Categories
Kolom Pendiri

Bendera dan Wibawa Bangsa

Tak ada yang membantah bahwa Aceh berhak memiliki bendera sendiri berdasarkan di Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan MoU Helsinki. Tak ada pula yang berhak melarang jika ada anggota dewan lebih memilih menghabiskan waktu dan tenaganya untuk isu bendera ketimbang isu yang lain. Tapi, berasumsi bahwa jika memiliki bendera sendiri maka harkat dan martabat rakyat Aceh akan naik, maka itu adalah sebuah kesesatan berpikir yang nyata.

Categories
Kolom Pendiri

RESENSI BUKU – THE ORDINANCES OF GOVERNMENT

The Ordinance of Government (Al-Ahkam al –Sultaniyah w’al Wilayat al-Diniyya) Book Cover The Ordinance of Government (Al-Ahkam al –Sultaniyah w’al Wilayat al-Diniyya)
Al-Mawardi
Agama
Garnet Publishing, United Kingdom
2010
301

Bicara tentang kinerja pemerintahan dan aparatur yang terlibat didalam pelayanan publik, tidaklah bisa dilepaskan dari konsep maupun prinsip-prinsip tata-kelola, aturan dan ketentuan yang ada dalam penyelenggaraan pemerintahan (good governance). Jika istilah good governance yang dikampanyekan (ulang) oleh IMF (International Monetary Fund) dan Bank Dunia (World Bank) dan badan-badan PBB (Perseikatan Bangsa-Bangsa) atau UN (United Nations) seperti misalkan UNDP (United Nations for Development Project) di akhir dekade 90-an merupakan terma yang sekarang secara meluas diberbagai negara, khususnya negara-negara yang dianggap belum dan sedang berkembang di ‘dunia ketiga’ seperti Asia, Afrika dan Amerika Selatan (Hout, 2007) dan melulu dikaitkan dengan politik bantuan 1) ke negara-negara tersebut maka tata-kelola dan prinsip aturan pemerintahan sudah lebih dulu diterapkan oleh peradaban Islam. Zaman kepemimpinan Muhammad SAW dan khalifah yang empat menjadi saksi sejarah bagaimana Piagam Deklarasi Madinah benar-benar menjadi dokumen tata-kelola pemerintahan pertama yang bisa dijadikan model dalam pengaturan pemerintahan demi mencapai masyarakat yang bertransformasi secara mandiri dalam hal administrasi kota dan segenap perangkatnya. Beberapa abad kemudian, Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Habib al-Mawardi (untuk kemudian disebut dengan Al-Mawardi) atau di dunia Barat dikenal dengan nama Alboacen (972-1058 M) mencoba merangkum, memadukan dengan pengalaman barunya, dan menerapkan konsep tata-kelola pemerintahan baik secara agamis, juridis, filosofis maupun administratif Piagam Madinah ditengah kekacauan politik pada masanya, sesuai dengan latar belakangnya sebagai ulama, filusuf, hakim dan juga pengambil keputusan di masa Dinasti Abbasiyah tersebut. Tata-kelola pemerintahan ala Al-Mawardi bisa dibaca dalam buku berjudul Al-Ahkam al-Sutaniyya w’al-Wilayat al-Diniyya yang sudah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa. Dalam Bahasa Inggris buku itu diterjemahkan menjadi The Ordinance of Government atau ‘Aturan-Aturan Penyelenggaraan Pemerintahan’ oleh Prof. Wafaa H.Wahba dan diproduksi berkali-kali untuk kepentingan kajian politik dan administrasi pemerintahan di Barat oleh The Center for Muslim Contribution to Civilization2). Buku klasik ini ternyata masih cukup relevan dan populer dengan kondisi aktual dinamika sekarang dan menjadi salah satu literatur yang paling banyak dirujuk secara konsep awal oleh banyak ilmuwan dalam kajian studi good governance di dunia. Dalam konteks inilah, buku yang dimaksud juga secara fundamental bisa sesuai dengan kondisi kekinian yang ada di Aceh sebagai salah satu provinsi yang mengadopsi aturan syariat Islam dalam tata-kelola pemerintahannya. Buku ini akan menjadi sangat menarik bagi peminat kajian administrasi pemerintahan, baik mahasiswa, maupun para pejabat publik, pemimpin pemerintahan atau politisi, peminat diskursus good governance seperti aktivis LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan lembaga-lembaga non pemerintahan yang concern dengan tema-tema ini.

