Categories
Penulis Tamu

FRIDAY FORUM IAIN LANGSA DAN KEMBALINYA PERBINCANGAN INTELEKTUAL DI ACEH

Publik Aceh telah mengenal lama Darussalam sebagai pusat pendidikan. Kehadiran Unsyiah dan UIN Ar-Raniry telah membuat kawasan Darussalam menjadi poros utama dalam pengembangan pengetahuan di Aceh. Sulit membayangkan Aceh memiliki poros lain dalam soal pengembangan pengetahuan.

Darussalam memang dirancang sejak awal sebagai pusat pendidikan. Kondisi ini sangat berbeda dengan Meurandeh yang tidak dibuat atas desain tersebut. Alih-alih sebagai pusat pendidikan, Meurandeh pada awalnya hanya terdiri dari semak-semak dan pohon sawit. Namun kini, Meurandeh mulai berjuang menjadi produsen pengetahuan selayaknya Darussalam. Keberadaan IAIN Langsa dan Unsam Langsa di Meurandeh perlahan mulai memperlihatkan terbukanya poros baru pengembangan pengetahuan di Aceh.

Terbukanya poros baru di Meurandeh dapat terlihat pada Friday Forum IAIN Langsa. Forum yang baru dimulai 3 minggu belakangan. Meski masih berumur sangat muda, forum ini telah menyerap perhatian besar kalangan intelektual Aceh. Selain, karena tema-tema yang diperbincangkan cukup berani, kehadiran forum ini seperti oase ditengah keringnya forum-forum ilmiah di Aceh.

Setidaknya ada 2 cara pikir yang mencetuskan ide Friday Forum. Pertama, kurangnya komunikasi serta sharing pengetahuan diantara akademisi dalam forum-forum intelektual. Kedua, minimnya produktifitas publikasi yang dapat dikatakan cukup mampu bersaing dengan akademisi luar Aceh.

Padahal, secara sadar Aceh diakui merupakan wilayah yang paling banyak digali oleh para akademisi. Kita dapat melihat banyaknya tulisan yang menjadikan Aceh sebagai sebuah studi pada jurnal ternama. Namun situasi demikian kontras dengan capaian akademisi asal Aceh. Sulit menemukan akademisi asal Aceh yang menjadi kontributor dalam jurnal-jurnal ternama tersebut. Studi Aceh sampai saat ini masih dikuasai oleh akademisi dari luar Aceh.

Kesadaran seperti diatas mulai tumbuh di kalangan akademisi IAIN Langsa. Untuk itu dibutuhkan rangkaian tindakan bersama agar dapat keluar dari situasi tersebut. Tercetus sebuah ide awal untuk membuat kelas pelatihan penelitian dan penulisan artikel jurnal bagi para dosen muda di Fakultas Syariah IAIN Langsa. Harapannya agar budaya menulis berbasis penelitian mulai tumbuh dan tertanam sejak muda. Penulis dan beberapa rekan mulai membuat rangkaian materi yang akan disampaikan dalam kelas tersebut.

Akan tetapi, dalam diskusi selanjutnya muncul kesadaran baru yang pada akhirnya menggeser ide awal tersebut. Ada 2 kesadaran yang muncul dan menjadi sangat krusial dalam perbincangan penulis dan beberapa rekan. Pertama, bagaimana cara meningkatkan minat menulis dikalangan dosen-dosen muda jika tidak di imbangi oleh literasi yang baik?. Pertanyaan itu penting, mengingat IAIN Langsa bukanlah wilayah yang cukup baik dalam hal distribusi buku-buku maupun jurnal-jurnal yang bersifat akademik. Kedua, bagaimana bisa mengharapkan karya-karya yang dituliskan oleh akademisi IAIN Langsa dapat bersaing dengan tulisan luar ketika isu-isu yang saat ini sedang menjadi perbincangan akademisi di luar tidak menjadi perhatian serius di IAIN Langsa?

