimalisir atau memutus mata rantai virus corona baru (Covid-19) yang saat ini mewabah di Aceh.[4]

Guna mencegah penyebaran virus corona (Covid-19), Pemerintah Aceh kembali mengeluarkan maklumat bersama pemberlakukan jam malam. Kebijkan itu dikeluarkan untuk membatasi aktivitas masyarakat di luar rumah pada malam hari, sejak pukul 20.30 WIB sampai dengan pukul 05.30 WIB,pemberlakukan jam malam tersebut mulai berlaku Minggu malam (29/3).[5]Pemerintah Aceh berencana menyediakan pemakaman massal untuk orang yang meninggal karena terinfeksi Virus Corona COID-19.[6]

Kebijakan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Aceh secara umum hampir sama, intinya bagaimana memutuskan mata rantai penularan virus dengan cara menyadarkan rakyat agar menjaga jarak dengan orang lain, memakai masker, dan tidak pergi ke daerah terpapar khususnya zona merah, dan juga tidak bepergian, khususnya dari zona merah karena dikhawatirkan akan menjadi ruang bagi virus untuk menumpang.

Akan tetapi, ada fenomena labil dalam berbagai kebijakan itu, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Aceh. Misalnya ketika rakyat mulai senang dengan hadiah listrik, tiba tiba menjadi kontroversi saat tarif listrik naik, terlepas kenaikan dalam level non subsidi, karena tidak semua rakyat paham secara detil apa yang terjadi. Demikian juga ketika ada larangan mudik, baru-baru ini Menteri Perhubungan Nudi Karya Suamadi memperbolehkan semua transportasi untuk kembali beroperasi.[7]Fenomena labil ini disadari atau tidak melemahkan semangat juang rakyat melawan corona. Walau kita meyakini tentu ada alasan tersendiri berbagai paradok tersebut hadir ikut meramaikan isu pandemik yang sedang aktual dan heboh.

Khusus Aceh lebih dramatis lagi,kebijakan Aceh memberlakukan jam malam untuk mengurangi aktivitas warga di luar rumah demi mencegah penyebaran virus corona mendapat reaksi dari Ombudsman Aceh. Lembaga yang mengawasi kebijakan Pemerintah ini menilai penerapan jam malam di Aceh tidak tepat.Kepala Ombudsman Perwakilan Aceh, Taqwaddin menyarankan Pemerintah Aceh mencabut pemberlakuan jam malam di Tanah Rencong, ia menilai pemberlakuan jam malam menimbulkan trauma masa lalu bagi warga Aceh.[8] Tak lama kemudian jam malam pun dicabut.

Sebelumnya masyarakat Aceh dibuat pilu ketika muncul publikasi Pemerintah Aceh menyiapkan kuburan massal, seolah pemerintah akan segera mengubur masyarakat yang terpapar virus ganas ini secara massal. Walau kita meyakini ada niat baik dalam kebijakan ini, tetapi mental masyarakat yang sudah beberapa kali trauma seperti masa DOM, musibah Tsunami, tidak siap menerima program yang mengarah kepada kematian.

Terakhir menurut saya, langkah tepat untuk menanggulangi wabah pandemik virus corona ini, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Aceh, adalah harus menetapkan beberapa langkah yang akurat. Langkah pertama, ciptakan kondisi tenang dan tumbuhkan semangat kepada rakyat dan masyarakat agar secara psikologi siap tempur melawan corona. Kedua, harus konsisten dalam mengeluarkan kebijakan, agar tidak siampang siur yang justru menimbulkan keresahan dan multi tafsir. Ketiga, khususnya di Aceh, apalagi masih zona hijau, jangan terlalu ketat dalam menangani hal-hal yang berhubungan dengan ibadah, karena ibadah dan ketaatan kepada Allah adalah tenaga spritual dashyat untuk menghancurkan corona.

[1]Kompas.com, 01 April 2020

[2]Humas.acehprov.go.id, 3 April 2020

[3] Instruksi Gubernur Aceh Nomor 07/instr/2020 bertanggal 14 April 2020

[4]Serambinews.com, 15 April 2020

[5]CNN Indonesia, 30 Maret 2020

[6] CNN Indonesia, 29 Maret2020

[7]Kompas.com, 14 Mai 2010

[8]News.detik.com,2 April 2020

Penulis : Hermansyah Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Categories
Penulis Tamu

POLITIK UNTUK KEMANUSIAAN

Rabu, 17 April 2019 merupakan hari bersejarah bagi Rakyat dan Bangsa Indonesia. Setiap 5 tahun sekali, para pemimpin bangsa ini dipilih oleh seluruh rakyat Indonesia melalui Pemilihan Umum (Pemilu) yang Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia (Luber) serta Jujur dan Adil (Jurdil).

Setiap daerah maupun Kabupaten/Kota juga tak luput dalam mengambil bagian dari moment bersejarah ini. Para calon wakil rakyat atau Calon Legislatif (Caleg) seperti DPR, DPD dan DPRD juga menikmati peran dalam menyemarakkan pesta akbar demokrasi republik ini dalam menyongsong menuju Indonesia yang lebih baik.

Bagi para Caleg (Calon Legislatif) baik DPR, DPD atau DPRD yang telah menyiapkan dirinya menjadi anggota dewan/wakil rakyat, sebaiknya memulai kembali dalam membangun pondasi pemikiran dan implementasi politik yang segar lagi jernih.

Terutama, memupuk kembali benih-benih politik kemanusiaan yang pro-rakyat, tanpa berpolitik pragmatis (proyek abal-abal), tanpa kolusi-nepotisme, tanpa intimidasi, bersih, bersyariat serta memenangkan hati rakyat.

Sehingga pemilu Luber ini bisa dikatakan sukses apabila para calon pemimpin dan wakil rakyatnya sama-sama membangun serta menjaga kesepahaman dan pemahaman yang utuh dan menyeluruh; Caleg tidak berpolitik pragmatis dan rakyat tidak golput (golongan putih/netral).

DILEMA POLITIK INDONESIA

Dalam berbagai pandangan politik memiliki banyak makna dan kebanyakan dari makna itu berkaitan dengan kekuasaan, tahta dan jabatan. Tidak salah, namun dalam sudut pandang yang berbeda pula, sejatinya pemahaman politik itu adalah sebagai industri atau bursa pemikiran yang bertugas memberi arah yang “super positif” bagi kehidupan masyarakat banyak untuk kehidupan yang lebih baik dan bermartabat.

Politik sering dianggap sebagai medan aktualisasi sehingga ia kerap hadir tanpa nilai ataupun substansi yang sebenarnya. Kemudian muncul lah berbagai opini masyarakat (publik) yang berasumsi bahwa politik itu sangat kotor atau kejam. Namun, kita tidaklah serta merta menyalahkan opini tersebut karena masyarakat hanya mendefinisikan politik dari apa yang mereka tangkap serta berbagai informasi yang beredar ditengah mereka.

Berbagai indikator yang membuat masyarakat beropini politik itu licik/kotor sehingga mereka menjadi golongan apatisme terhadap pelaku di dunia politik praktis ialah sebuah keresahan dan kekecewan bukan hanya stigma negatif yang mereka dengar namun seringkali gambaran politik yang mereka lihat itu sangat bertolak belakang dengan hati nurani.

