Categories
Penulis Tamu

MELIHAT SEKILAS PEMIKIRAN ANTHONY REID: “REVITALIZER DAN BORROWERS”

Pada akhir abad ke-19 kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara mengalami kemunduran. Mereka dihempaskan oleh kekuatan militer Barat. Sementara lainnya, menghadapi pilihan sama buruknya, harus bersikap akomodatif terhadap kekuatan Barat. Dengan kata lain, mereka sama-sama dijajah. Maka pada akhirnya warisan sejarah yang muncul pada masa kini adalah, khususnya di Indonesia, narasi tentang kekalahan dan keterpurukan di bawah dominasi Barat.

Lepas dari pandangan-pandangan post-kolonialis di masa kini, dan pandangan klasik dari van Leur bahwa sejarah Indonesia, juga Asia Tenggara, perlu dilihat dalam sudut pandang masyarakat asli sendiri, namun toh narasi sejarah akan keterpurukan tetap berkecamuk. Di Indonesia, narasi sejarah yang resmi senantiasa menceritakan kisah hebat para martir melawan Belanda. Namun, narasi ini kadang sulit dipahami karena makin menjelaskan akan kekalahan dan keterpurukan. Narasi ini malah menimbulkan sikap tak peduli di kalangan muda Indonesia—generasi yang lahir pada era 1980-an—akan sejarah Indonesia. Selain itu, di kalangan generasi baru yang banyak membaca komik sejarah Jepang kadang muncul pertanyaan mengapa narasi kekalahan itu selalu diceritakan, dan mengapa elit dan penguasa kerajaan di Asia Tenggara pada masa itu tidak melakukan kebijakan seperti Restorasi Meiji di Jepang. Bagaimana narasi sejarah Indonesia seandainya, misalnya, Pangeran Diponegoro tidak memutuskan perang melawan Belanda namun melakukan pilihan cerdik dengan mereorganisasi keraton Jogjakarta dan mengirimkan para pengikutnya ke Negeri Belanda untuk melakukan studi pemerintahan, sains dan teknologi, dan militer di Negeri Belanda. Sayangnya, ini hanyalah khayalan dan tulisan ini tidak membahas hal tersebut. Tulisan ini berusaha melihat sekilas bagaimana memahami narasi kekalahan dan keterpurukan itu.


Anthony Reid memberikan suatu pendekatan kritis melihat kekalahan negeri-negeri Asia Tenggara, yaitu dengan melihat tanggapan-tanggapan intelektual masa itu. Ia memaparkan dua pendekatan; Revitalizer (pembaharu) dan borrowers (peminjam). Revitalizer adalah para pembaharu, yaitu kalangan elite yang cenderung melihat masalah dari sudut pandang moral dan agama. Mereka cenderung memberi solusi atas kekalahan yang dialami negeri mereka berupa ketataan yang sungguh-sungguh pada norma-norma yang sudah mapan. Borrowers adalah para peminjam, yaitu kalangan elite yang memandang masalah keterpurukan dan kekalahan adalah semata-mata pada soal teknis. Mereka memberikan solusinya pada usaha untuk mempelajari teknik-teknik Barat.

Reid memaparkan beberapa pandangan intelektual kalangan revitalizer dalam kasus kekalahan Melaka menghadapi invasi Portugis (dalam Sejarah Melayu), kekalahan Makasar atas serangan VOC (dalam Sja’ir Perang Mengkasar), kekalahan kerajaan Aceh dalam Perang Aceh (dalam Hikayat Perang Sabil), kekalahan orang-orang Jawa dalam Perang Jawa dalam milleniarisme (dalam ramalan Jayabaya).

Dalam kasus kekalahan Makassar Reid menelaah tanggapan akan kekalahan itu dalam Sja’ir Perang Mengkasar. Syair ini adalah sebuah epos pertempuran dibuat penulis istana Makasar satu atau dua tahun setelah kejadian. Epos ini mengakui bahwa orang Makasar memang kalah. Namun, epos ini menyuarakan argumentasi kekalahan mereka lebih disebabkan pada kelaparan dan bantuan orang-orang Bugis kepada Belanda. Epos itu menyatakan bahwa ”Setan Belanda” tidak memainkan peran besar dalam perang tersebut.

