Categories
Press Release

Bedah Buku Biografi Amir Husin Al Mujahid, 2 Oktober 2017

Nama Amir Husin Al-Mujahid tidak dapat kita lepaskan dari penulisan sejarah Aceh kontemporer. Kehadirannya, hampir-hampir, tidak pernah luput dari pembahasan para penulis dan peminat kajian sejarah dan politik Aceh, baik itu para pemujanya, maupun para pengkritiknya.

Keterlibatannya di dalam dua peristiwa besar Aceh di awal masa Revolusi Sosial dan Darul Islam Aceh, telah mencatatkan namanya sebagai tokoh yang harus dibaca terus menerus, untuk memahami pergerakan sejarah Aceh itu sendiri.

Buku ini memperkaya historiografi Aceh dan terutama sejarah Aceh kontemporer karena dapat dikatakan telah kembali menempatkan ketokohan Amir Husin Mujahid di atas panggung sejarah kita. Setelah dalam rentang waktu yang lama, tidak mendapatkan perhatian dari khalayak . Buku ini-pun tepat hadir disaat pembicaraan tentang sejarah dan politik Aceh paska MoU Helsinki, banyak didominasi oleh narasi dari Gerakan Aceh Merdeka.

Padébooks akan mengadakan launching sekaligus bedah buku terbitan Padebooks tentang biografi salah satu tokoh Aceh: dengan judul Jenderal Mayor Amir Husein Al-Mujahid: “Aku Tetap Konsisten Terhadap Pesan Khusus Sultan Aceh Terakhir.” Buku yang ditulis Oleh: Dr. Ahmad Fauzi M.A. (Dekan Fakultas Tarbiah dan Ilmu Keguruan IAIN Langsa ini akan dibedah oleh ketiga pembicara Ir. Abdullah Puteh, M.Si (Gubernur Aceh ke 18), Barlian AW (Budayawan Aceh), M. Alkaf, M.Si (Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy). Sedangkan yang menjadi Keynote Speaker adalah Prof. Dr. Ir. Samsul Rizal, M.Eng (Rektor Universitas Syiah Kuala).

Acaranya akan berlangsung pada hari Senin, 02 Oktober 2017, Pukul 09.00 – 12.00 WIB, bertempat di Ruang Senat Rektor Unsyiah.

Acara ini diharapkan menjadi momentum untuk terus menggali lembaran kesejarahan aceh, beserta para tokoh-tokohnya yang telah berjasa. Dengan demikian, maka juga akan memperkaya narasi sejarah politik Aceh dewasa ini.

– Saiful Akmal (Direktur Padebooks)

Categories
Penulis Tamu

TUHAN DAN SEJARAH AKHLAK PEMBEBASAN

Sejarah perkembangan Islam pada dasarnya tidak pernah terlepas dari tindakan-tindakan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat dalam upaya membentuk karakter akhlaqul karimah pada umatnya. Mengingat pentingnya misi ini, Nabi bersabda bahwa “Sesungguhnya Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia”. Nilai inilah yang selanjutnya melatari setiap tindakan Rasulullah dalam menyampaikan syiar Islam pada zamannya. Bahkan ketinggian nilai akhlak dalam hal tertentu dapat mengenyampingkan aspek teologi demi perdamaian dan toleransi, seperti yang telah terukir dengan baik dalam sejarah perjanjian Hudaibiyah.

