Categories
Penulis Tamu

ISLAM NUSANTARA DALAM PANDANGAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS (BAGIAN 1 DARI 2)*

Perdebatan mengenai proses pembumian Islam di Nusantara selalu hangat diperdebatkan di kalangan intelektual hingga sampai saat ini. Beberapa tulisan beberapa waktu lalu sempat memperdebatkan mengenai Islamisasi serta Islam apakah yang sebenarnya yang ada di Nusantara. Meskipun bukanlah hal yang baru, namun perdebatan ini selalu hangat diperbincangkan hingga terus-menerus memunculkan berbagai argumentasi ilmiah. Satu pendapat menyebutkannya bahwa Islam Nusantara adalah Islam permukaan, yaitu Islam yang dipahami dan diartikan hanya sebatas kulit luar dari ajarannya, berupa syiar, dan hiruk-pikuk seremonial yang disandingkan dengan aktivitas ibadah formal Islam. Hal ini dijadikan suatu tolak ukur kecemerlangan, kejayaan, dan heroisme Islam dalam masyarakat penganutnya1). Pendapat lain mengenai Islam di Nusantara adalah Islam Fansurian yaitu sebuah proses pengislaman yang dibungkus dengan sufisme dan membangun tamadun masyarakat dengan konstitusi akhlak sosial (bio-etik) dan akhlak personal (revolusi mental)2).

Di sisi lain, Teuku Zulkhairi memberikan tanggapan yang berbeda mengenai Islam yang memakai embel-embel Nusantara, sebab menurutnya dapat berpotensi mereduksi ajaran Islam karena harus menyesuaikan diri dengan tradisi Nusantara3). Selain hal di atas, Islam Nusantara merupakan Islam yang berwajah konstektual dengan berbagai aspek budaya, kesenian, proses belajar maupun pergaulan. Analisis spekulatif tersebut memunculkan perdebatan yang signifikan terhadap bagaimana sebenarnya Islam di Nusantara. Argumentasi-argumentasi tersebut menjadi suatu masalah terhadap bagaimana sebenarnya Islam di Nusantara dan bagaimana proses, hakikat Islam Nusantara, serta pembumiannya sehingga masyarakat Nusantara memiliki identitas keislamanya yang utuh.

Pedebatan mengenai Islam Nusantara kembali hangat akibat ada pengaruh dari Istana Negara Republik Indonesia yang mencoba memperkenalkan Islam bercorak Nusantara dalam bentuk lantunan ayat Al-Qur’an yang menggunakan langgam Jawa. Hal ini mengindikasikan bahwa Islam Nusantara memiliki suatu sisi bangunan epistimologis tersendiri dalam menerapkan nilai-nilai Islamnya. Argumentasi tersebut memberikan pandangan bahwa corak Islam Nusantara dapat didefinisikan sebagai Islam yang dapat menyesuaikan diri dengan masyarakatnya. Nusantara dalam perspektif ini bukan hanya sebagai sebuah konsep geografis (kawasan) semata, melainkan Nusantara merupakan encounter culture (pusat pertemuan budaya) sehingga memunculkan tata nilai yang khas.

Menurut Said Aqil Siroj bahwa Islam Nusantara bukan merupakan sebuah konsep geografis semata melainkan konsep filosofis yang membentuk nilai, cara pandang, pola pikir dalam melihat tatanan budaya dan antropologis4). Pola Islam yang telah menyesuaikan diri dengan masyarakat Nusantara tersebut serta campuran berbagai latar belakang budaya, menyebabkan Islam yang datang mesti dapat menyesuaikan diri dengan budaya Nusantara. Hal ini secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa Islam Nusantara lebih bersifat lembut, sosial, serta toleran dibandingkan dengan Islam orang Arab yang terkesan keras, panas, dan jauh dari toleransi5).

Perdebatan mengenai Islam di Nusantara terus berkembang sampai saat ini. Perdebatan tersebut semestinya tidaklah langsung mencari serta menemukan definisi Islam Nusantara, akan tetapi mesti melihat kembali fakta sejarah tentang bagaiman Islam masuk serta menjadi bagian dari masyarakat Nusantara. Menelaah hal tersebut dibutuhkan diskursus panjang serta dukungan data sejarah untuk menemukan bagaimana proses Islam masuk serta membentuk pemahaman religius yang dominan di Nusantara.

Pendapat sebahagian besar akademisi dalam dan luar negeri serta orientalis secara historis dalam merumuskan Islam di Nusantara masih menjadi perdebatan. Mereka menilai Islam Nusantara merupakan manifestasi dari lapisan tipis peradaban yang telah ada sebelumnya. Sarjana Belanda seperti Van Leur dan Schrieke berpandangan bahwa agama Hindu dan Buddha memiliki pengaruh yang besar ketimbang Islam. Seperti yang dikutip oleh Azra, Van Leur berpendapat bahwa masuknya Islam di Nusantara tidak membawa perubahan mendalam sehingga tidak memengaruhi kondisi peradaban yang telah ada sebelumnya, baik secara sosial, ekonomi, tatanan negara maupun perdagangan6).

Kutipan yang sama dilakukan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas bahwa Van Leur melihat tingginya suatu peradaban terletak pada ketinggian nilai seni dan estetik. Pada berbagai peninggalan seperti candi, pahatan-pahatan batu, tugu-tugu, dan berbagai jenis wayang tersimpan kehalusan seni yang mencirikan peradaban yang bernilai tinggi7). Analisis Van Leur terkesan sangat melemahkan peranan Islam di Nusantara. Al-Attas menambahkan bahwa Winstedt mengatakan pengaruh yang ditanamkan Islam sangatlah terbatas, itu pun sudah tercampur dengan keyakinan agama Hindu dan Buddha. Sebagaimana dikutip oleh Azra, London mengatakan bahwa Islam di Nusantara hanyalah lapisan tipis yang terdapat di atas kebudayaan lokal8).

Para orientalis di atas banyak terpengaruh oleh tulisan-tulisan Snouck Hurgronje sehingga mereka terkesan memerkecil peranan Islam Nusantara9). Beberapa sarjana ini melihat bahwa Islam Nusantara bercorak Hindu-Buddha yang sudah melewati proses Islamisasi yang belum selesai. Al-Attas mencoba mengklarifikasi asumsi besar dari tradisi kesarjanaan orientalis di atas.

Al-Attas tidak menafikan kesenian sebagai satu-satunya sebuah ukuran terhadap ketinggian suatu peradaban, namun menurutnya bahwa suatu pandangan hidup yang berdasarkan atas tingginya nilai-nilai seni tidaklah berarti memiliki keluhuran budi dan akal serta ilmu pengetahuan. Al-Attas memberikan tanggapan dan sanggahan yang sangat serius dalam hal ini dengan mengatakan bahwa kesan sebuah peradaban yang tinggi dari suatu bangsa tidak dilihat pada perkara-perkara lahiriahnya saja melainkan jauh tertanam dan tersembunyi dalam pandangan hidupnya.

Ketinggian suatu peradaban tidak hanya dilihat pada ketinggian nilai seni dan estetika seperti pada corak candi-candi, tugu-tugu, pahatan-pahatan batu, dan pewayangan, akan tetapi pada sesuatu yang tersembunyi dalam bahasa Arab Melayu dan tulisan Arab Melayu yang mengungkapkan akal budi dan merangkum pemikiran10). Jika dianalisis secara ontologis, bahasa Melayu merupakan huruf Arab yang dibaca dengan model dan corak bahasa Nusantara yang merangkum akal budi dan pemikiran karena memiliki struktur terbaik dalam rumpun bahasa semantik.

Jika dilihat dari segi makna, bahasa Arab Melayu tampak lebih sesuai dalam menerima kandungan ajaran-ajaran Al-Qur’an yang tidak tersentuh oleh perubahan-perubahan yang dialami oleh bahasa lain. Bahasa Arab Melayu meletakkan arti rasionalitas sebagai kemampuan untuk percakapan. Lebih dari itu, bahasa Melayu mengalami perubahan revolusioner dengan diperkaya sebahagian besar pembendaharaan kata-katanya dari Arab dan Parsi. Bahasa ini juga menjadi media utama untuk menyebarkan Islam ke seluruh Nusantara, sehingga pada abad ke 16 M telah mencapai kedudukan sebagai bahasa religius menggantikan hegemoni pengaruh Hindu-Buddha11).

Islam sufistik yang datang ke Nusantara telah memberikan rumusan intelektualisme dan rasionalisme pada kesusasteraan Nusantara di abad keenam belas dan ketujuh belas12). Konsep sufistik tersebut memiliki pola tasawuf falsafi yang tersebar luas mempengaruhi masyarakat Nusantara13). Tasawuf falsafi merupakan landasan filosofis Islam Nusantara secara ontologis mengandung konsep-konsep fundamental yang dihubungkan dengan konsep sentral tentang keesaan Tuhan. Metafisika sufi, melalui golongan ahli pikir, ulama-ulama, para misionaris Muslim telah merumuskan sebuah konsep yang mendalam mengenai metafisika falsafi, tasawuf dan ilmu kalam juga merupakan hasil dari metafisika sufi Nusantara. Bentuk metafisika sufi sangat jelas terlihat pada penjelasan dan tulisan rasional tentang konsep wujūd, pemaparan tentang ontologi, kosmologi, teologi, keadaan, eksistensi, konsepsi tauhid, adalah suatu hal yang memainkan peran fundamental dalam menarik masyarakat Nusantara ke Islam14).

Metafisika sufi sangat jauh dari nilai-nilai politik dan keinginan untuk berkuasa sehingga mendapat pengaruh besar pada masyarakat Nusantara. Metafisika sufi memiliki tujuan untuk membentuk konsepsi religius Islam yang esensial terhadap psikologi yang berlandaskan Al-Qur’an dalam jiwa masyarakat Nusantara. Ulama sufi dengan menggunkan fondasi Al-Qur’an tersebut memiliki landasan yang tiada bandingnya sehingga berbekas pada jiwa masyarakat Nusantara. Oleh sebab itu pengaruh metafisika sufi yang memiliki basis ruh Al-Qur’an telah mengakibatkan kesadaran masyarakat Nusantara terhadap Islam, sehingga membawa peralihan dari tradisi non-rasional kepada kesusasteraan tertulis yang falsafi. Metafisika sufi memainkan peran penting untuk membuka jiwa masyarakat Nusantara untuk lebih mengenal aspek-aspek ontologi Islam berlandaskan falsafah dan rasionalitas sehingga terhindar dari mitologi15).

Menurut al-Attas, Islam telah mengubah pola pikir masyarakat Nusantara baik dalam hal-hal yang bersifat empiris maupun bersifat rasional metafisis. Islam tidak hanya memberikan perubahan pada struktur lahiriah semata melainkan perubahan yang mendalam pada struktur bathinnya16). Islam mampu mengubah pandangan hidup masyarakat Nusantara yang sebelumnya bersifat seni dan estetis menjadi lebih falsafi yang berteraskan pada harmonisasi akal dan jiwa. Al-Attas mengatakan bahwa proses Islamisasi di Nusantara didefinisikan sebagai “the historical and cultural impact of Islam upon the Malay world which revolutionized the Malay vision of reality and existence into distinctly Islamic worldview”.17)(pengaruh sejarah dan budaya Islam atas dunia Melayu (Nusantara) yaitu dengan merevolusi pandangan masyarakat Nusantara atas realitas eksistensi menuju pandangan hidup Islam yang berbeda). Islam di Nusantara ini harus ditinjau sebagai sebuah corak atau bentuk sufistik yang merelevansikan dirinya dengan konstektualitas masyarakat Nusantara yang begitu berkesan dalam membawa perubahan “pemoderenan”18).

Peradaban Nusantara sebelum Islam sangat kental dengan pengaruh Hindu-Buddha. Pengaruh agama tersebut menurut al-Attas telah tercampur dengan agama anak negeri. Agama Hindu dan Buddha tidak begitu berpengaruh dalam diri masyarakat Nusantara secara mendalam karena ajaran agama tersebut termodifikasi sedemikian rupa sehingga tidak memiliki kemurnian falsafah yang mendalam. Ketinggian metafisika Hindu-Buddha tidak mampu ditangkap oleh para raja dan bangsawan, karena mereka lebih cenderung kepada nilai-nilai seni dan estetik seperti kisah-kisah pewayangan, cerita Mahabarata, dan mitologi dewa-dewi. Di sisi lain para pendeta yang diharapkan mampu merangkum dan menyebarkan kehalusan metafisika Hindu-Buddha yang bersifat falsafi terhalang oleh otoritas para raja yang hanya cenderung pada nilai seni dan estetik.