Keresahan dan kekecewaan mereka timbul karena banyaknya faktor internal maupun eksternal yang terjadi baik di masyarakat maupun sesama Parpol (partai Politik) seperti politik tidak pro-rakyat, intimidasi, saling menjatuhkan sesama Parpol/Caleg, kolusi-nepotisme, janji manis tapi palsu, dan lain-lain.

Sangat wajar jika muncul sebuah keresahan dan kekecewaan terkait stigma negatif tersebut meski stigma tersebut tak sepenuhnya benar, tapi juga tak sepenuhnya salah. Oleh sebab itu, sesama masyarakat perlu ditegaskan bahwa hingga sekarang ini masih ada politisi langka yang tulus dan ikhlas bekerja serta berkontibusi untuk rakyatnya. Tidak melulu bahwa politik itu kotor dan tidak bisa dibersihkan lagi.

Dalam pandangan Islam, berpolitik juga diperbolehkan. Namun politik justru bukanlah rimba belantara yang senantiasa memberi kebebesan bagi penguasa (diamanahi kuasa) untuk bertindak sewenang-wenang bahkan membabi-buta. Sehingga bagi si pemegang kuasa, jabatan maupun tahta senantiasa menjadikannya sebagai senjata/alat dimana yang kuat menghardik yang lemah serta bawahan selalu menjadi korban penindasan.

Menurut Ibnu Al-Qayyim, “Politik merupakan segala aktivitas yang mendekatkan manusia kepada kemaslahatan dan menjauhkan mereka dari kerusakan.” Meskipun tidak pernah ditegaskan oleh Rasulullah SAW dan tidak pernah disinggung oleh wahyu yang diturunkan, sebab semua jalan yang ditempuh untuk mengantarkan kepada keadilan, kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat, maka jalan itu adalah bagian dari agama ini (Islam). Termasuk jalan politik yang mencita-citakan keadilan, kesejahteraan dan kemaslahatan ummah.

Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tindakan politik mesti mendapat legitimasi dari hukum agama Islam.” Oleh sebab itu, inilah yang menyebabkan kekuatan spiritual, moral dan intelektual menjadi pilar utama bagi penyelenggara negara untuk menunjukkan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat sehingga memiliki parameter yang jelas dalam mendukung atau menjadi penguasa negeri ini.

Oleh karena itu, peran politik yang menjadi generator dalam menopang dan membangun agama sebagai kesatuan utuh dan menyeluruh dapat diimplementasikan dalam praktik politik edukatif dan kontruktif sebagai gagasan segar dalam membangun pemahaman politik yang substansinya untuk keluar dari bingkai mainstream politik yang kerap dipandang oleh sebahagian masyarakat dengan stigma-stigma yang negatif. Maka, dibutuhkanlah mereka para generasi muda yang dipupuk dengan ideologi yang berbasis dan mengakar dalam berspiritual, bermoral sekaligus berintelektual.

SUARA ADALAH AMANAH

Dimasa Khulafaurrasyidin, indikator pemimpin terbaik itu tidaklah dipilih dan diukur melalui banyaknya suara melainkan seorang pemimpin yang berkepribadian arif, bijaksana, bersahaja dan mampu membangun negeri demi kemaslahatan ummat.

Sangat berbeda di era demokrasi saat ini, kita harus mengikuti mekanisme yang ada dimana seseorang yang diklaim sebagai pemimpin bangsa apabila memegang hak/suara terbanyak.

Melalui suara dengan prinsip one man one vote sebagai legitimasi kekuasaan, setiap warga negara tanpa mengenal level dan kasta juga berwenang dalam “menghakimi” siapa saja yang berhak dipilih sebagai pemimpin.

Sebaliknya melalui suara, kita juga bukan hendak memuja mereka yang berada dalam kebenaran. Namun impian kita adalah bagaimana menggeser paradigma suara murni kuantitas menjadi suara yang berbasis kualitas. Sebab saat ini hakikat demokrasi kita sangatlah simplistis bahwa “suara” yang terbanyak dan terbesar yang dapat “bergemuruh” dalam setiap pengambilan kebijakan.

Namun, apabila konten ini dapat dimaksimalkan dengan bobot dan pengaruh kapasitas yang mampu menjadi solusi di tengah-tengah masyarakat, jadilah suara ini menjadi yang berkualitas.

Kita berharap seorang pemimpin harus menyadari bahwa ia berperan sebagai ‘wakil’ Allah untuk mewujudkan kehidupan semesta ini lebih beradab. Dasar pemahaman ini menjadi indikator perilaku politik yang diartikan melalui berbagai kebijakan pemahaman yang berdimensi moral dan integritas yang tinggi dalam menyelaraskan suara aspirasi masyarakat dan bangsanya.

Kesadaran yang tinggi inilah yang dapat membangun identitas demokratis dengan segala kemajemukannya demi menciptakan visi dan misi yang harmoni/sinergi tatanan sistem ideologi, politik, sosoial, pendidikan, hukum, sosial dan ekonomi masyarakat bangsa Indonesia yang lebih stabil, mapan dan mengakar.

KONTRIBUSI KEMANUSIAAN

Dewasa ini, tantangan terberat bagi setiap parpol sebagai pilar demokrasi bangsa ini adalah dengan menyiapkan kader-kadernya bukan hanya ketika hendak pemilu tapi jauh-jauh hari sebelum pemilu, baik dalam mempersiapkan aktor sebagai agent of change (agen perubahan) dalam setiap diri kader-kadernya maupun membentuk ideologi yang memiliki nilai-nilai kepribadian, baik intelektualitas, moralitas, maupun sosial bermasyarakat.

Tanpa menyiapkan aktor sebagai generator yang mampu bekerja, secanggih apapun ideologi yang dimilikinya akan lumpuh. Hanya saja, ia akan menjadi sebagai simbol hiasan dialektika yang dikenal masyarakat sebagai sosok pemimpin citra namun kurang memiliki idealisme dan integritas diri yang berbasis dan mengakar.

Hingga pemilu tahun ini terlepas dari beragam partai yang ada, masyarakat Indonesia sangat mendambakan baik tokoh legislatif maupun eksekutifnya mampu menjalankan mandat dan amanah masyarakat dengan baik, santun dan jujur.

Tidak hanya sekedar memenangkan perlombaan pemenangan kekuasan melalui suara pemilu saja, namun bisa berkontribusi nyata terhadap kesejahteraan, kemakmuran dan kemaslahatan ummat.

Dalam pencapaiannya dalam memenangkan simpati dari masyarakat hendaknya para pemimpin dan calegnya memiliki karakter dan kepribadian yang profesional, kreatif, populis dan mampu bersosial masyarakat untuk membawa bangsa ini menuju ke arah perubahan yang lebih baik.

Tulisan ini terilhami dari buku bacaan karya Tamsil Limrung yang berjudul Politik untuk Ummat. Sebagai catatan akhir dalam mengembalikan gagasan atau makna filosofis, moral, dan etika politik ke dalam praktek yang sebenarnya diperlukan ide orisinil politik yang memiliki nilai substansial, baik yang berbasis dan mengakar di tengah gurun sahara demokrasi Indonesia demi menyelamatkan kembali generasi muda dari siklus lubang hitam yang nihil ideologi yang berbasis adalah tanggung jawab kita bersama.

Sehingga dapat mempersiapkan dan melahirkan generasi pemimpin muda yang ideal dan politisi berkarakter kuat untuk menghancurkan penguasa zalim dan palsu, wakil rakyat yang tidak pro-rakyat, serta para koruptor yang menyedot hasil alam dan bumi Indonesia.