Dalam kasus kekalahan Malaka Reid menelaah tanggapan akan kekalahan itu pada Sejarah Melayu. Sejarah Melayu adalah kronik istana Melaka/Johor yang sangat rinci. Alasan utama mengapa kronik itu dikarang atau seseorang memerintahkan untuk menulis ulang pada awal abad ke-16 adalah kebutuhan untuk menjelaskan kerugian tak terkira akibat jatuhnya ibukota dinasti Melaka ke tangan Portugis. Narasi Sejarah Melayu memang menyebut bola-bola meriam Portugis berjatuhan bagaikan hujan. Namun penjelasan riil atas kekalahan itu bukan dari teknologi persenjataan Portugis, namun dari dalam. Yakni, bahwa Melaka telah gagal mempertahankan aturan-aturan dasar kerajaan. Yakni, jika penguasa menghina rakyat tanpa alasan yang jelas, maka mereka tidak akan lagi terikat dengan sumpah setia mereka. Sultan Mahmud penguasa yang menyebabkan Melaka jatuh, dinasihati ayahnya saat menanti ajal, “Jika engkau menghukum mati mereka (rakyat Melaka) sedangkan mereka tidak melakukan kesalahan, maka kerajaanmu akan terbawa binasa”. Hukuman berat mendera Melaka menyusul kejahatan Mahmud melanggar dasar kontraktual kerajaan yaitu membunuh bendahara-nya (menteri utama) yang setia, SriMaharaja.

Menurut Reid, perspektif dua teks melayu itu dalam memandang kekalahan mereka masih ditafsirkan dalam konteks lokal. Sudut pandang dari kedua teks akan sama jika Melaka jatuh ke tangan Siam atau Makassar jatuh ke tangan Bugis. Dengan kata lain, serangan terburuk yang dilakukan oleh orang-orang Eropa masih ditafsirkan dalam sudut pandang lokal.

Dalam kasus Perang Aceh, menurut Reid, pada mulanya para elite pejuang Aceh sangat percaya diri. Mereka sangat yakin bahwa mereka akan menang melawan Belanda. Dengan bersandar pada tafsiran agama, mereka sangat yakin bahwa orang-orang kafir Belanda dapat dikalahkan. Namun ketika, pada tahun 1890-an, posisi mereka makin terpojok menuju kekalahan, perjuangan mirip dengan tindakan bunuh diri pun dilakukan. Dalam analisis Reid, para ulama Aceh pada masa ini mulai menanggalkan pandangan bahwa orang beriman (Islam) akan menang memperoleh kemenangan di dunia dan beralih pada gambaran keuntungan di akhirat dengan pahala lebih besar. Pandangan ini terekam jelas dalam Hikayat Perang Sabil. Hikayat yang mengilhami rakyat Aceh mati sahid melawan Belanda.

Namun ketika kemenangan makin mustahil sebagian para elit pejuang Aceh memilih menyerah kepada Belanda. Para elit yang menyerah ini memberikan alasan intelektual kepada para pejuang Aceh yang masih bertahan di perbukitan bahwa orang Islam di mana-mana telah dikalahkan dan dihina karena dunia sedang menuju akhir zaman.

Dalam Kasus Jawa, kekalahan dan keterpurukan yang dialami para elit memunculkan Mileniarisme. Menurut Reid, ada perbedaan mileniarisme sebelum abad ke-19 dan sesudah abad ke-19 terutama setelah berakhirnya Perang Diponegoro. Mileniarisme sebelum abad ke-19 cenderung memusatkan perhatian pada kemunculan seorang penguasa atau dinasti baru yang akan mempersatukan dan memperkuat Jawa. Selain itu, mileniarisme di masa ini masih menganggap Belanda sebagai bangsa Barbar yang tidak beradab.

Sebaliknya, usai perang Diponegoro, realitas akan dominasi Asing makin terlihat. Yang lebih pahit lagi, istana-istana Jawa menjalin hubungan akrab dengan Belanda. Ini menyebabkan gerakan milinearisme makin menjauh dari istana dan terfokus pada penyelamat asing yang akan menyelamatkan Jawa yaitu Raja Ngrum (Turki). Selain itu, makin kuatnya cengkraman Belanda yang sukar dipahami kekuatan dan rahasianya menimbulkan tumbuhnya kepercayaan pada penyelamat asing. Mileanarisme paling terkenal adalah ramalan Jayabaya yang meramalkan akan munculnya Ratu Adil. Gerakan-gerakan petani melawan Belanda di Jawa seringkali diilhami oleh ramalan tersebut. Pada pertengan akhir abab ke-19, penyelamat asing yang memperoleh popularitas yang makin besar bukan lagi Turki melainkan bangsa Jepang.


Tentang Borrowers, Reid memberikan argumentasi dalam Wacana Reformasi Pemerintahan, modernisasi Pendidikan, Persatuan, dan wacana Marxisme. Namun dalam tulisan ini hanya akan dibahas pandangannya tentang Wacana Reformasi Pemerintahan dan Wacana Marxisme di antara kelompok peminjam.