Watak agama Hindu-Buddha tidak bersifat misionari sehingga agama tersebut tidak tersebar secara masif ke tengah-tengah masyarakat luas19). Ditambah lagi pendeta Buddha tersebut bukanlah merupakan penduduk asli pribumi melainkan para rahib yang datang dari India Selatan dengan misi pencarian sudut-sudut kawasan sunyi untuk tempat persemedian mereka dalam candi-candi yang terisolasi dari masyarakat20). Agama Hindu-Buddha tersebut pada mulanya hanya menjadi agama penyucian diri personal.

Bagi masyarakat Nusantara falsafah agama Hindu tidak membawa pengaruh yang sangat mendalam terhadap spiritual diri mereka. Mereka tidak dapat merangkum kehalusan metafisika Hindu-Buddha. Unsur logika dan pemikiran rasional dari kehalusan metafisika tidak tampak secara jelas. Oleh karena itu keagungan metafisika mereka ubah menjadi kesenian yang tidak bernilai falsafi. Apa yang mereka terima dari Hindu-Buddha hanyalah terbatas pada hal-hal yang sesuai dengan watak asli masyarakat pada saat itu dengan kecenderungan pada seni dan estetika21), meskipun di Sriwijaya Sumatera pada abad ke 5 H./11 M, tersohor sebagai salah satu pusat agama Buddha sehingga banyak dikunjungi oleh para pendeta khususnya dari negeri Tibet, termasuk di antaranya pendeta Atisha yang kemudian dikenal sebagai pendeta pembaharu Tibet. Atisha ke Sumatera untuk belajar kepada guru sekaligus pendeta agung Buddha, Dharmakriti22). Akan tetapi pengaruh metafisika Buddha yang bersifat falsafi tidak mewujudkan dirinya secara otentik. Falsafah ajaran Buddha terjewantahkan dalam seni dan estetika. Hal ini tampak pada kemegahan Candi Borobudur sebagai citra empiris manifestasi seni dalam lingkup arsitektur23).

Al-Attas memandang bahwa masyarakat Nusantara tidak mampu menangkap kehalusan metafisika Hindu, hal ini karena masyarakat lebih cenderung diarahkan pada hal-hal yang bersifat estetis daripada falsafi. Oleh sebab mendasar tersebut, agama Hindu tidak banyak mengubah pandangan masyarakat Nusantara yang telah memiliki Weltanschauung yang didasarkan pada seni tersebut24).

Para sufi mengajarkan Islam di tengah-tengah masyarakat luas sebagai sebuah pandangan hidup yang rasional dan intelek. Islam berhasil menggulingkan berbagai mitologi dalam tradisi kepercayaan sebelumnya. Agama Islam dipahami secara rasional dan mendalam pada berbagai strata sosial baik di kalangan para raja dan bangsawan maupun lapisan bawah masyarakat25). Konsep ontologi Tuhan yang memiliki kekuatan untuk mengatur dan membina alam semesta dengan bijaksana serta kreatif dipahami melalui perenungan akal yang mendalam. Islam memberi penghargaan tertinggi pada manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna dalam mengatur kehidupan alam. Sistem kasta yang ditopang oleh mitologi dari agama sebelumnya diruntuhkan oleh Islam menjadi sebuah konsep kesetaraan pada level kemanusiaan secara zahir. Namun Islam membangun hirarki spiritual pada otoritas keilmuan dan ketaqwaan26).

Risalah-risalah Islam yang ada di Nusantara mengandung metafisika ilmu tasawuf yang dikupas secara ontologis telah mencapai taraf nilai luhur dalam sejarah pemikiran umat manusia. Islam membangun semangat intelektualitas yang tidak dapat dibandingkan dengan tulisan-tulisan sastra Melayu-Jawa zaman Hindu-Buddha yang hampa dari perbendaharaan rasionalitas dan intelektualitas (‘aqlīyyah)27).

Bukti nyata terjadinya revolusi akidah terhadap masyarakat Nusantara setelah datangnya Islam yaitu terdapat banyak karya-karya akademik yang memperdebatkan secara serius tentang konsep ontologi wujūd. Diskursus tentang ontologi wujūd memunculkan pemahaman intelektual yang memuncak pada abad 15 M hingga 17 M. Perdebatan ini merupakan penyempurnaan bagi proses Islam Nusantara. Proses tersebut melangsungkan klarifikasi, intensifikasi, dan standarisasi pada tradisi lama yang dipengaruhi oleh Hindu-Buddha sebelumnya, hingga menghasilkan perubahan yang benar-benar berbeda pada elemen-elemen kunci pandangan hidup masyarakat Nusantara. Al-Attas menyatakan:

“Sufi metaphysics did not come, contrary to what is held even by some Muslim scholar, to harmonize Islam with traditional beliefs grounded in Hindu-Buddhist beliefs and other outochthonous traditions; it come to clarify the difference between Islam and what they had know in the past”28).

Islam Nusantara sejauh ini juga identik dengan kegiatan religiusitas seperti tahlilan, peringatan haul, ziarah kubur, selamatan, dan segenap pengamalan dalam ruang lingkup Nahdlatul Ulama (NU). Argumentasi ini menurut saya sangat berimplikasi bahwa Islam Nusantara identik dengan Islam NU semata. Boleh jadi pula demikian adanya, sebab Islam model NU sering disebut-sebut sebagai Islam yang ramah terhadap budaya Nusantara. Jika lebih cermat maka permasalahannya menurut saya ialah kata “Nusantara” itu sendiri, sebab kata ini lebih kepada kategori wilayah geografis dan budaya, bukan merupakan kategori nilai dan sifat. Bagaimana menisbatkan Islam ke dalam Nusantara sehingga menjadi sebuah definisi yang jelas.

Berangkat dari berbagai argumentasi tersebut, al-Attas mencoba melihat terlebih dahulu muatan awal yang muncul di Nusantara sebelum mendefinisikan apa itu Islam Nusantara. Al-Attas masuk dengan konsep Islamisasi yang mengedepankan pengaruh ontologi sufistik untuk menjawab problematika Islam Nusantara. Sebelum Islam Nusantara kembali diperdebatkan, al-Attas telah membuat sebuah teori untuk mengantarkan corak serta bentuk Islam Nusantara. Al-Attas mengembangkan teori itu berdasarkan konsep Islamisasi yang kemudian menjadi jembatan penghubung untuk menemukan substansi dari Islam Nusantara.

Islam Nusantara yang dipahami dalam kerangka berpikir al-Attas ialah Islam yang mencoba masuk dalam budaya masyarkat Nusantara, merangkul, menyaring dan kemudian menghilangkan praktik-praktik mistik budaya lokal yang diperoleh dari hegemoni Hindu-Buddha. Islam model tersebut menurut al-Attas berasal dari manifestasi Islam sufisme. Islam sufisme merupakan doktrin keislaman yang dibawa oleh kaum sufi pengembara ke Nusantara yang mencapai puncaknya pada abad ke 17 M. Berbagai teori yang telah disebutkan di atas menyatakan bahwa gelombang sufi Islamlah yang berhasil mengislamkan masyarakat Nusantara secara besar-besaran. Teori tersebut tidak hanya diakui oleh sarjana dalam negeri, akan tetapi para sarjana luar serta orientalis juga mengakui teori tersebut.

Islam Nusantara yang toleran, ramah, lemah lebut, tidak ekstrim, serta menyesuaikan diri dengan budaya Nusantara serta menerima dengan baik berbagai budaya yang kemudian berbaur dalam masyarakat tidak lain hanyalah manifestasi dari Islam sufisme. Amalan kaum sufi yang murni beribadah kepada Allah SWT., dan mendoktrin amalan terhadap lingkungan sosial dan memberikan pemahaman yang berbeda secara substansi.

Sebagaimana diketahui bahwa kaum sufi jauh dari nilai-nilai keingin berkuasa, berpolitik, nafsu dunia, berpengaruh pada sikapnya yang kemudian disebut dengan toleransi, menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar, penuh kesabaran, tidak radikal atau ekstrim, merangkul, menyaring dan menghilangkan sesuatu yang tidak sejalan dengan ajaran Islam. Pada akhirnya hal tersebut merupakan manifestasi nyata dalam menentukan definisi Islam Nusantara, yaitu Islam yang termanifestasikan dari “ruh” ajaran dan amalan sufistik. Al-Attas menyebut proses penyesuaian Islam pada penduduk Nusantara dan menggantikan pratik-praktik kepercayaan dan keyakinan lama digantikan dengan pandangan hidup yang baru dengan “teori Islamisasi Nusantara”. Melihat hal tersebut maka harus didasarkan pada literatur Islam Melayu-Nusantara dan sejarah dunia Melayu yang terlihat pada perubahan mendasar terhadap konsep-konsep dan itilah-istilah kunci dalam literatur Melayu-Indonesia pada permulaan abad 10-11 H/16-17 M29).

– Mulyadi –

* Makalah singkat ini dipresentasikan pada Friday Forum Discussion, di Pepustakaan IAIN Langsa, 16 Maret 2018.
Mulyadi – Pengajar IAIN Langsa

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com


*Pastinya ada banyak perbedaan pendapat maupun persepsi bahkan kontra-versi mengenai makna dan arti Islam Nusantara sendiri. Ekspektasi para peserta Friday forum belum tentu dapat dikemukakan diwakilkan semua dalam malakah ini, mengingat tulisan ini sangatlah singkat dalam muatannya yang seharusnya sangatlah luas dan menjurus. Meskipun demikian, tulisan ini mencoba membuka wawasan kita untuk memberikan pengetahuan ilmiah dalam kajian ini sebagai sebuah teori yang dapat ditelaah secara berkelanjutan.

Categories
Penulis Tamu

MENGENAL HABITUS DAN INTERAKSI SOSIAL*

Habitus sebagai gagasan tidaklah diciptakan sendiri oleh Bourdieu, namun merupakan gagasan filosofis tradisional yang ia hidupkan kembali. (Ritzer & Goodman, 581) Dalam tradisi filsafat, Habitus diartikan dengan kebiasaan yang sering diungkapkan dengan habitual yakni penampilan diri yang tampak; tata pembawaan terkait dengan kondisi tipikal tubuh. Jika kita ingat teori kategori yang dicetuskan Aristoteles, habitus dapat kita kategorikan sebagai kategori yang melengkapi subjek sebagai subtansi.

Sebelum lebih jauh mengenal habitus dalam teori sosiologi dan antropologi. Penulis akan memaparkan siapa dan bagaimana Bourdieu dalam menemukan gagasannya hingga dikenal dan digunakan banyak peneliti sebagai landasan teoritis setiap penelitian. Gagasan Bourdieu tidak lahir dengan sendirinya dalam alam pikirnya, namun Bourdieu menghasilkannya dari berbagai interaksinya dengan para guru dan pengalaman hidup yang dilewatinya.

Pierre Felix Bourdieu adalah nama lengkap Bourdieu muda yang kemudian dikenal sebagai pemikir prancis paling terkemuka dalam bidang ilmu sosiologi dan antropologi—Bourdieu muda ini sempat dikenal sebagai jawara pergerakan antiglobalisasi. Sangat tradisionalis memang pemikiran yang menjadi gagasan ketika awal perjalanan keilmuannya. Bourdieu lahir pada tanggal 1 Agutus 1930 di barat daya Prancis. Pada umur 20 tahun, keuletan Bourdieu menyempatkan dirinya untuk belajar filsafat pada Louis Althusser—pada titik ini ketekunan Bourdieu menemukan ketertarikan pada pemikiran Marleau, Hursel, bahkan ia telah membaca tuntas karya Heiddegger ‘Being and Time’, dan karya Karl Marx, walaupun itu semua untuk kepentingan akademisnya.

Pada tahun 1955-1958, Bourdieu sempat menggabdikan dirinya pada sebuah SMA di Maulins, Aljazair. Dan bergabung dengan ketentaraan selama dua tahun disana, sedangkan pada tahun 1958 Bourdieu menjadi pengajar pada universitas Aljazair. Dari Aljazair inilah Bourdieu banyak belajar, ia memperhatikan banyak hal perihal benturan antara masyarakat Aljazair dengan kolonialisme prancis dalam mengkonstruksi asal-usul struktur ekonomi dan sosial khususnya masyarakat kabile suku barber. Hal ini menghasilkan karya pertamanya yang berjudul sociologie de I’Algerie atau The Algarian (1958).

