Categories
Penulis Tamu

JOKOWI, “KARTU KUNING”, DAN GOLKAR

Kartu kuning yang diacungkan Ketua BEM UI, Zaadit Taqwa (2/2/18), sontak menghebohkan jagat maya dan jagat nyata. Tak terkecuali beberapa pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), ikut-ikutan mengacungkan kartu merah, memanasi kenakalan asumsi publik terhadap kinerja kepemimpinan Presiden Jokowi.

Tidak sedikit teman-teman yang bertanya, kok bisa Zaadit demikian? Pantaskah ia melakukan itu? Jawab saya sederhana saja. Pertama, sebagai mantan aktivis mahasiswa, saya menganggap yang ia lakukan itu wajar-wajar saja. Bahkan saya salut dengan keberaniannya. Hanya saja, saya khawatir jika tindakannya itu tidak murni lagi. Saya berkata demikian, sekali lagi, karena saya mantan aktivis mahasiswa. Saya tau betul hitam-putihnya dunia pergerakan. Apalagi di kalangan temen-temen aktivis yang berkampus di sekitar poros kekuasaan. Godaannya besar. Terlebih ketika godaan itu hadir di tengah kemelut konflik lambung dengan pikiran.

Kedua, kritik simbolik “kartu kuning” ini memang rasanya tajam, menohok. Terbukti menjadi pusat perhatian. Sepertinya Zaadit sedang mengilhami mazhab interaksi simbolik yang didedengkoti Wiliam James, James M. Baldwin, John Dewey, George H. Mead, yang kemudian dilanjutkan oleh Charles Horton Cooley, Wiliam I. Thomas, dan Kuhn maupun Herbert Blumer, sebagai pola dalam mengkonstruk nalar sosial1). Namun sayang, isu yang dikemukakan kurang argumentatif. Sehingga tidak mematikan. Apalagi isu yang diangkat mendompleng isu yang “digoreng” pihak oposisi. Maka dugaan-dugaan adanya “penyetiran” kelompok oposisi tak terelakkan.

Dari tiga isu yang dikemukakan Zaadit, hanya satu yang terlihat murni, yakni isu draft rancangan Permendikti tentang Organisasi Kemahasiswaan yang dianggap sebagai bentuk pengekangan. Sementara dua isu lainnya sudah berkerak “digoreng” kelompok oposisi. Masalah plt Gubernur dari pihak kepolisian di Sumut dan Jawa Barat, misalnya, sudah menjadi perdebatan politik yang hangat di media, antara kelompok penguasa dengan oposisi. Begitu pula dengan isu gizi buruk yang menimpa suku Asmat, juga telah hangus “digoreng” pihak oposisi untuk menjatuhkan popularitas Jokowi di kantong suaranya itu.

Meski begitu, saya salut pada Jokowi. Ia tetap menanggapinya dengan santai. Bahkan ia mengajak mahasiswa UI turun ke Papua. Artinya, Jokowi ingin berdiskusi secara empiris dengan mahasiswa. Melihat langsung fakta yang ada. Sembari mencari jalan keluarnya.

Apapun ceritanya “kartu kuning” sudah terlanjur keluar. Beragam asumsi publik bersileweran. Ada yang menganggap itu tindakan yang tidak etis. Tak sedikit pula yang menganggapnya sebagai alarm kinerja, warning menuju kartu merah, dan signal Jokowi untuk tidak terpilih lagi. Namun ada juga yang menganggapnya sebagai wujud rasa sayang mahasiswa terhadap Jokowi.

“KODE ALAM” DUA PERIODE

Kali ini saya juga ingin berinterpretasi. Malah interpretasi saya sedikit ngawur. Bagi saya, kartu kuning yang diberikan Zaadit adalah “kode alam” untuk Dua Periode. Jika ditarik pada identitas politik, maka warna kuning identik dengan Golkar. Boleh jadi, justru ini adalah pertanda duduknya kembali Jokowi dua periode, dengan biduk partai Golkar. Mungkinkah? Tentusaja sangat mungkin. Apalagi jauh-jauh hari Golkar telah memberikan dukungan pada Jokowi untuk menjadi Capres pada Pilpres tahun 2019 nanti. Persoalannya, mungkinkah Jokowi menang? Disinilah kita perlu hitung-hitungan logika politik.

Jokowi pasti kalah, kata beberapa Nitizen. Itu sah-sah saja. Cuma apa alasannya? Saya kurang percaya jika alasannya karena kinerja pembangunan yang kurang bagus. Meskipun banyak pihak yang mencerca kinerja Presiden Jokowi, bagi saya, itu hanya alasan buatan. Ibarat makan indomie dengan bumbu buatan, rasanya sedap tapi tidak alami (tidak nyata). Taubahnya berita-berita hoax yang menyudutkan Jokowi di laman linimasa, yang namanya hoax tetaplah hoax.