Melalui 2 pertanyaan diatas, penulis dan beberapa rekan mulai merubah format tindakan bersama ini. Format yang awalnya merupakan kegiatan semi-kelas, diubah menjadi forum diskusi. Namun, tujuan dari tindakan bersama ini tetap tidak berubah. Tindakan bersama ini masih bertujuan untuk membangun komunikasi dan berbagi pengetahuan yang pada akhirnya menaikkan minat publikasi tulisan-tulisan ilmiah di IAIN Langsa. Untuk itu, format forum diskusi dirasa lebih baik. Nama Friday Forum pun dipilih karena kegiatan forum diskusi dilakukan setiap hari Jum’at.

Semangat untuk berkomunikasi dan berbagi pengetahuan menjadi ruh Friday Forum. Forum ini tidak bisa didominasi oleh satu bidang ilmu ataupun satu cara pandang tertentu. Friday Forum dapat dikatakan hanya merupakan sebuah wadah yang kosong. Untuk mengisi wadah kosong tersebut, diperlukan beragam jenis pengetahuan yang berasal dari beragam bidang ilmu. Diharapkan nantinya akademisi yang berada di Meurandeh dapat mengolah pengetahuan yang berasal dari wadah tersebut untuk dikonsumsi oleh publik.

Perguruan tinggi harus kembali menengahkan perbincangan intelektual (intelectual discourse) yang bermutu dan dapat dikonsumsi oleh publik. Jangan sampai karena terlalu gersangnya intelectual discourse, berakibat pada kejumudan berpikir publik.

Harus diakui perbincangan intelektual telah lama hilang di publik kita. Aceh lebih khusus menggambarkan kehilangan tersebut. Hampir-hampir perbincangan dikuasai oleh opini publik yang saat ini mulai sulit disaring kebenarannya.

Tokoh-tokoh publik yang lahir dari media sosial kini mengambil peran besar dalam membentuk narasi publik. Mereka dibesarkan oleh media sosial dengan menyasar market-market yang sudah lama tidak mendapatkan perhatian intelektual.

Melalui peran mereka media sosial yang sejatinya memberi ruang dan kesempatan orang luas untuk dapat berbincang, justru telah mematikan perbincangan. Opini publik mendapatkan posisi strategis dalam memenangkan diskursus pengetahuan. Untuk mengatasi kondisi tersebut tidak ada cara lain kecuali merebut kembali perbincangan di media sosial.

Keberanian Friday Forum berupaya kembali menghadirkan intelectual discourse ditengah-tengah kondisi seperti sekarang ini patut dicontoh oleh perguruan tinggi lain di Aceh secara khusus. Kini, sudah saatnya masyarakat kembali disuguhi oleh perbincangan intelektual.

Perguruan tinggi harus menjadi role model narasi masyarakat. Perbincangan jangan sampai ditutup oleh kejumudan berpikir hanya karena para intelektual mulai takut berhadapan dengan publik.

– Yogi Febriandi –

Yogi Febriandi – Kurator Friday Forum IAIN Langsa

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Sumber gambar tajuk sebelum olah digital: muslimheritage.com

 

 

Categories
Diskusi

Friday Forum IAIN Langsa dan Kembalinya Perbincangan Intelektual di Aceh

Publik Aceh telah mengenal lama Darussalam sebagai pusat pendidikan. Kehadiran Unsyiah dan UIN Ar-Raniry telah membuat kawasan Darussalam menjadi poros utama dalam pengembangan pengetahuan di Aceh. Sulit membayangkan Aceh memiliki poros lain dalam soal pengembangan pengetahuan.

Darussalam memang dirancang sejak awal sebagai pusat pendidikan. Kondisi ini sangat berbeda dengan Meurandeh yang tidak dibuat atas desain tersebut. Alih-alih sebagai pusat pendidikan, Meurandeh pada awalnya hanya terdiri dari semak-semak dan pohon sawit. Namun kini, Meurandeh mulai berjuang menjadi produsen pengetahuan selayaknya Darussalam. Keberadaan IAIN Langsa dan Unsam Langsa di Meurandeh perlahan mulai memperlihatkan terbukanya poros baru pengembangan pengetahuan di Aceh.