Peristiwa perjanjian hudaibiyah ini terjadi pada tahun 628 M. Pada saat itu Rasulullah bersama rombongan sedang dalam perjalanan menuju Madinah untuk menunaikan ibadah haji. Namun kondisi kekhawatiran dan kesulitan menghinggapi umat muslim yang ikut bersama Rasulullah, karena pada saat itu kota Mekkah masih dikuasai sepenuhnya oleh kaum penentang dari Suku Quraisy. Menyadari hal ini dalam menempuh perjalanan dari Madinah ke Mekkah Rasululullah telah menyiapkan beberapa strategi khusus untuk mencegah timbulnya peperangan dengan kaum Quraisy yang tidak rela kaum muslimin memasuki kota mekkah. Untuk itu Rasulullah menerapkan beberapa strategi, Pertama, Memilih rute perjalanan yang tidak menimbulkan kecurigaan kaum penentang dari suku Quraisy. Kedua, Kendaraan yang ditunggangi untuk perjalanan ke Mekkah diberikan tanda khusus agar tidak dicurigai sebagai kendaraan perang. Ketiga, Rasulullah juga memerintahkan agar seluruh pedang yang dibawa agar disarungkan. Hal ini untuk menunjukkan bahwa kedatangan kaum muslimin tidak bermaksud untuk berperang, melainkan untuk beribadah semata. Namun ketika akan sampai kota Mekkah, Rombongan Rasulullah dihalangi oleh kaum penentang dan tidak mengizinkan mereka masuk ke Mekkah. Melihat hal tersebut, untuk menghindari peperangan akhirnya Rasulullah atas saran Umar Bin Khattab mengutus Usman Bin Affan untuk menemui Abu Sufyan, perwakilan dari kelompok penentang untuk menjelaskan bahwa maksud kedatangan kaum muslimin hanya untuk beribadah. Namun perundingan itu gagal, karena Abu Sufyan tetap melarang kaum muslimin memasuki kota mekkah.

Selanjutnya perundingan dilanjutkan kembali dengan Suhail Bin Amr. Hasil Perjanjian ini awalnya mendapat penolakan keras dari para sahabat dan rombongan pada saat itu, karena perjanjian ini dinilai akan sangat merugikan kaum Muslimin. Salah satu butir perjanjian tersebut adalah kaum Quraisy menolak perjanjian itu dimulai dengan kata kata “Bismillahirrahmanirrahim”, Suhail menyebutkan bahwa “kami tidak mengenal Ar-Rahman!” tulis saja seperti biasanya,“bismika allahumma”. Nabi menuruti permintaan Suhail dan meminta Ali menuliskan “bismika allahumma”. Namun Rasulullah juga meminta Ali menambahkan kata kata “hadza ma Qadha ‘alaih Muhammad Rasulullah” (inilah ketetapan muhammad rasulullah). Namun Suhail kembali menolak hal ini, karena ia dan kaumnya tidak mengakui Muhammad sebagai rasulullah, Namun Rasulullah tetap menerima perjanjian tersebut.

Butir perjanjian lainnya yang merugikan adalah gagalnya kaum muslimin menunaikan ibadah haji pada saat itu juga, karena menurut perjanjian ibadah haji baru dapat dilaksanakan tahun depan. Meskipun niat awal kaum muslimin untuk menunaikan ibadah haji pada tahun itu gagal, namun sejarah memperlihatkan bahwa setelah peristiwa perjanjian Hudaibiyah itu, kaum muslimin justru semakin berjaya pada masa-masa selanjutnya.

Kesadaran akan tingginya nilai akhlak tidak hanya bersemayam dalam ajaran Islam saja, melainkan juga mengakar pada agama agama yang menekankan pada spiritualitas seperti halnya Buddha. Tidak sulit bagi kita untuk menemukan samudera kata kata Buddha yang menganjurkan berbuat baik bagi sesama manusia dan alam, menghindari kejahatan dan saling menghormati sesama. Diantara ajaran tersebut dapat dilihat dalam ungkapan “Barangsiapa mencari kebahagiaan dari diri sendiri dengan jalan menganiaya makhluk lain yang juga mendambakan kebahagiaan, maka setelah mati ia tidak akan memperoleh kebahagiaan” (Danda Vagga 3, Dhammapada X; 131).