– Riri Isthafa Najmi * –

Riri Isthafa Najmi – Koordinator Forum Aceh Menulis

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Photo copyright of macrovector from freepix.com

Categories
Penulis Tamu

Bersyariat Dari Pinggir

Artikel ini terinspirasi dari tulisan Muhammad Alkaf tahun 2016 yang berjudul Nasionalisme dari Pinggir. Dalam hal ini, Alkaf mengajukan kritik terhadap narasi nasionalisme yang dinilai terlalu terpusat. Narasi tersebut terkesan meminggirkan peran daerah dalam menjaga status kebangsaan nasional Indonesia. Bagi Alkaf, Indonesia adalah gabungan dari berbagai kultur, sejarah, narasi dan etnik. Sehingga, mengesampingkan “narasi pinggiran” adalah kecacatan yang bertentangan dengan semangat integrasi dan kebangsaan (lihat Alkaf 2016).

Artikel ini kemudian juga mempersoalkan gagasan syari’at Islam yang terlalu terpusat. Kesan regulasi syari’at dalam bentuk qanun misalnya tidak lebih dari gagasan intelektual elit Banda Aceh, yang berdiri di menara gading dan tidak mampu melihat syari’at secara mengakar dan substantif.

Jika Alkaf menulis bahwa nasionalisme yang terlalu terfokus kepada Jakarta hanya akan mengabaikan kaum pinggiran dan menafikan sumbangsih mereka (Muhammad Alkaf 2016), maka syari’at disini – dan hari ini – pun memiliki kesan yang sama. Bahwa pembangunan narasi syari’at yang bersifat banda-sentris pada akhirnya hanya akan meminggirkan dan mengesampingkan kontribusi daerah dalam membangun peradaban keislaman melalui jalan syari’at.

Narasi banda-sentris dalam syari’at misalnya terlihat dari pembangunan qanun (khususnya qanun jinayat) yang terlalu mengadopsi teks-teks abad pertengahan dan mengesampingkan fenomena keislaman dan kearifan yang telah mengakar dalam diri masyarakat Aceh sejak abad ke-16. Persoalan ini juga dapat dibuktikan dengan rendahnya kesadaran masyarakat akan urgensi bersyari’at versi qanun. Dimana masyarakat kemudian merasakan perbedaan antara syari’at yang dibangun oleh pemerintah dengan implementasi syari’at yang telah mereka praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Keadaan yang sama juga terlihat dari regulasi yang tertatih-tatih dan penghukuman terhadap pelaku pelanggaran syari’at yang terlalu tebang pilih.

Ketika pemerintah kemudian abai dalam memperhatikan “sumber daya aparatur” dan “kesadaran masyarakat.” Seolah, persoalan apakah pemerintah mampu menjalankan suatu aturan? Ataukah apakah masyarakat kemudian bersedia untuk mengikuti aturan tersebut? Tidak pernah dijadikan pertimbangan. Dialog syari’at yang menghabiskan “anggaran” di gedung-gedung pemerintahan, di kampus-kampus dan di lembaga-lembaga formal pada akhirnya hanya akan menghasilkan konsep syari’at yang melangit. Akibatnya, kemunculan peraturan baru selalu menimbulkan polemik dan polemik tersebut sering kali tidak mampu diselesaikan.

Sulit kita pastikan apakah sebelum membuat qanun, pemerintah dan pemangku syari’at pernah terjun ke lapangan, melakukan survei, memperhatikan model keislaman di wilayah pinggiran, kawasan pedalaman dan daerah perbatasan? Sulit untuk dipastikan apakah sebelum mengimplementasikan syari’at, pemerintah benar-benar melakukan peninjauan yang dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah, ke luar kawasan Banda Aceh? Sulit untuk dipastikan apakah syari’at Islam yang hari ini dipraktekkan telah direstui bukan saja oleh ulama fikh dan akademisi Islam kampus, tapi juga oleh ulama sufi yang tinggal di luar wilayah Banda Aceh?

Akibatnya, syari’at tidak mampu mengadopsi empat komponen spiritualitas yang mengakar dalam masyarakat Aceh yakni syari’at, tarikat, hakikat dan ma’rifat. Bersyari’at sebagai syari’at pada gilirannya hanya akan mengantarkan narasi keberislaman dalam satu step yaitu step birokratik semata, tanpa sampai kepada kesadaran, substansi dan pengakraban. Dengan kata lain, menghentikan makna syari’at sebatas fikih-birokratik, hanya akan mengkooptasi makna syari’at itu sendiri.

Bersyari’at dari Pinggir

Syari’at dari Pinggir kemudian mencoba hadir untuk memastikan, apakah pergerakan syari’at bersifat bottom up, yaitu aspirasi dari bawah, kemudian diimplementasikan oleh pemimpin, bukan nyanyian para pemimpin (top down) yang kemudian membebani dirinya dan memperburuk suasana hati rakyatnya?. Kita masih ingat bagaimana pemuda Langsa beberapa tahun yang lalu menyerang kantor WH di wilayah tersebut. Atau bagaimana oknum WH di sebuah wilayah tersandung kasus pelecehan dan tindakan amoral.

Kita juga masih ingat bagaimana syari’at menjadi “stigma negatif” yang memperburuk citra Aceh di mata nasional dan internasional. Kita juga dapat melihat bahwa syari’at tidak memberi pengaruh yang signifikan bagi prilaku dan akhlak manusia Aceh. Kita wajib melihat mengapa Aceh gagal menerapkan regulasi syari’at dan lebih jauh lagi, gagal menciptakan kesejahteraan? Artinya kita harus jujur untuk mengakui bahwa kita gagal dalam mengimplementasikan syari’at dan kita harus berani mengevaluasi tanpa perlu malu-malu kucing.

Syari’at Otonom

Dalam sosiologi hukum ada tiga model hukum yang berkembang yaitu hukum represif, hukum otonom dan hukum responsif (Nonet dan Selznick, 2016:18). Hukum represif artinya hukum dibuat bukan berdasarkan kebutuhan masyarakat yang diperintah akan tetapi lebih memperhatikan kepentingan penguasa (Sabian Usman, 2010:06). Adapun hukum otonom artinya hukum yang memuja legalitas (sifat transenden) suatu aturan tanpa memperhatikan perubahan sosiologis yang berkembang. Terakhir, hukum responsif yaitu hukum yang mengimajinasikan sifat responsif yaitu hukum yang merepresentasikan kebutuhan masyarakat yang dilingkupinya (Lihat Meri Andani, 2018). Tujuan hukum responsif adalah untuk membuat hukum menjadi lebih respon terhadap kebutuhan dan perubahan sosial dalam masyarakat (Nonet – Selznick, 2015: 82-83).

Jika mengacu kepada ketiga konsep sosiologi hukum tersebut, maka syari’at Islam di Aceh sepertinya lebih bersifat otonom. Dalam arti, bahwa Syari’at Islam lebih mengutamakan regulasi dan legitimasi semata yang pernah disandarkan kepada aturan masa lalu dan telah pernah dipraktekkan di dunia Islam dalam rentang ruang dan waktu yang berbeda. Syari’at Islam tidak dapat dikatakan sebagai hukum represif karena ia bukan datang dari ide penguasa lokal di Aceh. Buktinya, banyak diantara elit yang diam-diam, enggan dan bahkan menolak untuk menjalankan syari’at. Selain itu, syari’at juga tidak dapat dikatakan sebagai hukum responsif mengingat aturan-aturan yang dibuat masih terkesan janggal dan asing serta kurang mendapat apresiasi dari masyarakat. (Meri Andani, 2018: 27-28).