Sebetulnya alasan yang paling jamak bagi mereka yang tidak mendukung Jokowi hanya satu: ia dianggap sebagai “musuh” umat Islam karena menjadi kader PDIP. Lagi-lagi masih pusaran isu SARA. Untuk menguatkan itu beragam isu disebar. Salahsatunya, rezim ini disebut anti ulama. Pembunuhan Ustadz Purwanto dianggap sebagai buktinya. Padahal mereka tidak tau jika politik itu kejam. Politik yang paling kejam itu bukan membunuh lawan, tapi “kawan” membunuh kawan untuk membunuh lawan. Jadi dalam politik apasaja mungkin terjadi. Termasuk skenario cipta kondisi untuk membenarkan isu yang ditebar. Mereka hendak menjadikan Jokowi korban kedua setelah Ahok, yang jatuh bukan karena lemahnya kinerja, tapi karena kurang bersahabat dengan surat al-Maidah ayat 51.

Lantas di tengah situasi seperti itu bagaimana mungkin Jokowi bisa dua periode? Bisa! Caranya? Gampang, politik dua kaki. Itulah yang sedang dimainkan Jokowi. Ia berusaha menjadi milik semua golongan, milik semua partai. Dan Golkar adalah “kaki” Jokowi untuk memainkan politik dua kaki tersebut. Lihat saja rentetan ceritanya. Anies yang telah berhasil menjadi Gubernur DKI Jakarta misalnya. Ternyata belakangan diketahui, Jusuf Kalla (JK)-lah sosok pertama yang menawarkan Anies ke Prabowo. Sekedar untuk mengingatkan, JK adalah Golkar, dan Golkar warnanya kuning.

Pada Pemilukada serentak tahun ini, Golkar juga memainkan peran. Pilgub Jawa Barat yang semula diprediksi “panas” berubah menjadi landai. Golkar ikut andil memecah konsentrasi massa, menghilangkan aura Pilpres dari Jabar. Seperti kata Asep Warlan Yusuf, pakar politik dan pemerintahan dari Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung, bahwa koalisi parpol pengusung yang sudah terbangun diprediksi membuat konstelasi politik di ajang Pilgub Jabar 2018 lebih “dingin” 2). Politik sebaran ala partai pendukung pemerintah ini berhasil memecah konsentrasi massa, sekaligus mampu membuat Jokowi menjadi milik banyak Calon.

Di Pilgub Sumut juga demikian. Awalnya Pilgubsu diprediksi bakal menjadi “DKI Jilid II”, yang marak politik identitas berbaju SARA. Ternyata tidak. Golkar, Nasdem, dan Hanura meninggalkan PDIP, dan merapat ke kubu Gerindra, PKS, dan PAN untuk mendukung Edy Rahmayadi-Musa Rajekh Shaah. Maka dengan peta seperti ini, “gorengan” isu SARA akan sepi. Dan siapapun yang memenangkan pilgubsu adalah kemenangan Jokowi. Sama dengan Jawa Timur yang juga disinyalir sebagai kontestasi Jokowi versus Jokowi. Siapupun yang menang Jokowi juga menang. Disinilah taktik politik dua kaki itu dimainkan. Target jitunya, bisa-bisa Jokowi melawan kotak kosong pada Pilpres 2019 nanti.

Di samping itu, “kartu kuning” BEM UI saya interpretasikan pula sebagai Sri Mulyani, ekonom dari kampus berjas kuning (baca UI) itu. Kenapa? Karena Sri Mulyani adalah Menteri Keuangan Jokowi. Dialah penata keuangan Republik ini. Sehingga pulpen Sri Mulyani sangat sakti dalam meningkatkan popularitas Jokowi di bidang kesejahteraan. Caranya adalah dengan meningkatkan kesejahteraan ASN, Guru dan Dosen, TNI dan Polri, termasuk mereka yang bergelut di bidang kerja-kerja pemberdayaan. Sudah saatnya Jokowi mengalihkan prioritas kebijakan pembangunan dari infrastuktur ke kesejahteraan publik. Dengan begitu, langkah Jokowi semakin mantap untuk kembali memimpin negeri ini dua periode.

Hasil survey SMRC per-desember 2017 lalu, yang memastikan posisi Jokowi di angka 53,8 persen3), semakin memantapkan langkahnya memenangkan Pilpres 2019 mendatang. Dan warna “kuning” akan turut mewarnai proses perjuangan menuju RI1 untuk yang kedua kalinya. Beruntung, berkat “kode alam” kartu kuning Zaadit Taqwa, kita jadi terpikir ke arah sana.

– Mustamar Iqbal Siregar*

*Dosen FTIK IAIN Langsa sekaligus peserta beasiswa Mora Scholarship Program Doktoral pada Pascasarjana UIN Imam Bonjol Padang.