Pencapaian seluruh aturan “Budi Dharma” dalam ajaran Buddha hanya dapat ditempuh melalui meditasi dan pembersihan diri seperti dinyatakan “Tidak melakukan segala bentuk kejahatan, senantiasa mengembangkan kebajikan, dan membersihkan batin; inilah Ajaran Para Buddha” (Buddha 5, Dhammapada XIV; 183). Bagi Buddhist yang senantiasa memelihara ajaran tersebut maka nilai itu juga akan tertanam sampai kapanpun. Dalam lintas sejarah kemanusiaan, nilai ini telah banyak dipraktikkan oleh tokoh tokoh spiritual Buddha, seperti halnya Dalai Lama. Pada Tahun 1950 pada saat China menduduki Tibet, masyarakat Tibet seringkali menerima kekerasan dan penganiayaan dari tentara China. Sikap kekerasan tersebut tidak diladeni oleh Dalai Lama XIV, karena berpegang teguh pada ajaran Buddha yang melarang melakukan kekerasan. Namun perlawanan diplomatis tetap dilakukan Dalai Lama selama kurang lebih empat puluh tahun lamanya. Pada tahun 1950 Dalai Lama secara resmi menduduki tahta kepemimpinan tertinggi baik secara spiritual maupun temporal bagi 6 juta rakyat Tibet. Karena situasi pendudukan dan penganiayaan tentara RRC terhadap rakyat Tibet, Dalai yang ketika itu berusia 15 tahun memutuskan untuk mengakhiri konflik dengan cara diplomasi. Dalai Lama mengutus delegasi ke berbagai Negara seperti Amerika, Inggris, Nepal dan termasuk RRC sendiri. Namun upaya upaya itu gagal membuahkan hasil. Pada 17 maret 1959 muncul desas desus akan ada serangan baru dari tentara China melalui udara, sehingga Dalai Lama terpaksa mengasingkan diri ke India.

Untuk mencegah terjadinya kekerasan yang berlarut larut, Dalai Lama memutuskan untuk mengeluarkan lima poin resolusi konflik kepada Amerika, diantara point penting tersebut Dalai Lama meminta agar seluruh Tibet dijadikan sebagai wilayah ahimsa (zona tanpa kekerasan), menghormati hak azasi manusia warga Tibet, serta mendorong berlangsungnya negosiasi dan dialog antara Tibet dan masyarakat China. Pasca resolusi tersebut, dukungan dunia mulai mengalir dan ketegangan antara China dan Tibet mulai sedikit mereda. Atas usaha-usahanya menghindari kekerasan dan mendorong perdamaian dunia, Tenzin Gyatso (Dalai Lama XIV) memperoleh penghargaan Nobel Perdamaian pada Tahun 1989. Dalam konteks peristiwa aktual, untuk kasus Konflik umat Buddha dan Muslim Rohingnya, Dalai lama XIV melalui surat kabar The Australian telah berulang kali meminta Aung San Suu Kyi untuk membantu dan berbuat lebih banyak untuk muslim Rohingnya. Dalam suratkabar tersebut ia juga menyebutkan “Ada yang salah dengan cara manusia berpikir, pada akhirnya kita kurang peduli dengan kehidupan orang lain”.

Demikian juga halnya dengan dengan beberapa agama lainnya di dunia, seperti Yahudi dan Kristen. Meski bagi sebagian besar umat Islam memiliki sikap antipati terhadap Yahudi, namun tentu tidak semua umat yahudi pro terhadap zionisme dan kekerasan. Kesadaran ini telah diwujudkan dalam lensa sejarah dunia oleh sekumpulan Rabi Yahudi Ortodoks yang bermukim di Amerika Serikat untuk mengkampanyekan anti zionisme dan kekerasan.

Para Tokoh agama Yahudi ini berkumpul dalam suatu wadah organisasi yang bernama “Neturei Karta”, Organisasi ini telah berdiri mulai tahun 1935 yang dipelopori oleh Rabi Yisroel Ben Eliezer. Juru bicara Neturei Karta, Rabi Yisroel Dovid Weiss menyebutkan bahwa “Zionisme” tidak sama dengan “Yudaisme”. Bagi Yisroel, zionisme merupakan tindakan yang telah mengotori dinding ratapan. Yisroel bersama Rabi lainnya juga secara aktif mengkampanyekan gerakan anti zionisme ke berbagai Negara, termasuk Iran dan Indonesia. Selain itu mereka juga menjumpai tokoh tokoh agama muslim untuk menjalin persahabatan dan persaudaraan global.

Tidak jauh berbeda dengan itu, dikalangan umat kristiani juga telah banyak bermunculan tokoh tokoh perdamaian antar umat beragama seperti Dr. Paul Marshall, Pdt. Stephen Tong, Pdt. Benyamin F Intan dan yang cukup popular di Indonesia Franz Magnis Suseno. Mereka ini secara aktif terus menerus menyuarakan perdamaian dan toleransi antar umat beragama. Menurut Pdt. Benyamin F Intan berbuat kebajikan dan mendorong perdamaian merupakan perintah kitab suci injil seperti yang tertuang dalam Efesus 2 : 10 ; “Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan perbuatan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya”.