Syari’at otonom pada gilirannya berangkat dari paradigma tekstual “Seandainya penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa kepada Allah, niscaya dibukakan kepada mereka, berkah dari langit dan bumi.” (Al A’raaf: 96). Sehingga ada kesan bahwa jika teks-teks syari’at ditegakkan, maka otomatis kemakmuran akan datang begitu saja. Darimana datangnya? Tidak ada yang tahu!” Kata Fuad Zakaria, seorang Ulama Mesir (Charles Kurzman: 2001:xliv)

Syari’at otonom kemudian menjadi sangat tidak mengakar. Ia bukan sepenuhnya kehendak dayah, karena bertahun-tahun dayah mempelajari syari’at, dalam prakteknya mereka tidak terlalu terfokus apakah syari’at harus diregulasikan atau tidak? (KBA & Hasbi 2013:94) Justru syari’at kemudian didesain oleh intelektual kampus yang justru, maaf, juga tidak mengerti mengapa regulasi syari’at harus dibuat?

Syari’at otonom kemudian tidak lebih dari re-regulasi hukum-hukum abad pertengahan yang diambil dari fikh syafi’i yang nyatanya juga dibentuk menurut konteks dan situasi yang berbeda. Kenyataannya, paradigma ilahiyat (transedental) lebih mendominasi hukum syari’at daripada aspek muamalat-nya sendiri. Padahal untuk membuat sebuah rancang bangun syari’at, perlu melalui metode historical approach. Karena jika selama ini hukum Islam dianggap sebagai hukum keilahian yang final maka sejatinya ia hanyalah fenomena historis yang terkait dengan realitas sosial (asbabun nuzul atau asbabul wurud) (Akh. Minhaji, 1992: 19-20) Sehingga perlu untuk mengembangkan konsep hukum Islam berbasis pendekatan sejarah dan realitas.

Akhirnya, dengan menetapkan hukum syari’at yang responsif dalam bingkai kesadaran fenomena historis (zaman) dan realitas sosial (makan), syari’at lebih merasuk dalam hati dan fikiran rakyat. Penegakan syari’at dengan memperhatikan kultur dan narasi sufisme yang berkembang, pada gilirannya akan mengembalikan sifat imanensi dalam syari’at. Sehingga, syari’at dapat mendongkrak kualitas moral dan kesejahteraan bukannya menjadi rentetan wajah buruk dan rapor merah bagi pemerintah dan rakyat Aceh.

– Ramli Cibro* –

Ramli Cibro, Penulis Buku Aksiologi Ma’rifah Hamzah Fansuri (2017) dan Dosen Ilmu Agama Islam STIT Hamzah Fansuri – Kota Subulussalam

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Foto featured image diolah digital dengan sumber diambil dari: pixabay.com dan freepik.com

Categories
Diskusi

Friday Forum IAIN Langsa dan Kembalinya Perbincangan Intelektual di Aceh

Publik Aceh telah mengenal lama Darussalam sebagai pusat pendidikan. Kehadiran Unsyiah dan UIN Ar-Raniry telah membuat kawasan Darussalam menjadi poros utama dalam pengembangan pengetahuan di Aceh. Sulit membayangkan Aceh memiliki poros lain dalam soal pengembangan pengetahuan.

Darussalam memang dirancang sejak awal sebagai pusat pendidikan. Kondisi ini sangat berbeda dengan Meurandeh yang tidak dibuat atas desain tersebut. Alih-alih sebagai pusat pendidikan, Meurandeh pada awalnya hanya terdiri dari semak-semak dan pohon sawit. Namun kini, Meurandeh mulai berjuang menjadi produsen pengetahuan selayaknya Darussalam. Keberadaan IAIN Langsa dan Unsam Langsa di Meurandeh perlahan mulai memperlihatkan terbukanya poros baru pengembangan pengetahuan di Aceh.

Categories
Penulis Tamu

PETANI ACEH DAN KESADARAN KELAS

Masyarakat Aceh adalah masyarakat agraria. Alasannya, mayoritas rakyat Aceh adalah petani. Sektor pertanian menyerap 44.09 persen tenaga kerja di Aceh (BPS 2015). Tulang punggung ekonomi rakyat adalah pertanian. Konsekuensinya, kesejahteraan petani berarti kesejahteraan Aceh. Petani miskin artinya Aceh miskin. Pertanyaannya kemudian: kenapa petani di Aceh terus-terusan miskin?

Banyak ahli dan orang pintar yang telah memberikan argumen tentang penyebab kemiskinan di kalangan petani. Jawaban yang paling sering didengar adalah tidak adanya kepedulian pemerintah terhadap nasib petani. Pemerintah Aceh bukannya tidak tahu cara mensejahterakan petani. Sudah banyak alumni dalam dan luar negeri yang memberikan saran agar agraria di Aceh maju dan petaninya makmur sentosa. Hanya saja elit pemerintah tak mau tahu dan tak mau berbuat. Kita sebut saja pendapat ini sebagai political will argument.

Pendapat kedua adalah soal kepemilikan luas lahan. Rata-rata petani di Aceh hanya memiliki luas area pertanian kurang dari satu-setengah hektar. Hitung-hitungannya, menurut mantan menteri pertanian Suswono, 1 hektar lahan pertanian akan menghasilkan laba bersih 6 juta perbulannya. Karena petani di Aceh punya lahan kurang dari setengah hektar, bisa dihitung pendapatannya kurang dari 3 juta perbulan. Solusi dari persoalan ini adalah inovasi pertanian, yakni membuat lahan yang sempit mampu memproduksi padi berkali-kali lipat. Misalkan saja sistem vertikultur, pemanfaatan lahan bisa sampai empat kali lipat. Kembali lagi, ini persoalan kemauan pemerintah untuk menginovasi pertanian di Aceh.

Alasan ketiga penyebab petani di Aceh miskin adalah karena masalah kultural. Yakni etos kerja petani di Aceh rendah, tapi gaya hidup mereka mahal. Beberapa studi tahun 1980-an ada yang membandingkan petani Aceh dengan petani asal luar Aceh (imigran), ternyata petani imigran hidupnya lebih giat bekerja dan gemar menabung, sehingga hidup mereka lebih sejahtera. Tentu saja kesimpulan penelitian ini bisa didebat, tapi fenomena ini memang ada.

Saya berpendapat bahwa ketiga argumentasi di atas tak lengkap. Mereka melupakan dimensi ekonomi-politik di persoalan agraria di Aceh. Yakni tidak adanya kesadaran kelas di kalangan petani Aceh. Ini bisa dilihat dari fakta lapangan bahwa tidak ada perkumpulan petani yang solid, kokoh, mandiri, dan militan di Aceh. Organisasi petani memang ada, tapi lemah dan tidak terorganisir dengan baik. Bahkan ada beberapa organisasi petani justru berafiliasi dengan elit penguasa. Akibatnya, tidak ada demonstrasi petani besar-besaran saat uang APBA digunakan elit penguasa untuk membeli mobil dinas yang mewah, sementara irigasi atau benih untuk petani tidak ada yang peduli. Petani gagal panen karena kekeringan dikatakan secara gampang disebabkan faktor alam. Tak ada usaha gigih dari pemerintah untuk berinovasi membangun sistem pengairan yang mantap atau melakukan hujan buatan.

