Categories
Penulis Tamu

BENARKAH KRISIS DI ARAKAN DISEBABKAN OLEH KONFLIK AGAMA DAN POLITIK MIGAS SEMATA?

Pada penghujung Agustus 2017 konflik di Arakan State1), Myanmar kembali terulang. Konflik ini mengakibatkan krisis kemanusiaan di Myanmar semakin meningkat. Rohingya yang merupakan etnis minoritas dan banyak bermukim di Arakan State, paling merasakan dampak dari konflik ini. Tercatat sejak konflik pecah pada Agustus, lebih dari 90.000 warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh2).

Pemberitaan krisis kemanusiaan ini menjadi headline pemberitaan dunia dan Indonesia. Dari pemberitaan media, pemerintah Myanmar tidak berupaya melindungi etnis Rohingya dalam konflik ini3). Bahkan pemerintahan Myanmar terkesan membiarkan upaya genosida yang dilakukan militer terhadap etnis Rohingya. Krisis ini kemudian menarik simpati besar warga dunia. Kecaman dan juga ucapan duka membanjiri lini masa sosial media dan juga pemberitaan dunia. Tidak sedikit yang berusaha untuk memberi analisa mengenai krisis kemanusiaan di Arakan State.

Ada 2 cara pandang mainstream masyarakat Indonesia dalam melihat krisis ini. Pertama, masyarakat yang melihat krisis terjadi karena adanya konflik antar agama antara Budha sebagai agama mayoritas dan Islam sebagai minoritas4). Sebagian lain melihat politik penguasaan Migas di Arakan State yang melatar belakangi krisis di Arakan State5). Dalam pandangan penulis 2 cara pandang tersebut belum menjelaskan akar yang menjadi latar belakang krisis di Arakan State.

Mempertanyakan keabsahan pandangan yang melihat krisis kemanusiaan di Arakan State disebabkan oleh konflik antar agama, tidak terlampau sulit. Kita dapat melihat kondisi umat Islam di negara bagian Myanmar lain apakah mengalami diskriminasi seperti di Arakan State atau justru hidup tenang tanpa gangguan6). Dalam pemberitaan mengenai kondisi di Myanmar sampai saat ini, terlihat krisis yang terjadi hanya di wilayah Arakan State.

Untuk itu, mengatakan krisis kemanusiaan ini disebabkan oleh pembantaian umat Budha terhadap umat Islam tidak benar-benar tepat. Kebetulan Rohingya merupakan etnis bermayoritas Muslim dan kebetulan mereka berada di Arakan State wilayah yang kerap berkonflik di Myanmar. Untuk itu, agama bukan faktor yang melatarbelakangi konflik.

Selanjutnya mempertanyakan keabsahan dalil politik penguasan Migas di Arakan State sebagai latar belakang konflik mungkin tidak mudah. Hal ini karena analisa ini sepenuhnya tidak salah. Memang adanya keinginan untuk menguasai kekayaan alam di Arakan State menyebabkan krisis ini semakin parah. Namun, benarkah krisis kemanusiaan di Arakan State di latar belakangi oleh politik Migas semata? Atau justru politik Migas hanya memperparah keadaan, bukan merupakan faktor kunci krisis kemanusiaan yang dialami oleh etnis Rohingya?

Secara garis besar tulisan ini berisikan pandangan penulis yang mengajak pembaca melihat krisis kemanusiaan di Arakan State akibat ketidaksetaraan perlakuan negara terhadap minoritas dan masyarakat yang dianggap bukan penduduk pribumi. Perlu diingat label minoritas yang didapatkan oleh Rohingya karena etnis bukan karena agama.

DARI PERUBAHAN KONSTITUSI KEMUDIAN BERAKIBAT PADA DELIGITIMASI KEWARGANEGARAAN

Seperti diketahui bersama, Rohingya bukanlah masyarakat asli Myanmar. Rohingya dibawa masuk kedalam wilayah Myanmar oleh pemerintah kolonial Inggris yang menguasai Myanmar pada tahun 18267). Secara etnis, Rohingya merupakan keturunan Bengali, yang sekarang banyak mendiami negara Bangladesh. Sampai saat ini pemerintah Myanmar masih melihat Rohingya sebagai penduduk ilegal asal Bangladesh.

Dalam hukum kolonial Inggris, Rohingya dimasukkan kedalam etnis yang diakui dan dilindungi oleh konstitusi. Namun, kondisi ini berubah ketika Myanmar merdeka lalu mengganti konstitusi negara sehingga Rohingya dikeluarkan dari etnis resmi Myanmar. Meski pada tahun 1950 istilah Rohingya sebagai etnis sempat di akui pada pemerintahan U Nu, namun ketika Militer Myanmar berkuasa pada tahun 1962, situasi mulai berubah.

Konstitusi baru yang dibentuk pada 1974, merupakan awal mimpi buruk nasib Rohingya di Myanmar. Etnis Rohingya mulai kehilangan status kewarganegaraan dibawah rezim militer. Tidak sampai disitu, pada tahun 1982, Myanmar mengeluarkan undang-undang kewarganegaraan yang meletakkan Rohingya sebagai pendatang asing. Kuatnya upaya pembentukan identitas nasional yang tidak memberi tempat bagi Rohingya sebagai “orang asli” Myanmar menjadi alasan kuat lahirnya kebijakan diskriminatif tersebut. Pemberlakuan Adaptation of Expressions Law Nomor 15 Tahun 19898) yang merubah nama Arakan menjadi Rakhine mempertegas upaya pembentukan identitas negara bermayoritas Budha.

Konflik di Arakan State tercatat terjadi pertama sekali pada tahun 1970an dan kembali terulang pada tahun 1990an. Kalau dilihat, rangkaian konflik yang terjadi beriringan dengan lahirnya kebijakan yang mengasingkan Rohingya dari kewarganegaraan resmi. Diamnya negara dalam pembantaian etnis Rohingya yang dilakukan oleh militer Myanmar pada pada tahun 2012-2013, menguatkan posisi negara yang tidak seimbang dalam melihat konflik di Arakan. Terlebih sejak kartu identitas putih yang dipegang Rohingya dihapus pada tahun 2015. Maka, jalan keluar yang selalu diambil oleh etnis Rohingya adalah keluar dari Arakan dan menjadi pengungsi di negara lain.

Hingga saat ini, kita masih dapat melihat sikap jelas pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya. Meski Aung San Su Kyi, mendeklarasikan pemerintahannya lebih demokratis, namun Su Kyi tidak pernah mengeluarkan pernyataan resmi terkait posisi etnis Rohingya sebagai etnis resmi dalam konstitusi Myanmar.

Status kewarganegaraann yang tidak sah, menyebabkan posisi etnis Rohingya dihadapan konstitusi Myanmar tidak diakui secara penuh. Adanya delegitimasi hak warga negara yang dialami etnis Rohingya menjadikan kondisi Rohingya kian tersisih dihadapan negara. Posisi ini kemudian menjadikan Rohingya sangat mudah mengalami tindakan diskriminatif, terutama dari pihak militer dan ekstrimis Budha.

MEMPERDALAM ANALISA DALAM MELIHAT KONFLIK DI ARAKAN STATE DAN UPAYA ADVOKASI KEDEPAN

Menggiring analisa krisis kemanusiaan yang dialami oleh Rohingya karena identitas agama, tidak memberi keuntungan berarti. Hal ini karena mudah dipatahkan dengan perbandingan kondisi umat muslim di negara bagian lain yang tidak mengalamai diskriminasi dari pemerintah maupun etnis mayoritas Myanmar. Begitupun dalam upaya melihat krisis ini terjadi karena adanya politik Migas, akan mempersempit persoalan pada konflik aset semata. Dua cara pandang tersebut menutup mata kita dalam melihat persoalan yang terjadi karena adanya ketidaksetaraan status warga negara dalam konstitusi Myanmar.

Intervensi terhadap Migas di Myanmar baru terjadi pada tahun 2000-an ketika Tiongkok mulai tertarik pada kekayaan energi di Arakan pada tahun 2004. Pipa gas milik Tiongkok kemudian selesai dikerjakan pada tahun 20139). Begitupun dengan intervensi Soros yang baru di mulai pada tahun 2003 dan semakin intens setelah tahun 2012 dimana upaya men-demokrasi-kan Myanmar mulai bergaung10).

Kalau melihat dari kacamata politik Migas, maka konflik yang terdekat sejak intervensi tersebut ialah pada tahun 2012. Pada saat itu konflik diyakini bermula setelah sekelompok pria etnis Rohingya dituduh memperkosa dan membunuh wanita Budhis. Konflik ini kemudian menjalar menjadi konflik antar entis di Rakhine (nama Arakan State setelah 1989). Posisi negara terutama Aung San Su Kyi menjadi dilematis ketika adanya tekanan dari kelompok ekstrim Budhis11). Konflik ini kemudian lebih disorot sebagai konflik antar agama, karena melibatkan ekstrimis Budha dan pejuang muslim Arakan.

Cara pandang ini mengesampingkan konflik-konflik di masa lampau yang sudah lebih dahulu sering terjadi. Melihat dari cara pandang diatas, konflik pada tahun 1970an dan 1990an, tidak bisa dianggap terjadi karena adanya politik Migas. Untuk, itu persoalan krisis di Arakan jauh lebih luas dan krusial ketimbang politik Migas maupun agama.

Sejatinya, persoalan utama etnis Rohingya adalah adanya delegitimasi hak konstitusi kewarganegaraan. Kondisi ini terjadi karena adanya pegaruh kuat negara dalam membentuk identitas negara. Dalam persoalan Myanmar, pembentukan identitas negara nasionalis-budhis menjadi sebab lahirnya kebijakan-kebijakan tersebut. Terlebih ketika upaya pembentukan identitas nasional dibantu oleh kekuatan militer yang kuat.

Hak yang dicabut ini kemudian menghilangkan kesempatan Rohingya untuk mendapatkan perlindungan dan perlakuan yang setara dan sama dihadapan negara. Pemisahan sikap pemerintah Myanmar ketika konflik pecah menandai hal tersebut. Hilangnya hak-hak konstitusi Rohingya menyebabkan Myanmar tidak melakukan upaya perlindungan bagi Rohingya.

Upaya negara-negara di ASEAN untuk menciptakan kondisi politik yang menyetarakan warga negara di Myanmar tidak bisa dilakukan dengan mengintervensi negara tersebut. Hal ini karena ASEAN memiliki prinsip yang tidak bisa mengintervensi politik negara anggota. Meskipun PBB memiliki intrumen Responsibility to Protect, namun negara-negara di ASEAN seperti Indonesia masih terikat dengan prinsip non-intervensi ASEAN12).