Pemaparan kisah sejarah diatas tentu saja bukanlah suatu upaya menghubung-hubungkan penggalan sejarah yang ada, tapi secara lebih mendasar ia merupakan suatu susunan mosaik yang membantu kita memahami makna khsusus dari kesatuan penggalan sejarah tersebut. Dari latar belakang sejarah ini, kita melihat bahwa diatas segala perbedaan yang ada, perdamaian dan toleransi adalah metode paling religius dalam upaya menghadirkan nilai nilai Tuhan di muka bumi. Jika setiap orang bisa berbeda dengan yang lainnya baik dari sisi ideologi maupun agama karena menggunakan hak kebebasan individualnya masing masing, maka tanpa adanya kebebasan dapat dipastikan tidak ada satupun pemahaman yang muncul.

Setiap manusia, apapun latar belakang hidup dan agamanya, memiliki hasrat manusiawi untuk mengetahui sesuatu yang benar. Agama yang benar, sistem politik yang benar, ekonomi yang benar dan berbagai konsep kebenaran lainnya. Karena itu, Untuk mengetahui sesuatu disebut benar atau tidak, pertama-tama manusia harus memiliki setidak tidaknya kebebasan bagi diri individunya untuk mencari dan memahami segala sesuatu, sehingga dengan memanfaatkan kebebasan yang ada dalam dirinya tersebut, setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh kebenaran hidup. Oleh sebab itu, Tuhan Yang Maha Bijaksana telah menganugerahkan kebebasan bagi setiap individu untuk memahami kalamnya yang Agung. Tuhan secara azali telah menyadari bahwa konsekuensi penciptaan makhluk yang beragam akan menimbulkan keragaman pandangan yang berpotensi melahirkan pertikaian. Namun dibalik itu semua, Tuhan telah menurunkan seperangkat pranata sosial suci yang berguna bagi harmonisasi segala keragaman itu, yakni “akhlak”. Kata akhlak dalam bahasa arab berasal dari kata “khalqun” yang terambil dari kata “Khaliq” (pencipta). Hal ini menununjukkan bahwa perilaku akhlak dapat terbentuk sebagai ekses hubungannya dengan sang Khaliq sebagai referen bagi makhluk.

Dari sinilah kita menyadari pentingnya menyemai dimensi spiritual bagi setiap manusia, karena bagi jiwa manusia yang terjebak dalam raga, ia berhenti pada keterbatasannya dan tidak mampu keluar dari ego kebenaran yang ia ciptakan sendiri. Sedangkan dimensi spiritual agama merupakan instrument khusus bagi manusia untuk membebaskan jiwa dari keterkungkungan raga yang terbatas. Melalui jiwa yang telah terbebas inilah manusia mampu membentuk karakater akhlak yang pada gilirannya menciptakan kedamaian dalam keragaman dan sekaligus menjadi rahmat bagi semesta.

– T. Muhammad Jafar Sulaiman* & Zuhri A. Sabri** –

*T. Muhammad Jafar Sulaiman,
Pemikir muda, Pengajar Filsafat Politik
**Zuhri A. Sabri, Alumnus fakultas hukum Universitas Syiah Kuala

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Foto featured image diambil dari: commons.wikimedia.org. dengan lisensi public domain

Categories
Penulis Tamu

MELIHAT SEKILAS PEMIKIRAN ANTHONY REID: “REVITALIZER DAN BORROWERS”

Pada akhir abad ke-19 kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara mengalami kemunduran. Mereka dihempaskan oleh kekuatan militer Barat. Sementara lainnya, menghadapi pilihan sama buruknya, harus bersikap akomodatif terhadap kekuatan Barat. Dengan kata lain, mereka sama-sama dijajah. Maka pada akhirnya warisan sejarah yang muncul pada masa kini adalah, khususnya di Indonesia, narasi tentang kekalahan dan keterpurukan di bawah dominasi Barat.

