Categories
Penulis Tamu

Simalakama Kebijakan AMBIGU COVID-19

Hari ini dunia dihadapkan dengan hantu belau pandemi bernama Covid-19 yang mengoyak sendi-sendi kehidupan sosialmasyarakat. Virus Novel Corona Virus (NCoV) yang menyerang saluran pernafasan ini berasal dari kelompok yang sama dengan Middle East Respiratory Syndrome (MERS-CoV) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS-CoV). Pada tahun 2012 ada sembilan negara yang telah melaporkan kasus MERS-CoV, yaitu Perancis, Italia, Yordania, Qatar, Arab Saudi, Tunisia, Jerman, Inggris dan Uni Emirat Arab. SARS-Cov menjangkiti setidaknya 32 negara di dunia pada tahun 2003. Berbeda dengan pendahulunya,Covid-19 menyerang hampir seluruh negara di dunia.

Pemerintah Indonesia mengambil sikap yang menurutnya tidak mau gegabah dengan alasan menjaga stabilitas perekonomian negara agar tak goncang. Kebijakan-kebijakan yang diambil sangat hati-hati sehingga tak jarang menimbulkan masalah baru karena bersifat abu-abu seolah tidak serius dalam menghadapi bencana global ini. Antara latah dan gamang, pemerintah pusat bahkan sulit memutuskan apa yang seharusnya dilakukan untuk menangani pandemi yang terus menyerang ini.

Sementara beberapa daerah tanpa menunggu kebijakan dari pemerintah pusat, langsung mengambil tindakan sendiri dengan berbagai kebijakan yang dianggap sesuai dengan kebutuhan daerahnya mulai dari provinsi, kabutapen/kota bahkan desa mengambil langkah cepat demi mengamankan wilayahnya. Kondisi seperti ini seolah menunjukkan bahwa pemerintah pusat tidak tegas dan lamban dalam memutuskan sementara kondisi psikologis masyarakat yang sudah sangat terganggu dengan pemberitaan media yang setiap harinya menampilkan ankga-angka kematian dan korban positif terus meningkat drastis.

Kampanye untuk tetapdi rumah dan membatasi mobilitas masyarakat, gencar dilakukan oleh pemerintah. Disisilain, berita-berita yang muncul di media semakin mencekam sehingga banyak pihak yang terus mendesak pemerintah untuk segera mengambil tindakan demi mencegah penyebaran wabah ini. Imbauan terus dilancarkan namun tidak ada kebijakan yang pasti dari pemerintah. Sungguh situasiambigu bagi masyarakat, belum lagi protokol keamanan yang bisa berubah tiga kali sehari bak orang minum obat.

Desakan dari banyak pihak untuk segera melakukan Lockdowniniseolah tidak digubris oleh pemerintah pusat, mengingat masih kuatnya ketergantungan negara dari ekspor-impor barang dan komoditas, ditambah pendistribusian ke seluruh pelosok tanah air yang tentunya tidak mudah bagi pemerintah untuk buru-buru melakukan kebijakan terkait penanganan Covid-19 ini. Kebutuhan-kebutuhan dasar yang masih harus diamankan, alat pelindung diri bagi tenaga medis yang menangani masih harus diimpor dari luar.

Dalam tulisan Kompas.com 23 April 2020, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo membuat pernyataan bahwa tidak ada satupun negara di dunia yang berhasil mengatasi covid-19 dengan Lockdown. Menurut presiden Jokowi, setiap negara tentu punya konteks yang berbeda dalam menerapkan kebijakan meliputi kondisi geografis, tingkat kedisiplinan, kemampuan fiskal dan lain sebagainya.