Terpilihnya Myanmar sebagai ketua ASEAN pada tahun 2014 dapat dilihat sebagai upaya negara-negara ASEAN yang ingin melihat negara ini merubah kebijakan politik kearah yang lebih demokratis dan bebas diskriminatif. Namun, perubahan nasib Rohingya di Arakan masih belum terjadi, karena pihak Militer masih menguasai pemerintahan Myanmar. Pemerintahan Aung San Su Kyi pun kini masih terkurung oleh kekuatan Militer yang masih sangat kuat. Usaha yang patut diberi apresiasi ialah dibentuknya Advisory Commision on Rakhine State yang di ketuai oleh Kofi Annan. Setidaknya ada sedikit kemajuan pemerintahan Aung San Su Kyi dengan memberi sedikit harapan terhadap konflik di Arakan State.

Dalam praktiknya tentu keberadaan komisi yang diketuai oleh Kofi Annan belum memadai perubahan di Myanmar. Untuk itu, negara-negara ASEAN perlu melakukan langkah advokasi dengan memperkuat basis civil society di dalam negara Myanmar. Civil society diharapkan menjadi alternatif yang dapat merubah Myanmar dari dalam. Perlu untuk memperkuat keberadaan civil society di Myanmar yang bekerja langsung di akar rumput, dan tidak memiliki kecenderungan politik.

Metta Development Foundation yang dipimpin oleh Lehpai Seng Raw13), dapat dijadikan contoh untuk kemudian melahirkan NGO-NGO sejenisnya, agar perubahan di Myanmar dapat terjadi dari dalam tubuh sendiri. Kekuatan civil society dapat pula membantu kampanye perubahan status kewarganegaraan Rohingya dan menjadikan Rohingya sebagai etnis resmi yang mendapatkan tentangan dari kubu nasionalis-budhis yang sudah lama berkuasa di Myanmar.

– Yogi Febriandi* –

Yogi Febriandi adalah Dosen Mata Kuliah Antropologi Agama serta Etnisitas dan Nasionalisme pada Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik di Universitas Negeri Malikulsaleh Lhoksemawe.

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Sumber gambar tajuk sebelum olah digital: wikimedia dengan lisensi CC0.

Categories
Penulis Tamu

MENAWARKAN THARIKAT MENULIS DALAM STUDI TASAWUF

Tidak bermaksud untuk ingin menjadi syeikh atau pimpinan tarikat, tetapi gagasan ini merupakan tindak lanjut keilmuan dalam memahami studi perkembangan tasawuf. Variasi etimologi yang menjelaskan tentang arti kata tasawuf, sebagian mengatakan asal kata tasawuf berawal dari kata bahasa Arab, sauf yang berarti barisan, dan ada pula yang mengartikan sebagai kain wol yang halus. Tidak ingin terjebak dalam khilafiah etimologi, secara terminologi tasawuf merupakan suatu usaha manusia untuk membersihkan batin dan mentalitas kemanusiaannya melalui proses-proses tertentu untuk mencapai ma‘rifah dan hakikat Allah Swt.

Dalam perkembangan sejarah Islam, tasawuf memiliki corak dan dinamika tertentu. Beberapa tulisan menjelaskan bahwa konsepsi tasawuf dalam Islam muncul ketika para ulama sufi memahami proses batin yang dialami Nabi Muhammad saw ketika menerima wahyu di Gua Hira. Seiring perkembangan waktu, eksistensi dan implikasi tasawuf terus berkembang pesat, sehingga nama-nama seperti Salman Alfarisi, Rabi‘ah Adawiyah dan beberapa sufi lainnya terus dibincang dan diikuti oleh peminat tasawuf dalam Islam. Tanpa ingin menjelaskan makna tasawuf secara komprehensif, keanekaragaman pola tasawuf sangat mudah dijumpai, misalnya, tasawuf sering diidentikkan dengan kepribadian seseorang dengan pakaian yang sederhana, pendiam, rendah hati, dan selalu mengingat Allah Swt di manapun dan kapan pun.

Tidak terlepas dari itu, dinamika dalam perkembangan tasawuf pun terjadi. Awalnya tasawuf merupakan bagian bentuk penghambaan personal kepada Sang Pencipta, kemudian berkembang menjadi pola syiar dan seni serta gerakan politik dalam menyebarkan agama Islam, sehingga pola tasawuf yang awalnya sedikit tertutup dan menyendiri terus berkembang menjadi membudaya. Jika menelusuri bentuk-pentuk tasawuf secara umum, terdapat dua pembagian tentang bentuk tasawuf berdasarkan perkembangan studinya. Yakni, tasawuf akhlaki dan dan falsafi. Perbedaan yang mencolok dari kedua bentuk tasawuf tersebut dapat dipahami melalui pendekatannya. Tasawuf akhlaki dicirikan dengan adanya kecenderungan praktik tasawuf melaui aspek-aspek perilaku kemanusiaan. Sedangkan ciri tasawuf falsafi cenderung menggali nilai kearifan (kebijaksanaan) dalam mempraktikkan tasawuf. Sehingga tahapan-tahapan (maqam tasawuf) yang terdapat pada kedua tasawuf tersebut mengalami berbagai variasi berdasarkan tokoh sufi yang mengembangkannya.

Seacara terapannya, untuk mengarungi samudera tasawuf, terdapat kelaziman bahwa pembaca harus terbiasa dengan terminologi-terminologi dalam kajian dan praktik tasawuf di antaranya terminologi tentang tharikat, syari‘atma‘rifat dan hakikat. Tharikat dapat diartikan sebagai jalan kecil untuk mencapai esensi tasawuf. Tharikat merupakan bagian dari syari‘at. karena syari‘at merupakan jalan menuju tasawuf yang lebih universal pemaknaannya. Sederhananya, tharikat merupakan kesepakatan dalam suatu kelompok tasawuf untuk mengetahui tata cara bertasawuf. Secara literatur, para pengamat tasawuf cenderung mengatakan bahwa dalam perkembangan tasawuf terdapat 30 tharikat yang dinilai mu‘atabarah (legal) yang bertebaran di seluruh dunia. Untuk mengenal nama-nama tharikat tersebut di antaranya adalah tharikat Rifaiyah dan Naksabandiyah.

Pengaruh pemikiran sufi dan nilai kebudayaan di tempat berkembangnya sebuah tharikat tidak mungkin dihindari. Karena tharikat adalah inisiasi dari pencipta tasawuf itu sendiri. Sehingga instrumen dalam berbagai tharikat dapat menjelma dalam sistem kebudayaan pada suatu daerah atau bangsa. Hal ini dapat dipahami ketika terdapatnya tharikat yang memperagakan tarian, seperti di Turki, dan ada pula yang menggunakan alat-alat musik, cara berpakaian dan lain sebagainya.

Berdasarkan instrumen tersebut di atas, dalam tulisan ini penulis mencoba untuk membuka wacana tentang bagaimana eksistensi tharikat yang ingin menggunakan instrumen aktivitas menulis yang dianggap berbanding lurus dengan tarian sufi dan alat musik seperti yang telah berkembang pada beberapa abat yang lalu. Karena instrumen tharikat merupakan instrumen simbolis yang digunakan kelompok tasawuf untuk mencapai kecintaannya terhadap sang pencipta. Dan hal ini tidak tertutup kemungkinan akan munculnya tharikat yang menonjolkan aktivitas menulis untuk mencapai kecintaan Allah Swt. Terserah terminologi tharikat ini nantinya dibubuhkan kecocokan namanya, apakah itu namanya tharikat ‘IlmuyahKitabuyah, atau Zulfatayah. Apapun namanya, yang penting substansi praktik tasawufnya mengarah untuk melakukan pendekatan menulis.

Tantangan untuk mengembangkan dan menginovasikan studi tasawuf tentunya memiliki rasa tersendiri. Karena sebagian masyarakat masih menganggap bahwa dunia tasawuf atau tharikat adalah sebuah konsepsi yang telah sakral dan tidak boleh diganggu gugat. Semestinya tidaklah sedemikian. Alasannya bahwa selama Islam masih tetap hidup dalam perkembangan zaman, selama ini pula inovasi dan perkembangan studi tentang tasawuf tidak mungkin dibatasi, baik dari sisi pendekatan maupun objek kajiannya. Tentunya untuk mencapai level eksistensi sebuah tharikat harus memenuhi syarat tertentu dan membutuhkan waktu yang tidak sedikit.

Dibalik ini semua, benturan tasawuf dalam perkembangan dunia modern. Praktik tasawuf sempat dijadikan sebagai salah satu sebab dari faktor kemunduran umat muslim di tingkat Internasional. Tokoh-tokoh yang mengkritik praktik tasawuf tidaklah tanggung-tanggung. Tokoh-tokoh tersebut di antaranya adalah Jamaluddin Al-afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Fazlur Rahman dan Muhammad Iqbal. Tentunya untuk menyikapi ini haruslah paham mendudukkan permasalahannya, karena prinsip di balik kritik praktik tasawuf tersebut mengandung makna bahwa praktik tasawuf semestinya dapat meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam menghadapi tantangan zaman, sehinnga tasawuf tidak hanya melepas diri dari praktik-praktik politik, budaya, ekonomi dan kesehatan.

Fakta dinamika yang dijelaskan di atas berimplikasi pada munculnya jurang terjal antara kelompok sufi dan kelompok ilmuan serta politisi. Hal ini dapat dipahami melalui historisistas pergerakan pembaruan khas Fazlur Rahman dan Muhammad Iqbal dalam menghadapi dinamika praktik tasawuf di Pakistan. Kembali ke pokok pembahasan, upaya untuk menawarkan wacana perkembangan tasawuf ini, kita patut berterima kasih kepada salah seorang sufi Nusantara yang akrab dengan panggilan HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah). Melalui konsepsi pencerahan tentang tasawuf melalui bukunya yang berjudul “Tasawuf Modern” telah membuka angin segar dalam wacana perkembangan konsepsi dan praktik tasawuf di Nusantara. Salah satu prinsip yang tertuang dalam tasawuf modern HAMKA adalah adanya sikap responsivitas tasawuf dalam menghadapi berbagai permsalahan sosial dan teologis, sehingga tasawuf dijadikan landasan dalam menciptakan berbagai solusi.