Pada tahun 1960, Bourdieu kembali ke Paris sebagai antropolog autodidak dan mengajar di Universitas Paris dan Universitas Lille hingga tahun 1964. Pada tahun 1993 dia melancarkan tudingan besar-besaran ihwal konsekwensi manusiawi atas tatanan nonliberal yang telah dihabiskan oleh sosialisme prancis. Banyak lagi peran-peran sosial kemasyarakat yang terus digerakkan Bourdieu dalam aktivitasnya

BOURDIEU DIPENGARUHI BANYAK TOKOH

Teori yang dikonstruksikan Bourdieu dibangun dari berbagai pengaruh banyak tokoh dimana dirinya banyak mendapat ilmu pengetahuan dan berinteraksi. Dari Max Weber, ia memperoleh kesadaran tentang pentingnya dominasi dan sistem simbolik dalam kehidupan sosial, serta gagaasan tatanan sosial yang akhirnya akan ditransformasikan kedalam teori ranah-ranah ‘feild’nya Bourdieu. Dari Karl Marx, Ia mendapatkan pemahaman tentang masyarakat sebagai penjumlahan hubungan-hubungan sosial. Hubungan tersebut berlandaskan pada bentuk dan kondisi produksi ekonomi, dan kebutuhan untuk secara dialektis mengembangkan teori sosial dari praktik sosial. Sedangkan melalui Email Durkheim, Bourdieu seperti mewarisi pendekatan Determinisme. Gaya strukturalis yang menekankan struktur sosial untuk memproduksikan dirinya sendiri, ia dapatkan dari Marcel dan Levistrauss. Namun Bourdieu banyak membantah dan menyimpang dari para tokoh yang mempengaruhinya. Durkheim ia bantah bahwa reproduksi struktur sosial tidak beroperasi menurut logika fungsionalis. Salah satu aksi tujuan dasarnya dalam reaksi terhadap akses strukturalis; niat saya adalah mengembalikan kehidupan nyata aktor yang telah dilenyapkan dalam tangan levistrous dan strukturalis laninnya,… (rizer & goodman). Pada ruang ini Bourdieu mampu menghadirkan teori barunya yang kemudian menjadi konsumsi para scholar.

MENGENAL HABITUS DAN ARENA

Merujuk pada Ritzer dan Goodman, Habitus merupakan struktur mental atau kognitif yang dengannya semua orang berhubungan dengan dunia sosial. Semua orang termasuk kita dibekali persepsi, pemahaman, pengapresiasian, dan mengevaluasi dunia sosial. Skema ini membuat banyak orang berpandangan dan beranggapan terhadap sebuah struktur yang ada dalam dunia sosial. Secara dialektif Habitus merupakan produk dari internalisasi struktur dunia sosial. Habitus ditemukan sebagai akibat dari ditempatinya posisi di dunia sosial dalam waktu yang lama. (2010: 581)

Saya mencoba merujuk pada Klenden dan Binawan dalam membaca Habitus Bourdieu. Susah-susah gampang memahami Habitus dan interaksi sosial dalam kajian antropologi. Klenden dan Binawan berusaha menafsirkan Habitus yang digagas Bourdieu dengan 7 (tujuh) elemen penting. Penulis menilai, hal ini lebih mudah di pahami dalam ruang pemahaman semua kalangan yang ingin mendalami kajian keilmuan antropologi.

Pertama; Habitus merupakan Produk sejarah. Habitus adalah produk sejarah yang menghasilkan praktik/prilaku individu atau kolektif (Bourdieu dalam Ritzer & Goodman). Habitus terejawantahkan dalam hidup dan kehidupan yang diwariskan oleh perjalan sejarah, hal ini adalah sejarah sosial dimana habitus itu terjadi. Sebuah kebiasaan adalah sistem yang sudah bertahan lama, namun kebiasaan itu tidak begitu saja terjadi. Selain itu, pembentukan prilaku itu butuh upaya yang berkelanjutan dalam proses yang tidak pendek—mengingat hal tersebut telah bertahan sangat lama.

Kedua; Habitus adalah struktur yang dibentuk dan membentuk. Habitus menghasilkan dan dihasilkan oleh dunia sosial. Pada dimensi tertentu habitus menstrukturkan struktur; artinya habitus struktur yang menstrukturkan struktur dalam dunia sosial. Namun dalam dimensi yang lain habitus adalah struktur yang terstruktur; ini bermakna habitus yang distrukturkan oleh dunia sosial. Ini dapat kita terjemahkan, meskipun habitus adalah suatu struktur terinternalisasi yang menghambat pemikiran dan pilihan bertindak, namun ia tidak dapat menentukannya. Hal inilah yang membedakan ‘tiadanya determinisme’ adalah suatu hal utama yang membedakan posisi Bourdieu dari posisi strukturalis arus utama.

Ketiga; Habitus adalah struktur yang menstrukturkan. Habitus telah menjadi kesadaran dan sikap yang tertanam dalam setiap diri. Pada waktu tertentu kesadaran dan sikap tersebut menjadi persepsi, presentasi, dan tindakan seseorang.

Keempat; Meskipun habitus lahir dalam kondisi sosial tertentu, dia bisa dialihkan ke kondisi sosial yang lain dan karena itu bersifat transposable. Ini mengartikan sangat mungkin melahirkan kebiasaan sosial lain. Kebiasaan sosial yang dibentuk itu menjadi cara penyelesaian dari suatu masalah yang muncul dari suatu konteks sosial baru. Sehingga keniscayaan tidak akan terus ada, maka kebiasaan juga demikian, karena dapat dibuat atau dilakukan dalam konteks sosial yang berbeda.

Kelima; Habitus bersifat pra-sadar (preconcius). Habitus bukan merupakan hasil dari refleksi atau pertimbangan rasional. Kleden mengungkapkan ‘Habitus merupakan spontanitas yang tidak disadari dan tidak dikehendaki dengan sengaja. Namun juga bukan suatu gerakan mekanistik yang tanpa latar belakang sejarah sama sekali’. Ritzer; Habitus bekerja dibawah alas kesadaran. Habitus bekerja di bawah level kesadaran dan bahasa, diluar jangkauan pengawasan dan kontrol instropeksi kehendak. Habitus bergerak sebagai struktur, namun orang tidak hanya merespon secara mekanis terhadapnya atau terhadap struktur eksternal yang beroprasi padanya. Sebagai teori atau paradigma pedekatan, Bourdieu menghindari kutub ekstrem kebaruan yang tidak dapat diperkirakan dan determinisme total (Kleden, Binawan)

Keenam; Habitus bersifat teratur dan berpola, namun bukan ketundukan kepada peraturan-peraturan tertentu. Ketertundukan bukan berarti ketakutan pada sanksi atau hukuman. Namun lebih cenderung pada tumbuhnya rasa nyaman, senang, bangga dan adanya rasa kebahagiaan. Suatu tindakan baru dapat dikategorikan kebiasaan sosial, ketika aktor tidak lagi mengharap hadiah.

Ketujuh; Habitus dapat terarah kepada tujuan dan hasil tindakan tertentu, namun tanpa maksud secara sadar untuk mencapai hasil-hasil tersebut dan juga tanpa penguasaan kepandaian yang bersifat khusus untuk mencapainya. Tujuan yang sudah terinternalisasi itulah yang membangun sifat sosial, didalamnya terangkum kebutuhan bersama. Habitus mengkonstruk hal-hal positif. Tujuan untuk kesejahteraan dan kenyamanan bersama itulah yang membedakan kebiasaan sosial yang dimaksud dalam pemahaman habitus dengan kebiasaan sopan santun. Karena itu pelanggaran yang dilakukan dalam habitus tidak akan mengoyak kebiasaan yang dibangun dalam sopan santun.

Ketujuh elemen penting yang dibaca Klenden di atas, akan menjadi sangat menarik ketika dilanjutkan dengan arena (ranah/field). Kajian Habitus dalam ranah dapat dijadikan sebagai suatu kerangka dalam membaca kebiasaan sosial yang telah lama terbentuk selain 7 elemen penting di atas. Bourdieu memandang Arena secara relasional dari pada struktur yang mempengaruhinya. Keberadaan relasi-relasi ini terpisah dari kesadaran dan kehendak individu. Arena dalah jaringan relasi antar posisi objektif di dalamnya (Ritzer, 582). Oleh karena itu arena kerap diterjemahkan terpisah keberadaannya ‘relasi-relasi ini terpisah dari kesadaran dan kehendak individu’. Arena merupakan; kekuatan yang digunakan dalam memperebutkan sumber daya atau modal atau untuk memperoleh akses tertentu yang dekat akses kekuasaan; Arena semacam hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi-posisi individu dan kelompok dalam tatanan masyarakat yang terbentuk secara spontan.

Habitus berkonstribusi besar dalam menganalisis masyarakat; (1) Penggunaan konsep habitus yang dianggap berhasil mengatasi masalah dikotomi individu-masyarakat, agen-struktur sosial, kebebasan determinisme; (2) Bourdieu mengoyak mekanisme dan strategi dominasi. (BioKultur, 2012). Dominasi kekuasaan atau apapun itu tidak lagi terus menerus di teropong dari akibat-akibat luar, namun juga dilihat dari akibat habitus yang telah terbatinkan. Dengan menyingkap mekanisme tersebut kepada para pelaku sosial, maka sosiologi memberi argumen dan menggerakkan tindakan.

Menurut Bourdieu dalam Ritzer & Goodman, ada tiga langkah proses untuk mengalisis arena. Pertama, menggambarkan keutamaan ranah (lingkungan) kekuasaan (politik) untuk menemukan hubungan setiap lingkungan khusus dengan lingkungan politik; kedua, menggambarkan struktur objektif hubungan antar berbagai posisi di dalam ranah tertentu; ketiga, dan analisis harus mencoba menentukan ciri-ciri kebiasaan agen yang menempati berbagai tipe posisi dalam ranah. Dalam ruang habitus posisi seseorang ditentukan oleh jumlah dan bobot relatif dari modal yang mereka miliki; ekonomi, kultural, sosial dan simbolik dari kehormatan dan prestise seseorang.—Modal ini sangat besar peluang di dibentuk dalam sistem pendidikan—khususnya dalam mereproduksi dan melestarikan relasi kekuasaan dan hubungan kelas yang ada dalam masyarakat.

INTERAKSI SOSIAL

Interaksi sosial, dalam hal ini, penulis mencoba mengangkat pandangan Antoni Gidden (1993). Ada tiga gerakan interaksi sosial yang dominan yang perlu kita cermati agar mampu membawa perubahan itu, yaitu interaksi sosial, interaksi komunikasi dan sanksi dan moralitas. (noviandy.com)

Ketiga modal dasar interaksi yang canangkan oleh Bourdieu di atas, akan menentukan perubahan habitus sebagaimana yang didefiniskan oleh Bourdieu (1994). Gerakan perubahan dengan tiga modal interaksi ini akan sangat starategis bila digagas dari sendi pendidikan yang disampaikan Bourdieu. Jika habitus disepakati oleh komunitas tertentu dimulai dari pendidikan, maka akan semakin banyak masyarakat di dalamnya mengadopsi kesadasaran reflektif yang mengontrol mereka untuk keluar dari simpul sosial lama. Artinya wacana baru memiliki nilai ketika kita mampu menumbuhkan praktik-praktik sosial baru.

Namun disisi lain dimensi pendidikan menghadapi masalah yang terus mengalami pembaharuan. Menjaga dan menghidupkan habitus baru tentunya membutuhkan lingkungan budaya yang melindungi pembaruan pemikiran yang akan mengubah kebiasaan buruk sebuah komunitas. Tidak cukup hanya perubahan kerangka penafsiran atau cara berfikir.

Paparan di atas merupakan awal mula gerakan disiplin diterapkan. Kesemrautan dan centang-perenang yang menjadi habitus bangsa kita dikoreksi dengan budaya sosial baru. Gerakan ini telah mengalami berbagai bentuk praktik disesuaikan dengan tingkat dan kesadaran yang mulai terbangun dalam masyarakat.

Tidak hanya budaya antri yang ingin disosor perubahan sosialnya. Para dosen juga mengalami persoalan dengan kebiasaan mahasiswa menyontek—walaupun upaya pengawasan dilakukan dengan maksimal. Moralitas peserta didik ini harus di ubah dengan budaya sosial baru yang tepat—yaitu dengan melakukan ujian secara lisan. Interaksi kekuasaan ini membuat daya tawar mahasiswa menjadi rendah untuk melakukan pelanggaran dan menuntut mahasiswa untuk meningkatkan kemampuan intelektualnya. Ini merupakan salah satu interaksi kuasa yang tawarkan Giddens yang dapat kita terapkan dalam membentuk habitus yang didefinisikan Bourdieu. Hal ini akan membuka ruang perubahan ketika kekuasaan yang digunakan terarah untuk kebutuhan publik yang lebih baik.

Berbeda lagi dengan Interaksi Komunikasi yang digagas Giddens. Banyak prilaku yang terbangun ditengah kita yang lebih mementingkan nilai-nilai individu. Pelanggan hotel umpamanya—sangat sulit bagi pengelola hotel untuk menghimbau pelanggannya dalam mematikan listrik atau kran air ketika meninggalkan kamarnya. Nilai idividualis ini muncul selaku pelanggan yang telah membayar semua operasional hotel. Nilai individualis ini akan cendrung melupakan dampak penggunaan Sumber Daya Alam (SDA) yang berlebihan, yang efeknya di kemudian hari.