Disatu sisi, kebijakan presiden RI memang ada benarnya jika dilihat dari kondisi sosial masyarakat kita yang sangat beragam dari tingkat kesejahteraan saja, sudah  menjadi alasan yang kuat untuk tidak memberlakukan Lockdown, mengingat sebagian besar masyarakat Indonesia masih sangat bergantung dari pendapatan harian. Oleh karenanya,Lockdown  bukanlah pilihan tepat untuk menangani Covid-19 di negara ini. Jika tetap dilakukan, akan menjadi polemik baru bagi pemerintah, ekonomi negara bisa ambruk sementara pandemi belum tentu bisa teratasi.

Terkait kebijakan Lockdown sudah diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2018, Tentang Karantina Kesehatan. Karantina yang dimaksud adalah pembatasan atau pemisahan seseorang yang terpapar penyakit menular meski belum menunjukkan gejala apapun atau sedang berada dalam masa inkubasi atau barang apapun yang diduga terkontaminasi dari orang atau sumber kontaminasi lain untuk mencegah kemungkinan penyebaran ke orang atau barang lain yang ada di sekitarnya.

Jika kebijakan Lockdown atau dapat diartikan sebagai Karantina Wilayahditerapkan maka pemerintah wajib menanggung kebutuhan hidup dasar manusia dan hewan ternak yang berada dalam wilayah karantina. Hal ini jelas akan menjadi beban yang besar bagi negara yang berpenduduk lebih dari 250 juta jiwa dengan beragam persoalan yang tentunya menjadi pilihan yang tidak mudah.

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menjadi pilihan pemerintah pusat untuk menekan laju penyebaran virus yang tak tampak oleh mata ini. Meski sangat disadari, opsi ini juga bukanlah langkah jitu dalam mengatasi penyebaran yang semakin tak terkendali, toh di beberapa tempat masih saja orang berkerumun dengan mengabaikan protokol keamanan yang saban hari diteriakkan pemerintah meskisetiap hari ada saja pendatang baru yang dinyatakan positif dan meninggal akibat virus ini. Bahkan dari tenaga medispun banyak yang menjadi korban. Entah pasrah atau masabodo namanya, sebagian masyarakat yang terpaksa berjuang di tengah pandemi tetap wara-wiri mencari rezeki.

Aceh, Antara Kebijakan dan Kebutuhan Masyarakat

Aceh selalu menarik untuk dibahas, mengingat kebiasaan masyarakatnya yang khusus dengan latar belakang agama yang kuat sehingga menjadikan daerah ini betul-betul berbeda dengan provinsi lain di Indonesia. Kebijakan pemerintah pusat untuk membatasi berkumpul dalam jumlah yang besar termasuk aktivitas shalatberjama’ah di masjid tentu menuai banyak penolakan dari masyarakat Aceh. Sehingga banyak bermunculan penyataan yang cenderung kontroversial dalam masyarakat dan ramai menghiasi dunia maya. Meski kemudian mulai mengendur seiring berjalannya waktu, melihat angka korban yang positif Covid-19 semakin bertambah bahkan ada yang meninggal dunia.

Pemerintah Aceh sempat menerapkan Jam Malam dengan alasan demi menekan penyebaran virus corona. Sementara pusat-pusat berkumpulnya orang seperti masjid dan pasar masih berjalan seperti biasa. MUI sudah mengeluarkan fatwa untuk menghentikan sementara shalat berjamaah, namun MPU Aceh mengeluarkan fatwa sebaliknya. Pernyataan-pernyataan spekulasi bermunculan secara liar mulai dari pemuka agama hingga tokoh politik mengenai shalat berjama’ah.

Kebijakan Jam Malam ini juga menimbulkan masalah baru bagi sebagian masyarakat yang justru menjalankan aktivitas perekonomian pada malam hari. Dampak jam malam jelas terasa bagi para pedagang kecil yang menggantungkan hidupnya dari penghasilan harian. Sehingga pemerintah Aceh mengevaluasi kembali kebijakan ini kemudian mencabut pemberlakuan jam malam dengan alasan, pelaku UMKM yang beraktivitas malam hari mengeluh dengan kebijakan ini.