Dalam konteks sejarah tasawuf Aceh, dinamika dan konflik praktik tasawuf juga terjadi pada pengonsumsi tasawuf wahdatul wujud (tasawuf falsafi) dan tasawuf wahdatul syuhud (tasawuf akhlaki). Walaupun dinamika tersebut terjadi karena adanya “celah politik” dan keterbatasan pemahaman tentang tasawuf di antara pelaku konflik tersebut. Di balik peristiwa konflik tasawuf tersebut dapat ditarik sebuah pelajaran bahwa ketika tasawuf tidak dituntun dengan pendekatan tharikat yang ideal maka akan menyebabkan kesemrautan dalam memaknakan tasawuf yang semestinya mewujudkan perdamaian melaui konsep cinta dan kasih sayangnya yang bersifat ilahiyah.

Belakangan ini, di Aceh belum adanya kajian dan upaya untuk membuka wacana baru dalam perkembangan tasawuf, baik di tingkat perguruan tinggi Islam maupun para pelaku tasawuf. Secara femenologi, terkesan bahwa adanya gerakan zikir berjamah merupakan bentuk gerakan tasawuf di Aceh. Jika ditarik dari formasi dan level perkembangan tasawuf di Aceh dari masa Hamzah Fansuri hingga masa kini, Aceh dapat dikatakan sebagai daerah yang mengalami kemunduran drastis dalam menjaga khazanah-khazanah tasawufnya. Tanpa menyalahkan tharikat-tharikat yang berkembang di Aceh masa kini, terkesan tharikat-tharikat di Aceh masih dalam level dari diri untuk sendiri, belum dari diri untuk diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan peradaban dunia. Upaya untuk mewujudkan tharikat menulis ini bukanlah sebuah hal yang utopis. Karena substansial dari tasawuf sejatinya tidak hanya membicarakan persoalan personalitas dan kultus semata. Tetapi tasawuf juga bagian dari penyucian batin dan perilaku umat dari masa ke masa tanpa memandang entis dan kebangsaan.

Atas pertimbangan argumentasi di atas, dipandang penting kiranya untuk mengindahkan tawaran tentang kehadiran tharikat dengan menggunakan instrumen simbolik aktivitas menulis ini. Alasannya, menulis juga dapat menyucikan batin manusia dan tidak terbatas dengan gerakan batin personal. Hanya saja tawaran tharikat ini membutuhkan ijtihad kolektif bagi para pencinta tasawuf dan para penulis. Telah diketahui bersama, menulis dalam perkembangan tasawuf bukanlah suatu barang yang baru, hampir semua sufi telah menuangkan konsepsi tasawufnya dalam bentuk karya tulis. Anehnya, sejauh penelitian dan keterbatasan yang penulis alami, belum adanya tharikat tentang menulis untuk memperoleh ma‘rifat dan mahhabbah (cinta) terhadap Allah Swt. Pentingnya menulis sebagai sebuah tharikat atas dua pertimbangan umum sebagai berikut.

Pertama, menulis merupakan transformasi gagasan, perasaan (intusi) dan pengalaman yang dialami oleh para penulis untuk dituangkan dalam karya tulis. Nilai gagasan, intuisi, dan pengalaman tersebut di atas sangat erat kaitannya dengan proses tharikat mu‘tabar dalam tasawuf. Mengapa tidak, menulis dapat dijadikan sebagai instrumen simbolis untuk mendekatkan diri kepada sang pencipta. Seiring dengan itu, objektivitas dan keluhuran batin para penulis juga nantinya akan terklasifikasi levelnya berdasarkan maqam yang dialaminya. Sehingga garis perjuangan penulis benar-benar menciptakan peradaban dan bukan hanya sebatas menguraikan kata-kata dan imajinasi ke imajinasi, dengan tidak menyebutnya cakologi. Dan kita tahu bersama bahwa filsafat tulisan yang dibutuhkan peradaban bukanlah seperti bermain Puzzle yang asal cocok langsung dirangkaikan.

Kedua, menulis merupakan bagian proses penyucian batin, mewarnai kebersihan batin dan memancarkan kesucian batin melalui tidakan (thahalli, thakhalli dan thajalli). Ketika menyendiri, para penulis juga dapat mengingat Allah Swt. melaui argumentasi yang dituangkan dalam tulisannya. Bahkan dengan kondisi sendiri, para penulis mambu menciptakan majelis. Karena menulis juga berfungsi sebagai alternaf solutif ketika ketiadaan majelis ilmu sedang absen. Keabsahan argumentasi ini berasalan bahwa para penulis mampu berdebat dan berdiskusi untuk meningkatkan potensi ilahiyahnya melalui tulisan yang dituangkannya.

Sungguh untuk memperoleh kesepakatan publik atas terbentuknya tharikat menulis ini harus diawali dengan menggalakkan studi-studi tasawuf yang berkaitan dengan kajian tasawuf pencerahan, terutama dalam kerangka pikir studi tasawuf di perguruan tinggi dan pesantren (dayah). Jika membaca situasi perkembangan tasawuf Aceh saat ini, barang kali, alternatif untuk mewujudkan tharikat menulis ini dapat menempuh jalur seporadis melalui majelis-majelis kecil (sistem halaqah Nabi Muhammad Saw), dan belum saatnya disyiarkan melalui mimbar-mimbar mesjid, dengan khawatir agar tidak adanya saling bid‘ah mem bid‘ahkan secara negatif antar sesama umat muslim di Aceh. Dan jika tharikat ini dapat tumbuh dan berkembang di Aceh, maka Aceh akan menjadi daerah yang pertama kalinya menciptakan tahrikat menulis. Hanya saja para pencinta dunia tulisan dan pencinta tasawuf harus membangun konsulidasi agar ijtihad kolektif bersifat efektif dan efisien, sehingga substansi tharikat menulis terpetakan dengan konkret dan memiliki nilai futuristik yang matang. Pemetaan ini sedikit banyaknya membicarakan tentang pola tulisannya akan diarahkan kemana dan penyebutan yang baik untuk tharikat ini seperti apa, serta pertimbangan lainnya yang dipandang krusial. Upaya ini dilakukan demi kepentingan perkembangan eksitensi tasawuf itu sendiri dengan tidak menyebutnya kepentingan etnisity keacehan.

– Zulfata M. Ag.* –

Zulfata, M.Ag. Alumni Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh, dan peminat kajian teologi politik Islam. Email: fatazul@gmail.com

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Sumber gambar tajuk sebelum olah digital: wikimedia dengan lisensi CC0.

Categories
Penulis Tamu

Bersama Jokowi, Merawat Kemerdekaan

Di tengah turbulensi politik yang begitu mengguncang, isu terorisme yang terus mengancam, tindakan-tindakan intoleransi yang kian mengoyak rajutan tenun kebangsaan, tambah lagi reinkarnasinya gagasan-gagasan yang ingin mengganti Pancasila sebagai dasar negara, seolah tanpa lelah, Jokowi terus bekerja untuk merawat kemerdekaan Indonesia.

Sejak awal menjadi Presiden, Jokowi sudah menghadapi terpaan kekuatan politik oposisi, ditambah cacian dan hinaan, fitnah, kritikan, serta desakan untuk mundur. Belakangan, eskalasinya semakin meningkat. Isu komunisme ditebar menghantui rakyat, bahkan gelombang konservatisme yang melanda umat Islam Indonesia seolah dimanfaatkan untuk melawan pemerintah.

Categories
Penulis Tamu

Nalar Toleransi

Tanpa diduga, keberadaan patung Guan Yu di Tuban, telah mengundang kehebohan di kalangan publik. Patung raksasa yang terpancang megah di area kelenteng umat Konghucu ini disebut-sebut telah memantik emosi sebagian umat Islam di Indonesia. Akibat reaksi publik yang terlihat “masif”, akhirnya patung tersebut terpaksa ditutupi kain putih. Persoalan izin mendirikan bangunan (IMB) menjadi salah satu alasan untuk menggugat keberadaan patung Guan Yu – yang dalam keyakinan pemujanya diyakini sebagai penegak keadilan yang gagah berani, jujur dan setia.

Warga Tuban sendiri (detik.com) tidak begitu mempermasalahkan monumen patung Khong Co ini. Bagi sebagian masyarakat Tuban, keberadaan patung tersebut justru bisa menambah destinasi wisata di Kota Tuban.

Sikap berbeda ditunjukkan oleh warga Konghucu yang tergabung dalam Generasi Muda Konghucu Indonesia (merdeka.com) yang justru menentang pembangunan patung kontroversial ini. Mereka berdalih, pembangunan patung di kompleks Kelenteng Tuban tersebut merupakan sikap yang tidak peka terhadap keutuhan berbangsa dan bernegara. Bahkan organisasi warga Konghucu ini membantah telah memprakarsai pembangunan patung ini.

Terlepas dari berbagai kontroversi, saya menangkap dua isu yang coba dihembuskan guna menolak keberadaan patung yang sangat dihormati oleh umat Konghucu yang sebagian penganutnya berasal dari etnis Tionghua.

Pertama, isu politis. Dalam beberapa hari terakhir di media sosial beredar foto patung Guan Yu yang disandingkan dengan patung Jenderal Sudirman. Dalam komentarnya, beberapa netizen mempertanyakan kontribusi Jenderal Guan Yu yang disebut-sebut sebagai pahlawan dari Tiongkok terhadap negara Republik Indonesia.

Pertanyaan semacam ini tentunya tidak relevan dan terkesan hiperbolik, karena sosok ini hidup jauh sebelum berdirinya Negara Tiongkok dan Republik Indonesia. Jika pertanyaan seperti ini dipertahankan, maka kita juga patut mempertanyakan kontribusi Gajah Mada terhadap Indonesia yang juga hidup sebelum Republik ini lahir.

Di sini terlihat ada upaya dari kalangan tertentu yang mencoba menggunakan isu nasionalisme guna mempertebal semangat “anti Cina” yang akhir-akhir ini terus menggelinding bagai bola salju. Ada kekhawatiran dari kubu politik tertentu bahwa keberadaan patung Guan Yu akan semakin memperteguh hegemoni Cina di tanah air.

Kedua, isu teologis. Patung yang oleh MURI dikatagorikan sebagai patung tertinggi di Asia ini telah mengundang keresahan sebagian umat Islam di Indonesia. Dalam perspektif teologis, Islam memang secara tegas melarang pembangunan patung yang dijadikan simbol kesyirikan. Pelarangan ini tidak hanya sebatas konsep teoritik yang tercantum dalam teks-teks keagamaan seperti Alquran dan hadits. Tapi praktik penghancuran patung paganisme dapat dilihat dalam sejarah fathul Makkah (penaklukan Kota Mekkah), di mana sejumlah patung yang berada dalam Ka’bah dirobohkan.