Dalam bukunya yang terdiri dari 20 bab, Al-Mawardi memulainya dengan perlunya kepemimpinan (imamah) dan juga kriteria bagaimana mendapatkan pemimpin yang baik bagi masyarakat. Dalam hal kriteria kepemimpinan, ia menyebutkan ada paling tidak tujuh indikator: adil dan jujur, berilmu dan independen, terbuka terhadap kritik, sehat secara fisik, bijaksana dan hati-hati, berani, dan terakhir berasal dari kalangan Quraisy. Sementara dalam hal mengangkat pemimpin pemerintahan, ia menyarankan dua metoda: pemilihan dan penunjukan/pengangkatan langsung. Bab kedua sampai dengan bab keenam, Al-Mawardi masih membicatakan kriteria dan model pengangkatan pejabat publik lain dibawah pemimpin tertinggi suatu negara atau wilayah. Pengangkatan menteri, hakim, panglima militer, komandan atau pemimpin ekspedisi dari pasukan yang menjalankan operasi khusus demi kepentingan publik.

Kemudian bab ketujuh ia berbicara mengenai bagaimana menyelesaikan permasalahan diantara dua pihak berkonflik oleh pejabat publik yang berwenang. Bab kedelapan ia mengusulkan agar pemerintah mempunyai satu lembaga yang mengatur agar kelompok dari kalangan terhormat dalam masyarakat tidak diperintah oleh seorang pejabat publik yang berasal dari kalangan dibawahnya. Hal ini penting menurutnya dikarenakan bisa jadi mereka yang dari golongan ’atas’ tidak mau tunduk secara psikologis atas keputusan dalam permasalahan tertentu. Kelompok ’atas’ ini sebaliknya harus menerima apapun keputusan dari salah satu diantara tiga ofisial berikut: khalifah sendiri, sesorang yang didelegasikan oleh khalifah untuk menyelesaikan konflik dimaksud, atau perwakilan khalifah yang diberikan tugas dengan kewenangan tertentu yang terbatas. Menariknya di bab kesembilan Al-Mawardi kembali ke kriteria dan metode penunjukan imam shalat, setelah diselingi dengan dua bab mengenai penyelesaian sengketa publik.

Pengelolaan kegiatan publik seperti administrasi jemaah haji, zakat dan harta rampasan perang menjadi perhatiannya pada bab-bab berikutnya. Selain itu ia juga mengupas mengenai bagaimana mengelola pajak hasil bumi dan bangunan yang ditujukan kepada pihak non-muslim. Dengan lugas ia secara bertahap membagi kategori-kategori dan tata cara pemungutan pajak, dan yang menarik adalah ketentuan bahwa ’pajak tidak bisa sama sekali dipungut sebelum waktunya jatuh tempo.

Di bab selanjutnya, bab keempat belas, Al-Mawardi membagi kategori yang disebut wilayah (kedaulatan) otorita pemerintahan Islam. Pada bab kelima belas ia kembali membahas bagaimana mengatur adminsitrasi pelayanan publik, yakni berkenaan dengan reklamasi tanah/pembukaan lahan dan pembagian pasokan air bersih. Di bab keenam belas ia fokuskan pada pembahasan mengenai pembukaan sarana dan fasilitas publik, perlindungan terhadap tanah tidak tergarap dari kepentingan individu non-publik. Hibah tanah dan pemberian hak pengelolaan tanah dan hasilnya merupakan fokus Al-Mawardi di bagian bab ketujuh belas. Ia mendefinisikan tanah dalam tiga pengertian: tanah mati dan tidak tergarap, tanah yang sudah diolah/tanah garapan, dan tanah yang jadi sumber pertambangan.