Efek dari kepanikan pemerintah Aceh ini, beberapa desa di Aceh secara mandiri melakukan Lockdown bahkan memblokir jalan-jalan akses gampoeng dan antar gampoeng sehingga mengabaikan protokol tanggap bencana yang seharusnya tidak boleh menutup jalur-jalur evakuasi yang sudah ditetapkan.

Pemberlakuan Jam Malam ini seharusnya dilaksanakan mulai 29 Maret hingga 29 mei 2020. Namun hanya beberapa hari saja berlangsung, pemerintah Aceh mengevaluasi kembali kebijakan ini sehingga hanya beberapa hari saja pemerintah Aceh mencabut pemberlakuan Jam Malam ini.  Pencabutan kebijakan ini tertuang dalam maklumat bersama Forkopimda Aceh tentang Pencabutan Jam Malam dan efektif diberlakukan pada tanggal 4 April 2020.

Namun sangat disesalkan, akibat pengekangan yang dilakukan sebelumnya, masyarakat Aceh justru jadi tak terkendali saat status Jam Malam dicabut. Warung kopi penuh sesak sementara masjid dan meunasah tetap sepi. Yang lebih mengkhawatirkan adalah walaupun sudah dilakukan rapid test di beberapa pusat keramaian dan angka yang dinyatakan positif bertambah, masyarakat Aceh seolah tak peduli, protokol keamanan jaga jarak dan menggunakan masker seolah gadoh lam angen (menguap begitu saja).

Sungguh menghadapi virus ini, Pemerintah seperti memakan buah simalakama dengan kebijakan-kebijakannya. Disatu sisi ada tanggung jawab besar dalam menyelamatkan rakyat dari ancaman virus yang seperti hantu belau dengan memastikan tercukupinya kebutuhan dasar dengan terus membuka akses-akses massal dalam hal ini transportasi orang dan barang, sementara disisi lain terus menyuarakan pembatasan-pembatasan dalam masyarakat sementara arus keluar masuk barang tidak terdeteksi dengan baik ada atau tidaknya potensi kontaminasi termasuk penyebaran uang dalam masyarakat.

Daftar Pustaka/Referensi :

[1]https://nasional.kompas.com/read/2020/04/23/09325461/jokowi-tak-ada-negara-yang-berhasil-tangani-covid-19-dengan-lockdown

[2]https://www.researchgate.net/publication/340103987_Kebijakan_Pemberlakuan_Lock_Down_Sebagai_Antisipasi_Penyebaran_Corona_Virus_Covid-19

[3]https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200404225345-20-490380/umkm-mengeluh-aceh-cabut-penerapan-jam-malam

[4] https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e82bdc2d2dd6/kebijakan-dan-kesigapan-pemerintah-kunci-tangani-dampak-covid-19/

[5]Pedoman Umum Kesiap-Siagaan menghadapi MERS-Cov (Kemenkes-RI)

Penulis : Fendra Trisna Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry

Disclaimer: Opini/Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Categories
Diskusi

Menjaga Kesehatan Mental Selama Pandemic Covid-19

Perhimpunan Alumni Jerman Aceh (PAJ Aceh) akan menyelenggarakan Webinar “Menjaga Kesehatan Mental Selama Pandemi Covid-19”, Sabtu (11/7) via aplikasi rapat daring.

Webinar yang akan berlangsung pada pukul 14.00 – 16.00 WIB ini mengundang Dr.rer.med. Ns. Marthoenis, dosen Fakultas Keperawatan Universitas Syiah Kuala serta Razan Madyasta Wibowo, B.Sc dari Pettenkofer School of Public Health Munich – Public Health in Munich sebagai pemateri.

Ns. Farah Diba, MScPH, alumnus Charité – Universitätsmedizin Berlin, yang juga menjabat dosen aktif pada Fakultas Keperawatan Universitas Syiah Kuala hadir sebagai moderator pada kegiatan ini.