Di satu sisi, dalil-dalil dari teks suci umat Islam yang kemudian diimplementasikan dalam kenyataan sejarah kenabian memang patut dijadikan dasar untuk menolak keberadaan patung dalam komunitas muslim. Tapi di sisi lain, Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin juga memberi ruang kepada pemeluk agama lain untuk secara bebas menjalankan ajaran agamanya.

Dasar hukum kebebasan beragama dalam ajaran Islam tercantum jelas dalam surat Al-Kafirun: Lakum diinukum wa liyadin (bagimu agamamu dan bagiku agamaku) dan juga dalam surat Al-Baqarah 256: La Ikraha fiddin (tidak ada paksaan dalam agama). Dalam beberapa sabdanya, Nabi Muhammad secara tegas juga melarang perusakan rumah ibadah non muslim. Bahkan, dalam kondisi perang sekali pun, para pemimpin agama non muslim tidak boleh dibunuh.

Tidak hanya itu, sejarah umat Islam di masa lalu – yang dimulai dari masa kenabian, khulafaurrasyidin dan beberapa kekhilafahan Islam pada masa berikutnya, seperti Umayyah, Abbasiyah, Kerajaan Islam Andalusia (Cordoba) dan Khilafah Ottoman telah meninggalkan segudang fakta mencengangkan terkait kebebasan beragama. Pada masa-masa tersebut, komunitas non muslim dapat hidup dan menjalankan ajaran agamanya secara bebas, dan bahkan mendapat perlindungan dari negara.

Nah, jika dalam negara Islam saja non muslim diberi kebebasan, bagaimana pula dengan Indonesia yang notabene bukan negara agama? Fakta-fakta sejarah ini seharusnya menjadi dasar bagi umat Islam untuk memperteguh toleransi guna memelihara keberagaman.

Keberadaan patung Guan Yu di rumah ibadah kaum Konghucu di Tuban harus dipandang sebagai salah satu bentuk kebebasan beragama sehingga tidak perlu dirisaukan. Kebebasan beragama yang tercantum dalam surat Al-Kafirun tidak bisa dimaknai secara parsial sehingga memunculkan pemaknaan yang absurd. Kebebasan beragama tidak hanya kebebasan menjalankan ajaran, tapi juga kebebasan menggunakan simbol-simbol agama yang mereka yakini.

Kondisi akan berbeda jika patung atau pun simbol-simbol kepercayaan tertentu dipancang di arena publik dan di luar lokasi rumah ibadah. Artinya, pembangunan simbol keagamaan di arena publik memang berpeluang untuk dikritisi guna menghargai kaum mayoritas. Sebaliknya, pembangunan simbol agama dalam lokasi rumah ibadah harus terbebas dari kritik sebagai manifestasi dari kebebasan beragama.

Bireuen, 14 Agustus 2017

– Khairil Miswar* –

Khairil Miswar adalah peminat kajian sosial, politik dan keagamaan.
Pengarang buku Habis Sesat Terbitlah Stress.

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Categories
Penulis Tamu

REFORMA AGRARIA NEGARA KAPITALIS, DEVELOPMENTALISME NEGARA SOSIALIS

Locked in Place: State-Building and Late Industrialization in India Book Cover Locked in Place: State-Building and Late Industrialization in India
Vivek Chibber
History
Princeton University Press
2006
360

Buku Locked in Place: State Building and Late Industrialization in India (Princeton University Press, 2006) merupakan studi ilmu politik pasca colonial India. Menariknya, si penulis, Vivek Chibber membandingkan masa pemerintahan Jawaharlal Nehru Perdana Menteri pertama di India dengan rejim Park Chung-hee, di Korea Selatan. Korea menekankan pada kebijakan ELI (Export Led Institution), sebaliknya India menggunakan kebijakan ISI (Import Substitution Industrialization).

Penekanan pada ELI di Korea Selatan berhasil karena campur tangan pemerintah dalam mendisiplinkan bisnis-bisnis besar. Keberhasilan ELI jelas didukung dengan kualitas birokrasi yang bagus dan Negara yang kuat. Korea mempunyai rasionalitas birokrasi yang koheren dimana Negara bekerja sama dengan asosiasi industry mobil, sepatu, listrik, elektronik. Tangan Negara yang kuat dengan penciptaan bank-bank pemerintah merupakan upaya awal Negara dalam menciptakan kredit kepada pengusaha lokal. Nasionalisasi bank di Korea tahun 1960 an bertujuan untuk mencegah rent seeker (pengusaha yang melobi ke pemerintah/ kongres) dan mengontrol dunia finance. Tujuan dari nasionalisasi bank adalah untuk mengontrol belanja tahunan dan mengontrol arus finansial dan arus kredit industri di bawah pengawasan menteri keuangan. Berbeda dengan India, untuk memulai proyek-proyek industri, businessman tidak perlu mendapatkan ijin dari menteri keuangan dan parlemen, mereka hanya memerlukan ijin dari nodal agency atau komite dagang yang dibuat oleh pemerintah dan menteri keuangan sebagai penanggung jawab implementasi dari nodal agency. Komite dagang mempunyai kekuatan utama untuk menyediakan kredit dan pembelanjaan. Menteri keuangan tidak bisa menganulir kebijakan-kebijakan kamar dagang. Pemerintah mempunyai legitimasi untuk mengontrol modal dan menghukum bisnis yang tidak sejalan dengan agenda pembangunan. Berbeda dengan Park Chung-hee, Nehru tidak mempunyai keterlibatan langsung dengan kamar dagang. Ia bahkan tidak mempunyai kuasa penuh terhadap kongres.

Sebaliknya dari Korea Selatan, di India, tidak ada kerjasama yang koheren antara agen pemerintah dengan asosiasi-asosiasi perdagangan. Sifat red tape bureaucracy (regulasi birokrasi yang berlebihan) India di bawah Nehru yang sosialis malah acak adut mendisiplinkan pengusaha-pengusaha besar dan berakhir dengan menekankan kebijakan ISI. National congress di bawah Nehru kacau balau. Negara memberi subsidi kepada firma-firma, tapi banyak firma susah dikendalikan. India menggunakan kebijakan impor yang justru menyebabkan protes besar di tingkatan pemilik modal lokal dan para buruh yang ditekan upahnya. Hal ini berbeda dengan kebijakan ekspor di Korea yang mendapatkan dukungan penuh oleh pihak pemilik modal lokal yang sebagian besar bergerak di sektor manufaktur. Korea menyadari bahwa penekanan ekspor harus menjadi hasrat kelas pengusaha bukan hasrat negara, sebaliknya, kebijakan impor cenderung menjadi hasrat Negara. Sebaliknya India di bawah Nehru melalui proyek sosialisme “Bombay Plan” (BP) nya gagal untuk menekan kelas pengusaha. Para birokrat tetap mempertahankan elit-elit lamanya. Elit birokrat cenderung benci pengusaha dan menekannya. Bombay Plan menasionalisasi semua perusahaan dan menekan pajak yang tinggi kepada klas pengusaha. BP juga mengontrol upah minimum buruh dan training-training buruh. Industri Negara menguasai sektor-sektor yang berkenaan dengan sistem pertahanan, infrastruktur, seperti rel kereta api sampai proyek energi atom. Miskinnya investasi diperburuk dengan ketidaksambungan antara pihak kongres dan menteri-menteri di bawah Nehru. Masing-masing punya kepentingan. Pihak kamar dagang India kebingungan hendak mengajukan lobi ke menteri atau ke kongres. Kamar dagang terus berseteru dengan menteri keuangan soal kebijakan investasi. Sedangkan menteri-menteri menciptakan sel-sel kekuasaannya tersendiri. Ketidakkoherenan antar instansi ini diperburuk dengan berganti-gantinya kebijakan di setiap rencana pembangunan lima tahunan. Konsul-konsul pembangunan didominasi oleh aparatus birokrasi yang gagal untuk melobi target investasi. Tidak seperti di Korea Selatan, birokrasi India tidak mempunyai pendisiplinan yang efektif terhadap bisnismen yang secara mudah memonopoli sektor-sektor bisnis. Tidak ada tekanan secara langsung. Setelah mendapatkan lisensi investasi, pihak businessmen tinggal menjalankan operasinya. Bisnismen yang menjalankan investasinya dipastikan adalah segelontor elit yang mempunyai kedekatan dengan para birokrat pemberi ijin usaha. Hal ini tentu mematikan usaha-usaha kecil yang tidak mampu berkembang dikarenakan kerumitan birokrasi.

Di ranah agrikultur, ELI berhasil melakukan penguatan produksi agrikultur. Pemerintah Korea melakukan reformasi agraria, sehingga berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas pertanian. Reformasi agraria tentu saja sangat penting karena dapat mencegah impor bahan kebutuhan pokok. Tentu saja harus diakui bahwa reformasi agrarian ini juga tidak lepas dari desakan Amerika Serikat untuk mencegah menjalarnya ketidakpuasan petani yang berujung pada tumbuh suburnya ideologi sosialisme. Penguatan produksi agrikultur juga sangat signifikan untuk mencegah inflasi mata uang karena impor bahan pangan dapat menyebabkan penurunan nilai tukar mata uang. Selain itu, harga kebutuhan pokok dapat ditekan. Park juga sadar bahwa stabilisasi pangan adalah stabilisasi upah karena upah buruh pasti mengacu pada hal yang paling mendasar yakni konsumsi bahan pangan.

Negara yang kita lihat sangat kapitalistis, seperti Korea Selatan, bahkan Taiwan, berhasil menjalankan program-program yang esensinya merupakan agenda Negara sosialis, seperti reformasi agraria. Sebaliknya, Negara-negara yang menjalankan program sosialisme di tahun 1960an, seperti India, termasuk juga Indonesia, berakhir dengan program “developmentalisme” yang dijalankan secara masif.