Perhatian figur cendikia asal Basra ini kemudian beralih ke persoalan status dan ketentuan pengelolaan lembaga atau pusat adminsitrasi negara (semacam LAN/Lembaga Administrasi Negara). Ia mengatakan bahwa lembaga ini diperlukan untuk menjaga keamanan dokumen dan properti pemerintahan dan kemiliteran beserta personil yang terlibat didalamnya. Lembaga itu diberi nama Diwan. Lembaga administrasi negara ini harus dibagi kedalam empat departemen yaitu: departemen arsip dan gaji kemiliteran, departemen arsip pajak dan kewajiban keuangan daerah, departemen catatan penunjukan dan pemberhentian pejabat publik, dan yang terakhir, departemen arsip penerimaan negara dan pajak dari baitul maal. Ia juga menjelaskan secara rinci dan panjang bagaimana klasifikasi data dan arsip negara disimpan secara rapi. Di akhir penjelasan, ia menekankan dua kategori wajib bagi kepala lembaga pusat administrasi dan arsip negara, yaitu: jujur dan punya kompetensi.

Sebelum menutup penjelasan panjangnya di bab keduapuluh tentang proses pengangkatan petugas dan lembaga pengawas pasar dan perdagangan (sejenis Ombudsman3) dan hisba4) ) dan memastikan semua aktivitas pelayanan publik dari negara berjalan sesuai standar ia menyinggung tentang administrasi dan prosesi penjatuhan hukuman secara gamblang di bab kesembilan belas. Beberapa kasus yang disebutkan dalam penjelasannya adalah kasus perzinahan, pencurian, pemabuk, fitnah dan pencemaran nama baik (terkait kasus asusila dan zina), kompensasi dan hak balas dalam kasus kematian dan hukuman mati, serta terakhir berkaitan dengan hukuman non-legal terkait pelanggaran disiplin dan hukuman non-publik. Sementara di bagian akhir, Al-Mawardi menjelaskan panjang lebar mengenai pentingnya lembaga pengawas dan penjaga moral ofisial negara dalam menjalankan tugas sebagai penyedia jasa layanan publik agar tidak melakukan tindakan diluar kewenangan, penyelewengan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme yang merugikan masyarakat.

Apa yang sudah ditawarkan oleh Al-Mawardi tentunya menjadi demikian penting ditengah memuncaknya rasa ketidakpercayaan publik terhadap administrasi pemerintahan kita saat ini. Meskipun konsep yang dikemukakannya sedikit klasik, namun tidak dapat dipungkiri bahwa ia telah memberikan inspirasi secara langsung dan tidak langsung terhadap penyelenggaraan aparatur pemerintahan. Konsep pengawasan pasar yang bisa dilacak jauh ke masa Khalifah Umar bin Khattab sekarang dipakai dimana-mana. Dalam pemaknaan lebih luas, konsep pengawasan pasar berkembang secara aplikatif dalam hal pengawasan moral pejabat publik. Konsep yang dibarengi dengan aturan yang sangat jelas, lugas dan tegas. Penyelesaian sengketa publik, pengadaaan fasilitas publik oleh negara, ataupun metoda dan kriteria seleksi pengangkatan pejabat publik akan terus menjadi topik hangat dalam transformasi administrasi. Latar belakang yuridisnya juga menyebabkan ia sangat paham tentang bagaimana menjaga rasa keadilan publik dan membuat aturan-aturan yang empirik berbasis kejadian sehari-hari masyarakat kedalam aturan dan hukum administrasi pemerintahan. Demikian juga dengan ide pembentukan lembaga pusat administrasi negara tidak bisa tidak adalah terobosan formal yang ternyata sudah ada sejak masa Al-Mawardi hidup. Gaya paparannya yang empirikal, kategorikal, numerikal, filosofikal , jelas, tegas, dan lugas dalam hal-hal mendasar publik (fundamental) membuat buku ini menjadi semakin dibutuhkan ditengah ‘kegalauan publik’ akan kemampuan aparatur daerah dan negara saat ini.