Pada awal abad ke-20 di dunia melayu muncul kelompok intelektual yang mengkritik penguasa-penguasa Melayu yang kalah dan terkooptasi oleh orang-orang Barat. Para pengkritik ini bersifat praktis, kosmopolit, islamis, dan keras. Contoh terkenal adalah kelompok intelektual yang berhimpun di majalah reformis Islam Al-Imam. Majalah ini sering mengecam keras penguasa-penguasa Melayu sebagai benih dari segala kejahatan dan penyebab segala kesusahan, pemboros, dan biang keladi kedunguan. Menurut Reid para pengkritisi ini sering membandingkan antara pemerintahan kerajaan di negeri melayu dengan efisiensi dan otokrasi pemerintahan kolonial, dan bukan melihat sistem dan tata cara parlementer yang sukar mereka pahami.

Tokoh utama dari kalangan peminjam paling kritis di antara penulis melayu adalah Munshi Abdullah. Ia punya kedekatan khusus dan kegandrungan luar biasa dengan pemerintah Inggris. Ia memperhatikan dengan cermat pemerintahan Inggris. Dalam pandangannya, kelaliman dan kesewenang-wenangan raja-raja Melayu adalah penyebab utama keterbelakangan dan keterpurukan negeri-negeri mereka. Dalam penutup laporan perjalanannya yang sangat kritis ke pantai timur Malaya pada 1837-1838, ia menguraikan kekurangan-kekurangan pemerintahan di Kerajaan Melayu dibandingkan pemerintahan kolonial Inggris di Singapura, yaitu :

  1. Tidak ada jaminan keamanan di negeri-negeri Melayu terhadap harta benda, jiwa atau apapun. Sementara di negeri-negeri Inggris ada jaminan keamanan dalam bentuk perlindungan dari segala mara bahaya.
  2. Kedamaian di negara Inggris ada namun di negeri-negeri Melayu tidak ada.
  3. Hamba-hamba Raja di negeri-negeri Melayu dapat melakukan pelanggaran sesuka hati terhadap makhluk ciptakan Tuhan. Karena, jika satu hamba Raja dibunuh maka tujuh orang mati. Sedangkan di negeri-negeri Inggris tidak demikian, jika anak seorang penguasa kulit putih atau penguasa itu sendiri membunuh seseorang tanpa dasar hukum dia akan dijatuhi hukuman mati.
  4. Di negeri-negeri Melayu terlalu banyak orang membuang waktu siang dan malam hari dalam kemalasan. Sementara di negeri-negeri Inggris banyak orang bekerja keras dan didorong bekerja keras. Di negeri-negeri melayu punya adat yang berbeda, jika seseorang menjadi kaya dengan bergelimang harta dan hidup senang, maka berbagai macam tuduhan dilontarkan kepadanya, sampai dia hancur, hartanya habis, dan barangkakali nyawanya direnggut.

Namun, sekali lagi dalam pandangan Reid, sedikit sekali orang-orang Asia Tenggara yang bisa melihat secara langsung jalannya demokrasi parlementer di Eropa. Dan lebih sedikit lagi yang bisa memahami bahwa parlemen adalah kunci kekuasaan Eropa. Satu kelompok yang bisa memahami itu adalah segelintir bangsawan berpendidikan Eropa. Mereka menasihati Raja Chulalongkorn pada 1886 bahwa Kerajaan Siam bisa bertahan dari tantangan Eropa melalui landasan perubahan konstitusional menuju pemerintahan monarki parlementer. Namun, usaha mereka pun juga kurang berhasil karena Raja masih berkuasa mutlak.

Bagi elit terdidik Asia Tenggara di bawah rezim penjajahan Eropa, yang telah kehilangan kepercayaan pada kemampuan kelas penguasa tradisional, model-model konstitusional Eropa umumnya dipandang jauh dari persoalan riil. Kaum nasionalis bersedia mengumandangkan “Indonesia berparlemen,” atau tanggung jawab kementerian di Birma namun sebagai taktik jangka pendek ketimbang pemecahan riil terhadap masalah dominasi asing. Lebih bermakna dari pada model-model konstitusional justru populisme revolusioner yang melibatkan massa. Karena rakyat jajahan tidak memiliki sumber kekuatan kecuali jumlah orang, maka identifikasi mereka dengan massa tidak dapat dielakkan.

Menurut Reid Kaum Marxis atau partai komunis di Asia Tengara adalah peminjam di Asia Tenggara yang paling bersemangat, punya semangat internasional, dan tidak sabar terhadap nilai-nilai dan praktik-praktik lama yang sudah usang. Mereka giat mengembangkan program-program ekonomi politik, dan pendidikan. Memang, rumusan dasar marxist khususnya dari pemikiran Lenin Imperialisme: Last Stage of Capitalisme (Imperialisme: Tahap Akhir dari Kapitalisme) berpengaruh luas dalam lingkaran elit Asia Tenggara khususnya anggota partai komunis, intelektual yang berminat pada watak kapitalisme, dan pendukung revolusi sosial. Daya tarik Marxisme terletak pada fakta bahwa paham ini dapat digunakan untuk menjawab dilema keterpurukan dan kekalahan mereka atas bangsa Asing dan janji bahwa kekuatan Barat bisa dikalahkan. Mereka mengikuti dan berusaha menjalankan tiga keyakinan:

  1. Keyakinan bahwa masalah pengaruh Barat bisa dan akan dikalahkan.
  2. Tuntutan regenerasi moral.
  3. Rasa persatuan dan Persaudaraan yang dipancarkan.