Kekosongan ‘kesadaran kelas’ petani inilah yang membuat kelas penguasa bisa seenaknya melupakan nasib petani. Toh, petani tak akan melawan. Anggaran lebih banyak dihabiskan untuk membangun infrastruktur yang menguntungkan kontraktor bangunan. Ini terjadi karena banyak dari politisi Aceh sendiri memang kontraktor atau memiliki hubungan dekat dengan kontraktor. Berbeda dengan kelas petani, penguasa Aceh tak memiliki kepentingan untuk menghabiskan dana anggaran untuk para petani. Oleh karena itu, kelas petani yang lemah dan tidak kritis justru menguntungkan elit penguasa dan predator anggaran. Bahkan demi kepentingan mereka, kelas petani perlu dibuat lemah dan terpecah secara politik.

Pertanyaannya kemudian, apa yang membuat petani di Aceh tidak memiliki ‘kesadaran kelas’? Alasan utamanya adalah karena ide-ide kritis-progresif tidak hidup di masyarakat kita, terutama di masyarakat bawah. Tak ada narasi dikalangan petani bahwa mereka miskin bukan karena takdir mereka miskin, tapi karena struktur kekuasaanlah yang membuat mereka miskin. Mereka miskin karena dilupakan penguasa dan mereka dilupakan karena mereka lemah secara politik. Mereka, sebagai pemilik sah negeri ini, terasing dari kebijakan-kebijakan anggaran dan publik yang diambil elit penguasa.

Narasi ide yang dominan di Aceh ada dua, yakni narasi agama dan narasi etno-nasionalisme. Pengusung dua narasi itu pun sama sekali tidak menghidupkan kesadaran kelas di kalangan petani. Para agamawan menghidupkan sentimen keagamaan dan mobilisasi massa untuk hal-hal tidak substantif seperti memegang tongkat saat khutbah jumat. Seolah-olah rakyat miskin karena tidak menganut paham atau mazhab tertentu. Tak ada khutbah atau ceramah yang menggelorakan semangat perlawanan terhadap elit yang korup dan yang tak peduli para petani.

Golongan etno-nasionalis memobilisasi emosi massa untuk soal seperti bendera, lambang, atau himne Aceh. Tak ada narasi bahwa harkat dan martabat Aceh berdiri tegak jika petaninya mandiri dan pemimpinnya peduli pada nasib petani. Tak ada orasi bahwa kejayaan Aceh ditentukan oleh kelas petani yang makmur, atau jika Aceh telah menjadi daerah agro-industri dan pengekspor hasil olah pertanian.

Oleh karena itu, yang perlu dilakukan adalah memasukkan kesadaran kelas dalam narasi keagamaan dan politik identitas kita sebagai orang Aceh. Petani Aceh perlu disadarkan secara politik bahwa mereka berhak dilayani penguasa. Jika penguasa tak memperdulikan mereka, para petani harus mengorganisir diri mereka untuk melakukan aksi protes massa agar didengar. Mereka perlu dididik secara politik, diajari cara berorganisasi dan mengadvokasi. Petani Aceh perlu juga berkoalisi dengan kelompok nelayan dan buruh, menekan pemerintah agar lebih peduli pada nasib kehidupan mereka.

Salah satu alasan mengapa kehidupan petani diluar negeri sejahtera, Australia misalnya, karena mereka berorganisasi secara kuat dan solid. Mereka mampu dalam memaksa pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mendorong sektor pertanian menjadi maju. Oleh sebab itu, petani di Aceh tak boleh membiarkan dana otonomi khusus dinikmati oleh kalangan elit politisi, sementara rakyat bawah kelaparan dalam kemiskinan.

Persoalannya kemudian, siapa yang berperan untuk membangun kesadaran politik para petani, mengajarkan mereka untuk berorganisasi dan beradvokasi? Disinilah peran intelektual diperlukan. Sayangnya, elit intelektual kita lebih senang jika menjadi staf ahli atau konsultan para politisi. Mereka menghabiskan waktu dan ilmunya agar politisi menang pemilu, lalu diam jika kebijakan politisi menginjak-injak masyarakat bawah. Padahal yang perlu didampingi dengan ilmu dan keterampilan mereka adalah masyarakat kelas bawah itu, yakni para petani, buruh, dan nelayan di Aceh. Tuhan tidak akan mengubah nasib petani Aceh sebelum mereka mengubah nasibnya sendiri. Petani di seluruh Aceh, bersatulah!

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Sumber Foto sebelum olah digital : beritasumut.com

Categories
Penulis Tamu

ISLAMISME DAN ETNONASIONALISME DI ACEH: SUATU PERLOMBAAN

Pada awalnya memang benar Gerakan Aceh Merdeka (GAM) didirikan untuk menjadikan Aceh sebagai sebuah negara merdeka yang berlandaskan agama Islam. Tetapi dalam masa awal perjalanannya itu, ketika estafet komando beralih dari Daud Beureueh kepada Hasan Tiro, paradigma GAM telah berubah. Tidak mengirim senjata pesanan Daud Beureueh setelah diberikan uang, sebenarnya adalah penegasan bahwa Hasan Tiro berpandangan berbeda dengan Daud Beureueh. Hasan Tiro tidak setuju Aceh menjadi sebuah negara berlandaskan Islam.

Ada empat alasan utama kenapa Hasan Tiro tidak menginginkan Aceh menjadi negara Islam. Pertama, dia melihat negara-negara Barat maju tetapi landasan negaranya bukan agama. Kedua, menurutnya, agama adalah nilai, bukan sistem. Sehingga tidak mungkin dapat menjadi prinsip sebuah negara. Ketiga, bila yang dikumandangkan ke negara-negara Barat bahwa Aceh akan menjadi negara Islam bila merdeka nanti, maka tidak akan mendapatkan apresiasi. Keempat, dan ini paling penting, tidak perlu menjadikan Islam sebagai sebuah aturan legal-formal, tidak perlu syariat Islam dibirokratisasi karena masyarakat Aceh memang sudah sebagai Islam sampai ke sumsum. Identitas Aceh adalah Islam itu sendiri. Aceh dan Islam identik.

Alasan keempat adalah penjelas identitas GAM di bawah Hasan Tiro. Semua yang ingin melakukan apapun yang melibatkan GAM, baik secara langsung maupun tidak, harus paham alasan itu. Siapa saja yang tidak mengindahkan alasan keempat tersebut, tetapi membonceng GAM untuk kepentingannya sama dengan mengganggu gerakan GAM.

Sama seperti PUSA yang terpecah menjadi kelompok yang naik gunung dengan kelompok yang bertahan di birokrasi, GAM setelah dikomandoi Hasan Tiro juga sebenarnya terpecah menjadi kelompok yang mengikut kepada pandangan sekular Hasan Tiro dan yang tetap setia kepada prinsip islamisme Daud Beureueh. Kelompok terakhir ini seharusnya memilih keluar dari GAM. Tetapi elitis GAM pendukung Hasan Tiro juga tidak mengusir mereka. GAM tetap membutuhkan mereka dengan harapan dapat menjadi penyambung lidah GAM kepada Jakarta. Fokus negosiasi GAM memang bukan Jakarta, tetapi tetap saja itu perlu.