Namun demikian, meskipun Al-Mawardi sudah berupaya kuat untuk membukukan pengalamannya selama mengabdi sebagai hakim, politisi sekaligus ilmuwan pada masa itu, bukunya meskipun fenomenal dan fundamental juga tidak sepenuhnya komprehensif. Barangkali kondisi masyarakat pada masa itu membuat kriteria seleksi kepemimpinan, khususnya poin tentang calon pemimpin harus dari kalangan Quraisy tidak bisa sepenuhnya diterapkan saat ini. Meskipun demikian, filosofi pentingnya adalah kalau bisa memilih pemimpin yang merupakan putra lokal/pribumi jika ingin mudah diterima oleh masyarakat yang awalnya biasanya apatis dan tidak partisipatif. Hal lain yang perlu jadi catatan adalah tidak adanya tawaran mekanisme promosi aparatur publik dalam buku ini. Benar bahwa ia sempat menyebutkan prosedur pemberian hukuman bagi pelanggar aturan agama dan publik, namun bab mengenai mekanisme promosi dan degradasi pejabat juga dirasa perlu ditambahkan disini. Idenya tentang pembagian wilayah jelas tidak sesuai dengan kondisi kita disini, dimana ia membagi tiga klasifikasi daerah: daerah Haram5), Hijaz dan daerah diluar Haram dan Hijaz. Demikian juga halnya dengan penyeleggaraan badan negara yang secara khusus menyelesaikan problem antar kelas di bab delapan. Kritik lain terhadap bukunya adalah meskipun fokus dalam tema-tema tertentu, kelihatannya bukunya tidak disusun dalam urutan kronologis tematik yang membuat pembaca mudah mengikutinya. Sebagai contoh misalkan, setelah berbicara detil tentang mekanisme dan kriteria pengangkatan pejabat publik di bab-bab awal, tiba-tiba beralih ke topik penyelesaian sengketa publik di bab ketujuh. Atau misalkan saat mendeskripsikan mengenai administrasi pelayanan publik dan pengadaan fasilitas publik, mendadak beralih ke permasalahan hukuman dan kriminalitas di bab kesembilan belas untuk kemudian kembali ke tema mengenai perlunya kantor atau dinas pengawasan perdagangan dan standar pelayanan publik di bab terakhir (bab keduapuluh).

Apapun itu, buku ini telah memberikan efek serta kontribusi luar biasa bagi khasanah dan praktik tata kelola pemerintahan negara sampai saat ini. Apalagi sebagian besar tawaran Al-Mawardi cocok dengan negara-negara dan daerah yang mayoritas penduduknya muslim dan atau mengadopsi sistem pemerintahan Islam atau hukum Islam. Getaran keilmuan buku ini masih hangat diperdebatkan, diterapkan dan diperkaya saat ini. Penulis merasa berkewajiban membagi informasi ini mengingat terbatasnya akses terhadap buku-buku klasik bertemakan administrasi pemerintahan, dan kinerja aparatur publik (bernuansa Islam) di nusantara. Meski konsep Al-Mawardi jelas-jelas berorientasikan hukum Islam dan dilegkapi dengan referensi kuat dari Al-Qur’an dan Hadist, namun teori dan ide fundamentalnya sangatlah universal dan compatible untuk diterapkan di negara non-muslim sekalipun. Di beberapa negara, konsep Al-Mawardi langsung atau tidak langsung sudah berjalan dengan sangat baik. Oleh karena itulah penulis sangat merekomendasikan kepada pembaca untuk menyerap inspirasi dan belajar banyak dari buku yang satu ini.

Tulisan ini pernah diterbitkan di Jurnal Transformasi Administrasi LAN, Vol.III, Issue I, Hal. 517-521, Tahun 2013 Penerbit: PKP2 A Lembaga Administrasi Negara, Jakarta.

.