Pihak hotel pun menjawab persoalan lawas ini dengan fasilitas yang tersistem pada kunci kamar. Setiap pelanggan hotel masuk dan meninggalkan kamar, secara otomatis kunci berfungsi mematikan dan menyalakan fasilitas listrik dan lainnya di kamar hotel. Fasilitas ini memaksa pelanggan untuk mengamankan kamarnya, yang juga mengikuti kehendak pemilik hotel. Dengan cara interaksi komunikasi persuasif ini, perubahan mentalitas bisa dimulai dengan memberikan kemudahan pada pengguna. Hal ini juga akan lebih baik jika disertai dengan ucapan terima kasih ada telah menyumbang upaya penghematan listrik. Budaya ini akan menumbuhkan kesadaran pelanggan, orang tidak lagi melarang, namun persuasi dengan komunikasi.

Ketiga interaksi di atas akan berlangsung baik ketika simpul-simpul kekakuan terbuka. Ada simpul pengorganisasian yang harus dilenturkan dengan sistem yang terintegrasi, ada kompensasi pemberian kemudahan dan peraturan yang sudah mengandung pengawasan. Jadi perubahan yang efektif bukan lagi melalui himbauan, evaluasi atau refeleksi, tapi dimulai dengan menemukaan simpul pengikat praktik sosial tersebut.

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com


* Makalah singkat ini dipresentasikan pada Friday Forum Discussion, di Perpustakaan IAIN Langsa, 9 Maret 2018

*Pastinya ada banyak gambaran dan ingatan para pembaca sekalian ketika mendengarkan kata “Habitus”. Namun, ekspektasi para peserta Fryday Forum Discution (FFD) belum tentu dapat ditemukan semuanya dalam tulisan singkat ini. Walaupun begitu, penulis juga mencoba menuliskan sedikit banyak pengetahuan yang telah kami dapatkan yang juga berasal dari berbagai forum diskusi yang pernah penulis ikuti.

Hak cipta gambar sebelum olah digital oleh : wikipedia.org

– Noviandy Husni –

Noviandy Husni – Dosen IAIN Langsa. Manager Program Progressive Institute. Fasilitator Pengembangan Masyarakat, HAM dan Perlindungan Anak




Categories
Penulis Tamu

PETANI ACEH DAN KESADARAN KELAS

Masyarakat Aceh adalah masyarakat agraria. Alasannya, mayoritas rakyat Aceh adalah petani. Sektor pertanian menyerap 44.09 persen tenaga kerja di Aceh (BPS 2015). Tulang punggung ekonomi rakyat adalah pertanian. Konsekuensinya, kesejahteraan petani berarti kesejahteraan Aceh. Petani miskin artinya Aceh miskin. Pertanyaannya kemudian: kenapa petani di Aceh terus-terusan miskin?

Banyak ahli dan orang pintar yang telah memberikan argumen tentang penyebab kemiskinan di kalangan petani. Jawaban yang paling sering didengar adalah tidak adanya kepedulian pemerintah terhadap nasib petani. Pemerintah Aceh bukannya tidak tahu cara mensejahterakan petani. Sudah banyak alumni dalam dan luar negeri yang memberikan saran agar agraria di Aceh maju dan petaninya makmur sentosa. Hanya saja elit pemerintah tak mau tahu dan tak mau berbuat. Kita sebut saja pendapat ini sebagai political will argument.

Pendapat kedua adalah soal kepemilikan luas lahan. Rata-rata petani di Aceh hanya memiliki luas area pertanian kurang dari satu-setengah hektar. Hitung-hitungannya, menurut mantan menteri pertanian Suswono, 1 hektar lahan pertanian akan menghasilkan laba bersih 6 juta perbulannya. Karena petani di Aceh punya lahan kurang dari setengah hektar, bisa dihitung pendapatannya kurang dari 3 juta perbulan. Solusi dari persoalan ini adalah inovasi pertanian, yakni membuat lahan yang sempit mampu memproduksi padi berkali-kali lipat. Misalkan saja sistem vertikultur, pemanfaatan lahan bisa sampai empat kali lipat. Kembali lagi, ini persoalan kemauan pemerintah untuk menginovasi pertanian di Aceh.

Alasan ketiga penyebab petani di Aceh miskin adalah karena masalah kultural. Yakni etos kerja petani di Aceh rendah, tapi gaya hidup mereka mahal. Beberapa studi tahun 1980-an ada yang membandingkan petani Aceh dengan petani asal luar Aceh (imigran), ternyata petani imigran hidupnya lebih giat bekerja dan gemar menabung, sehingga hidup mereka lebih sejahtera. Tentu saja kesimpulan penelitian ini bisa didebat, tapi fenomena ini memang ada.

Saya berpendapat bahwa ketiga argumentasi di atas tak lengkap. Mereka melupakan dimensi ekonomi-politik di persoalan agraria di Aceh. Yakni tidak adanya kesadaran kelas di kalangan petani Aceh. Ini bisa dilihat dari fakta lapangan bahwa tidak ada perkumpulan petani yang solid, kokoh, mandiri, dan militan di Aceh. Organisasi petani memang ada, tapi lemah dan tidak terorganisir dengan baik. Bahkan ada beberapa organisasi petani justru berafiliasi dengan elit penguasa. Akibatnya, tidak ada demonstrasi petani besar-besaran saat uang APBA digunakan elit penguasa untuk membeli mobil dinas yang mewah, sementara irigasi atau benih untuk petani tidak ada yang peduli. Petani gagal panen karena kekeringan dikatakan secara gampang disebabkan faktor alam. Tak ada usaha gigih dari pemerintah untuk berinovasi membangun sistem pengairan yang mantap atau melakukan hujan buatan.

Kekosongan ‘kesadaran kelas’ petani inilah yang membuat kelas penguasa bisa seenaknya melupakan nasib petani. Toh, petani tak akan melawan. Anggaran lebih banyak dihabiskan untuk membangun infrastruktur yang menguntungkan kontraktor bangunan. Ini terjadi karena banyak dari politisi Aceh sendiri memang kontraktor atau memiliki hubungan dekat dengan kontraktor. Berbeda dengan kelas petani, penguasa Aceh tak memiliki kepentingan untuk menghabiskan dana anggaran untuk para petani. Oleh karena itu, kelas petani yang lemah dan tidak kritis justru menguntungkan elit penguasa dan predator anggaran. Bahkan demi kepentingan mereka, kelas petani perlu dibuat lemah dan terpecah secara politik.

Pertanyaannya kemudian, apa yang membuat petani di Aceh tidak memiliki ‘kesadaran kelas’? Alasan utamanya adalah karena ide-ide kritis-progresif tidak hidup di masyarakat kita, terutama di masyarakat bawah. Tak ada narasi dikalangan petani bahwa mereka miskin bukan karena takdir mereka miskin, tapi karena struktur kekuasaanlah yang membuat mereka miskin. Mereka miskin karena dilupakan penguasa dan mereka dilupakan karena mereka lemah secara politik. Mereka, sebagai pemilik sah negeri ini, terasing dari kebijakan-kebijakan anggaran dan publik yang diambil elit penguasa.

Narasi ide yang dominan di Aceh ada dua, yakni narasi agama dan narasi etno-nasionalisme. Pengusung dua narasi itu pun sama sekali tidak menghidupkan kesadaran kelas di kalangan petani. Para agamawan menghidupkan sentimen keagamaan dan mobilisasi massa untuk hal-hal tidak substantif seperti memegang tongkat saat khutbah jumat. Seolah-olah rakyat miskin karena tidak menganut paham atau mazhab tertentu. Tak ada khutbah atau ceramah yang menggelorakan semangat perlawanan terhadap elit yang korup dan yang tak peduli para petani.

Golongan etno-nasionalis memobilisasi emosi massa untuk soal seperti bendera, lambang, atau himne Aceh. Tak ada narasi bahwa harkat dan martabat Aceh berdiri tegak jika petaninya mandiri dan pemimpinnya peduli pada nasib petani. Tak ada orasi bahwa kejayaan Aceh ditentukan oleh kelas petani yang makmur, atau jika Aceh telah menjadi daerah agro-industri dan pengekspor hasil olah pertanian.

Oleh karena itu, yang perlu dilakukan adalah memasukkan kesadaran kelas dalam narasi keagamaan dan politik identitas kita sebagai orang Aceh. Petani Aceh perlu disadarkan secara politik bahwa mereka berhak dilayani penguasa. Jika penguasa tak memperdulikan mereka, para petani harus mengorganisir diri mereka untuk melakukan aksi protes massa agar didengar. Mereka perlu dididik secara politik, diajari cara berorganisasi dan mengadvokasi. Petani Aceh perlu juga berkoalisi dengan kelompok nelayan dan buruh, menekan pemerintah agar lebih peduli pada nasib kehidupan mereka.

Salah satu alasan mengapa kehidupan petani diluar negeri sejahtera, Australia misalnya, karena mereka berorganisasi secara kuat dan solid. Mereka mampu dalam memaksa pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mendorong sektor pertanian menjadi maju. Oleh sebab itu, petani di Aceh tak boleh membiarkan dana otonomi khusus dinikmati oleh kalangan elit politisi, sementara rakyat bawah kelaparan dalam kemiskinan.

Persoalannya kemudian, siapa yang berperan untuk membangun kesadaran politik para petani, mengajarkan mereka untuk berorganisasi dan beradvokasi? Disinilah peran intelektual diperlukan. Sayangnya, elit intelektual kita lebih senang jika menjadi staf ahli atau konsultan para politisi. Mereka menghabiskan waktu dan ilmunya agar politisi menang pemilu, lalu diam jika kebijakan politisi menginjak-injak masyarakat bawah. Padahal yang perlu didampingi dengan ilmu dan keterampilan mereka adalah masyarakat kelas bawah itu, yakni para petani, buruh, dan nelayan di Aceh. Tuhan tidak akan mengubah nasib petani Aceh sebelum mereka mengubah nasibnya sendiri. Petani di seluruh Aceh, bersatulah!

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Sumber Foto sebelum olah digital : beritasumut.com

Categories
Penulis Tamu

“THE SMILING FACE” ISLAM INDONESIA: MEMBACA TUNISIA*

PENDAHULUAN

Mencermati perkembangan yang terjadi di Islam Indonesia sepanjang tahun 2016, terutama beberapa peristiwa yang terkait dengan persoalan soisal-politik-keagamaan, penulis menjadi kembali ingin membaca tulisan Martin Van Bruinessen yang memunculkan istilah conservative turn in Indonesia. Apa sebenarnya pesan yang ingin disampaikan oleh Martin melalui istilah itu. Apakah ia ingin mengatakan bahwa pemahaman keagamaan Muslim Indonesia sebelumnya adalah konservatif, lalu berevolusi dan keluar dari konservatisme itu dan kini konservatisme itu terulang kembali? Istilah conservative turn yang pertama sekali digunakan oleh Martin tahun 2013 dalam asumsi penulis menjadi suatu prediksi akademik yang terbukti kebenarannya hari ini, meski dalam pemahaman penulis conservative turn yang dimaksudkan Martin adalah adanya sejumlah gejala bahwa pemahaman Muslim terhadap agamanya semakin menguat, kalau tidak ingin dikatakan mengarah kepada kekerasan berjamaah (communal violence) dengan mengatasnamakan agama mengutip istilah Duncan. Kasus-kasus di mana pemahaman keagamaan Muslim, terutama konservatisme mereka membaca teks-teks suci terbuka untuk ditunggangi oleh aktivitas politik. Tulisan ini dibagi atas dua pembahasan. Pertama, tentang hasil penelitian lembaga riset dan sejumlah pakar tentang Islam Indonesia dengan perdebatan seputar kecenderungan ke arah konservatisme, sebagai the outsider’s perspective. Kedua, mengenai konservatisme Islam sebagai tunggangan politik: pengalaman Tunisia.

HASIL RISET TENTANG ISLAM INDONESIA SEPANJANG TAHUN 2010-2014

Freedom House menggambarkan perubahan Indonesia sebagai “model dari integrasi yang sukses antara demokrasi dan Islam” menjadi negara dengan “merosotnya pluralisme” akibat peristiwa-peristiwa yang terjadi sejak satu dasawarsa lalu. Penilaian lain atas kondisi Muslim di Indonesia kontemporer kerap juga diungkapkan sebagai meningkatnya “political Islam”, “radical Islam”, atau “Islamist political violence”.