India tidak mempunyai state managerial yang bagus dan tidak mempunyai asosiasi sektoral yang memonitor kebijakan-kebijakan ekonomi seperti di Korea Selatan. Di bawah Nehru, kapitalisme tidak dapat dibungkam karena Negara tidak demikian kuat. Sementara di bawah Park Chung-hee di Korea Selatan, kapitalisme dapat berkembang dengan baik justru karena adanya negara yang kuat. Namun demikian, saya tidak mengatakan bahwa campur tangan negara perlu dihilangkan, kasus India dan Korea Selatan justru sekaligus menunjukkan gagalnya pasar sebagai sistem “self regulatory” karena ketika tidak dikekang oleh Negara, harga-harga komoditas menjadi naik tinggi, sebagai misal harga gula dan harga tekstil di India yang melonjak di akhir tahun 1940an. Gagalnya pasar untuk mengatur dirinya sendiri menyebabkan kaum industrialis mengandalkan peran Negara, yang ironinya ternyata berjalan dengan sistem birokrasi kacau balau.

Buku Vivek Chibber ini merefleksikan dua hal besar. Pertama, mengajak kita beranjak dari debat lama soal pelemahan Negara dan penguatan pihak pengusaha swasta. Korea Selatan menunjukkan bahwa salah satu syarat dari pertumbuhan eksport led industrialization adalah karena rasionalitas birokrasi dimana terjadi koherensi antara kerjasama menteri-menteri dengan pihak pemilik industri. Dengan demikian, untuk melakukan pembukaan investasi, justru dibutuhkan negara yang kuat, khususnya secara hukum dan koherensi antar birokrasi. Pertumbuhan ekonomi jelas merupakan kebijakan memerlukan Negara yang kuat, bukan sebaliknya . Intervensi negara jelas diperlukan untuk mencegah instabilitas pasar, naik nilai tukar mata uang, menciptakan tingkat upah yang stabil, meregulasi arus modal yang masuk dan mendisiplinkan kapital. Negara, seperti Korea, tidak berperan sebagai pemberi subsidi (seperti yang selama ini dilakukan oleh Indonesia) yang menyebabkan jatuh terjebak ke dalam hutang. Kedua, buku ini sekaligus merefleksikan kondisi pasca ideologi. Negara yang selama ini kita anggap menjalankan sistem kapitalisme mutakhir, seperti Korea Selatan, Taiwan dan Jepang, justru sangatlah sosialis. Parameternya pada pembagian tanah secara merata pada penggarap. Sebaliknya, negara yang dulunya menjalankan program sosialisme justru menyerah dengan menjalankan berbagai macam program pembangunan (developmentalisme) dan menjadi sasaran empuk berbagai proyek politik neoliberalisme.

Namun demikian, di buku ini, Chibber tidak menggambarkan skala politik regional. Mengapa India cenderung gagal? Mengapa Korea Selatan justru sukses?

Yang patut diperhatikan adalah pada negara-negara disekitarnya sebagai penunjang kerjasama. Secara regional, kasus India karena tidak ada negara-negara pendukung industri yang kuat. India dikelilingi oleh Bangladesh, Srilanka, dan Pakistan. Bandingkan dengan Korea yang disekitarnya didukung oleh Taiwan dan Jepang. Kondisi regional jelas terhubung dengan konteks waktu. Tahun 1960an, Amerika memaksa Korea untuk lebih menerapkan ekspor karena pada saat yang Amerika membutuhkan ekspor tekstil dalam jumlah besar. Hal paling terpenting adalah aliansi Jepang dan Korea. Amerika melakukan proteksi ketat terhadap ekspor dari Jepang. Namun Jepang menanamkan investasi industry offshore ke Korea yang nantinya di ekspor Amerika. Jepang memperbaharui mesin-mesin tekstil di Korea yang sudah menua demi meningkatkan kualitas ekspor. Di bawah rejim Park Chung-hee, kurang lebih terdapat 15 firma Jepang di Korea yang sampai 86% mendominasi ekspor ke Amerika. Tentu saja Park Chung Hee gembira karena ia juga mendapatkan pajak dari firma-firma Jepang tersebut.

– Hatib Abdul Kadir* –

* Hatib Abdul Kadir, Mahasiswa PhD jurusan antropologi University of California, Santa Cruz. Juga seorang dosen antropologi di Universitas Brawijaya.

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Categories
Penulis Tamu

TUHAN DAN SEJARAH AKHLAK PEMBEBASAN

Sejarah perkembangan Islam pada dasarnya tidak pernah terlepas dari tindakan-tindakan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat dalam upaya membentuk karakter akhlaqul karimah pada umatnya. Mengingat pentingnya misi ini, Nabi bersabda bahwa “Sesungguhnya Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia”. Nilai inilah yang selanjutnya melatari setiap tindakan Rasulullah dalam menyampaikan syiar Islam pada zamannya. Bahkan ketinggian nilai akhlak dalam hal tertentu dapat mengenyampingkan aspek teologi demi perdamaian dan toleransi, seperti yang telah terukir dengan baik dalam sejarah perjanjian Hudaibiyah.

Peristiwa perjanjian hudaibiyah ini terjadi pada tahun 628 M. Pada saat itu Rasulullah bersama rombongan sedang dalam perjalanan menuju Madinah untuk menunaikan ibadah haji. Namun kondisi kekhawatiran dan kesulitan menghinggapi umat muslim yang ikut bersama Rasulullah, karena pada saat itu kota Mekkah masih dikuasai sepenuhnya oleh kaum penentang dari Suku Quraisy. Menyadari hal ini dalam menempuh perjalanan dari Madinah ke Mekkah Rasululullah telah menyiapkan beberapa strategi khusus untuk mencegah timbulnya peperangan dengan kaum Quraisy yang tidak rela kaum muslimin memasuki kota mekkah. Untuk itu Rasulullah menerapkan beberapa strategi, Pertama, Memilih rute perjalanan yang tidak menimbulkan kecurigaan kaum penentang dari suku Quraisy. Kedua, Kendaraan yang ditunggangi untuk perjalanan ke Mekkah diberikan tanda khusus agar tidak dicurigai sebagai kendaraan perang. Ketiga, Rasulullah juga memerintahkan agar seluruh pedang yang dibawa agar disarungkan. Hal ini untuk menunjukkan bahwa kedatangan kaum muslimin tidak bermaksud untuk berperang, melainkan untuk beribadah semata. Namun ketika akan sampai kota Mekkah, Rombongan Rasulullah dihalangi oleh kaum penentang dan tidak mengizinkan mereka masuk ke Mekkah. Melihat hal tersebut, untuk menghindari peperangan akhirnya Rasulullah atas saran Umar Bin Khattab mengutus Usman Bin Affan untuk menemui Abu Sufyan, perwakilan dari kelompok penentang untuk menjelaskan bahwa maksud kedatangan kaum muslimin hanya untuk beribadah. Namun perundingan itu gagal, karena Abu Sufyan tetap melarang kaum muslimin memasuki kota mekkah.

Selanjutnya perundingan dilanjutkan kembali dengan Suhail Bin Amr. Hasil Perjanjian ini awalnya mendapat penolakan keras dari para sahabat dan rombongan pada saat itu, karena perjanjian ini dinilai akan sangat merugikan kaum Muslimin. Salah satu butir perjanjian tersebut adalah kaum Quraisy menolak perjanjian itu dimulai dengan kata kata “Bismillahirrahmanirrahim”, Suhail menyebutkan bahwa “kami tidak mengenal Ar-Rahman!” tulis saja seperti biasanya,“bismika allahumma”. Nabi menuruti permintaan Suhail dan meminta Ali menuliskan “bismika allahumma”. Namun Rasulullah juga meminta Ali menambahkan kata kata “hadza ma Qadha ‘alaih Muhammad Rasulullah” (inilah ketetapan muhammad rasulullah). Namun Suhail kembali menolak hal ini, karena ia dan kaumnya tidak mengakui Muhammad sebagai rasulullah, Namun Rasulullah tetap menerima perjanjian tersebut.

Butir perjanjian lainnya yang merugikan adalah gagalnya kaum muslimin menunaikan ibadah haji pada saat itu juga, karena menurut perjanjian ibadah haji baru dapat dilaksanakan tahun depan. Meskipun niat awal kaum muslimin untuk menunaikan ibadah haji pada tahun itu gagal, namun sejarah memperlihatkan bahwa setelah peristiwa perjanjian Hudaibiyah itu, kaum muslimin justru semakin berjaya pada masa-masa selanjutnya.

Kesadaran akan tingginya nilai akhlak tidak hanya bersemayam dalam ajaran Islam saja, melainkan juga mengakar pada agama agama yang menekankan pada spiritualitas seperti halnya Buddha. Tidak sulit bagi kita untuk menemukan samudera kata kata Buddha yang menganjurkan berbuat baik bagi sesama manusia dan alam, menghindari kejahatan dan saling menghormati sesama. Diantara ajaran tersebut dapat dilihat dalam ungkapan “Barangsiapa mencari kebahagiaan dari diri sendiri dengan jalan menganiaya makhluk lain yang juga mendambakan kebahagiaan, maka setelah mati ia tidak akan memperoleh kebahagiaan” (Danda Vagga 3, Dhammapada X; 131).

Pencapaian seluruh aturan “Budi Dharma” dalam ajaran Buddha hanya dapat ditempuh melalui meditasi dan pembersihan diri seperti dinyatakan “Tidak melakukan segala bentuk kejahatan, senantiasa mengembangkan kebajikan, dan membersihkan batin; inilah Ajaran Para Buddha” (Buddha 5, Dhammapada XIV; 183). Bagi Buddhist yang senantiasa memelihara ajaran tersebut maka nilai itu juga akan tertanam sampai kapanpun. Dalam lintas sejarah kemanusiaan, nilai ini telah banyak dipraktikkan oleh tokoh tokoh spiritual Buddha, seperti halnya Dalai Lama. Pada Tahun 1950 pada saat China menduduki Tibet, masyarakat Tibet seringkali menerima kekerasan dan penganiayaan dari tentara China. Sikap kekerasan tersebut tidak diladeni oleh Dalai Lama XIV, karena berpegang teguh pada ajaran Buddha yang melarang melakukan kekerasan. Namun perlawanan diplomatis tetap dilakukan Dalai Lama selama kurang lebih empat puluh tahun lamanya. Pada tahun 1950 Dalai Lama secara resmi menduduki tahta kepemimpinan tertinggi baik secara spiritual maupun temporal bagi 6 juta rakyat Tibet. Karena situasi pendudukan dan penganiayaan tentara RRC terhadap rakyat Tibet, Dalai yang ketika itu berusia 15 tahun memutuskan untuk mengakhiri konflik dengan cara diplomasi. Dalai Lama mengutus delegasi ke berbagai Negara seperti Amerika, Inggris, Nepal dan termasuk RRC sendiri. Namun upaya upaya itu gagal membuahkan hasil. Pada 17 maret 1959 muncul desas desus akan ada serangan baru dari tentara China melalui udara, sehingga Dalai Lama terpaksa mengasingkan diri ke India.