Sebagai penutup adalah bermanfaat jika narasi masa lalu negeri kita dibahas dengan cara yang ditawarkan oleh Anthony Reid—revitalizer dan borrower. Meskipun keduanya punya perbedaan, namun sudut pandang yang dipaparkan cukup kritis dalam melihat pemikiran kalangan intelektual dan elit di masa lalu yang mengalami keterpurukan. Lagi pula, sedikit sekali narasi kemenangan dalam narasi sejarah Indonesia. Dengan kata lain, beban sejarah akan kekalahan dan keterpurukan sesungguhnya masih terekam kuat di kalangan elit dan intelektual generasi selanjutnya. Rasa inferioritas akan kekuatan Barat masih nampak terutama dalam bidang ilmu pengetahuan teknologi dan ekonomi. Di masa kini pun semangat dalam bentuk yang sama seperti dilakukan oleh kaum revitalizer di masa lalu muncul kembali. Misalnya, munculnya partai-partai politik berbasis agama yang sangat yakin dengan nilai-nilai moral religius dalam menawarkan solusi akan keterpurukan negeri mereka. Barangkali memang terasa pedih khususnya bagi generasi masa kini memahami sejarah negeri mereka sendiri yang senantiasa kalah dan dikalahkan. Maka, wajar jika mereka begitu acuh dengan sejarah mereka karena tidak ada yang patut dibanggakan dari sejarah kekalahan itu. Namun akan lebih celaka bila sejarah tentang kekalahan dan keterpurukan itu tidak ditelaah generasi berikutnya.

-Saiful Hakam*

Saiful Hakam – Peneliti LIPI

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com


Tulisan ini sudah pernah dimuat dalam blog pribadi penulis.
Gambar fitur diambil dari commons.wikimedia.org

Categories
Penulis Tamu

SPIRITUALITAS POLITIK, “MACHIAVELLIAN ACEH” DAN KESELAMATAN MANUSIA

“Hakikat Manusia tidak lain adalah kehendak untuk Berkuasa”, demikian sebaris kalimat dari Friedrich Nietzsche, sang filosof aforis yang menyibak hakikat keberadaan manusia di kedalamannya yang tak terbendung. Pemikir yang selalu “meresahkan” ini membongkar sisi tertajam “kehewanian” manusia dari ranah yang tanpa sadar di imani manusia, yaitu kehendak untuk berkuasa. Kita bisa saja membenci Nietzsche, hatta karena dia dicap atheis. Namun, itulah kita, kita membenci sekaligus mempraktekkan apa yang di urainya.

Dalam setiap helat pesta demokrasi pilkada, kita bisa membaca, bahwa pertarungan mendapatkan kekuasaan di Aceh adalah perkara hidup dan mati, perkara kehormatan dan marwah yang wajib di dapatkan, bahwa pekerjaan untuk merebut kekuasaan harus dilakukan dengan menghalalkan segala cara “ala machiavelian” untuk mendisiplinkan, membuat patuh dan menundukkan manusia, sehingga apabila keinginan ini tidak tercapai, maka manusia akan melukai, akan menganiaya, akan mengancam dengan berbagai kalimat hegemonik bahkan membunuh manusia lainnya untuk sebuah kekuasaan.

Dari segala kesadaran kita untuk bisa hidup nyaman di Aceh, maka kita wajar bertanya: “Bisakah setiap perhelatan perebutan kekuasaan Aceh tanpa mengorbankan manusia ?. Bisakah setiap perhelatan demokrasi kita tanpa menumbalkan manusia sebagai persembahan bagi sebuah kekuasaan ?”. Ini bukanlah pertanyaan cengeng, tetapi pertanyaan pemberontakan atas kondisi yang selalu saja berulang dimana manusia selalu jadi sasaran yang dikorbankan untuk menciptakan ketakutan agar manusia tunduk dan patuh pada kerja kekuasaan yang ingin direbut.

Melakukan kekerasan, mengancam manusia, menumbalkan manusia untuk mencapai tujuan kekuasaan dan mengorbankan manusia sebagai objek untuk menakuti yang lain adalah sebuah peradaban kuno barbarian yang sudah sangat layak ditinggalkan. Siapapun dan dimanapun keberadaan orang yang tetap melakukan ini, maka ini adalah tindakan paling pengecut dan paling tidak berperadaban dalam sejarah panjang hidup manusia.