Martin Van Bruinessen, tahun 2011 menulis artikel di salah satu jurnal ilmiah RSIS Singapura. Dalam tulisan itu, terlihat kecemasan dan kegelisahan Martin terhadap perubahan umat Islam Indonesia yang terbesar di dunia secara kuantititatif, terutama pasca Orde Baru. Ia menulis judul: “What happened to the smiling face of Indonesian Islam?”. Ia menilai Islam Indonesia yang ia kenal melalui studinya sepanjang tahun 1970-an sampai tahun 1980-an yang selalu menampakkan wajah yang manis, penuh senyuman (the smiling face), mulai berubah menyeramkan, tidak enak dipandang dll. Era ini melahirkan Cak Nur dan Gusdur sebagai representasi tokoh Islam paling brilian. Namun berakhirnya masa orde baru, mereka mulai kehilangan “power” dalam debat-debat publik dengan munculnya Islam radikal dengan tampilan yang lebih kuat.

Tahun 2013, ISAS Singapura merilis hasil studi lapangan Martin dkk sepanjang tahun 2007-2008 dengan judul: “Contemporary Developments in Indonesia Islam: Explaining the Conservative Turn”. Dalam buku ini, Martin dan Baqir masih meyakini adanya wajah non-konservatif Islam di Indonesia. Namun posisi saya setelah menyimpulkan tulisan Martin dan Baqir justru menegaskan bahwa konservatisme Muslim di Indonesia semakin mengkristal, menguat, membaja. Conservative turn dalam bahasa mereka hanya masih sebatas kecenderungan.

Beberapa catatan Martin dalam buku Contemporary Developments in Indonesia Islam: Explaining the Conservative Turn bahwa (1) Demokratisasi politik telah menarik banyak orang yang sebelumnya terlibat dalam organisasi atau lembaga-lembaga yang mendukung perdebatan intelektual ke dalam karier di partai politik atau institusi, sehingga melemahkan landasan sosial bagi wacana Islam liberal dan progresif, (2) Asumsi bahwa mayoritas itu bersifat konservatif atau cenderung berpandangan fundamentalis tidak bisa diyakini begitu saja, (3) Pemikiran Islam liberal hanya bisa berkembang apabila dilindungi oleh rezim otoriter, (4) Conservative turn di Indonesia sebagian disebabkan adanya pengaruh dari Timur Tengah, khususnya Semenanjung Arab, dalam bentuk kembalinya para lulusan dari perguruan tinggi di Arab Saudi, institut pendidikan yang didanai Arab Saudi dan Kuwait untuk mensponsori penerjemahan sejumlah teks “fundamentalis”, dukungan ideologis dan keuangan untuk gerakan Islam lintas negara, (5) Menonjolnya keturunan Arab yang memegang kepemimpinan gerakan radikal tampaknya mengarah kepada peran mereka sebagai perantara proses Arabisasi Islam Indonesia. Tak bisa disangkal, pelaku keturunan Arab dan dana Arab memang meningkat, tetapi pengaruh mereka tidak secara khusus bekerja dalam arah anti-liberal maupun fundamentalis.

Istilah conservative turn di Indonesia juga digunakan oleh Hamayotsu (2014) dalam bukunya Conservative Turn? Religion, State and Conflict in Indonesia. Dia mengatakan bahwa ketika ada konflik yang melibatkan etnis dan identitas lainnya, maka yang yang menjadi pemicunya itu adalah bukan persoalan etnis dan identitas lain tersebut, tapi kompetisi politik antar elit terkait pembagiaan sumber-sumber kekayaan negara dan tanah (political competition among elites over distribution of state resources, land. Ethnicity and other identities were not the primary cause of the conflict)”

Berbeda dengan Hamayotsu, Duncan mengatakan bahwa…”the essential source and character of the communal violence is religion..” (agama adalah sumber penting dan karakter kekerasaan komunal). Berdasarkan observasi dan interview lebih dari 17 tahun pada internal masyarakat yang dibuang dan terdampak kekerasan, ia menyimpulkan bahwa the communal violence diakibatkan oleh kompetisi politik antar elite terhadap pembagian sumber-sumber kekayaan negara dan tidak ada kaitannya dengan agama. Oleh mereka, agama dijadikan alat untuk mencapai kekuasaan yang kemudian menjadi pemicu kekerasan (political competition among elites over distribution of state resources, land and other religious issues). Kemudian dia menyimpulkan bahwa agama sebagai identitas bersama dan klaim, lebih mendapatkan ciri khas bagi orang-orang yang terlibat dalam konflik (…religion as a collective identity and claim has gained more salience among participants in the conflict…). Duncan menyimpulkan bahwa…”the essential source and character of the communal violence is religion..” (agama adalah sumber penting dan karakter kekerasaan komunal). Kesimpulan Duncan ini perlu diperhalus lagi untuk mengatakan bahwa bukan agama yang sebagai ajaran itu yang menjadi pemicu kekerasan komunal itu. Lalu apa kaitan antara konservatisme dengan kekerasan komunal?

Sebenarnya, kecenderungan konservatisme tidak selalu negatif, karena masyarakat muslim membutuhkan itu untuk menjaga harmoni dalam masyarakat. Namun, jika kecenderungan konservatisme itu menjadi opini publik, ini sangat mengkhwatirkan sebagaimana yang dikatakan oleh Syarafi (2011), bahwa menghadapi opini publik yang dikuasai kekuatan konservatif itu jauh lebih sulit dari pada menghadapi kekuatan politik yang despotik. Despotisme juga bisa lahir dari konservatisme yang mendapat sokongan politik. Menguatnya konservatisme di Indonesia bisa jadi seperti yang dikatakan Baqir (2013) bahwa ketika pemerintah tampak seperti tidak peduli untuk menjaga batas-batas wacana publik, beberapa varian kelompok konservatif itu seperti mendominasi. Karenanya, tidak selalu negatif jika dalam tulisan ini penulis merekomendasikan untuk penguatan pemerintah untuk mengontrol conservative turn dalam wacana publik.

KONSERVATISME ISLAM SEBAGAI TUNGGANGAN POLITIK: PENGALAMAN TUNISIA

Beberapa kasus di Indonesia, sekilas mirip dengan dalam sejarah Tunisia modern, di mana konservatisme Islam ditunggangi oleh politik. Haddad dan Bourguiba adalah contoh di mana politik menunggangi konservatisme di Tunisia. Haddad yang oleh Tha’alibi diberi signal untuk meneruskan kepemimpinan dalam partai harus menghadapi tragedi “penggulingan” agar ia tidak mewarisi kepemimpinan pendahulunya Tha’alibi. Berawal dari pergumulan dalam tubuh partai, kemudian dipolitisasi menjadi provokasi berbalut isu penistaan agama melalui masterpiece Tahir Haddad dalam bidang sosial-keagamaan, yaitu Imra’atuna fi al-Syari’ah wa al-Mujtama’. Ibn Milad (1991) menggarisbawahi peristiwa itu dengan sebuah ungkapan: Siyasatun qabla an-takuna diniyyatan. Berawal dari persoalan politik kemudian melebar menjadi persoalan keagamaan.

Haddad terjun langsung dalam gerakan kebangsaan sejak awal berdirinya partai al-Dustur pada saat statusnya masih sebagai pencari ilmu di Jami’ Zaytuna. Dia aktif dalam surat kabar milik partai. Dia banyak menulis di situ. Dia juga mendirikan organisasi yang diberi namaiMuqawamah al-Bida’ wa al-Israf di bawah pimpinan Husayn al-Jaziriy (pemilik surat kabar al-Nadim) yang didirikan dengan misi perlawanan terhadap zawiyah dan tarekat sufi, serta life-style sebagian besar masyarakat Muslim Tunisia yang dikenal boros saat itu. Pada saat ia ingin mendirikan serikat buruh/pekerja (al-niqabat al-‘ummaliyyah), dengan keyakinan bahwa pendirian serikat ini akan dapat membuka jalan bagi kemerdekaan buruh, dan mengajukan proposal kepada partai untuk bersedia mendanai serikat tersebut, namun niat dan usaha dan permintaannya tersebut tidak dikabulkan oleh pengurus partai lainnya. Pasca penolakan itu, Haddad mengurangi aktivitasnya di kepartaian. Ia bersama-sama dengan Muhammad al-Dar’i memberitakan ke publik bahwa partai tidak berkeinginan mendukung serikat buruh. Haddad lalu dinilai telah memecah-belah internal-partai dan merusak perjuangan partai. Di tempat lain, lajnah tanfidziyyah partai juga masih menyimpan konflik dengan Haddad. Maka saat Haddad meluncurkan bukunya Imra’atuna fi al-Syari’ah wa al-Mujtama’, kalangan partai yang tidak bersimpati dengan Haddad semakin melihat adanya penyimpangan yang dilakukan oleh Haddad sebagai kader partai, meski dalam buku tersebut terdapat pemikiran-pemikiran progresif dan berani, jika dibandingkan dengan tulisan-tulisan dalam tema yang sama pada periode ini.

Kalangan partai kemudian memanfaatkan pemikiran-pemikiran Haddad ini sebagai jalan untuk merusak ketokohan Haddad. Prahara pun terjadi, sebab partai akhirnya mengeksploitasi isu ini menjadi isu keagamaan di masa itu. Konflik yang terjadi antara Haddad dan orang-orang di internal partai digiring kepada persoalan agama untuk menutupi akar konflik sebenarnya. Konflik politik internal partai bermetamorfosa menjadi konflik keagamaan, syariah, hukum Islam. Karya Haddad kemudian diserang oleh banyak sekali penulis saat itu, di antaranya adalah Syaikh Raji Ibrahim, anggota lajnah tanfidziyyah, bukan cuma itu, masyayikh Zaytuna juga turut meramaikan pergumulan ini. Mereka mengkitik, menerbitkan sejumlah karya yang meng-counter pikiran-pikiran Haddad. Pimpinan tertinggi Jami’ Zaytuna juga mengeluarkan rekomendasi untuk “membredel” karya Haddad sekaligus mencabut gelar akademik yang pernah diraihnya dari Jami’ Zaytuna. Anehnya, pasca pecahnya partai pada tahun 1934, tokoh-tokoh partai kubu al-diwan al-siyasiy mengklaim bahwa Haddad adalah bagian dari mereka yang mereka dukung serta mereka anggap sebagai “tumbal” politik lajnah tanfidziyyah.

Pasca kepemimpinan Tha’alibiy, al-Hurr al-Dusturiy menciptakan dua sayap di internal partai. Sayap pertama dimotori oleh Bourguiba yang menguasai al-diwan al-siyasi atau Bourgibiyyun di mana ke-Tunisan (al-huwiyyah al-tunisiyyah) sebagai ideologinya yang tidak pro-Timur atau pro-Barat (la syarqiyyatan wa la gharbiyyah). Dan sayap kedua, Salih Bin Yusuf yang memotori al-amanah al-‘ammah atau Yusfiyyun yang menggunakan kekuatan Arab-Islam sebagai ideologinya, menimbulkan ketegangan di internal partai. Pergolakan politik ini mendesak Bourguiba menentukan pilihan politik liberal-sekular. Pada saat yang sama, Bin Yusuf bergabung dengan kekuatan Islam tradisionalis dan tokoh-tokoh yang berafiliasi dengan nasionalisme Arab dan Timur Tengah. Pedagang dan petani kaya yang berasal dari dua wilayah Sfax dan Jerba juga berada di belakang dan mendukung keputusan politik Bin Yusuf, termasuk juga masyarakat dari Selatan Tunisia. Bin Yusuf juga tercatat menghadiri KTT Asia-Afrika di Bandung tahun 1955. Di sini ia mempertegas posisi politiknya dan aliansinya dengan Jamal ‘Abd al-Nasir Presiden Mesir saat itu. KKT Bandung ini mengeluarkan sejumlah rekomendasi yang kontra terhadap Barat. Di tahun yang sama, pada tanggal 14 Oktober, Bourguiba menghadiri pertemuan di Kairo. Pertemuan itu mempertegas posisi politik Bourguiba untuk berafiliasi kepada Barat. Pertemuan Kairo ini melahirkan sejumlah keputusan diantaranya yang paling penting adalah sayap al-diwan al-siyasiy pimpinan Bourguiba menarik dukungan dan memisahkan diri dari partai al-hurr al-dusturiy. Konflik dengan Bin Yusuf dan al-Yusfiyyun mendorong Bourguiba mempercepat dan meneguhkan aliansinya dengan Perancis, bukan saja dalam masalah politik, tapi juga dalam masalah budaya. Karenanya, pasca konflik itu, Bourguiba melakukan sterilisasi sebanyak mungkin terhadap pengaruh Arab-Islam.