Lepas dari pandangan-pandangan post-kolonialis di masa kini, dan pandangan klasik dari van Leur bahwa sejarah Indonesia, juga Asia Tenggara, perlu dilihat dalam sudut pandang masyarakat asli sendiri, namun toh narasi sejarah akan keterpurukan tetap berkecamuk. Di Indonesia, narasi sejarah yang resmi senantiasa menceritakan kisah hebat para martir melawan Belanda. Namun, narasi ini kadang sulit dipahami karena makin menjelaskan akan kekalahan dan keterpurukan. Narasi ini malah menimbulkan sikap tak peduli di kalangan muda Indonesia—generasi yang lahir pada era 1980-an—akan sejarah Indonesia. Selain itu, di kalangan generasi baru yang banyak membaca komik sejarah Jepang kadang muncul pertanyaan mengapa narasi kekalahan itu selalu diceritakan, dan mengapa elit dan penguasa kerajaan di Asia Tenggara pada masa itu tidak melakukan kebijakan seperti Restorasi Meiji di Jepang. Bagaimana narasi sejarah Indonesia seandainya, misalnya, Pangeran Diponegoro tidak memutuskan perang melawan Belanda namun melakukan pilihan cerdik dengan mereorganisasi keraton Jogjakarta dan mengirimkan para pengikutnya ke Negeri Belanda untuk melakukan studi pemerintahan, sains dan teknologi, dan militer di Negeri Belanda. Sayangnya, ini hanyalah khayalan dan tulisan ini tidak membahas hal tersebut. Tulisan ini berusaha melihat sekilas bagaimana memahami narasi kekalahan dan keterpurukan itu.


Anthony Reid memberikan suatu pendekatan kritis melihat kekalahan negeri-negeri Asia Tenggara, yaitu dengan melihat tanggapan-tanggapan intelektual masa itu. Ia memaparkan dua pendekatan; Revitalizer (pembaharu) dan borrowers (peminjam). Revitalizer adalah para pembaharu, yaitu kalangan elite yang cenderung melihat masalah dari sudut pandang moral dan agama. Mereka cenderung memberi solusi atas kekalahan yang dialami negeri mereka berupa ketataan yang sungguh-sungguh pada norma-norma yang sudah mapan. Borrowers adalah para peminjam, yaitu kalangan elite yang memandang masalah keterpurukan dan kekalahan adalah semata-mata pada soal teknis. Mereka memberikan solusinya pada usaha untuk mempelajari teknik-teknik Barat.

Reid memaparkan beberapa pandangan intelektual kalangan revitalizer dalam kasus kekalahan Melaka menghadapi invasi Portugis (dalam Sejarah Melayu), kekalahan Makasar atas serangan VOC (dalam Sja’ir Perang Mengkasar), kekalahan kerajaan Aceh dalam Perang Aceh (dalam Hikayat Perang Sabil), kekalahan orang-orang Jawa dalam Perang Jawa dalam milleniarisme (dalam ramalan Jayabaya).

Dalam kasus kekalahan Makassar Reid menelaah tanggapan akan kekalahan itu dalam Sja’ir Perang Mengkasar. Syair ini adalah sebuah epos pertempuran dibuat penulis istana Makasar satu atau dua tahun setelah kejadian. Epos ini mengakui bahwa orang Makasar memang kalah. Namun, epos ini menyuarakan argumentasi kekalahan mereka lebih disebabkan pada kelaparan dan bantuan orang-orang Bugis kepada Belanda. Epos itu menyatakan bahwa ”Setan Belanda” tidak memainkan peran besar dalam perang tersebut.