Untuk mencegah terjadinya kekerasan yang berlarut larut, Dalai Lama memutuskan untuk mengeluarkan lima poin resolusi konflik kepada Amerika, diantara point penting tersebut Dalai Lama meminta agar seluruh Tibet dijadikan sebagai wilayah ahimsa (zona tanpa kekerasan), menghormati hak azasi manusia warga Tibet, serta mendorong berlangsungnya negosiasi dan dialog antara Tibet dan masyarakat China. Pasca resolusi tersebut, dukungan dunia mulai mengalir dan ketegangan antara China dan Tibet mulai sedikit mereda. Atas usaha-usahanya menghindari kekerasan dan mendorong perdamaian dunia, Tenzin Gyatso (Dalai Lama XIV) memperoleh penghargaan Nobel Perdamaian pada Tahun 1989. Dalam konteks peristiwa aktual, untuk kasus Konflik umat Buddha dan Muslim Rohingnya, Dalai lama XIV melalui surat kabar The Australian telah berulang kali meminta Aung San Suu Kyi untuk membantu dan berbuat lebih banyak untuk muslim Rohingnya. Dalam suratkabar tersebut ia juga menyebutkan “Ada yang salah dengan cara manusia berpikir, pada akhirnya kita kurang peduli dengan kehidupan orang lain”.

Demikian juga halnya dengan dengan beberapa agama lainnya di dunia, seperti Yahudi dan Kristen. Meski bagi sebagian besar umat Islam memiliki sikap antipati terhadap Yahudi, namun tentu tidak semua umat yahudi pro terhadap zionisme dan kekerasan. Kesadaran ini telah diwujudkan dalam lensa sejarah dunia oleh sekumpulan Rabi Yahudi Ortodoks yang bermukim di Amerika Serikat untuk mengkampanyekan anti zionisme dan kekerasan.

Para Tokoh agama Yahudi ini berkumpul dalam suatu wadah organisasi yang bernama “Neturei Karta”, Organisasi ini telah berdiri mulai tahun 1935 yang dipelopori oleh Rabi Yisroel Ben Eliezer. Juru bicara Neturei Karta, Rabi Yisroel Dovid Weiss menyebutkan bahwa “Zionisme” tidak sama dengan “Yudaisme”. Bagi Yisroel, zionisme merupakan tindakan yang telah mengotori dinding ratapan. Yisroel bersama Rabi lainnya juga secara aktif mengkampanyekan gerakan anti zionisme ke berbagai Negara, termasuk Iran dan Indonesia. Selain itu mereka juga menjumpai tokoh tokoh agama muslim untuk menjalin persahabatan dan persaudaraan global.

Tidak jauh berbeda dengan itu, dikalangan umat kristiani juga telah banyak bermunculan tokoh tokoh perdamaian antar umat beragama seperti Dr. Paul Marshall, Pdt. Stephen Tong, Pdt. Benyamin F Intan dan yang cukup popular di Indonesia Franz Magnis Suseno. Mereka ini secara aktif terus menerus menyuarakan perdamaian dan toleransi antar umat beragama. Menurut Pdt. Benyamin F Intan berbuat kebajikan dan mendorong perdamaian merupakan perintah kitab suci injil seperti yang tertuang dalam Efesus 2 : 10 ; “Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan perbuatan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya”.

Pemaparan kisah sejarah diatas tentu saja bukanlah suatu upaya menghubung-hubungkan penggalan sejarah yang ada, tapi secara lebih mendasar ia merupakan suatu susunan mosaik yang membantu kita memahami makna khsusus dari kesatuan penggalan sejarah tersebut. Dari latar belakang sejarah ini, kita melihat bahwa diatas segala perbedaan yang ada, perdamaian dan toleransi adalah metode paling religius dalam upaya menghadirkan nilai nilai Tuhan di muka bumi. Jika setiap orang bisa berbeda dengan yang lainnya baik dari sisi ideologi maupun agama karena menggunakan hak kebebasan individualnya masing masing, maka tanpa adanya kebebasan dapat dipastikan tidak ada satupun pemahaman yang muncul.

Setiap manusia, apapun latar belakang hidup dan agamanya, memiliki hasrat manusiawi untuk mengetahui sesuatu yang benar. Agama yang benar, sistem politik yang benar, ekonomi yang benar dan berbagai konsep kebenaran lainnya. Karena itu, Untuk mengetahui sesuatu disebut benar atau tidak, pertama-tama manusia harus memiliki setidak tidaknya kebebasan bagi diri individunya untuk mencari dan memahami segala sesuatu, sehingga dengan memanfaatkan kebebasan yang ada dalam dirinya tersebut, setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh kebenaran hidup. Oleh sebab itu, Tuhan Yang Maha Bijaksana telah menganugerahkan kebebasan bagi setiap individu untuk memahami kalamnya yang Agung. Tuhan secara azali telah menyadari bahwa konsekuensi penciptaan makhluk yang beragam akan menimbulkan keragaman pandangan yang berpotensi melahirkan pertikaian. Namun dibalik itu semua, Tuhan telah menurunkan seperangkat pranata sosial suci yang berguna bagi harmonisasi segala keragaman itu, yakni “akhlak”. Kata akhlak dalam bahasa arab berasal dari kata “khalqun” yang terambil dari kata “Khaliq” (pencipta). Hal ini menununjukkan bahwa perilaku akhlak dapat terbentuk sebagai ekses hubungannya dengan sang Khaliq sebagai referen bagi makhluk.

Dari sinilah kita menyadari pentingnya menyemai dimensi spiritual bagi setiap manusia, karena bagi jiwa manusia yang terjebak dalam raga, ia berhenti pada keterbatasannya dan tidak mampu keluar dari ego kebenaran yang ia ciptakan sendiri. Sedangkan dimensi spiritual agama merupakan instrument khusus bagi manusia untuk membebaskan jiwa dari keterkungkungan raga yang terbatas. Melalui jiwa yang telah terbebas inilah manusia mampu membentuk karakater akhlak yang pada gilirannya menciptakan kedamaian dalam keragaman dan sekaligus menjadi rahmat bagi semesta.

– T. Muhammad Jafar Sulaiman* & Zuhri A. Sabri** –

*T. Muhammad Jafar Sulaiman,
Pemikir muda, Pengajar Filsafat Politik
**Zuhri A. Sabri, Alumnus fakultas hukum Universitas Syiah Kuala

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Foto featured image diambil dari: commons.wikimedia.org. dengan lisensi public domain

Categories
Penulis Tamu

Islam Mazhab Tutup Botol

Padebooks menerbitkan buku karya Khairil Miswar berjudul ‘Habis Gelap Terbitlah Stres’. Buku itu menyorot fenomena yang terjadi di Aceh tentang tuduhan-tuduhan sesat kepada orang atau aliran tertentu yang tidak sesuai dengan keyakinan yang dipegang.

Buku itu merupakan kompilasi tulisan-tulisan Khairil Miswar yang telah dipublikasi di berbagai media massa. Mengenai penerbitan kompilasi tulisan, itu merupakan tren yang semakin populer dewasa ini. Haidar Bagir sendiri yang awalnya tampak pesimis menerbitkan kompilasi tulisannya, akhirnya melakukan itu dengan terbitnya ‘Islam Tuhan, Islam Manusia’. Dalam testimoninya tentang buku Haidar Bagir itu, Goenawar Mohammad mengatakan “Haidar Bagir menunjukkan bahwa sebuah kumpulan tulisan adalah bentuk yang pas buat zaman ini.”

Bagaimana tidak, zaman ini adalah zaman sibuk. Orang-orang tidak sempat membaca sebuah pembahasan yang panjang. Tetapi butuh untuk menghimpun keseluruhan pemikiran seseorang. Kedua persoalan tersebut teratasi dengan sebuah buku yang merupakan kumpulan tulisan.

Dalam hal ini, Goenawan Mohammad dalam ‘Puisi dan Anti Puisi’ juga pernah mempertanyakan “Adakah yang selesai ditulis di zaman ini?”. Secara umum tentunya jawaban untuk pertanyaan tersebut adalah: Tidak! Karena, dewasa ini, setiap fenomena selalu viral dan meredup tanpa memberikan penutup memadai. Segala fenomena dan peristiwa umumnya tidak pernah terselesaikan dengan suatu alur yang jelas. Lagi pula, pada zaman ini orang-orang tidak ingin sebuah tulisan, terutama sebuah buku semacam menganut plot novel atau sandiwara radio. Publik kini tidak suka sebuah kesimpulan utuh yang dibuat seorang penulis setelah menguraikan persoalan-persoalan. Kesimpulan dalam bentuk saran atau solusi, sebagaimana umumnya terjadi dalam sebuah buku utuh, dewasa ini dikesankan sebagai sebuah bentuk dikte. Dan itu tidak disukai pembaca di zaman ini.

Dengan begitu, Khairil Miswar hadir dengan ‘Habis sesat, Terbitlah Stress’ untuk menggambarkan fenomena-fenomena ketegangan beragama di Aceh.

Fenomena kafir-mengkafirkan, sesat-menyiasati memang telah menjadi fenomena yang lagi ”ngetren” di Aceh: mulai dari adanya orang ”khutbah” di bawah mimbar saat khatib sedang menyampaikan khutbah di atas mimbar, fenomena membuang mimbar, maupun perdebatan klasik seperti jumlah rakaat tarawih dan pengulangan bacaan rukun khutbah.

Menanggapi perbedaan pandangan yang telah terjadi sejak bermulanya syiar Islam, saya melihat semua paham, baik itu aliran mampun mazhab, semuanya adalah konstruksi manusia terhadap Islam yang hikmahnya tiada terbatas. Setiap orang memiliki horison (baca: kapasitas) masing-masing dalam memahami apapun termasuk agama.

Islam itu seperti samudra. Tidak terbatas. Setiap manusia punya kapasitas masing-masing dalam memahami Islam. Analoginya seperti sejumlah orang yang datang ke pantai untuk menimba air laut. Begitulah setiap orang datang berusaha memahami Islam yang sangat dalam yang luas itu. Orang yang akalnya panjang seperti orang yang datang untuk menimba air laut dengan membawa ember. Ada yang akalnya tidak terlalu panjang seperti datang menimba air laut dengan botol. Ada juga hamba Tuhan dengan kapasitas akalnya yang rendah, seperti orang yang datang mengambil air laut dengan tutup botol.