Ketegangan politik antara Bourguiba dan Bin Yusuf juga memantik sentimen konservatisme di Tunisia. Saat Majallat al-Ahwal al-Sykhshiyyah (MAS) dirilis tahun 1956 yang merupakan produk undang-undang pertama masa pemerintahan Bourguiba dalam masalah hukum keluarga, Salih Bin Yusuf, menurut catatan Kenneth J. Perkins, yang menjadi rival politik Bourguiba, menuduhnya melakukan pengharaman terhadap sesuatu yang dihalalkan Tuhan dan sebaliknya, terutama dalam pasal 18 tentang pelarangan poligami MAS 1956. Menurut keterangan Mastiri, ketegangan antara Bourguiba dan Bin Yusuf berawal dari persoalan politik di internal partai al-hurr al-dusturiy. Keduanya berkompetisi untuk merebut kekuasaan sebagai ketua partai pada permulaan tahun 1954. Sebagaimana diketahui secara umum bahwa Salih Bin Yusuf tidak menerima menjadi orang nomor dua di Republik Tunisia. Secara kepartaian, Bin Yusuf merupakan al-amin al-‘amm dan Bourguiba sebagai ketua al-diwan al-siyasi yang mengeksekusi program kerja partai. Selain itu, keduanya juga bersitegang dalam hal kesepakatan kemerdekaan dalam negeri Tunisia. Pasca Bourguiba menjadi presiden, kompetisi itu berlanjut menjadi serangan-serangan terhadap pemerintahan Bourguiba (al-tanafus alladzi tahawwala ila shira’ a’a al-hukm).

Kelompok salafi juga memanfaatkan isu agama untuk menyerang Bourguiba yang mereka cap sebagai pemimpin yang mengganti wajah Tunisia yang dahulu merupakan sebuah negara Islam menjadi negara sekular-kafir jika dibandingkan dengan negara-negara Arab lainnya. Meski konstitusi Tunisia tahun 1959 dalam Bab I tentang Aturan Umum Pasal 1 dengan tegas menyebut bahwa Tunisia merupakan negara Islam di mana bahasa Arab menjadi bahasa resmi negara, dan republic sebagai sistem pemerintahannya (tunis dawlatun mustaqillatun, dzatu siyadatin, al-islamu dinuha, wa al-‘arabiyyatu lughatuha, wa al-jumhuriyyatu nizamuha), namun terlihat bahwa kelompok salafi belum merasa puas sebab pasal satu konstitusi Tunisia tahun 1959 tidak menyebut syariat Islam sebagai landasan konstitusi dan sistem pemerintahannya. Bagi Bourguiba, sebagaimana pidato yang disampaikannya tertanggal 23 Februari 1965, bahwa Islam adalah sebagai perekat kuat yang menyatukan seluruh elemen umat, menjadikannya seperti satu tubuh meski mereka berbeda. Bourguiba menunjukkan bahwa ia mampu menyatukan masyarakat dengan meunifikasi hukum dan peradilan dalam satu undang-undang dan peradilan di mana warga negara dari suku, agama, ras, dan agama apa pun tunduk pada pada aturan di dalamnya. Pernyataan Bourguiba ini senafas dengan Bhinneka Tunggal Ika di Indonesia. Menurut penulis, Bourguiba berhasil memenangkan perdebatan sekitar sistem pemerintahan yang tercantum dalam konstitusi Tunisia tahun 1959 Bab I tentang Aturan Umum Pasal 1 untuk sebuah negara baru pasca kemerdekaannya. Fadhil ibn ‘Asyur secara resmi pernah menyusun draf rancangan konstitusi negara baru Tunisia. Dalam draf tersebut disebutkan bahwa Tunisia merupakan negara Islam dengan menerapkan manhaj Islam atau syariat Islam dalam pemerintahannya. Namun, faktanya meski mereka sepakat bahwa Islam adalah agama resmi negara Tunisia, namun syariat Islam tak pernah ada dalam konstitusi Tunisia tahun 1959 itu.

Di level global, Bourguiba difatwakan kafir dan murtad oleh Syaikh Bin Baz. Luthfi Hajji mengutip fatwa Bin Baz tahun 1401 H yang berjudul: al-radd ‘ala al-ra’is Abi Bourguiba (hakadza) fi-ma nusiba ilayhi min dzalik. Selain memfatwakan kafir dan murtad terhadap Bourguiba, Bin Baz juga menyerukan kepada seluruh pemimpin di negara-negara Muslim untuk memutuskan hubungan diplomatik-politik dengan Bourguiba sampai Bourguiba mau bertaubat atas pandangannya yang melarang poligami dan kesetaraan dalam pembagian waris.

Meski banyak kritik terhadap relasi Bourguiba dan Islam, namun pembelaan terhadap Bourguiba selalu disuarakan oleh masyarakat dan ulama Tunisia. Ketika banyak orang yang menyalahkan Bourguiba karena pidatonya tentang kebolehan berbuka bagi bagi sejumlah profesi di Tunisia, sejumlah Imam di Bizerte justeru mengeluarkan keputusan bersama untuk mendukung Bourguiba. Ahmad al-Mastiri menegaskan perlunya pembacaan ulang terhadap sejarah pemerintahan Bourguiba bagi generasi hari ini. lembaran-lembaran kelam tentang sejarah Bourguiba banyak ditulis di masa presiden selanjutnya, dan semakin menguat terutama pada tahun 2000 pasca wafatnya Bourguiba. Sejumlah tulisan itu hanya memuat sisi gelap dari kehidupan Bourguiba tanpa menampilkan sisi positif dari seorang Presiden pertama Tunisia tersebut dengan target generasi baru Tunisia. Muhsin Marzuq (Ketua Organisasi Arab Demokrat) mengatakan bahwa Bourguiba adalah seorang Muslim moderat-reformis. Ini menyangkal pernyataan yang mengatakan bahwa Bourguiba adalah sekularis, berseberangan dengan agama. Bagi Amal Musa, Bourguiba bukanlah seorang kafir, dia juga bukan seorang ateis. Bourguiba menurut Musa, melihat Islam sebagai agama yang harus memiliki pemahaman kontemporer tanpa melepaskan turath. Umat harus memiliki pemahaman baru terkait dengan hubungan antar manusia di era modern.

KESIMPULAN

Peristiwa sejarah di Tunisia, paling tidak dapat menggambarkan kepada masyarakat di Indonesia, betapa sebenarnya politik itu sangat mungkin sekali menunggangi konservatisme Muslim Indonesia. Membersihkan politik untuk tidak menunggangi konservatisme Islam bukanlah persoalan mudah. Namun, jika itu dapat dilakukan, tidak tertutup kemungkinan munculnya kembali wajah ramah Islam Indonesia. Semoga. Wallahu a’lam bi al-shawab.

– Budi Juliandi –

* Makalah ini disampaikan pada diskusi Friday Forum IAIN Langsa, 23 Februari 2018
Budi Juliandi – Dosen IAIN Langsa

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Sumber gambar tajuk sebelum olah digital: flickr USArmyAfrica, lisensi CC By 2.0

Categories
Penulis Tamu

ISLAMISME DAN ETNONASIONALISME DI ACEH: SUATU PERLOMBAAN

Pada awalnya memang benar Gerakan Aceh Merdeka (GAM) didirikan untuk menjadikan Aceh sebagai sebuah negara merdeka yang berlandaskan agama Islam. Tetapi dalam masa awal perjalanannya itu, ketika estafet komando beralih dari Daud Beureueh kepada Hasan Tiro, paradigma GAM telah berubah. Tidak mengirim senjata pesanan Daud Beureueh setelah diberikan uang, sebenarnya adalah penegasan bahwa Hasan Tiro berpandangan berbeda dengan Daud Beureueh. Hasan Tiro tidak setuju Aceh menjadi sebuah negara berlandaskan Islam.

Ada empat alasan utama kenapa Hasan Tiro tidak menginginkan Aceh menjadi negara Islam. Pertama, dia melihat negara-negara Barat maju tetapi landasan negaranya bukan agama. Kedua, menurutnya, agama adalah nilai, bukan sistem. Sehingga tidak mungkin dapat menjadi prinsip sebuah negara. Ketiga, bila yang dikumandangkan ke negara-negara Barat bahwa Aceh akan menjadi negara Islam bila merdeka nanti, maka tidak akan mendapatkan apresiasi. Keempat, dan ini paling penting, tidak perlu menjadikan Islam sebagai sebuah aturan legal-formal, tidak perlu syariat Islam dibirokratisasi karena masyarakat Aceh memang sudah sebagai Islam sampai ke sumsum. Identitas Aceh adalah Islam itu sendiri. Aceh dan Islam identik.

Alasan keempat adalah penjelas identitas GAM di bawah Hasan Tiro. Semua yang ingin melakukan apapun yang melibatkan GAM, baik secara langsung maupun tidak, harus paham alasan itu. Siapa saja yang tidak mengindahkan alasan keempat tersebut, tetapi membonceng GAM untuk kepentingannya sama dengan mengganggu gerakan GAM.

Sama seperti PUSA yang terpecah menjadi kelompok yang naik gunung dengan kelompok yang bertahan di birokrasi, GAM setelah dikomandoi Hasan Tiro juga sebenarnya terpecah menjadi kelompok yang mengikut kepada pandangan sekular Hasan Tiro dan yang tetap setia kepada prinsip islamisme Daud Beureueh. Kelompok terakhir ini seharusnya memilih keluar dari GAM. Tetapi elitis GAM pendukung Hasan Tiro juga tidak mengusir mereka. GAM tetap membutuhkan mereka dengan harapan dapat menjadi penyambung lidah GAM kepada Jakarta. Fokus negosiasi GAM memang bukan Jakarta, tetapi tetap saja itu perlu.

Tetapi kehadiran kaum Islamisme ternyata memberikan banyak kerugian bagi GAM. Mereka terus-menerus berusaha meyakinkan Jakarta bahwa keinginan masyarakat Aceh tetaplah formalisasi syariat Islam. UU keistimewaan Aceh 1959 harus disempurnakan dengan sebuah aturan hukum yang jelas. Tuntutan itu dipenuhi Jakarta pada 1999 dan disempirnakan pada 2001. Terbitnya landasan aturan hukum formalisasi syariat Islam adalah hasil lobi kaum islamisme. Tentu saja Jakarta mempertimbangkan tuntutan kaum Islamisme karenan mempertimbangkan kekuatan senjata GAM. Padahal GAM tidak menuntut itu. Keinginan GAM cuma merdeka. Petinggi GAM sampai sekarang yakin bahwa formalisasi syariat Islam di bawah Pancasila dan UUD ’45 adalah omong kosong.

Jelas kaum Islamisme telah “jual nama” tanpa izin. Dua nama sekaligus. Pertama masyarakat Aceh, kedua nama GAM. Meskipun nama kedua ini tidak dijual secara langsung. Kaum Islamisme jelas memainkan sistem politik Machiavellian dalam lobi mereka. Di depan mereka tampil sebagai akademisi dan birokrat berusaha meyakinkan Jakarta bahwa rakyat Aceh menuntut formalisasi syariat Islam. Tetapi Jakarta melihat GAM di belakang mereka.

Nama masyarakat Aceh juga dijual. Ide formalisasi atau birikratisasi syariat Islam tidak ada dalam imajinasi masyarakat Aceh. Masyarakat Aceh tidak punya masalah dalam menjalankan syariat Islam. Mereka tidak terbentur dengan regulasi-regulasi negara. Yang berbenturan dengan regulasi negara adalah kaum islamisme itu, mereka adalah birikrat, baik birokrat kampus maupun birokrat administrasi. Merekalah yang berada dalam sistem negara. Jadi, yang berbenturan dengan regulasi negara dalam beragama adalah mereka. Tetapi mereka menjual nama masyarakat Aceh. Padahal mereka tidak dekat, mereka parsial dengan masyarakat. Mereka hanya mengenal masyarakat melalui observasi dan penelitian. Persis seperti Annemarie Schimmel dan John L. Esposito yang mengenal Islam melalui penelitian. Kaum Islamisme mengenal masyarakat Aceh seperti Snouck Hurgrenje. Bahkan dalam hal ini, GAM jauh lebih mengenal masyarakat Aceh daripada kaum islamisme itu. Tetapi kaum islamisme menjual nama masyarakat Aceh dan memanfaatkan situasi untuk memenangkan kepentingan sendiri.

Tentu saja GAM menjadi marah. Tetapi GAM dalam dilema. Cover syariat Islam terlalu mudah dipakai kaum Islamisme untuk memprovokasi masyarakat dan menyudutkan GAM.

Kini perang telah usai. GAM telah menjadi sebuah sejarah. Kaum Islamisme telah memenangkan pertarungan. Kini mereka telah memiliki banyak pekerjaan di luar kantor dan kampus. Lumayan besar dibandingkan gaji, tunjangan kinerja dan sertifikasi. Mereka juga telah memegang sebuah kata kunci keramat yang bernama ‘syariat Islam’. Kata kunci itu sangat mudah untuk menghipnotis masyarakat Aceh. Semua keuntungan itu dibangun dengan, mengutip istilah Muhammad Alkaf, “kematian Darussalam”.

Mantan petinggi GAM juga umumnya sudah sibuk dengan proyek. Proyek-proyek yang dihasilkan dari darah “syuhada”.