Dalam kasus kekalahan Malaka Reid menelaah tanggapan akan kekalahan itu pada Sejarah Melayu. Sejarah Melayu adalah kronik istana Melaka/Johor yang sangat rinci. Alasan utama mengapa kronik itu dikarang atau seseorang memerintahkan untuk menulis ulang pada awal abad ke-16 adalah kebutuhan untuk menjelaskan kerugian tak terkira akibat jatuhnya ibukota dinasti Melaka ke tangan Portugis. Narasi Sejarah Melayu memang menyebut bola-bola meriam Portugis berjatuhan bagaikan hujan. Namun penjelasan riil atas kekalahan itu bukan dari teknologi persenjataan Portugis, namun dari dalam. Yakni, bahwa Melaka telah gagal mempertahankan aturan-aturan dasar kerajaan. Yakni, jika penguasa menghina rakyat tanpa alasan yang jelas, maka mereka tidak akan lagi terikat dengan sumpah setia mereka. Sultan Mahmud penguasa yang menyebabkan Melaka jatuh, dinasihati ayahnya saat menanti ajal, “Jika engkau menghukum mati mereka (rakyat Melaka) sedangkan mereka tidak melakukan kesalahan, maka kerajaanmu akan terbawa binasa”. Hukuman berat mendera Melaka menyusul kejahatan Mahmud melanggar dasar kontraktual kerajaan yaitu membunuh bendahara-nya (menteri utama) yang setia, SriMaharaja.

Menurut Reid, perspektif dua teks melayu itu dalam memandang kekalahan mereka masih ditafsirkan dalam konteks lokal. Sudut pandang dari kedua teks akan sama jika Melaka jatuh ke tangan Siam atau Makassar jatuh ke tangan Bugis. Dengan kata lain, serangan terburuk yang dilakukan oleh orang-orang Eropa masih ditafsirkan dalam sudut pandang lokal.

Dalam kasus Perang Aceh, menurut Reid, pada mulanya para elite pejuang Aceh sangat percaya diri. Mereka sangat yakin bahwa mereka akan menang melawan Belanda. Dengan bersandar pada tafsiran agama, mereka sangat yakin bahwa orang-orang kafir Belanda dapat dikalahkan. Namun ketika, pada tahun 1890-an, posisi mereka makin terpojok menuju kekalahan, perjuangan mirip dengan tindakan bunuh diri pun dilakukan. Dalam analisis Reid, para ulama Aceh pada masa ini mulai menanggalkan pandangan bahwa orang beriman (Islam) akan menang memperoleh kemenangan di dunia dan beralih pada gambaran keuntungan di akhirat dengan pahala lebih besar. Pandangan ini terekam jelas dalam Hikayat Perang Sabil. Hikayat yang mengilhami rakyat Aceh mati sahid melawan Belanda.

Namun ketika kemenangan makin mustahil sebagian para elit pejuang Aceh memilih menyerah kepada Belanda. Para elit yang menyerah ini memberikan alasan intelektual kepada para pejuang Aceh yang masih bertahan di perbukitan bahwa orang Islam di mana-mana telah dikalahkan dan dihina karena dunia sedang menuju akhir zaman.

Dalam Kasus Jawa, kekalahan dan keterpurukan yang dialami para elit memunculkan Mileniarisme. Menurut Reid, ada perbedaan mileniarisme sebelum abad ke-19 dan sesudah abad ke-19 terutama setelah berakhirnya Perang Diponegoro. Mileniarisme sebelum abad ke-19 cenderung memusatkan perhatian pada kemunculan seorang penguasa atau dinasti baru yang akan mempersatukan dan memperkuat Jawa. Selain itu, mileniarisme di masa ini masih menganggap Belanda sebagai bangsa Barbar yang tidak beradab.

Sebaliknya, usai perang Diponegoro, realitas akan dominasi Asing makin terlihat. Yang lebih pahit lagi, istana-istana Jawa menjalin hubungan akrab dengan Belanda. Ini menyebabkan gerakan milinearisme makin menjauh dari istana dan terfokus pada penyelamat asing yang akan menyelamatkan Jawa yaitu Raja Ngrum (Turki). Selain itu, makin kuatnya cengkraman Belanda yang sukar dipahami kekuatan dan rahasianya menimbulkan tumbuhnya kepercayaan pada penyelamat asing. Mileanarisme paling terkenal adalah ramalan Jayabaya yang meramalkan akan munculnya Ratu Adil. Gerakan-gerakan petani melawan Belanda di Jawa seringkali diilhami oleh ramalan tersebut. Pada pertengan akhir abab ke-19, penyelamat asing yang memperoleh popularitas yang makin besar bukan lagi Turki melainkan bangsa Jepang.


Tentang Borrowers, Reid memberikan argumentasi dalam Wacana Reformasi Pemerintahan, modernisasi Pendidikan, Persatuan, dan wacana Marxisme. Namun dalam tulisan ini hanya akan dibahas pandangannya tentang Wacana Reformasi Pemerintahan dan Wacana Marxisme di antara kelompok peminjam.