Setiap dari mereka benar selama mengatakan “Di dalam wadah saya ini adalah air laut”. Mereka seperti orang yang mengatakan, “Mazhab (atau aliran) yang saya pegang ini saya yakini adalah benar”. Tetapi mereka menjadi salah ketika mengatakan, “Lautan adalah di dalam wadah saya.” Itu seperti mengatakan, “Hanya mazhab (atau aliran) yang saya pegang inilah yang benar.”

Kita perlu sadar bahwa Islam yang kita pelajari dari Al-Qur’an, Hadits, pengajian, ceramah-ceramah dan tulisan-tulisan, semuanya dilimit oleh batas akal kita dalam memahaminya. Sekalipun itu fatwa ulama yang kita sangat yakin akan keilmuan dan kewibawaannya, tetap saja ulama itu memahami Islam menurut batas akalnya. Lalu kita memahami fatwa ulama itu menurut batas akal kita.

Khairil Miswar, dengan corak buku yang diminati di masa kini, diharap tidak hanya sebatas memeriahkan kebangkitan intelektualisme Aceh pasca konflik-tsunami, tetapi menjadi bagian rujukan penting bagi manusia masa depan yang ingin mengetahui Aceh pasca konflik-tsunami. Semoga.

– Miswari* –

*Penulis adalah pengajar Filsafat Islam di IAIN Zawiyah Cot Kala Langsa dan Penulis buku Filsafat Terakhir.

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Categories
Penulis Tamu

UUPA DAN ASAS AUDI ET ALTERAM PARTEM

Asas Audi et Alteram Partem adalah sebuah kalimat bahasa latin yang artinya “dengarkan sisi lain”. Kalimat ini merupakan sebuah ungkapan dalam bidang hukum demi menjaga keadilan. Agar sebuah persidangan berjalan seimbang maka dikenal adanya asas Audi et Alteram Partem yang bermakna “mendengarkan dua belah pihak” atau mendengarkan juga pendapat/argumentasi lain sebelum menjatuhkan suatu putusan agar peradilan dapat berjalan seimbang. Pengertian ini Penulis kutip dalam sebuah buku yang berjudul Hak Uji Materiil yang ditulis oleh Dr. H. Imam Soebechi (mantan Hakim Agung RI). Lantas bagaimana hubungannya dengan Pasal 269 ayat (3) UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) jika dikaitkan dengan dengan penerapan asas ini?. Pasal 269 ayat (3) UUPA menyebutkan “Dalam hal adanya rencana perubahan Undang-Undang ini dilakukan dengan terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapatkan pertimbangan DPRA”. Hal ini akan Penulis uraikan lebih lanjut dengan menggunakan beberapa teori yang relevan khususnya yang berlaku dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam pembentukan atau perubahan suatu undang-undang DPR dan Pemerintah memiliki kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD, maka dari itu setiap pembentukan atau perubahan suatu undang-undang memerlukan persetujuan dari kedua lembaga Negara tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap rancangan Undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”. Yang untuk menjalankannya menjadi tugas Pemerintah sedangkan DPR berperan untuk melakukan pengawasan terkait dengan implementasi suatu undang-undang yang dijalankan oleh Pemerintah. Maka dari itu DPR dan Pemerintah disebut sebagai positif legislator.

Selanjutnya dalam studi Hukum Tata Negara kita juga mengenal adanya Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai salah satu lembaga kekuasaan kehakiman yang kewenangan konstitusionalnya mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Konsekuensi dari putusannya apabila dikabulkan akan berdampak pada perubahan suatu undang-undang, kewenangan MK inilah yang dikenal sebagai negatif legislator yang merupakan antitesa dari positif legislator.

Pasal 8 ayat (2) juncto Pasal 269 ayat (3) UUPA merupakan suatu diskursus menarik untuk diuraikan terkait dengan teori positif legislator dan negatif legislator sebagaimana Penulis kemukakan diatas. Pasal 8 ayat (2) secara gramatikal menyebutkan frasa “rencana pembentukan undang-undang”, sedangkan Pasal 269 ayat (3) secara gramatikal pula menyebutkan frasa “rencana perubahan Undang-Undang ini”. Hemat Penulis Pasal 8 ayat (2) merupakan bagian dari positif legislator, sedangkan Pasal 269 ayat (3) merupakan bagian dari positif legislator dan juga dapat merupakan bagian dari negatif legislator. Karena Pasal 8 ayat (2) lebih menekankan pada rencana pembentukan undang-undang. sedangkan Pasal 269 ayat (3) lebih menekankan pada rencana perubahan undang-undang ini. Yang bunyi lengkapnya dapat kita bandingkan sebagai berikut : Pasal 8 ayat (2), “Rencana pembentukan undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA”. Pasal ini menunjukkan semua RUU yang memiliki hubungan dengan UUPA. Selanjutnya Pasal 269 ayat (3), “Dalam hal adanya rencana perubahan Undang-Undang ini dilakukan dengan terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapatkan pertimbangan DPRA”, Pasal ini menunjukkan khusus dalam kaitannya dengan perubahan UUPA. DPR dapat mengubahnya melalui political review sedangkan MK dapat mengubahnya melalui judicial review.

Dalam perkembangan sistem pemerintahan di Aceh selama ini ada warga masyarakat Aceh yang melakukan uji materiil UUPA ke Mahkamah Konstitusi, diantaranya ada dua yang telah dikabulkan yaitu Pasal 256 terkait dengan calon persorangan dan Pasal 67 ayat (2) huruf g terkait dengan mantan narapidana untuk ikut dalam Pilkada (Putusan Nomor 35/PUU-VIII/2010 dan Nomor 51/PUU-XIV/2016). Dalam kedua putusan tersebut MK tidak meminta keterangan dari DPRA sebagaimana bunyi Pasal Pasal 269 ayat (3). Khusus terkait Putusan Nomor 51/PUU-XIV/2016 (perkara Abdullah Puteh) terkesan MK terlalu menyederhanakan persoalan, karena mengenyampingkan Pasal 54 UU MK sendiri tanpa perlu mendengar keterangan dari DPR dan Pemerintah selaku pembentuk undang-undang, boro-boro meminta keterangan dari DPRA. Kongkritnya dalam perkara tersebut MK telah melakukan perubahan makna Pasal 67 ayat (2) huruf g secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.

Dalam hal ini seyogyanya MK juga dapat mengikutsertakan DPRA agar dapat menggali secara subtantif nilai-nilai yang terkandung dalam UUPA sesuai dengan asas Audi et Alteram Partem (dengarkan sisi lain). Sejauh yang penulis baca kedua putusan tersebut DPRA tidak terlibat sebagai Pihak Terkait yang seharusnya bagian dari sahabat peradilan (amicus curiae). Padahal dalam Pasal 11 UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan perubahannya membuka ruang untuk itu, karena untuk kepentingan pelaksanaan wewenangnya MK dapat memanggil pejabat negara, pejabat pemerintah, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan lisan maupun tertulis termasuk dokumen yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa. Sehingga oleh karena itu tidak jarang dalam praktik beracara MK selain mendengarkan keterangan dari Pemerintah dan DPR juga mendengarkan argumentasi dari Pihak Terkait. Ketentuan Hukum Acara MK sendiri sebenarnya secara jelas mengatur hal ini khususnya ditegaskan dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, expressis verbis menyebutkan Pihak Terkait langsung dapat diberikan hak yang sama dengan Pemohon dalam memberikan keterangan dan alat bukti, apalagi DPRA merupakan pihak yang hak dan/atau kewenangannya terpengaruh langsung oleh pokok permohonan.

Apabila kita membaca dengan seksama kandungan UUPA memang tidak bisa sembarangan untuk mengubahnya. Setidaknya ada beberapa pasal yang mirip antara satu dan lainnya yaitu Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 23 ayat (1) huruf i, Pasal 42 ayat (2) dan Pasal 269 ayat (3). Bila kita renungkan pasal atau norma yang dituangkan secara berulang-ulang pastilah memiliki nilai penting karena dirumuskan dalam suasana yang penuh dengan duka konflik, gempa, dan tsunami. Padahal MK juga memahami dua pasal yang pernah diuji tersebut sangat erat kaitannya dengan Pilkada Aceh, yang dalam uji materiil UU Pemerintahan Daerah dan UU Kekuasaan Kehakiman (Perkara Nomor 97/PUU-XI/2013) sebelumnya MK menegaskan bahwa Pilkada merupakan rezim pemerintahan daerah bukan rezim pemilihan umum, dalam hal ini DPRA adalah lembaga perwakilan rakyat yang secara konstitusional merupakan bagian dari penyelenggara pemerintahan daerah sejatinya harus didengar keterangannya sebagai pihak terkait.

Kesimpulan Penulis memang pengujian undang-undang terhadap UUD merupakan hak konstitusional setiap warga Negara dan putusan pengadilan harus dihormati. Akan tetapi kedepan MK juga harus lebih jeli melihat urgensi kelahiran UUPA dengan menjadi hakim yang aktif sesuai dengan kaidah hukum acara agar dapat menemukan keadilan subtantif sebagaimana yang MK dengungkan selama ini. Selanjutnya para pemangku kepentingan di Aceh khususnya DPRA harus berperan aktif untuk mengajukan diri sebagai Pihak Terkait langsung maupun tidak langsung jika dikemudian hari UUPA kembali di uji materiil, agar tidak satu persatu norma UUPA saling berguguran seperti sekarang ini. Disinilah sejatinya letak penerapan asas Audi et Alteram Partem untuk mendengarkan keterangan pemohon dan pihak terkait secara seimbang. Semoga tulisan ini dapat menjadi sumbangsih pemikiran bagi kita yang masih memiliki kepekaan dan semangat untuk menjaga purifikasi Undang-Undang Pemerintahan Aceh.

– Hesphynosa Risfa, S.H., M.H. –

Hesphynosa Risfa, S.H., M.H., Advokat
(Email : hesphy_nosa@yahoo.co.id)

Sumber :

  1. Buku Hukum Acara Pengujian Undang-Undang (Prof. Jimly Assiddiqie)
  2. Buku Hak Uji Materiil (Dr. H. Imam Soebechi)
  3. UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan perubahannya
  4. UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh
  5. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Sumber foto asli sebelum olah digital: pixabay dengan lisensi CC0.

Categories
Penulis Tamu

APA ADA OBJEKTIF PENELITIAN ILMIAH ITU?