Webinar ini diselenggarakan atas dasar pandemi tak hanya berdampak pada kesehatan fisik, tapi juga dapat memengaruhi kondisi mental individu. Terlebih saat ini masyarakat Indonesia khususnya Aceh dihadapkan pada aturan kenormalan baru yang mendorong masyarakat untuk beradaptasi cepat dengan kebiasaan baru.

Kegiatan ini turut didukung oleh Humas dan Protokol Setda Aceh, acehinfo.com, Padebooks, dan acentrend.com sebagai rekan media.

link pendaftaran bisa diakses melalui :https://bit.ly/vortrag01

Categories
Penulis Tamu

Fenomena Labil Dalam Kebijakan Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Daerah Aceh Terkait COVID-19

Wabah corona masih meneror, Indonesia masih dihantui virus ini. Akan tetapi, karena sudah mulai terbiasa dengan kehadiran pembunuh yang tak kelihatan ini, rakyat sudah mulai agak tenang. Keangkeran sang virus pun sudah mulai agak memudar,walaupun angka positif makin bertambah, namun angka kematian makin berkurang. Meski demikian gerakan jurus sang virus hingga sekarang belum bisa dipatahkan, seranngan sang virus masih menakutkan dan belum bisa dikalahkan. Kehadiran sang virus masih mengancam dan belum bisa dihancurkan.

Lalu, apa tindakan hebat Pemerintah Indonesia dalam menanggulangi aksi teror corona yang masih berlangsung, apa langkah jituPemerintah Daerah Aceh menghadapi wabah pandemik corona yang masih mengancam.untuk membahas hal ini, maka kita harus menoleh kebelakang sebentar untuk melihat serangkaian intruksi Presiden Indonesia dan intruksi Plt Gubernur Aceh terkait wabah corona.

Presiden Joko Widodo mengeluarkan sejumlah kebijkan untuk menangani wabah Covid-19 yang saat ini sedang melanda Indonesia. Di antaranya keringanan biaya listrik sebagai wujud bantuan kepada masyarakat. Pemerintahmenggratiskan beban listrik bagi konsumen PLN dengan daya 450 VA selama 3 bulan ke depan, yakni untuk biaya April, Mei, dan Juni. Kebijakan lainnya PembatasanSosial BerskalaBesar (PSBB). Dalam hal ini Presiden memintaPSBB ini didampingi dengan kebijakan Darurat Sipil. Berikutnya larangan mudik.[1]

Sementara Pemerintah Aceh meluncurkan Maklumat Bersama Forkopimda Aceh tanggal 29 Maret 2020 di antaranya menghimbaumasyarakat untuk tetap tinggal di rumah, ibadah di rumah, belajar di rumah, bekerja di rumah, serta menerapkan kaidah-kaidah menjaga jarak antar sesama (physical distancing). Pemerintah Aceh juga mengimbau agar tetap menjaga persatuan, kesatuan dan kekompakan serta kerjasama semua elemen untuk memerangi Covid-19, juga berhati-hati dan bijak dalam mengkonsumsi berita dari media sosial yang belum tentu kebenarannya (Hoax/berita palsu).[2]

Pemerintah Aceh juga mengeluarkan surat Instruksi Gubernur Aceh tentang sosialisasi dan imbauan kepada masyarakat dan aparatur sipil negara agar tidak mudik guna menghindari virus korona atau Covid-19.[3]Intruksi ini bertujuan untuk meminimalisir atau memutus mata rantai virus corona baru (Covid-19) yang saat ini mewabah di Aceh.[4]

Guna mencegah penyebaran virus corona (Covid-19), Pemerintah Aceh kembali mengeluarkan maklumat bersama pemberlakukan jam malam. Kebijkan itu dikeluarkan untuk membatasi aktivitas masyarakat di luar rumah pada malam hari, sejak pukul 20.30 WIB sampai dengan pukul 05.30 WIB,pemberlakukan jam malam tersebut mulai berlaku Minggu malam (29/3).[5]Pemerintah Aceh berencana menyediakan pemakaman massal untuk orang yang meninggal karena terinfeksi Virus Corona COID-19.[6]