Pada awal abad ke-20 di dunia melayu muncul kelompok intelektual yang mengkritik penguasa-penguasa Melayu yang kalah dan terkooptasi oleh orang-orang Barat. Para pengkritik ini bersifat praktis, kosmopolit, islamis, dan keras. Contoh terkenal adalah kelompok intelektual yang berhimpun di majalah reformis Islam Al-Imam. Majalah ini sering mengecam keras penguasa-penguasa Melayu sebagai benih dari segala kejahatan dan penyebab segala kesusahan, pemboros, dan biang keladi kedunguan. Menurut Reid para pengkritisi ini sering membandingkan antara pemerintahan kerajaan di negeri melayu dengan efisiensi dan otokrasi pemerintahan kolonial, dan bukan melihat sistem dan tata cara parlementer yang sukar mereka pahami.

Tokoh utama dari kalangan peminjam paling kritis di antara penulis melayu adalah Munshi Abdullah. Ia punya kedekatan khusus dan kegandrungan luar biasa dengan pemerintah Inggris. Ia memperhatikan dengan cermat pemerintahan Inggris. Dalam pandangannya, kelaliman dan kesewenang-wenangan raja-raja Melayu adalah penyebab utama keterbelakangan dan keterpurukan negeri-negeri mereka. Dalam penutup laporan perjalanannya yang sangat kritis ke pantai timur Malaya pada 1837-1838, ia menguraikan kekurangan-kekurangan pemerintahan di Kerajaan Melayu dibandingkan pemerintahan kolonial Inggris di Singapura, yaitu :

  1. Tidak ada jaminan keamanan di negeri-negeri Melayu terhadap harta benda, jiwa atau apapun. Sementara di negeri-negeri Inggris ada jaminan keamanan dalam bentuk perlindungan dari segala mara bahaya.
  2. Kedamaian di negara Inggris ada namun di negeri-negeri Melayu tidak ada.
  3. Hamba-hamba Raja di negeri-negeri Melayu dapat melakukan pelanggaran sesuka hati terhadap makhluk ciptakan Tuhan. Karena, jika satu hamba Raja dibunuh maka tujuh orang mati. Sedangkan di negeri-negeri Inggris tidak demikian, jika anak seorang penguasa kulit putih atau penguasa itu sendiri membunuh seseorang tanpa dasar hukum dia akan dijatuhi hukuman mati.
  4. Di negeri-negeri Melayu terlalu banyak orang membuang waktu siang dan malam hari dalam kemalasan. Sementara di negeri-negeri Inggris banyak orang bekerja keras dan didorong bekerja keras. Di negeri-negeri melayu punya adat yang berbeda, jika seseorang menjadi kaya dengan bergelimang harta dan hidup senang, maka berbagai macam tuduhan dilontarkan kepadanya, sampai dia hancur, hartanya habis, dan barangkakali nyawanya direnggut.

Namun, sekali lagi dalam pandangan Reid, sedikit sekali orang-orang Asia Tenggara yang bisa melihat secara langsung jalannya demokrasi parlementer di Eropa. Dan lebih sedikit lagi yang bisa memahami bahwa parlemen adalah kunci kekuasaan Eropa. Satu kelompok yang bisa memahami itu adalah segelintir bangsawan berpendidikan Eropa. Mereka menasihati Raja Chulalongkorn pada 1886 bahwa Kerajaan Siam bisa bertahan dari tantangan Eropa melalui landasan perubahan konstitusional menuju pemerintahan monarki parlementer. Namun, usaha mereka pun juga kurang berhasil karena Raja masih berkuasa mutlak.

Bagi elit terdidik Asia Tenggara di bawah rezim penjajahan Eropa, yang telah kehilangan kepercayaan pada kemampuan kelas penguasa tradisional, model-model konstitusional Eropa umumnya dipandang jauh dari persoalan riil. Kaum nasionalis bersedia mengumandangkan “Indonesia berparlemen,” atau tanggung jawab kementerian di Birma namun sebagai taktik jangka pendek ketimbang pemecahan riil terhadap masalah dominasi asing. Lebih bermakna dari pada model-model konstitusional justru populisme revolusioner yang melibatkan massa. Karena rakyat jajahan tidak memiliki sumber kekuatan kecuali jumlah orang, maka identifikasi mereka dengan massa tidak dapat dielakkan.