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Gambar fitur diambil dari shutterstock dan suratkabar.id

Categories
Penulis Tamu

KRITIK NALAR PEMBANGUNAN JOKOWI

Mungkin Jokowi sangat geram dengan kartu kuning yang diberikan Ketua BEM UI. Presiden merasa, kerja keras yang telah dilakukan selama tiga tahun lebih itu tidak layak dibalas dengan kartu kuning: Air susu dibalas air tuba: kartu Indonesia sehat dan kartu Indonesia pintar dibalas kartu kuning.

Kerja keras apa yang dilakukan Jokowi? Dengan serentak pendukungnya akan menjawab: pembangunan. Karena itulah yang paling menonjol atau bisa jadi satu-satunya, prestasi Jokowi selama menjabat presiden.

Sebenarnya, untuk zaman mutakhir, pembangunan fisik atau infrastruktur bukanlah prestasi sebuah negara atau seorang kepala negara, apalagi menjadikan itu sebagai indikator keberhasilan politik (baca: presiden).

Pembangunan itu identik dengan permodalan. Di negara-negara maju, hampir pembangunan fisik bukan urusan negara. Hampir semua pembangunan fisik dilakukan oleh perusahaan.

Sebenarnya di Indonesia selama Jokowi menjabat juga begitu. Rata-rata pembangunan infrastruktur yang dibanggakan Jokowi itu berasal dari permodalan asing, khususnya Cina. Misalkan saja jalan tol.

Aneh menurut saya seorang presiden membanggakan diri dan menganggap pembangunan jalan tol sebagai prestasi. Jalan tol itu sama dengan naik roller coaster dan masuk bioskop: harus bayar! Aneh. Rakyat bayar pajak, tetapi menggunakan fasilitas layanan umum harus bayar. Jalan tol itu milik perusahaan. Kenapa bangga dan dijadikan objek kebanggaan seorang presiden?

Membangun jalan tol sama seperti membangun mall, hotel dan salon. Kok dibanggakan. Waduh.

Pengembang infrastuktur itu adalah perusaan asing. Yang paling diuntungkan adalah asing. Pengguna layanan tidak diuntungkan. Menggunakan jasa layanan dan membayarnya tidak disebut untung.

Tetapi tidak rugi? Tidak. Dalam konteks ini kita sangat rugi.

Pembangunan infrastuktur itu butuh bahan dasar. Semua itu dikuras dari alam. Alam diganggu stabilitasnya, dirusak untuk pembangunan fisik. Satu kilometer jalan saja membutuhkan satu buah bukit, baik itu untuk semen, pasir, tanah dan sebagainya. Apalagi di Indonesia yang hampir semua tanahnya lembek, berair. Butuh banyak material untuk membangun.

Pembangunan super ambisius tiga tahun terakhir telah merusak alam dengan sangat hebat. Belum lagi pembangunan-pembangunan oleh pengembang lokal; jalan misalnya, setiap tahun yang diperbaiki itu-itu saja. Semuanya telah menyebabkan kerusakan alam sangat parah.

Kegilaan kita membangun benar-benar akan membuat anak cucu kita nanti harus hidup dalam musibah bencana alam saban hari. Sementara mereka harus bayar untuk menggunakan fasilitas-fasilitas yang ada. Pembangunan-pembangunan lokal juga tidak akan dapat mereka rasakan karena dalam hitungan bulan saja semuanya telah rusak kembali.

Saya sangat yakin pembangunan-pembangunan itu semua bukan untuk pelayanan, melainkan karena mengikuti hawa nafsu. Pembangunan proyek besar untuk prestise dan pencitraan politikus dan pembangunan proyek kecil untuk memenuhi kebutuhan kredit alat berat oleh pengembang lokal.

Malah sering jalan di kampung-kampung menjadi tidak bisa digunakan setelah setahun diaspal. Padahal sebelum diaspal, hanya becek sedikit ketika musim hujan dan sedikit berdebu ketika musim kering.

Pembangunan: Alam semakin hancur, ikut serta pula menghancurkan apa yang sudah dibangun. Kalau gali lubang tutup lubang masih mendingan. Tetapi ini Meuhay taloe ngen keubeu, besar pasak daripada tiang.

Kita hanya memilirkan diri kita saja. Kita tidak ingat bagaimana rakyat kecil harus berjibun dengan musibah akibat ulah kita. Kita benar-benar melupakan bagaimana nasib generasi mendatang. Mereka harus hidup di alam yang sudah kita hancurkan. Mungkin kita dapat memuaskan keinginan anak kita dengan perusakan (baca: pembangunan) yang kita lakukan. Tetapi kita telah merusak kehidupan cucu dan cicit kita jauh sebelum mereka lahir.

– Miswari* –

*Penulis adalah pengajar Filsafat Islam di IAIN Zawiyah Cot Kala Langsa dan Penulis buku Filsafat Terakhir.

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Sumber gambar tajuk sebelum olah digital: USA today dan kompasiana.com