Tetapi kehadiran kaum Islamisme ternyata memberikan banyak kerugian bagi GAM. Mereka terus-menerus berusaha meyakinkan Jakarta bahwa keinginan masyarakat Aceh tetaplah formalisasi syariat Islam. UU keistimewaan Aceh 1959 harus disempurnakan dengan sebuah aturan hukum yang jelas. Tuntutan itu dipenuhi Jakarta pada 1999 dan disempirnakan pada 2001. Terbitnya landasan aturan hukum formalisasi syariat Islam adalah hasil lobi kaum islamisme. Tentu saja Jakarta mempertimbangkan tuntutan kaum Islamisme karenan mempertimbangkan kekuatan senjata GAM. Padahal GAM tidak menuntut itu. Keinginan GAM cuma merdeka. Petinggi GAM sampai sekarang yakin bahwa formalisasi syariat Islam di bawah Pancasila dan UUD ’45 adalah omong kosong.

Jelas kaum Islamisme telah “jual nama” tanpa izin. Dua nama sekaligus. Pertama masyarakat Aceh, kedua nama GAM. Meskipun nama kedua ini tidak dijual secara langsung. Kaum Islamisme jelas memainkan sistem politik Machiavellian dalam lobi mereka. Di depan mereka tampil sebagai akademisi dan birokrat berusaha meyakinkan Jakarta bahwa rakyat Aceh menuntut formalisasi syariat Islam. Tetapi Jakarta melihat GAM di belakang mereka.

Nama masyarakat Aceh juga dijual. Ide formalisasi atau birikratisasi syariat Islam tidak ada dalam imajinasi masyarakat Aceh. Masyarakat Aceh tidak punya masalah dalam menjalankan syariat Islam. Mereka tidak terbentur dengan regulasi-regulasi negara. Yang berbenturan dengan regulasi negara adalah kaum islamisme itu, mereka adalah birikrat, baik birokrat kampus maupun birokrat administrasi. Merekalah yang berada dalam sistem negara. Jadi, yang berbenturan dengan regulasi negara dalam beragama adalah mereka. Tetapi mereka menjual nama masyarakat Aceh. Padahal mereka tidak dekat, mereka parsial dengan masyarakat. Mereka hanya mengenal masyarakat melalui observasi dan penelitian. Persis seperti Annemarie Schimmel dan John L. Esposito yang mengenal Islam melalui penelitian. Kaum Islamisme mengenal masyarakat Aceh seperti Snouck Hurgrenje. Bahkan dalam hal ini, GAM jauh lebih mengenal masyarakat Aceh daripada kaum islamisme itu. Tetapi kaum islamisme menjual nama masyarakat Aceh dan memanfaatkan situasi untuk memenangkan kepentingan sendiri.

Tentu saja GAM menjadi marah. Tetapi GAM dalam dilema. Cover syariat Islam terlalu mudah dipakai kaum Islamisme untuk memprovokasi masyarakat dan menyudutkan GAM.

Kini perang telah usai. GAM telah menjadi sebuah sejarah. Kaum Islamisme telah memenangkan pertarungan. Kini mereka telah memiliki banyak pekerjaan di luar kantor dan kampus. Lumayan besar dibandingkan gaji, tunjangan kinerja dan sertifikasi. Mereka juga telah memegang sebuah kata kunci keramat yang bernama ‘syariat Islam’. Kata kunci itu sangat mudah untuk menghipnotis masyarakat Aceh. Semua keuntungan itu dibangun dengan, mengutip istilah Muhammad Alkaf, “kematian Darussalam”.

Mantan petinggi GAM juga umumnya sudah sibuk dengan proyek. Proyek-proyek yang dihasilkan dari darah “syuhada”.

Mantan GAM kini juga tidak terlalu peduli lagi. Arah mereka memang telah kacau sejak Hasan Tiro uzur. Saya yakin menjelang MoU 2005, kebijakan-kebijakan GAM tidak lagi murni berdasarkan arahan Hasan Tiro. Sepertinya pada akhir umurnya, GAM telah terlalu banyak dikendalikan oleh kaum Islamisme yang bergenealogi intelektual pada alumni PUSA. Di lapangan, sejak 1998 komado GAM juga sudah tidak sistematis. GAM yang awalnya mengedepankan negosiasi internasional sudah mengarah fokus kepada perang.

Dominasi narasi oleh kaum Islamisme tidak terbendung lagi. Kini tinggallah dilema. Islam akan hilang sebagai prinsip nilai masyarakat Aceh. Islam sudah dirampas oleh kaum Islamisme dari masyarakat Aceh dan diserahkan kepada negara. Kini, Islam bukan lagi milik masyarakat, tetapi sudah menjadi milik negara. Ketika Islam sudah dibirokratisasikan, maka Islam harus tunduk pada nomenklatur negara. Penyelenggaraan Islam tergantung kepada kebijakan, anggaran, mekanisme administrasi negara.

– Miswari* –

*Penulis adalah pengajar Filsafat Islam di IAIN Zawiyah Cot Kala Langsa dan Penulis buku Filsafat Terakhir.

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Sumber gambar tajuk sebelum olah digital: pixabay.com

Categories
Diskusi

Aceh Pasca 2005: Ruang Politik untuk Syariat Islam*

Mesjid di pusat kota Beureuneun, Pidie, belum selesai dibangun. Compton yang datang dari Banda Aceh, melihat bangunan itu dari jauh, dan membayangkan perasaan yang sedang dialami oleh Daud Beureuh. Tujuannya datang ke kota itu untuk menemui Daud Beureuh, ulama sekaligus pemimpin politik Aceh. Beureuh sedang gusar dan frustasi. Negeri yang dia bela mati-matian di zaman revolusi fisik, ternyata tidak seiring sejalan dengannya kemudian hari. Compton hendak melihat kegusaran itu dari dekat. Kegusaran, yang dibaca dari Jakarta akan menimbulkan gesekan yang tidak kecil.

Dari dekat, Compton menyaksikan, Daud Beureueh yang ditemuinya lebih mirip pensiunan tentara ketimbang ahli agama. Badannya kurus dan kokoh. Compton memperhatikan betul gesture pemimpin yang paling dihormati sejak tahun 1930-an itu. Memperhatikan apa yang akan dilakukannya ketika Aceh yang berjasa, tidak mendapatkan balasan setimpal. Balasan yang diyakini oleh pemimpin Aceh kala itu, dapat mengembalikan daerah ini jaya seperti dalam masa lalunya

“Kami ingin Aceh ini seperti zaman Iskandar Muda,” kata Daud Beureuh dengan masygul. Ucapan disampaikannya dengan mendalam, sampai-sampai membuat pengikutnya yang hadir pada pertemuan itu menjadi menjadi kikuk.

Fragmen menarik ini dapat dibaca di buku Boyd R. Compton, Kemelut Demokrasi Liberal: Surat-surat Rahasia Boyd R. Compton (1992). Buku yang diterbitkan oleh LP3ES ini adalah kesaksiannya, atas peristiwa politik di zaman ketika nasion sedang dibangun. Buku ini memuat banyak cerita, tentang hiruk pikuk politik. Tentang Aceh dan Daud Beureuh. Mengenai Sukarno. Islam yang terus mencari jalan. Dan, Indonesia yang terus mencari keseimbangan. Buku yang sebenarnya berasal dari surat-suratnya itu, kemudian menjadi warisan Compton.