Mantan GAM kini juga tidak terlalu peduli lagi. Arah mereka memang telah kacau sejak Hasan Tiro uzur. Saya yakin menjelang MoU 2005, kebijakan-kebijakan GAM tidak lagi murni berdasarkan arahan Hasan Tiro. Sepertinya pada akhir umurnya, GAM telah terlalu banyak dikendalikan oleh kaum Islamisme yang bergenealogi intelektual pada alumni PUSA. Di lapangan, sejak 1998 komado GAM juga sudah tidak sistematis. GAM yang awalnya mengedepankan negosiasi internasional sudah mengarah fokus kepada perang.

Dominasi narasi oleh kaum Islamisme tidak terbendung lagi. Kini tinggallah dilema. Islam akan hilang sebagai prinsip nilai masyarakat Aceh. Islam sudah dirampas oleh kaum Islamisme dari masyarakat Aceh dan diserahkan kepada negara. Kini, Islam bukan lagi milik masyarakat, tetapi sudah menjadi milik negara. Ketika Islam sudah dibirokratisasikan, maka Islam harus tunduk pada nomenklatur negara. Penyelenggaraan Islam tergantung kepada kebijakan, anggaran, mekanisme administrasi negara.

– Miswari* –

*Penulis adalah pengajar Filsafat Islam di IAIN Zawiyah Cot Kala Langsa dan Penulis buku Filsafat Terakhir.

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Sumber gambar tajuk sebelum olah digital: pixabay.com

Categories
Penulis Tamu

JOKOWI, “KARTU KUNING”, DAN GOLKAR

Kartu kuning yang diacungkan Ketua BEM UI, Zaadit Taqwa (2/2/18), sontak menghebohkan jagat maya dan jagat nyata. Tak terkecuali beberapa pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), ikut-ikutan mengacungkan kartu merah, memanasi kenakalan asumsi publik terhadap kinerja kepemimpinan Presiden Jokowi.

Tidak sedikit teman-teman yang bertanya, kok bisa Zaadit demikian? Pantaskah ia melakukan itu? Jawab saya sederhana saja. Pertama, sebagai mantan aktivis mahasiswa, saya menganggap yang ia lakukan itu wajar-wajar saja. Bahkan saya salut dengan keberaniannya. Hanya saja, saya khawatir jika tindakannya itu tidak murni lagi. Saya berkata demikian, sekali lagi, karena saya mantan aktivis mahasiswa. Saya tau betul hitam-putihnya dunia pergerakan. Apalagi di kalangan temen-temen aktivis yang berkampus di sekitar poros kekuasaan. Godaannya besar. Terlebih ketika godaan itu hadir di tengah kemelut konflik lambung dengan pikiran.

Kedua, kritik simbolik “kartu kuning” ini memang rasanya tajam, menohok. Terbukti menjadi pusat perhatian. Sepertinya Zaadit sedang mengilhami mazhab interaksi simbolik yang didedengkoti Wiliam James, James M. Baldwin, John Dewey, George H. Mead, yang kemudian dilanjutkan oleh Charles Horton Cooley, Wiliam I. Thomas, dan Kuhn maupun Herbert Blumer, sebagai pola dalam mengkonstruk nalar sosial1). Namun sayang, isu yang dikemukakan kurang argumentatif. Sehingga tidak mematikan. Apalagi isu yang diangkat mendompleng isu yang “digoreng” pihak oposisi. Maka dugaan-dugaan adanya “penyetiran” kelompok oposisi tak terelakkan.

Dari tiga isu yang dikemukakan Zaadit, hanya satu yang terlihat murni, yakni isu draft rancangan Permendikti tentang Organisasi Kemahasiswaan yang dianggap sebagai bentuk pengekangan. Sementara dua isu lainnya sudah berkerak “digoreng” kelompok oposisi. Masalah plt Gubernur dari pihak kepolisian di Sumut dan Jawa Barat, misalnya, sudah menjadi perdebatan politik yang hangat di media, antara kelompok penguasa dengan oposisi. Begitu pula dengan isu gizi buruk yang menimpa suku Asmat, juga telah hangus “digoreng” pihak oposisi untuk menjatuhkan popularitas Jokowi di kantong suaranya itu.

Meski begitu, saya salut pada Jokowi. Ia tetap menanggapinya dengan santai. Bahkan ia mengajak mahasiswa UI turun ke Papua. Artinya, Jokowi ingin berdiskusi secara empiris dengan mahasiswa. Melihat langsung fakta yang ada. Sembari mencari jalan keluarnya.

Apapun ceritanya “kartu kuning” sudah terlanjur keluar. Beragam asumsi publik bersileweran. Ada yang menganggap itu tindakan yang tidak etis. Tak sedikit pula yang menganggapnya sebagai alarm kinerja, warning menuju kartu merah, dan signal Jokowi untuk tidak terpilih lagi. Namun ada juga yang menganggapnya sebagai wujud rasa sayang mahasiswa terhadap Jokowi.

“KODE ALAM” DUA PERIODE

Kali ini saya juga ingin berinterpretasi. Malah interpretasi saya sedikit ngawur. Bagi saya, kartu kuning yang diberikan Zaadit adalah “kode alam” untuk Dua Periode. Jika ditarik pada identitas politik, maka warna kuning identik dengan Golkar. Boleh jadi, justru ini adalah pertanda duduknya kembali Jokowi dua periode, dengan biduk partai Golkar. Mungkinkah? Tentusaja sangat mungkin. Apalagi jauh-jauh hari Golkar telah memberikan dukungan pada Jokowi untuk menjadi Capres pada Pilpres tahun 2019 nanti. Persoalannya, mungkinkah Jokowi menang? Disinilah kita perlu hitung-hitungan logika politik.

Jokowi pasti kalah, kata beberapa Nitizen. Itu sah-sah saja. Cuma apa alasannya? Saya kurang percaya jika alasannya karena kinerja pembangunan yang kurang bagus. Meskipun banyak pihak yang mencerca kinerja Presiden Jokowi, bagi saya, itu hanya alasan buatan. Ibarat makan indomie dengan bumbu buatan, rasanya sedap tapi tidak alami (tidak nyata). Taubahnya berita-berita hoax yang menyudutkan Jokowi di laman linimasa, yang namanya hoax tetaplah hoax.

Sebetulnya alasan yang paling jamak bagi mereka yang tidak mendukung Jokowi hanya satu: ia dianggap sebagai “musuh” umat Islam karena menjadi kader PDIP. Lagi-lagi masih pusaran isu SARA. Untuk menguatkan itu beragam isu disebar. Salahsatunya, rezim ini disebut anti ulama. Pembunuhan Ustadz Purwanto dianggap sebagai buktinya. Padahal mereka tidak tau jika politik itu kejam. Politik yang paling kejam itu bukan membunuh lawan, tapi “kawan” membunuh kawan untuk membunuh lawan. Jadi dalam politik apasaja mungkin terjadi. Termasuk skenario cipta kondisi untuk membenarkan isu yang ditebar. Mereka hendak menjadikan Jokowi korban kedua setelah Ahok, yang jatuh bukan karena lemahnya kinerja, tapi karena kurang bersahabat dengan surat al-Maidah ayat 51.

Lantas di tengah situasi seperti itu bagaimana mungkin Jokowi bisa dua periode? Bisa! Caranya? Gampang, politik dua kaki. Itulah yang sedang dimainkan Jokowi. Ia berusaha menjadi milik semua golongan, milik semua partai. Dan Golkar adalah “kaki” Jokowi untuk memainkan politik dua kaki tersebut. Lihat saja rentetan ceritanya. Anies yang telah berhasil menjadi Gubernur DKI Jakarta misalnya. Ternyata belakangan diketahui, Jusuf Kalla (JK)-lah sosok pertama yang menawarkan Anies ke Prabowo. Sekedar untuk mengingatkan, JK adalah Golkar, dan Golkar warnanya kuning.

Pada Pemilukada serentak tahun ini, Golkar juga memainkan peran. Pilgub Jawa Barat yang semula diprediksi “panas” berubah menjadi landai. Golkar ikut andil memecah konsentrasi massa, menghilangkan aura Pilpres dari Jabar. Seperti kata Asep Warlan Yusuf, pakar politik dan pemerintahan dari Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung, bahwa koalisi parpol pengusung yang sudah terbangun diprediksi membuat konstelasi politik di ajang Pilgub Jabar 2018 lebih “dingin” 2). Politik sebaran ala partai pendukung pemerintah ini berhasil memecah konsentrasi massa, sekaligus mampu membuat Jokowi menjadi milik banyak Calon.

Di Pilgub Sumut juga demikian. Awalnya Pilgubsu diprediksi bakal menjadi “DKI Jilid II”, yang marak politik identitas berbaju SARA. Ternyata tidak. Golkar, Nasdem, dan Hanura meninggalkan PDIP, dan merapat ke kubu Gerindra, PKS, dan PAN untuk mendukung Edy Rahmayadi-Musa Rajekh Shaah. Maka dengan peta seperti ini, “gorengan” isu SARA akan sepi. Dan siapapun yang memenangkan pilgubsu adalah kemenangan Jokowi. Sama dengan Jawa Timur yang juga disinyalir sebagai kontestasi Jokowi versus Jokowi. Siapupun yang menang Jokowi juga menang. Disinilah taktik politik dua kaki itu dimainkan. Target jitunya, bisa-bisa Jokowi melawan kotak kosong pada Pilpres 2019 nanti.

Di samping itu, “kartu kuning” BEM UI saya interpretasikan pula sebagai Sri Mulyani, ekonom dari kampus berjas kuning (baca UI) itu. Kenapa? Karena Sri Mulyani adalah Menteri Keuangan Jokowi. Dialah penata keuangan Republik ini. Sehingga pulpen Sri Mulyani sangat sakti dalam meningkatkan popularitas Jokowi di bidang kesejahteraan. Caranya adalah dengan meningkatkan kesejahteraan ASN, Guru dan Dosen, TNI dan Polri, termasuk mereka yang bergelut di bidang kerja-kerja pemberdayaan. Sudah saatnya Jokowi mengalihkan prioritas kebijakan pembangunan dari infrastuktur ke kesejahteraan publik. Dengan begitu, langkah Jokowi semakin mantap untuk kembali memimpin negeri ini dua periode.

Hasil survey SMRC per-desember 2017 lalu, yang memastikan posisi Jokowi di angka 53,8 persen3), semakin memantapkan langkahnya memenangkan Pilpres 2019 mendatang. Dan warna “kuning” akan turut mewarnai proses perjuangan menuju RI1 untuk yang kedua kalinya. Beruntung, berkat “kode alam” kartu kuning Zaadit Taqwa, kita jadi terpikir ke arah sana.

– Mustamar Iqbal Siregar*

*Dosen FTIK IAIN Langsa sekaligus peserta beasiswa Mora Scholarship Program Doktoral pada Pascasarjana UIN Imam Bonjol Padang.

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Gambar fitur diambil dari shutterstock dan suratkabar.id

Categories
Penulis Tamu

KRITIK NALAR PEMBANGUNAN JOKOWI

Mungkin Jokowi sangat geram dengan kartu kuning yang diberikan Ketua BEM UI. Presiden merasa, kerja keras yang telah dilakukan selama tiga tahun lebih itu tidak layak dibalas dengan kartu kuning: Air susu dibalas air tuba: kartu Indonesia sehat dan kartu Indonesia pintar dibalas kartu kuning.

Kerja keras apa yang dilakukan Jokowi? Dengan serentak pendukungnya akan menjawab: pembangunan. Karena itulah yang paling menonjol atau bisa jadi satu-satunya, prestasi Jokowi selama menjabat presiden.

Sebenarnya, untuk zaman mutakhir, pembangunan fisik atau infrastruktur bukanlah prestasi sebuah negara atau seorang kepala negara, apalagi menjadikan itu sebagai indikator keberhasilan politik (baca: presiden).

Pembangunan itu identik dengan permodalan. Di negara-negara maju, hampir pembangunan fisik bukan urusan negara. Hampir semua pembangunan fisik dilakukan oleh perusahaan.

Sebenarnya di Indonesia selama Jokowi menjabat juga begitu. Rata-rata pembangunan infrastruktur yang dibanggakan Jokowi itu berasal dari permodalan asing, khususnya Cina. Misalkan saja jalan tol.

Aneh menurut saya seorang presiden membanggakan diri dan menganggap pembangunan jalan tol sebagai prestasi. Jalan tol itu sama dengan naik roller coaster dan masuk bioskop: harus bayar! Aneh. Rakyat bayar pajak, tetapi menggunakan fasilitas layanan umum harus bayar. Jalan tol itu milik perusahaan. Kenapa bangga dan dijadikan objek kebanggaan seorang presiden?

Membangun jalan tol sama seperti membangun mall, hotel dan salon. Kok dibanggakan. Waduh.