Peristiwa penembakan yang telah lalu, di Peunaron Aceh Timur, juga di Sigli misalnya, yang melukai dan meneror, dan berbagai rangkaian kekerasan lainnya yang sudah sering terjadi disetiap kontestasi pilkada maupun berbagai ancaman paska pilkada, semakin meneguhkan bahwa keberadaan manusia di Aceh hanyalah semata-mata kehendak untuk berkuasa. Perebutan Kekuasaan bagi segelintir manusia ini dimaknakan sebagai sebuah kerja Machiavellian, yang merasionalkan kebiasaan dan kebolehan mengorbankan manusia.

Manusia di Aceh, oleh kelompok ini tidak pernah dibaca sebagai sebuah tubuh yang harus di hargai hidupnya, karena seandainya manusia dihargai hidupnya, maka narasi yang akan menjadi panduan adalah : “Jika tubuh ini hidup dan tidak mati, maka tubuh ini tetap harus memperlakukan tubuh-tubuh lain sama seperti ia memperlakukan tubuhnya sendiri. Tubuh itu sendiri berhak untuk tumbuh, berkembang, dan menjadi tubuh yang diakui dan dihormati keberadaaannya, karena tubuh  ini adalah tubuh yang penting bagi kebaikan manusia ”. Dari sekian lama cita-cita bangunan peradaban kita, maka perilaku sebagian kelompok ini adalah aib peradaban kita sebagai Aceh.

Maka sangat berbahaya bagi kemanusiaan dan peradaban kita di Aceh ketika kita terus membiarkan segelintir manusia ini mempraktekkan politik “Machiavelian”, yang terjadi persis didepan jantung kesadaran kita, karena ketika kelompok seperti ini berkuasa maka kekuasaan ini akan menjadi klaim kebenaran sebagai kekuasaan yang dianggap mewakili rasionalitas persetujuan seluruh manusia di Aceh.

MAKNA KESELAMATAN MANUSIA

Dalam agama manapun, menjaga keselamatan manusia adalah kemutlakan. Islam adalah agama yang menghargai kehidupan. Membunuh satu jiwa dalam Islam sama dengan membunuh seluruh manusia dibumi. Ruh dan spirit Islam adalah rahmat bagi semesta, melakukan kerusakan, kekacauan, teror bukanlah spirit rahmatan lil’alamin, itu adalah semangat barbarian dan machiavelian. Salah satu tujuan Islam sebagai agama adalah menjaga jiwa (menjaga keselamatan jiwa manusia). Karena itu setiap ikhtiar dalam kondisi apapun untuk menjaga keselamatan jiwa manusia adalah jihad besar, karena dengan menjaga keselamatan satu jiwa  sama dengan menjaga keselamatan seluruh jiwa lainnya.

Mengapa kita tidak melakukan kebalikannya saja, bahwa perebutan kekuasaan adalah sebuah kompetisi untuk saling menyelamatkan manusia dan bukan saling melukai dan membunuh manusia . Manusia harus dikenali sebagai manusia, memahami manusia oeh manusia adalah kesibukan tertua dalam sejarah manusia, tujuannya adalah supaya kita belajar  dan tidak mengulangi. Kekerasan, pembunuhan, teror terjadi karena manusia dikenali tidak oleh manusia, tetapi oleh hasrat kebinatangan yang saling berkompetisi sebagai predator agar eksis dan berkuasa. Karena itu, manusia Aceh dengan segala ikhtiar dan mujahadahnya, harus menjadi  manusia yang mengenal dirinya sendiri agar mengenal manusia lain dengan cara manusia.

Berabad-abad lalu, Sokrates telah mengingatkan manusia, bahwa mustahil manusia mencapai pengetahuan tentang berbagai fakta dan kondisi objektif (peradaban, kebudayaan,kebahagiaan) kalau belum memahami hakikat manusia itu sendiri dan mustahil kita mengenal manusia sebelum kita mengenal diri kita sendiri sebagai manusia. Sokrates adalah peletak dasar bagi esensialitas manusia agar mengenal dirinya sendiri, melalui ungkapannya yang sangat terkenal yaitu : “Gnothi Seauton” (Kenalilah dirimu), bahwa setiap kerja membangun peradaban kita, membangun demokrasi kita, membangun budaya kita maka harus selalu diawali dengan petanyaan : “kenalilah dirimu, agar engkau mengenal manusia  lainnya dilaur dirimu dengan cara manusia”, agar peradaban, kebudayaan dan kehidupan yang kita bangun adalah peradaban, kebudayaan dan kehidupan yang memanusiakan manusia.