Compton berada di Indonesia untuk menyelesaikan studinya, namun gagal. Sehingga dia tidak dikenal sebagai ahli politik. Namun surat suratnya itu menjadi penting karena menjelaskan hal yang luput dari peneliti lain tentang Indonesia.

“Kendatipun Compton gagal menulis disertasinya — analisa-analisa politik Indonesia tahun lima puluhan –dalam bentuk surat-surat panjangnya –toh sangat berharga untuk disimak,” tulis Fachry Ali dalam pengantarnya.

Dari Compton kita melihat Beureuh sebagai perwujudan imaji terdalam dalam masyarakat Aceh: bahwa kembali ke masa lalunya yang agong adalah pra-syarat untuk kemajuan di masa mendatang. Iskandar Muda tentunya dimaknai sebagai raja besar yang memiliki kekuatan dan menjalankan syariat Islam. Apalagi dengan cerita, bahwa dia telah menghukum putera mahkotanya, karena melanggar syariah. Sebuah tindakan heroik yang dikenang melalui hadih maja “mate aneuk meupat jeurat, gadoh adat pat ta mita.” Adat di sini ditafsirkan sebagai penegakan syariah Islam.


Aceh oleh generasi Beureuh dibangun dengan imaji dan ingatan kolektif mengenai Islam, ketika generasi Beureuh berada di zaman yang saling silang. Hal yang diakibat bertemunya Aceh dengan kemajuan yang dibawa oleh bangsa Barat atas praktik kolonialisme. Perjumpaan itu yang dinamakan dengan modernisme. Sebuah ide yang menolak dan mengambil dari Barat sekaligus. Dari jalan Barat, generasi Beureuh memahami tentang Aceh yang baru. Lalu membangun apa yang diyakini dari masa lalunya; Islam. Tanpa Islam, maka bukan Aceh. Konstruksi itu dilakukan dengan baik oleh generasi Beureuh, dan diceritakan melalui kisah epos perang suci Aceh melawan Belanda, yang diwakili sosok Tgk. Chik di Tiro.

T.A. Talsya, wartawan cum sasterawan menyebut sosok ini yang memiliki perasaan meluap-luap untuk memimpin perjuangan melawan kaphe Belanda. “Dengan penuh kesadaran dan semangat anti Belanda (kafir) yang melupa-luap, beliau bersedia untuk memimpin perjuangan suci ini,” tulisnya.

Sosok ini pula yang menjadi inspirasi generasi Beureuh ketika mengobarkan semangat jihad, melalui maklumat ulama, 15-10-1945, untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan Indonesia,

“…bahwa perjuangan ini adalah sebagai sambungan perjuangan dahulu di Aceh yang dipimpin oleh Almarhum Tgk. Chik di Tiro dan pahlawan-pahlawan kebangsaan yang lain.” (Hasjmy, 1984)

Bahkan atas nama Tgk. Chik di Tiro pula, PUSA menyusun sebuah memorandum politiknya, di tahun 1950, mengenai keabsahan ulama untuk memegang posisi kepemimpinan di Aceh yang kosong, akibat perang yang berkecamuk.

“…Karena itu, pendirian PUSA adalah jawaban terhadap kekosongan kepemimpinan. Maka PUSA mengambil alih kepemimpinan Aceh. Berdasarkan kenyataan bahwa ulama Tiro yang akhirnya memegang hak kepala negara Aceh, kebangkitan PUSA sebagai organisasi ulama telah sekaligus menjadi pewaris langsung dari kekuasaan sultan.” (Ali dkk, 2008)

Namun ironi, dengan nama Tgk. Chik di Tiro pula, Sukarno meyakinkan Daud Beureueh untuk mempertahankan proklamasi 1945. Bahwa peperangan yang berkobar-kobar dalam revolusi nasional, merupakan maksud perang yang digelorakan oleh Tgk. Chik di Tiro.

”Kakak! Memang yang saya maksudkan adalah perang yang seperti telah dikobarkan oleh pahlawan-pahlawan Aceh yang terkenal seperti Tgk. Chik di Tiro dan lain-lain…” Pungkas Sukarno dalam dialognya dengan Daud Beureuh di tahun 1947 (El Ibrahimy, 1984).

Disebut ironi karena fragmen itulah yang menjadi titik anjak kemarahan berdekade antara Aceh dengan Jakarta. Maksud Aceh membantu mempertahankan proklamasi kemerdekaan Indonesia, guna mengembalikan Islam di Aceh seperti zaman Iskandar Muda. Dan apa yang telah ditunjukkan oleh Tgk. Chik di Tiro dalam peperangan suci. Namun yang terjadi, Aceh dilebur ke dalam provinsi Sumatera Utara. Hal yang kemudian memulai narasi perlawanan Aceh terhadap Jakarta.

Perlawanan pertama melalui Darul Islam, dipimpin oleh Daud Beureuh. Meletus tahun 1953 dan berhenti di tahun 1962, melalui upaya damai dan bermartabat, baik melalui Ikrar Lamteh dan Kongres Kerukunan Rakyat Aceh. Darul Islam adalah gerakan politik menuntut apa yang belum diberikan, hak untuk melaksanakan Syariat Islam. Hak tersebut diberikan melalui skema Daerah Istimewa Aceh.

Perlawanan kedua, melalui Gerakan Aceh Merdeka, 1976-2005, dipimpin oleh murid Daud Beureuh, Hasan Tiro. Berbeda dengan Darul Islam, perlawanan kali ini adanya perpindahan gagasan, dari islamisme ke (etno)nasionalisme. Gagasan yang dibangun dengan letupan bedil itu, akhirnya juga berhenti di meja perundingan. Berdamai di Helsinki. Lalu, kembali, otonomi khusus diberikan untuk Aceh. Perbedaannya, kali ini lebih besar wewenangnya yang diberikan, dibandingkan setelah penyelesaian peristiwa Darul Islam. Ada kebebasan untuk menampilkan eskpresi politik dan budaya lokal, penguasaan sumber daya alam, pembagian alokasi dana yang lebih besar dan wewenang luas untuk melaksanakan syariat Islam.

Pendeknya, perdamaian dari Helsinki telah membuka ruang politik yang lebar untuk segala ekspresi yang ada. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa ide Syariat Islam malah semakin mendapatkan ruang politiknya, paska 2005, di saat ruang itu dibuka oleh gerakan yang tidak mengusung gagasan islamisme.


Tulisan ini[ref]Bagian ini telah dipublikasi di http://www.bung-alkaf.com/2017/12/08/gam-setelah-41-tahun-demokrasi-dan-ruang-politik-untuk-syariah/[/ref] hendak menjawab pertanyaan di atas melalui penelusuran secara genealogis.

Sejak memasuki abad kontemporer, Aceh telah membuka ruang untuk melakukan perbincangan antara gagasan Islam dengan nasionalisme. Cita-cita mengenai kejayaan Islam Aceh di masa lampau, kemudian dicoba terapkan dalam eksperimen politik modern. Melalui pertemuan dengan gagasan baru yang bernama Indonesia. Untuk itu, Aceh menjadikan Islam persyaratan utama ketika mendukung proklamasi Indonesia. Sehingga ketika Darul Islam Aceh itu terjadi, hal tersebut haruslah dilihat sebagai ungkapan politik untuk memasukkan Islam dalam kehidupan bernegara.