Kebijakan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Aceh secara umum hampir sama, intinya bagaimana memutuskan mata rantai penularan virus dengan cara menyadarkan rakyat agar menjaga jarak dengan orang lain, memakai masker, dan tidak pergi ke daerah terpapar khususnya zona merah, dan juga tidak bepergian, khususnya dari zona merah karena dikhawatirkan akan menjadi ruang bagi virus untuk menumpang.

Akan tetapi, ada fenomena labil dalam berbagai kebijakan itu, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Aceh. Misalnya ketika rakyat mulai senang dengan hadiah listrik, tiba tiba menjadi kontroversi saat tarif listrik naik, terlepas kenaikan dalam level non subsidi, karena tidak semua rakyat paham secara detil apa yang terjadi. Demikian juga ketika ada larangan mudik, baru-baru ini Menteri Perhubungan Nudi Karya Suamadi memperbolehkan semua transportasi untuk kembali beroperasi.[7]Fenomena labil ini disadari atau tidak melemahkan semangat juang rakyat melawan corona. Walau kita meyakini tentu ada alasan tersendiri berbagai paradok tersebut hadir ikut meramaikan isu pandemik yang sedang aktual dan heboh.

Khusus Aceh lebih dramatis lagi,kebijakan Aceh memberlakukan jam malam untuk mengurangi aktivitas warga di luar rumah demi mencegah penyebaran virus corona mendapat reaksi dari Ombudsman Aceh. Lembaga yang mengawasi kebijakan Pemerintah ini menilai penerapan jam malam di Aceh tidak tepat.Kepala Ombudsman Perwakilan Aceh, Taqwaddin menyarankan Pemerintah Aceh mencabut pemberlakuan jam malam di Tanah Rencong, ia menilai pemberlakuan jam malam menimbulkan trauma masa lalu bagi warga Aceh.[8] Tak lama kemudian jam malam pun dicabut.

Sebelumnya masyarakat Aceh dibuat pilu ketika muncul publikasi Pemerintah Aceh menyiapkan kuburan massal, seolah pemerintah akan segera mengubur masyarakat yang terpapar virus ganas ini secara massal. Walau kita meyakini ada niat baik dalam kebijakan ini, tetapi mental masyarakat yang sudah beberapa kali trauma seperti masa DOM, musibah Tsunami, tidak siap menerima program yang mengarah kepada kematian.

Terakhir menurut saya, langkah tepat untuk menanggulangi wabah pandemik virus corona ini, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Aceh, adalah harus menetapkan beberapa langkah yang akurat. Langkah pertama, ciptakan kondisi tenang dan tumbuhkan semangat kepada rakyat dan masyarakat agar secara psikologi siap tempur melawan corona. Kedua, harus konsisten dalam mengeluarkan kebijakan, agar tidak siampang siur yang justru menimbulkan keresahan dan multi tafsir. Ketiga, khususnya di Aceh, apalagi masih zona hijau, jangan terlalu ketat dalam menangani hal-hal yang berhubungan dengan ibadah, karena ibadah dan ketaatan kepada Allah adalah tenaga spritual dashyat untuk menghancurkan corona.

[1]Kompas.com, 01 April 2020

[2]Humas.acehprov.go.id, 3 April 2020

[3] Instruksi Gubernur Aceh Nomor 07/instr/2020 bertanggal 14 April 2020

[4]Serambinews.com, 15 April 2020

[5]CNN Indonesia, 30 Maret 2020

[6] CNN Indonesia, 29 Maret2020

[7]Kompas.com, 14 Mai 2010

[8]News.detik.com,2 April 2020

Penulis : Hermansyah Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com