Categories
Kolom Pendiri

MEMBACA ANGKATAN BARU DI ACEH DALAM KURUN WAKTU TERAKHIR INI

Suasana perpustakaan Aceh Institute sore itu semakin ramai dan riuh. Sore itu, di pertengahan tahun 2012, untuk pertama kalinya buku Acehnologi, karangan Kamaruzzaman Bustamam Ahmad dibicarakan. Pembedah yang dihadirkan tidak tanggung-tanggung, diantaranya, Prof. Bahrein Sugihen, Prof. Yusni Sabi dan Prof. Darwis Sulaiman.

Peserta yang datang dari lintas generasi. Saya, yang saat itu didapuk sebagai moderator, melihat beberapa nama tenar hadir. Diantaranya Dr. Nazamudin dan Fuad Mardhatillah. Selain itu, ada nama yang lebih muda, seperti Muhajir al Fairusy, yang kini dikenal luas sebagai antropolog Singkil.

Suasana bedah buku menjadi menarik. Sebab ini kali pertama Aceh itu di –logos-kan. Aceh dijadikan sebagai pengetahuan. Sebuah proyek yang tentunya ambisius.

Acara semakin ramai, ketika satu persatu yang hadir memberikan respon kepada buku tersebut. Peserta ramai memberikan kritik terhadap postur buku itu. Derasnya kritik yang muncul, sampai-sampai membuat Bahrein Sugihen meradang, “Kalau Kamal yang mengerjakan ini semua, bisa mati dia,” terangnya tegas. Kamal, adalah panggilan kecil untuk Kamaruzzaman, hanya duduk dan manggut-manggut saja sepanjang acara.

Lima tahun kemudian, buku kedua Acehnologi kembali dibedah di UIN Ar-Raniry. Saya tidak hadir. Namun dari jauh, melalui media sosial, saya mendapatkan bahwa buku itu mendapat sambutan yang meriah. Sampai-sampai, teman saya, Jafar Sulaiman, pegiat Sufi Muda dengan sumringah menampilkan hadiah buku dari penulis di akun facebooknya.

Tidak ada nama besar yang hadir, seperti di Aceh Institute yang lalu. Hanya ada Sehat Ihsan Sadikin, dosen Studi Islam di UIN, sebagai pembicara, dan Ramli Cibro, sebagai moderator. Nama terakhir adalah penulis artikel memikat di Serambi indonesia tentang Acehnologi (27 Maret 2017).

Acehnologi, di luar Kemal Pasha yang juga menulis sebuah esai di majalah Basis, tahun 2010, adalah penanda tentang bagaimana narasi Aceh itu disusun paska konflik. Seperti pemaknaan Ramli Cibro, dalam tulisannya mengenai Acehnologi, “…cara orang Aceh melihat Tuhannya, cara orang Aceh melihat alamnya, cara orang Aceh melihat sejarahnya dan cara orang Aceh melihat sesamanya.”

Maka dari itu, saya meletakkan kehadiran buku Acehnologi, dengan dua fragmen yang berbeda di atas, sebagai penanda. Yaitu, penanda tentang Aceh yang terus berubah, karena dorongan alam politiknya yang terus berkonflik.

Adalah Anthony Reid, dalam diskusi di Aceh Institute beberapa tahun yang lampau, mengatakan bahwa acap kali setelah konflik Aceh itu selesai, maka acap kali pula muncul kelas yang baru. Kini, apa yang disitir oleh Reid hampir satu dekade sebelumnya, sepertinya semakin menampilkan bentuk yang hampir serupa.

Konflik Aceh memang telah menampakkan kehadiran kelas yang baru. Yaitu kemunculan kelompok yang lebih terdidik. Kelompok ini awalnya diisi oleh angkatan yang terlibat secara langsung dengan konflik bersenjata selama hampir tiga dekade. Namun setelah perdamaian melewati sepuluh tahun, kelas baru yang terdidik itu muncul dari angkatan yang tidak bersentuhan sama sekali dengan konflik.