Menurut Reid Kaum Marxis atau partai komunis di Asia Tengara adalah peminjam di Asia Tenggara yang paling bersemangat, punya semangat internasional, dan tidak sabar terhadap nilai-nilai dan praktik-praktik lama yang sudah usang. Mereka giat mengembangkan program-program ekonomi politik, dan pendidikan. Memang, rumusan dasar marxist khususnya dari pemikiran Lenin Imperialisme: Last Stage of Capitalisme (Imperialisme: Tahap Akhir dari Kapitalisme) berpengaruh luas dalam lingkaran elit Asia Tenggara khususnya anggota partai komunis, intelektual yang berminat pada watak kapitalisme, dan pendukung revolusi sosial. Daya tarik Marxisme terletak pada fakta bahwa paham ini dapat digunakan untuk menjawab dilema keterpurukan dan kekalahan mereka atas bangsa Asing dan janji bahwa kekuatan Barat bisa dikalahkan. Mereka mengikuti dan berusaha menjalankan tiga keyakinan:

  1. Keyakinan bahwa masalah pengaruh Barat bisa dan akan dikalahkan.
  2. Tuntutan regenerasi moral.
  3. Rasa persatuan dan Persaudaraan yang dipancarkan.

Sebagai penutup adalah bermanfaat jika narasi masa lalu negeri kita dibahas dengan cara yang ditawarkan oleh Anthony Reid—revitalizer dan borrower. Meskipun keduanya punya perbedaan, namun sudut pandang yang dipaparkan cukup kritis dalam melihat pemikiran kalangan intelektual dan elit di masa lalu yang mengalami keterpurukan. Lagi pula, sedikit sekali narasi kemenangan dalam narasi sejarah Indonesia. Dengan kata lain, beban sejarah akan kekalahan dan keterpurukan sesungguhnya masih terekam kuat di kalangan elit dan intelektual generasi selanjutnya. Rasa inferioritas akan kekuatan Barat masih nampak terutama dalam bidang ilmu pengetahuan teknologi dan ekonomi. Di masa kini pun semangat dalam bentuk yang sama seperti dilakukan oleh kaum revitalizer di masa lalu muncul kembali. Misalnya, munculnya partai-partai politik berbasis agama yang sangat yakin dengan nilai-nilai moral religius dalam menawarkan solusi akan keterpurukan negeri mereka. Barangkali memang terasa pedih khususnya bagi generasi masa kini memahami sejarah negeri mereka sendiri yang senantiasa kalah dan dikalahkan. Maka, wajar jika mereka begitu acuh dengan sejarah mereka karena tidak ada yang patut dibanggakan dari sejarah kekalahan itu. Namun akan lebih celaka bila sejarah tentang kekalahan dan keterpurukan itu tidak ditelaah generasi berikutnya.

-Saiful Hakam*

Saiful Hakam – Peneliti LIPI

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com


Tulisan ini sudah pernah dimuat dalam blog pribadi penulis.
Gambar fitur diambil dari commons.wikimedia.org

Categories
Kolom Pendiri

Umat dan Logika Sejarah Islam

“There is no faith, without a critical mind” – Tariq Ramadan

Sejarah ditulis untuk mereka yang hidup, bukan untuk mereka yang mati. Sebagaimana madah (eulogy) disampaikan kepada yang menyaksikan kematian dan bukan kepada yang telah mati. Di sisi lain, kehidupan manusia selalu dinamis, maka begitu pun dengan sejarah. Sistem sosial, ekonomi dan politik pun akan terus menemukan bentuk yang berbeda-beda, sesuai dengan kebutuhan tempat dan waktunya. Dengan demikian, maka sejarah terus ditulis dan dibaca ulang dengan perspektif dan pemahaman yang sesuai zaman dan tempatnya. Sehingga kekuatan sejarah dapat digunakan dengan maksimal, untuk memberi paham kehidupan dan legitimasi untuk masa sekarang dan masa depan.