SPIRITUALITAS POLITIK VERSUS “MACHIAVELLIAN ACEH”

Atas nama apapun,  praktek mengancam manusia, membunuh dan melukai manusia apalagi demi kekuasaan, adalah pengingat kita untuk tidak lupa bahwa betapa merusak dan berbahayanya gerakan politik ala Machiavellian. Fondasinya adalah nasehat Machiaveli kepada sang pengeran (penguasa), yang mengadu kepada Machiavelli, tentang bagaimana membuat rakyatnya agar takut, tunduk dan patuh. Lalu terzahirlah satu kalimat yang kelak menjadi fondasi teror didunia yaitu : “Bagi seorang Pangeran (Penguasa), ketakutan lebih penting daripada dicintai”. Sehingga untuk melaksanakan nasehat Machiaveli, penguasa harus meneror dan membunuh banyak orang.

Penanda dari betapa tidak manusiawinya merebut kuasa ala Machiavellian ini adalah karena gerak politik yang dipakai untuk merebut kekuasaan ini terjadi secara liar dalam kendali manusia irrasional baik pelaku maupun pendesain tanpa ada satu sosok yang disebut sebagai ada subyek agung dibelakangnya. Semua ini adalah gerak liar yang berjalan secara mekanis sebagai mesin perusak, tanpa bayangan Tuhan dan tanpa arah. Karena, kalau ada sosok Pencipta (Tuhan) dan sosok agung yang holisitik dan transenden dibelakang gerak politik ini, maka tidak akan ada teror, kekerasan dan pembunuhan.

Gerakan politik ala Machiavelian Aceh ini harus sesegera mungkin dihentikan dalam konteks masa depan peradaban Aceh, karena kalau tidak, keberadaannya akan semakin memperpanjang rantai kekerasan dan teror berulang yang sangat mengganggu setiap usaha memajukan Aceh. Menghilangkan ini, kita tidak bisa berharap banyak dari apapun selain kepada spiritualitas politik. Berharap pada politik yang bukan spiritualitas politik adalah “nihilisme belaka”. Hanya kekecewaan dan keberulangan yang akan kita dapatkan.

Spiritualitas politik disini adalah gerakan politik sebagai sebuah gagasan dan narasi besar pembebasan manusia, ketika sebagian manusia melalui kekuasaannya dan tujuan merebut kuasa untuk memenjara manusia dengan menciptakan ketakutan, pendisiplinan dan penciptaan kepatuhan menggunakan agama, maka spiritualitas politik berdiri digarda depan mengembalikan agama yang dibajak untuk kepentingan kekuasaan tersebut kepada ruh agama sebagai spirit pembebasan, karena di belakang gerakan spiritualitas politik ada satu sosok agung transenden (Guru/Mursyid) yang bisa menciptakan kepatuhan suci, yaitu kepatuhan dan kebersamaan pembebasan manusia.

Gerakan spiritualitas politik ini, dalam sejarah dunia banyak dipraktekkan oleh gerakan spiritualitas kaum Sufi, karena kaum Sufi tidak lagi bermain diwilayah simbolik kulit luar, tetapi sudah bermain diwilayah hakikat terdalam yaitu makrifat politik yang bekerja menurunkan keadilan Ilahiyah kepada manusia di bumi melalui kerja-kerja narasi dan aksi untuk menyelamatkan manusia dari setiap upaya upaya mematikan manusia oleh manusia. Salah satu diskursus dari narasi spiritualitas politik adalah “Kepemimpinan yang melayani”, yaitu membebaskan kekuasaan dari paradigma yang elitis dan menakutkan sehingga kekuasaan tersebut harus dilayani kepada kekuasaan sebagai pelayan, yang melayani rakyat seperti sahabat. Gerakan politk ini telah dipraktekkan dalam pilkada Aceh kemarin  dan telah memberikan pelajaran penting bagi perlawanan terhadap “industrialisasi-komersialisasi politik” dan “politik Machiavellian” yang kering dari kesejatian pembebasan manusia. Sejatinya, gerakan spiritualitas politik kaum Sufi dalam era kekinian adalah gerakan yang menyongsong segala tantangan dan permasalahan untuk menyelesaikannya sampai tuntas dan berjangka panjang, tidak temporal dan tidak berdasarkan kepentingan kelompok tetapi berdasarkan kepentingan umat.

Politik Machiavellian Aceh tidak pernah menginginkan Aceh bersatu, mencapai tujuan bersama demi kepentingan rakyat, tetapi lebih memilih mengelola ego hegemoniknya demi kepentingannya sendiri. Sedang spiritualitas politik selaku bekerja pada upaya menyatukan manusia tanpa sekat apapun, karena spiritnya adalah pengabdian dan pengabdian itu adalah penghambaan transenden dari tujuan diciptakannya manusia yaitu untuk saling membahagiakan sesama manusia. Spiritualitas politik ini adalah narasi jangka panjang bagi Aceh dan akan terus mengisi ruang-ruang perlawanan dan pendidikan karena ini merupakan jihad untuk menghilangkan politik Machiavellian di Aceh.