Mereka tumbuh dalam kondisi Aceh yang damai. Ciri khas dari angkatan itu adalah penguasaan bahasa asing yang terampil. Semakin kreatif dalam merespon kemajuan dan perubahan zaman. Kesempatan berkunjung ke luar negeri melebihi angkatan sebelumnya, dan menuliskannya pengalamannya tersebut untuk masyarakat luas. Singkatnya, mereka tidak membawa ingatan lama. Mereka terus memproduksi, karena posisinya sebagai subjek, dalam narasi yang baru. Yang mereka miliki sendiri.

Situasi ini, secara terpaksa, tampak mirip dengan Aceh di tahun 1970-an. Ketika generasi PUSA semakin kehilangan peran, dan seperti yang disebut oleh Isa Sulaiman (1988), tergeser oleh birokrat yang dilahirkan oleh dua kampus di Darussalam. Ditambah depolitisasi orde baru demi kestabilan pembangunan maka dengan cepat terjadinya kelas baru yang ikut menyokong pembangunan ekonomi. Hal yang dicatat dengan rapi oleh William Liddle (1997) dengan keberadaan sarjana baru itu, dan keberadaan proyek besar, Aceh dicatat masuk lima besar nasional provinsi di Indonesia yang makmur dan merata pembangunannya.

Kini, kelas baru yang terdidik itu, yang saya menjadikan penyambutan atas buku Acehnologi sebagai penanda kehadiran angkatan tersebut, telah membuat kita berfikir kembali bahwa ada sebuah narasi yang berjalan dengan cepat, yang barangkali melompati bangunan generasi yang awal. Yaitu ketika isu-isu politik yang sempat tumbuh kembang di masa-masa penting di tahun 1998-2005 dan menjadi dominan di dalam ruang publik Aceh. ke depan, hal itu akan diganti dengan hal-hal yang lebih kongkret, epsitemik dan metodologis. Tentu saja hal tersebut bergantung juga pada kesiapan pemerintah dan society, untuk memberikan ruang yang lebih besar kepada angkatan baru itu.

Gambar sebelum olah digital diambil dari : www.exploreaceh.com.

Categories
Kolom Pendiri

Eee – KTP…

Gerakan perlawanan anti korupsi di Indonesia kini menghadapi babak baru.  Kasus mega korupsi proyek E-KTP menjadi benchmark terhadap keseriusan elemen perlawanan terhadap praktik korupsi, termasuk pemerintah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan LSM anti korupsi.  Babak baru bagi pemerintah, karena ini merupakan ujian kesekian kalinya bagi pemerintah bahwa pemberantasan korupsi dan segala jenis praktik turunannya sepertinya bukan semakin terminimalisir, tapi malah semakin menjadi-jadi. Disisi lain bagi lembaga super bodi seperti KPK, kasus E-KTP juga menjadi ujian kredibilitas bagi mereka untuk menangani kasus tersebut secara tuntas tanpa terseret arus kepentingan dan politicking elit politik nasional.  Sementara untuk para aktivis LSM anti korupsi ini juga menjadi sebuah pertanda, entah baik atau buruk. Baik jika dimaknai bahwa ini adalah salah satu indikator kesuksesan, dimana kasus-kasus korupsi raksasa akhirnya terkuak. Buruk jika ini dirasai sebagai salah satu kegagalan program anti korupsi yang selama ini didengungkan. Bahwa dengan adanya LSM anti korupsi, praktik rasuah bukannya malah menurun, tapi justru semakin merajalela.

Categories
Kolom Pendiri

Politik Komen, Like dan Share

Jika media sosial semacam facebook dan twitter belum sepopuler seperti sekarang, apakah Trump, atau Jokowi, bakal memenangkan pemilihan umum di negaranya masing-masing?

Tentu apapun jawaban dari pertanyaan ini, apakah ya atau tidak, masih dapat kita perdebatkan di warung kopi. Akan tetapi, sulit dipungkiri bahwa sosial media telah mentransformasi cara kita mengambil informasi dan dalam lingkup yang sangat khusus, dapat mempengaruhi pilihan politis penggunanya.