Pengembang infrastuktur itu adalah perusaan asing. Yang paling diuntungkan adalah asing. Pengguna layanan tidak diuntungkan. Menggunakan jasa layanan dan membayarnya tidak disebut untung.

Tetapi tidak rugi? Tidak. Dalam konteks ini kita sangat rugi.

Pembangunan infrastuktur itu butuh bahan dasar. Semua itu dikuras dari alam. Alam diganggu stabilitasnya, dirusak untuk pembangunan fisik. Satu kilometer jalan saja membutuhkan satu buah bukit, baik itu untuk semen, pasir, tanah dan sebagainya. Apalagi di Indonesia yang hampir semua tanahnya lembek, berair. Butuh banyak material untuk membangun.

Pembangunan super ambisius tiga tahun terakhir telah merusak alam dengan sangat hebat. Belum lagi pembangunan-pembangunan oleh pengembang lokal; jalan misalnya, setiap tahun yang diperbaiki itu-itu saja. Semuanya telah menyebabkan kerusakan alam sangat parah.

Kegilaan kita membangun benar-benar akan membuat anak cucu kita nanti harus hidup dalam musibah bencana alam saban hari. Sementara mereka harus bayar untuk menggunakan fasilitas-fasilitas yang ada. Pembangunan-pembangunan lokal juga tidak akan dapat mereka rasakan karena dalam hitungan bulan saja semuanya telah rusak kembali.

Saya sangat yakin pembangunan-pembangunan itu semua bukan untuk pelayanan, melainkan karena mengikuti hawa nafsu. Pembangunan proyek besar untuk prestise dan pencitraan politikus dan pembangunan proyek kecil untuk memenuhi kebutuhan kredit alat berat oleh pengembang lokal.

Malah sering jalan di kampung-kampung menjadi tidak bisa digunakan setelah setahun diaspal. Padahal sebelum diaspal, hanya becek sedikit ketika musim hujan dan sedikit berdebu ketika musim kering.

Pembangunan: Alam semakin hancur, ikut serta pula menghancurkan apa yang sudah dibangun. Kalau gali lubang tutup lubang masih mendingan. Tetapi ini Meuhay taloe ngen keubeu, besar pasak daripada tiang.

Kita hanya memilirkan diri kita saja. Kita tidak ingat bagaimana rakyat kecil harus berjibun dengan musibah akibat ulah kita. Kita benar-benar melupakan bagaimana nasib generasi mendatang. Mereka harus hidup di alam yang sudah kita hancurkan. Mungkin kita dapat memuaskan keinginan anak kita dengan perusakan (baca: pembangunan) yang kita lakukan. Tetapi kita telah merusak kehidupan cucu dan cicit kita jauh sebelum mereka lahir.

– Miswari* –

*Penulis adalah pengajar Filsafat Islam di IAIN Zawiyah Cot Kala Langsa dan Penulis buku Filsafat Terakhir.

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Sumber gambar tajuk sebelum olah digital: USA today dan kompasiana.com

Categories
Penulis Tamu

Riwayat dan Kenangan Masa Silam A. Kasoem dan Ibnu Sutowo: Saudagar Sejati

Pembuka

Kasoem dan Sutowo adalah self made-men (Denys Lombard, 2008). Artinya, adalah bahwa keluarga asal mereka tidak berkecimpung di bidang usaha. Mereka sendiri telah mendapat pendidikan yang baik, bahkan baik sekali. Tetapi pada mulanya tidak mewarisi kekayaan besar. Dan, pada pokoknya pandai memanfaatkan keadaan yang luar biasa segera sesudah kemerdekaan, maupun hubungan-hubungan mendalam yang pernah mereka punyai dengan teknologi Barat. Meskipun begitu, ada perbedaan di antara keduanya.

A. Kasoem tetap rajin dan berhati-hati, mempunyai kecurigaan terhadap orang asing, sadar akan akar-akarnya dan setia pada prinsip-prinsipnya, mewakili dengan baik kaum borjuis Weberian yang berasal dari Kauman. Baginya tidak mungkin ada perkembangan sesungguhnya tanpa disiplin, tanpa akhlak, tanpa pendidikan.

Sebaliknya, Ibnu Sutowo lebih suka santai dan bertualang. Ia hampir tidak memisahkan ekonomi dari politik dan mengelola usahanya seakan negara di dalam negara. Ia menyedot modal asing sampai tuntas tanpa menghiraukan konjungtur yang akhirnya menjatuhkannya. Dan dengan royalnya ia membagi-bagi rejeki yang dapat dikumpulkannya, supaya terbentuk lingkaran besar kesejahteraan di sekelilingnya. Perilakunya agak mirip dengan pangeran-pangeran Pesisir (Jawa) dalam usahanya mencari pengikut, supaya lepas dari raja, atasannya.

A.Kasoem dan Ibnu Sutowo. Dua tokoh yang terkenal di masa silam yang keberhasilannya luar biasa tetapi tetap mewakili dua sikap dalam bidang ekonomi. Wakil kaum dagang Kauman (Jawa) yang penuh disiplin sesuai etika weberian dan wakil masyarakat niaga Pesisir (Jawa) yang penuh petualang.

Categories
Penulis Tamu

Anies dan Pribumi

Seperti lagu-lagu dalam film India yang umumnya antara cerita dan nyanyian tidak punya hubungan, begitulah pengutipan pribahasa-pribahasa dari berbagai daerah di Indonesia yang dikutip Anies Baswedan dalam pidato pelantikannya sebagai Gubernur DKI Jakarta baru-baru ini. Tujuan Anies mengutip pribahasa dari berbagai daerah untuk menunjukkan bahwa Jakarta adalah milik seluruh bangsa di Indonesia. Dia ingin menegaskan itu. Dia menegaskannya dengan mengatakan Jakarta adalah melting pot (titik kumpul) bagi seluruh warga Indonesia. Sepertinya istilah itu baru populer setelah buku Islamic Populism in Indonesia and Middle East yang ditulis oleh Vedi R. Hadiz.

Anies dikenal sebagai seorang retoris yang menggunakan bahasa secara sangat sistematis dan efektif. Dia mampu menggunakan diksi yang baik dan pemilihan kosakatanya sangat efektif dan efisien. Tetapi itu dilakukan oleh seorang Anies Baswedan sebagai akademisi. Dan itu tidak terlihat pada Anies Gubernur DKI. Dalam pidato sambutannya itu, kecerdasan Anis terintimidasi oleh hutangnya yang sangat besar. Dia bukan pilihan warga DKI. Dia terpilih hanya karena kaum Islamisme Ibu Kota membenci Ahok. Sebuah kebencian yang muncul dari propaganda Habib Rizik. Padahal secara positif, apa yang diucapkan Ahok adalah sebuah pernyataan abstrak. Tetapi kaum Islamisme menyeretnya ke ranah konkrit.

Menimbang hutang-hutangnya itulah, kecerdasan Anies harus berselingkuh dengan emosionalisme kaum Islamisme. Perselingkuhan itu menghasilkan anak pertama yang sama-sama kita saksikan yakni Pidato Sambutan Anies sebagai Gubernur DKI. Secara keseluruhan pidato Anies itu bagus: masih menunjukkan bekas kecerdasan seorang akademisi cari aman. Tetapi ketika dianalisa secara detail, pidato tersebut adalah dilema. Dilema bagi oratornya. Pada satu sisi Anies ingin mengesankan bahwa dirinya dapat diandalkan oleh seluruh rakyat Indonesia sebagai pemimpin Ibu Kota yang akan mampu memberikan rasa aman, nyaman dan tentram. Dia ingin mengesankan bahwa dirinya adalah orang yang sangat Pancasilais, menghormati dan menjunjung tinggi keberagaman. Pada sisi lain dia ingin sedikit mencicil hutangnya pada kaum Islamisme.

Beberapa pesan yang dapat dikatakan sebagai usaha mencicil hutang adalah dengan menjanjikan ruang seluas-luasnya bagi setiap acara pengajian, sebuah acara yang dibelenggu oleh musuh kaum Islamisme bernama Ahok. Tetapi sepertinya pemberi hutang menuntut banyak. Atau setidaknya Anies merasa harus membayar banyak. Dan stigma keburukan Ahok menurut saya dikiaskan dengan Kolonialisme. Terma Kolonialisme yang beberapa kali diulang Anies secara literal memang bermakna penjajah Belanda dan Jepang. Tapi tidak semua orang Indonesia bodoh. Sebagian besar orang tahu membahas kolonialisme, apalagi di Jakarta tidak relevan lagi. Sehingga orang banyak yang pajam bahwa kolonialisme yang dimaksud adalah rezim-rezim kepemimpinan Jakarta sebelum dirinya. Ketika memakai terma kolonialisme, maka otomatis terma itu menuntut kata ‘pribumi’ sebagai antonimnya.

Merujuk kias, maka pribumi itu adalah dirinya dam kaum Islamisme. Terma ‘pribumi’ otomatis menjadi “santapan” dan “gorengan” pengamat dan kritikus. Terma itu menjadi senjata makan tuan bagi seorang Anies Baswedan. Semua orang tahu bahwa Baswedan adalah marga bagi orang Arab. Sehingga, merujuk kias kembali, maka muncullah kesan pribumi adalah Arab dan Cina adalah Kolonial. Tentu saja ini adalah sebuah bahan tertawaan bagi orang yang bernalar.

Dengan terma-terma analogis yang dipakai Anies, maka itu menuntut orang untuk melihat bahwa pertarungan DKI 2017 adalah pertarungan Arab dan Cina. Merujuk sejarah Batavia dan Indonesia umumnya, persaingan Arab dan Cina adalah salah satu tema utamanya. Pertarungan Cina dan Arab adalah persaingan ekonomi. Pedagang Arab dan pedagang Cina tidak berhenti bertarung sepenjang sejarah Batavia dan Jakarta. Dan selalu Arab punya beberapa keberuntungan. Keberuntungan utamanya adalah mereka sama-sama beragama Islam, sehingga sangat mudah mereka diterima warga Betawi yang memang fanatik dalam beragama.

Bila teorema di atas diterima, maka tentu Anies hadir untuk membela kepentingan Arab di DKI. Sebagaimana umumnya, Arab selalu membawa kepentingan-kepentingan mereka atas nama agama (Ibn Khaldun, 2011) Sehingga Anies hadir untuk mengawal proyek-proyek pengajian para Habib dan proyek-proyek agama lainnya. Di Jakarta, jangankan pengajian besar, menjadi guru privat mengaji untuk anak usia dini saja sudah memberikan uang yang melimpah. Karena itu, pengajian-pengajian besar yang dikoordinir Arab adalah proyek-proyek besar.

Tentu saja Anies tidak sepakat dengan proyek reklamasi karena itu tidak menguntungkan Arab dan kaum Islamisme. Orang-orang Arab di Jakarta tidak punya keuntungan dengan proyek-proyek pulau itu. Pengusiran-pengusiran bangsa Arab yang menjual kurma, perlengkapan shalat dan haji oleh rezim Ahok tentu saja tidak dapat dilepaskan dari diskursus ini.

Yang perlu dikhawatirkan adalah nasib etnis Cina dalam kepemimpinan Anies. Tapi mereka tidak punya sejarah sebagai orang yang terpinggirkan oleh rezim. Cina selalu dekat dengan rezim. Mereka selalu mampu merangkul rezim untuk memuluskan usaha dagangnya. Semoga dengan kehadiran Anies, tidak membenarkan apa yang dikatakan Ibn Khaldun (2011) bahwa setiap bangsa yang dipimpin orang Arab akan menuai kehancuran.

– Miswari* –

*Penulis adalah pengajar Filsafat Islam
di IAIN Zawiyah Cot Kala Langsa
dan Penulis buku Filsafat Terakhir.

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Sumber gambar asli sebelum olah digital: world economic forum dengan lisensi by-nc-sa 2.0.

Categories
Penulis Tamu

Oasis Perumusan Agapol

Dapat dipastikan bahwa kajian dan permasalahan tentang agama dan politik tidak akan pernah habis selama manusia masih beraktivitas di permukaan bumi. Ontologi aktivitas manusia secara tidak langsung bersinggungan dengan berbagai kompleksitas alam semesta. Sebagai ciptakan Allah Swt. Alam semesta tidak mampu menjelaskan dan memberi informasi (iktibar) kepada manusia sebagai khalifah di permukaan bumi, dan manusiapun dengan kecanggihan akalnya juga tidak mampu untuk memahami hakikat Alam semesta. Kompleksitas alam semesta tersebut diartikan sebagai nilai-nilai ilahiah yang dapat bersentuhan dengan manusia, baik dalam bentuk teoritis (abstrak) maupun dalam bentuk praktis (konkret). Dalam bentuk teoritis misalnya studi tentang keagamaan, politik, ekonomi, sosial hingga kesehatan. Dan dalam bentuk praktis misalnya teknik cara beribadah atau kemampuan dalam beradaptasi dengan lingkungan.