– T. M. Jafar Sulaiman –

T. M. Jafar Sulaiman, Pemikir muda, Pengajar Filsafat Politik

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Categories
Penulis Tamu

Aceh dan ISIS, Berkongsi Imajinasi Politik?

Cerita penculikan dan pemenggalan sandera begitu populer beberapa tahun terakhir. Menghiasi laman depan koran-koran besar dunia. Beberapa tahun lalu itu masih cerita orang-orang Arab, cerita konflik di Timur Tengah sejak nimbrungnya Negara Islam Irak dan Syam (ISIS) mengubah musim semi Arab menjadi bencana kemanusiaan paling tragis abad ini. Belakangan cerita sandera, tebusan, pemenggalan sudah bergeser ke wilayah kita sejak kelompok militan Abu Sayyaf di Mindanau, Filipina menyatakan sumpah setia kepada khalifah ISIS, Abu Bakar Al-Baghdadi.

Kisah drama pembebasan sandera 10 warga Indonesia dan pemenggalan warga Kanada beberapa bulan lalu, ditambah berita eksekusi tahanan asal Jerman baru-baru ini oleh militan Abu Sayyaf menyadarkan kita, bahwa ISIS bukan lagi monster Arab yang sangat jauh. Mindanau hanya beberapa mil dari Sulawesi. Saya mulai bertanya-tanya, siapa pihak paling berkepentingan dengan ekspansi ISIS ke kawasan kita? Pertanyaan ini saya bawa serta dalam kunjungan ke kota Siem Reap, Kamboja pertengahan tahun lalu. Nasib baik saya dikumpulkan di kota itu bersama 30 ahli konflik Asia Tenggara.

Categories
Kolom Pendiri

Konservatisme dan Politik Identitas (Kritik atas Kapitalisme dan Demokrasi Liberal)

Kebangkitan konservatisme di berbagai penjuru dunia mengagetkan banyak orang. Munculnya ISIS, fenomena Brexit di Britania, terpilihnya Trump sebagai presiden Amerika Serikat, populernya Marine Le Pen di Perancis, hingga mobilisasi massa Islam untuk ‘menggagalkan’ seorang non-muslim menjadi gubernur di Jakarta (Ahok) membuat banyak pihak khawatir dengan masa depan dunia. Bahkan Fukuyama, si pendeklarasi “akhir sejarah”, khawatir dengan perkembangan dunia. Ia mengubah pandangannya tentang akan “abadinya” ekonomi pasar bebas dan demokrasi liberal sebagai tatanan final sistem ekonomi politik dunia. Kondisi saat ini, ujarnya, menunjukkan tanda-tanda adanya potensi perubahan sistem ekonomi politik dunia menuju ke masa lalu[ref]https://www.washingtonpost.com/news/worldviews/wp/2017/02/09/the-man-who-declared-the-end-of-history-fears-for-democracys-future/?utm_term=.120bd5f9d99b[/ref].

Categories
Kolom Pendiri

Menulis Aceh dari Dalam

Sebagai catatan yang bersifat personal, publikasi mengenai Aceh benar-benar booming, baik oleh penulis luar maupun dalam, paska tahun 2005. Beberapa kelompok masyarakat mendirikan lembaga penelitian, seperti Aceh Institute yang memiliki fokus pada penelitian dan publikasi, lalu juga ada beberapa penerbit lokal lainnya yang menerbitkan topik-topik budaya dan sastra.

Secara umum, publikasi di Aceh Institute saat itu seputar tema Aceh paska konflik. Mulai dari reintegrasi, keislaman, pemerintahan, politik dan lingkungan.

Categories
Kolom Pendiri

Nasib Aceh di Tangan Pilkada

Tuhan tidak akan mengubah nasib rakyat Aceh jika rakyat Aceh tidak mengubah diri mereka sendiri. Tanggal 15 Februari nanti, Tuhan memberikan kesempatan bagi rakyat Aceh untuk mengubah nasibnya. Kesempatan untuk keluar dari pemerintahan yang lamban, salah urus, dan korup. Kesempatan untuk memilih pemimpin yang lebih baik dari yang sekarang.

Saat ini, Aceh berada di titik nadir peradaban. Kemiskinan menggerogoti masyarakat bagai kanker ganas yang tak sembuh-sembuh. Pemuda-pemudi Aceh cemas akan masa depan mereka. Di provinsi yang dihujani dana otonomi khusus ini, cari kerja susahnya setengah mati. Kemelaratan hidup jualah yang membuat jumlah anak busung lapar bertambah di Aceh.

Categories
Tulisan Mahasiswa

Kekuasaan Ditangan Media Massa

Dahulu ketika duduk di bangku sekolah kelas VIII semester II, penulis masih diingatkan dengan materi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dengan sebuah teori yang disebut trias politika. Teori ini menjelaskan dimana kekuasaan itu dibagi tiga yaitu, Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif (Kaelan, 2003).