Perjumpaan Islam dan nasionalisme menjadi lebih tajam, ketika Hasan Tiro melakukan revisi terhadap gagasan kebangsaan Indonesia. Dia memasuki, bahkan berpindah dari gagasan islamisme kepada apa yaang disebut sebagai etnonasionalisme (Damanik, 2010). Untuk memperkuat gagasannya itu, Tiro menjadikan analisa sejarah dan hukum sebagai dasar pijakannya (Ali dkk, 2008).

Dua seting politik di atas penting sebagai cara membaca Aceh lebih utuh. Apalagi wajah Aceh tidak lagi sama setelah 41 tahun GAM dan 12 tahun kesepakatan damai di Helsinki. Perdamaian politik Helsinki itu telah menghentikan cita-cita kemerdekaan GAM dan berganti dengan jalan demokrasi.

Namun, ternyata, demokrasi memunculkan masalah berikutnya.

Ketika demokrasi hanya meniscayakan satu hal, yaitu, diskursif, ternyata tidak dapat diikuti sepenuhnya oleh para mantan kombatan. Karena demokrasi menyediakan ruang deliberatif, meminjam frasa dari Habermas, yang memungkinkan setiap ide, gagasan melalui proses yang diskursif dan melewati uji publik (Hardiman 2009).

Demokrasi yang meniscayakan diskursif dan uji publik demikian, tidak dikenal dalam tradisi pergerakan politik Aceh Merdeka. Demokrasi jelas menghendaki ruang percakapan publik yang luas, tentu tidak efektif dalam masa perang. Sebab perang, harus dibangun dengan agitasi dan propaganda. Sehingga yang terjadi adalah mantan kombatan, yang sudah berpolitik itu, malah gagal memanfaatkan ruang politik yang terbuka lebar sejak tahun 2005.

Dalam keadaan demikianlah, kita kemudian dapat mulai memahami, mengapa gagasan etnonasionalisme, sebagai ide utama organisasi GAM, itu kalah dengan gagasan islamisme, yang merupakan ide utama di Aceh sejak zaman revolusi nasional. Padahal, kedua topik pernah itu menjadi perdebatan sengit di masa-masa awal reformasi, tentang apakah Aceh lebih menghendaki formalisasi hukum syariah atau keadilan (baca: merdeka).

Formalisasi hukum syariah sendiri merupakan gagasan yang lama mengendap setelah berakhirnya peristiwa Darul Islam Aceh, yang terus dicoba dalam berbagai kebijakan pelaksanaan hukum syariah. Misalnya, apa yang dilakukan oleh Gubernur Hasby Wahidy, yang pernah menjadi aktivis pemuda PUSA , dengan membentuk Biro Unsur-Unsur Syariat Islam di tahun, yang berujung pada pergantiannya oleh Pemerintah Pusat oleh Muzakkir Walad di tahun 1968 (Nashir, 2013). Namun, cara rezim Orde Baru menangani Aceh demikian, dalam pandangan Sjamsuddin (1989) telah membuat Beureuh kecewa. Lalu, karena sentimen itulah terjadi perjumpaan antara veteran Darul Islam dengan Hasan Tiro, yang lebih menjadikan isu pengelolaan kekayaan alam, sebagai bentuk ketidakadilan Pemerintah Pusat kepada Aceh, sebagai alasan untuk melakukan perlawanan kembali.

Namun, ketika Tiro mulai bergerak kepada gagasan etnonasionalisme, ide islamisme masih kuat mengendap di kepala elite politik dan intelektual Aceh. Kelompok bahkan bergerak dari tengah untuk mendorong agenda politiknya itu.

Oleh elite politik, hal itu ditunjukkan dengan mendukung penuh kepada PPP untuk mengalahkan dominasi Golkar. Dukungan kepada PPP dijadikan sebagai tempat pertujukan komitmen Aceh terhadap Islam (Ali, 1996). Sedangkan oleh golongan intelektual, yaitu para sarjana dari IAIN Ar Raniry, Darussalam, lebih mengisi ruang-ruang birokrasi, seperti menjadi pengajar di perguruan tinggi, bekerja di Kementerian Agama dan menjadi pengurus di Majelis Ulama Indonesia. Selanjutnya gagasan-gagasan tentang Islam juga mendapatkan ruang diskursusnyanya di media Sinar Darussalam, sebuah majalah ilmiah yang terbit secara rutin sejak tahun 1969 sampai akhir tahun 1990-an.

Proses yang sistematis dari golongan elite politik dan intelektual tersebut, kemudian ikut menjelaskan mengapa setelah Aceh mendapatkan otonomi khusus di tahun 2001, untuk menjalankan Syariat Islam, maka produk hukum di bidang aqidah, ibadah, syiar Islam dan jinayah mampu dilahirkan dengan cepat.

Lalu, ketika ide islamisme bergerak dari tengah, di saat yang bersamaan, gagasan etnonasionalisme berada di pinggiran. Di saat pendukung gagasan islamisme menulis buku yang sistematis, mengadakan pengajaran dan seminar secara regular. Pendukung gagasan etnonasionalisme hanya mampu berpidato di tempat terpencil, mendengar ceramah dari kaset secara diam-diam, mencetak pamflet dan mengedarkan stensilan ceramah secara terbatas. Baru setelah rezim Orde Baru tumbang, ada peluang politik untuk membangun framing tentang etnonasioanalisme secara luas.

Ada euforia di sana-sini. Salah satunya dengan aksi-aksi kolosal, seperti referendum, mogok massal dan perayaan hari milad GAM secara terbuka. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama. Operasi militer dari pemerintah pusat berhasil membuat gagasan etnonasionalisme kembali ke pinggir. Bahkan setelah MoU Helsinki pun tidak mampu membawa gagasan itu kembali ke tengah, hatta mantan kombatan menduduki posisi politik yang strategis di Aceh.

Bahkan kini, produk hukum syariah lebih banyak lahir dan mendapat sambutan masyarakat, seperti Jinayah dan Hukum Acara Jinayah, Bank Syariah, Dinas Dayah dan keterlibatan ulama dalam memberi pertimbangan pada setiap kebijakan. Berbanding terbalik dengan produk hukum bercorak etnonasionalisme yang tidak mendapat dukungan penuh bahkan memunculkan riak-riak perlawanan, seperti kelembagaan Wali Nanggroe, bendera, lambang dan himne Aceh.

Perubahan sosial politik ini tentulah tidak ajeg. Namun bila ditelusuri secara genealogis, dapat dikatakan, bahwa gagasan islamisme dalam bentuk formalisasi hukum Islam di Aceh, telah memenangkan pertarungan narasi. Dan akan semakin kuat posisinya dalam membentuk identitas politik dan budaya di Aceh di kemudian hari.

* Makalah ini disampaikan pada diskusi Friday Forum IAIN Langsa, 2 Maret 2018

 

Gambar sebelum olah digital diambil dari : republika.co.id.

Categories
Kolom Pendiri

Bendera dan Wibawa Bangsa

Tak ada yang membantah bahwa Aceh berhak memiliki bendera sendiri berdasarkan di Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan MoU Helsinki. Tak ada pula yang berhak melarang jika ada anggota dewan lebih memilih menghabiskan waktu dan tenaganya untuk isu bendera ketimbang isu yang lain. Tapi, berasumsi bahwa jika memiliki bendera sendiri maka harkat dan martabat rakyat Aceh akan naik, maka itu adalah sebuah kesesatan berpikir yang nyata.