Filsafat ilmu menuntut semua sistem epistemologi ilmu pengetahuan harus objektif. Tetapi apakah bidang-bidang ilmu ada memenuhi tuntutan itu?
Apa ada objektif penelitian ilmiah itu?

Kalau ilmu matematika itu, ada memenuhi tuntutan objektivitas. Sebab dianya tidak mungkin relatif. Ilmu itu tidak bisa dikonstruk secara subjektif. Tetapi kesimpulan-kesimpulan yang dibuat dari ilmu-ilmu yang mengandalkan matematika sebagai tumpuan utamanya, sangat sering, atau bahkan tidak mampu ilmu-ilmu itu disimpulkan dengan benar-benar objektif. Ambil contoh ilmu kimia dan ilmu fisika. Dua ilmu yang mengandalkan matematika itu tidak dapat objektif dalam kemimpulan-kesimpulan yang dibuat para ilmuannya. Para ilmuan-ilmuan ilmu-ilmu tersebut itu terpaksa, atau dengan motif tertentu yang tidak ilmiah, atau karena sebenarnya mustahil dengan sebenar-benarnya, untuk dapat membuat simpulan-simpulan objektif. Maka itu, mereka kerap membuat lompatan-lompatan, atau konstruksi-konstruksi yang tidak mengikuti kaidah matematika atapun kaidah-kaidah statistik dalam proses melahirkan simpulan-simpulan.

Dari kesadaran objektivitas matematika, kepada ilmu-ilmu sosial dituntut menggunakan matematika (dalam hal ini statistik) sebagai fondasi epsitemologis ilmu-ilmu sosial. Jadinya ilmu-ilmu sosial difardhukan menggunakan data-data yang ”diasumsikan objektif”. Data-data dari ilmu-ilmu sosial baru diabsahkan bila dianya itu diakui oleh kalangan-kalangan elit yang dianggap ahli untuk disiplin tertentu dari ilmu-ilmu sosial. Mereka tidak ingat lagi bahwa orang-orang yang mendapat pengakuan sebagai orang ahli itu tidak juga benar-benar objektif: relasi, keahlian lobi secara politis, karena dulunya pamannya adalah rektor atau menteri, sangat mempengaruhi proses orang itu diakui sebagai ahli dan mendapatkan kertas (entah itu SK, setrifikat atau ijazah) sehingga dia dianggap (bahasa normatifnya: ‘diakui’) sebagai ahli.

Kalau boleh sedikit kurang sopan, ilmu-ilmu sosial tidak dapat diakui sebagai ilmu pengetahuan (science). Dia lebih layak menjadi karya sastra (literature, jangan pula menyamakan karya sarta dengan penelitian atas karya sastra dan lagi pula penelitian itu takkan objektif juga). Dari dulu memang demikian adanya ilmu-ilmu sosial itu. Ilmu sosial bukanlah ilmu (science), tetapi dia adalah pelajaran (ibrah). Orang jaman dulu (yang jauh lebih pintar daripada profesor doktor maka kini), selalu menganggap Ilmu sosial itu sebagai pelajaran (ibrah). Mereka tidak peduli akurasi fakta harus identik dengan dengan sajiannya (cerita). Bagi mereka (dan memang itulah hakikat ilmu sosial), yang penting adalah pelajaran apa yang dapat diambil dari konstruksi (sajian atau penuturan) yang disapaikan.

(Bahkan terma ”ilmu sosial” baru layak dipakai bila tidak memahami ‘ilmu’ sebagai yang objektif-positivis, tetapi ‘ilmu’ dimaknai sebagai sesuatu yang menjadi satu kesatuan antara si pengetahu dengan pengetahuannya, sehingga ilmu tidak hanya untuk bersatu dengan indera, nalar, emosi manusia tetapi bersatu dengan keseluruhan fakultas manusia.)

Yang penting, dari ilmu sejarah misalnya, bukanlah apakah benar semut sebesar kucing (Hikayat raja-raja Pasai) itu nyata atau tidak, tetapi sejauh mana carita itu mampu menggugah pembacanya atau pendengarnya. Karena yang penting adalah sejauh mana sejarah itu mampu menggugah, maka yang penting dari ilmu sejarah khususnya dan ilmu sosial umumnya, adalah kemampuan menggugah, bukan kemampuan menyajikan data-data dan mempelototi runut statistik. Bahkan data-data untuk ilmu sosial itu semuanya harus dikonstuksi agar dia dapat diberi nama atau diberi predikat (bahasa kerennya: dimaknai).

Nah, sebagaimana dikatakan tadi, karena yang penting dari ilmu sosial adalah kemampuan menggugah, yang dituntut dari ilmuan (nanti gelar atau predikat ‘ilmuan’ bagi pegiat atau bahasa kerennya ‘peneliti’ ilmu sosial kita tinjau kembali) sosial adalah kecerdikan dalam mengkonstruksi. Dengan demikian, gelar ‘ilmuan’ untuk pengiat ilmu-ilmu sosial tidak disandangkan. Mereka lebih cocok disebuat sebagai ‘tukang konstruk’ (disebut ‘ahli konstruksi’ juga boleh, biar lebih keren asalkan gelar itu mendapat izin dari para teknik sipil).

Ya, bener loh. Yang dituntut dari pegiat ilmu-ilmu sosial adalah kecerdasan mengkonstruksi. Mereka difardhukan untuk mampu mengkonstruksi mulai dari data hingga kesimpulan ”penelitian”. Predikat peneliti juga tidak layak disandangkan kepada mereka karena keseluruhan aktivitas mereka bukan meneliti tetapi mengkonstruksi. Baik itu yang pakai pendekatan kualitatif maupun kuantitatif.

Antropologi juga begitu, semua sajian tentang laporannya adalah konstruksi berkesinambungan mulai dari menafsirkan data, membuat alur, hingga mengemasnya dalam bentuk bacaan baik itu buku, jurnal, pamflet, atau lainnya. Semua kerja itu secara keseluruhannya adalah subjektif. Bahkan Antropologi adalah ilmu yang zalim ketika mereka memaknai orang yang sangat menyatu dengan alamnya dipredikatkan sebagai masyarakat yang: primitif, terbelakang dan tidak berbudaya. Sehingga umumnya antropolog mengingkari makna antropologi sendiri yaitu kajian tentang manusia dalam hubungan utamanya yaitu alamnya. Padahal yang tidak berbudaya dalam makna budaya itu sendiri adalah masyarakat yang dipredikatkan sebagai masyarakat yang maju, canggih dan berbudaya. Standar berbudaya malah disematkan pada manusia-manusia yang tidak memahami alam, pada masyarakat yang membangun gedung tinggi tanpa peduli jumlah pasir yang dikeruk dari sungai, jumlah tanah yang dihasilkan dari meratakan gunung. Masyarakat yang dianggap berbudaya malah mereka yang sama sekali tidak pandai berhamonisasi dengan alam.

Entah kapan kegiatan kepada sosial itu disebut ‘sosiologi’?. Karena sebenarnya tidak ada logi (logos/ilmu disitu, bila ‘ilmu’ dimaknai sebagai suatu hasil penelitian objektif). Karena yang ada di sana adalah konstruksi. Sehingga istilah ‘sosiokonstruksi’ lebih akurat daripada ‘sosiologi’. Untuk menjawab pertanyaan di awal alenia ini: mungkin itu dilakukan untuk membesarkan hati anak IPS 🙂

Ow, mungkin ada yang ingin membantah dengan mengatakan bahwa statistik dijadikan andalan dalam penelitian ilmu-ilmu sosial, khususnya yang memakai pendekatan kuantitatif. Loh, bukankah statistik itu dipakai untuk mengukur data. Dan data itu sendiri, dalam ilmu-ilmu sosial, adalah hasil konstruksi?

Bahkan sejarah dan fenomena dewasa ini menunjukkan bahwa pendekatan dan kesimpulan yang dihasilkan harus sesuai dengan cita rasa pemberi dukungan untuk penelitian. Atau setidaknya tidak mengganggu sang pendukung (baca: penyelenggara penelitian). Bahkan sebuah hasil penelitian, entah itu pamflet, jurnal ataupun buku, tetap harus sesuai dengan selera penerbit. Misalnya, bila tulisan ini malah memburuk-burukkan Padebooks, apakah Padebooks bersedia menerbitkan pamflet ini?

Nah, adakah selera penerbit itu objektif? Tidak sama sekali. Bahkan bayak penerbit dewasa ini mementingkan minat khalayak, bukan kualitas isi buku. Penerbit model demikian berarti orientasinya ekonomi, bukan ilmu pengetahuan. Jadi, tidak ada yang objektif. Apalagi yang diterbitkan itu tentang ilmu-ilmu sosial.

Taruhlah seseorang menerbitkan tulisan secara mandiri hasil penelitiannya tanpa bantuan dari pihak lain. Tetap saja tulisan itu akan difilter oleh masyarakat. Bila mayoritas masyarakat merasa resah dengan tulisan itu, untuk mendapatkan citra positif, rezim penguasa pemerintah akan melarang buku itu. Dengan demikian, tidak ada yang objektif kecuali matematika dan logika (bedakan logika dengan opini, retorika dan dialektika).

Apa ada objektif penelitian ilmiah itu?

– Miswari* –

*Penulis adalah pengajar Filsafat Islam di IAIN Zawiyah Cot Kala Langsa dan Penulis buku Filsafat Terakhir.

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Sumber gambar asli sebelum olah digital: pixabay dengan lisensi CC0.

Categories
Penulis Tamu

MEMBEDAH NALAR SYARI

Tulisan ini hendak menjelaskan tiga persoalan penting. Pertama, adalah implementasi syari’at Islam yang sejauh penulis amati masih jauh dari kesempurnaan. Pelanggaran syari’at justru semakin tinggi dan masyarakat tidak merasa terlibat dalam wacana syari’at yang ditawarkan oleh pemerintah. Kedua, adanya tanggapan sebagian masyarakat bahwa model keislaman yang dipraktekan sehari-hari oleh masyarakat Aceh belum dapat dikatakan sebagai Islam. Karena dianggap penuh dengan tahayyul dan bid’ah, serta tidak mencerminkan nilai-nilai normatif Al-Qur’an, hadits, dan tradisi ulama-ulama salaf. Ketiga, adanya kesan pemisahan antara ‘Agama’ dan ‘Budaya.’ Dimana dalam tatanan praktis-nya, keduanya dipisahkan dalam dua diktum yang berbeda. Agama berjalan sendiri dan budaya berjalan sendiri. Agama adalah urusan agama, dan budaya adalah persoalan budaya.