Kekuasan ketiga lembaga tinggi negara ini kemudian menempatkan para individunya pada posisi tertinggi dalam sebuah demokrasi terpimpin seperti, DPR yang berwewenang dalam mengubah dan menetapkan undang-undang, presiden dengan wewenang sebagai pemegang kekuasaan dalam sebuah pemerintahan dan menjalankan undang-undang, kemudian mahkamah agung dengan wewenang memberikan sanksi terhadap individu yang melanggar undang-undang.

Categories
Uncategorized

Gerakan Literasi Padi

Banyak yang meyakini bahwa literasi adalah kunci bangkitnya sebuah peradaban. Perintah agar mampu membaca dan menulis merupakan siklus awal dari puncak kebudayaan. Ia juga menjadi prasyarat mutlak dalam proses pendidikan dan pembentukan kepribadian. Itu sebabnya membaca dan menulis menjadi komponen elementer dalam pembentukan individu yang progresif, berkemajuan. Kumpulan individu berkepribadian yang terliterasi ini akan terkulminasi menjadi kelompok manusia yang mampu melahirkan kemajuan berarti bagi kemuliaan dan eksistensinya di dunia, dimanapun mereka berada. Generasi yang terliterasi inilah yang kemudian akan membawa pencerahan kepada komunitas disekelilingnya. Mereka akan meniupkan ruh yang akan menggerakkan aktivitas manusia lebih terarah, kegiatannya lebih bermanfaat, kebudayaannya menjadi terdepan dan peradabannya menjadi lambang kemajuan dan keunggulan. Ia harus bergerak mencari ruang ekspresi, laksana air yang terus mengalir mencari tempat yang rendah agar mereka bisa terus berbagi, sampai akhirnya mereka terhenti mati. Air yang tidak bergerak, tidak mengalir, stagnan hanya akan membawa penyakit bagi peradaban.

Literasi menjadi jendela dan pintu bagi tersebarnya ilmu pengetahuan. Sebagai salah satu keahlian mendasar manusia, membaca dan menulis mendorong manusia agar menjadi lebih kreatif. Ia ibarat cahaya terang penunjuk jalan di tengah dunia yang kalut. Jika membaca adalah jendela ilmu pengetahuan, maka menulis adalah refleksi keilmuan yang terangkum dalam susunan kalimat yang menggerakkan, yang menginspirasi, yang membebaskan. Jika banyak orang bisa membaca, tidak begitu banyak yang mampu merefleksikan, menginterpretasikan dan menterjemahkan hasil bacaannya kedalam tulisan yang menggerakkan. Bukankah Cordoba dan Granada di Andalusia adalah saksi  abadi ketika literasi menjadi kepentingan bersama dan meninggalkan ego-ego sektarian? Oleh karena itu, ilmu pengetahuan pada akhirnya akan dan harus mampu membawa manusia merancang peradaban yang spektakuler, yang melampaui zamannya, menjadi sesuatu yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Literasi dan ilmu pengetahuan adalah tandem abadi. Mereka adalah sejoli visioner. Pasangan serasi yang tidak akan pernah berhenti menebarkan manfaat.

Ditengah kecamuk ide dan gagasan yang melahirkan beragam produk kebudayaan dan peradaban. Gerakan literasi bisa secara gradual membawa masyarakat keluar dari himpitan kebodohan, kemiskinan dan ketidakberdayaan. Namun gerakan literasi yang bagaimana yang bisa meningkatkan kesadaran akan pentingnya ilmu pengetahuan untuk menciptakan tatanan masyarakat yang setara, terbebas dari tekanan, dan berkemanusiaan? Sebagai bagian integral dari peradaban, gerakan literasi harus mengisi ruang kosong intelektual. Tersemainya ide-ide baru yang bisa berkontribusi bagi adanya sikap respek, saling terbuka, dan humanisme ditengah masyarakat baru akan bisa terealisasi dengan memahami filosofi padi. Produksi ide dan wacana ditengah masyarakat, akan bergerak menjadi aksi dan mendapat dukungan luas jika dia diketengahkan dengan bersahaja dan sederhana.  Bersahaja karena ia adalah literasi yang memberi substansi eksistensi, bukan melulu menampilkan diri. Sederhana karena ia merupakan wujud dari kerendahan hati tapi sebenarnya memberi manfaat tinggi. Generasi literasi padi berupaya selalu memberi ruang aspirasi dan ekspresi bagi entitas yang ada di negeri.  Dengan catatan, mereka sepakat bahwa literasi adalah bukan gerakan memonopoli dan mendominasi, tapi lebih merupakan refleksi dan pondasi bagi kegemilangan peradaban di masa depan yang sepertinya akan terlihat lebih menjanjikan dan lebih pasti.

Hak cipta gambar oleh : toshi.panda dibawah lisensi CC-NC-SA.