Categories
Kolom Pendiri

Konservatisme dan Politik Identitas (Kritik atas Kapitalisme dan Demokrasi Liberal)

Kebangkitan konservatisme di berbagai penjuru dunia mengagetkan banyak orang. Munculnya ISIS, fenomena Brexit di Britania, terpilihnya Trump sebagai presiden Amerika Serikat, populernya Marine Le Pen di Perancis, hingga mobilisasi massa Islam untuk ‘menggagalkan’ seorang non-muslim menjadi gubernur di Jakarta (Ahok) membuat banyak pihak khawatir dengan masa depan dunia. Bahkan Fukuyama, si pendeklarasi “akhir sejarah”, khawatir dengan perkembangan dunia. Ia mengubah pandangannya tentang akan “abadinya” ekonomi pasar bebas dan demokrasi liberal sebagai tatanan final sistem ekonomi politik dunia. Kondisi saat ini, ujarnya, menunjukkan tanda-tanda adanya potensi perubahan sistem ekonomi politik dunia menuju ke masa lalu[ref]https://www.washingtonpost.com/news/worldviews/wp/2017/02/09/the-man-who-declared-the-end-of-history-fears-for-democracys-future/?utm_term=.120bd5f9d99b[/ref].

Categories
Kolom Pendiri

Menulis Aceh dari Dalam

Sebagai catatan yang bersifat personal, publikasi mengenai Aceh benar-benar booming, baik oleh penulis luar maupun dalam, paska tahun 2005. Beberapa kelompok masyarakat mendirikan lembaga penelitian, seperti Aceh Institute yang memiliki fokus pada penelitian dan publikasi, lalu juga ada beberapa penerbit lokal lainnya yang menerbitkan topik-topik budaya dan sastra.

Secara umum, publikasi di Aceh Institute saat itu seputar tema Aceh paska konflik. Mulai dari reintegrasi, keislaman, pemerintahan, politik dan lingkungan.

Categories
Kolom Pendiri

Menemukan Kembali Inspirasi Islam Indonesia

Beberapa negara muslim di awal abad kedua puluh mencoba untuk mendialogkan antara keislaman dan kemoderenan. Ada yang berhasil, ada pula yang gagal. Sebagai contoh yang gagal itu adalah negara Pakistan. Negara yang dapat dikatakan sebagai negara muslim pertama yang menterjemahkan diri sebagai ‘Republik Islam’, tidak mampu bergerak lebih jauh untuk mewujudkan diri sebaga negara muslim modern. Bahkan orang seperti Fazlur Rahman yang diharapkan menjadi konseptor negara Pakistan modern, harus terusir dari negara itu, akibat semakin mengkutubnya faksi konservatif di sana. Setelah Pakistan, hampir tidak ada negara muslim lainnya, sampai kemudian lahirnya revolusi Islam di Iran.

Categories
Kolom Pendiri

Erdogan dan Sekularisme di Turki

“Turkey’s two halves are like oil and water, though they may not blend, neither will dissapear” – Soner Cağaptay

Categories
Kolom Pendiri

Nasib Aceh di Tangan Pilkada

Tuhan tidak akan mengubah nasib rakyat Aceh jika rakyat Aceh tidak mengubah diri mereka sendiri. Tanggal 15 Februari nanti, Tuhan memberikan kesempatan bagi rakyat Aceh untuk mengubah nasibnya. Kesempatan untuk keluar dari pemerintahan yang lamban, salah urus, dan korup. Kesempatan untuk memilih pemimpin yang lebih baik dari yang sekarang.

Saat ini, Aceh berada di titik nadir peradaban. Kemiskinan menggerogoti masyarakat bagai kanker ganas yang tak sembuh-sembuh. Pemuda-pemudi Aceh cemas akan masa depan mereka. Di provinsi yang dihujani dana otonomi khusus ini, cari kerja susahnya setengah mati. Kemelaratan hidup jualah yang membuat jumlah anak busung lapar bertambah di Aceh.