Categories
Penulis Tamu

Nalar Toleransi

Tanpa diduga, keberadaan patung Guan Yu di Tuban, telah mengundang kehebohan di kalangan publik. Patung raksasa yang terpancang megah di area kelenteng umat Konghucu ini disebut-sebut telah memantik emosi sebagian umat Islam di Indonesia. Akibat reaksi publik yang terlihat “masif”, akhirnya patung tersebut terpaksa ditutupi kain putih. Persoalan izin mendirikan bangunan (IMB) menjadi salah satu alasan untuk menggugat keberadaan patung Guan Yu – yang dalam keyakinan pemujanya diyakini sebagai penegak keadilan yang gagah berani, jujur dan setia.

Warga Tuban sendiri (detik.com) tidak begitu mempermasalahkan monumen patung Khong Co ini. Bagi sebagian masyarakat Tuban, keberadaan patung tersebut justru bisa menambah destinasi wisata di Kota Tuban.

Sikap berbeda ditunjukkan oleh warga Konghucu yang tergabung dalam Generasi Muda Konghucu Indonesia (merdeka.com) yang justru menentang pembangunan patung kontroversial ini. Mereka berdalih, pembangunan patung di kompleks Kelenteng Tuban tersebut merupakan sikap yang tidak peka terhadap keutuhan berbangsa dan bernegara. Bahkan organisasi warga Konghucu ini membantah telah memprakarsai pembangunan patung ini.

Terlepas dari berbagai kontroversi, saya menangkap dua isu yang coba dihembuskan guna menolak keberadaan patung yang sangat dihormati oleh umat Konghucu yang sebagian penganutnya berasal dari etnis Tionghua.

Pertama, isu politis. Dalam beberapa hari terakhir di media sosial beredar foto patung Guan Yu yang disandingkan dengan patung Jenderal Sudirman. Dalam komentarnya, beberapa netizen mempertanyakan kontribusi Jenderal Guan Yu yang disebut-sebut sebagai pahlawan dari Tiongkok terhadap negara Republik Indonesia.

Pertanyaan semacam ini tentunya tidak relevan dan terkesan hiperbolik, karena sosok ini hidup jauh sebelum berdirinya Negara Tiongkok dan Republik Indonesia. Jika pertanyaan seperti ini dipertahankan, maka kita juga patut mempertanyakan kontribusi Gajah Mada terhadap Indonesia yang juga hidup sebelum Republik ini lahir.

Di sini terlihat ada upaya dari kalangan tertentu yang mencoba menggunakan isu nasionalisme guna mempertebal semangat “anti Cina” yang akhir-akhir ini terus menggelinding bagai bola salju. Ada kekhawatiran dari kubu politik tertentu bahwa keberadaan patung Guan Yu akan semakin memperteguh hegemoni Cina di tanah air.

Kedua, isu teologis. Patung yang oleh MURI dikatagorikan sebagai patung tertinggi di Asia ini telah mengundang keresahan sebagian umat Islam di Indonesia. Dalam perspektif teologis, Islam memang secara tegas melarang pembangunan patung yang dijadikan simbol kesyirikan. Pelarangan ini tidak hanya sebatas konsep teoritik yang tercantum dalam teks-teks keagamaan seperti Alquran dan hadits. Tapi praktik penghancuran patung paganisme dapat dilihat dalam sejarah fathul Makkah (penaklukan Kota Mekkah), di mana sejumlah patung yang berada dalam Ka’bah dirobohkan.

Di satu sisi, dalil-dalil dari teks suci umat Islam yang kemudian diimplementasikan dalam kenyataan sejarah kenabian memang patut dijadikan dasar untuk menolak keberadaan patung dalam komunitas muslim. Tapi di sisi lain, Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin juga memberi ruang kepada pemeluk agama lain untuk secara bebas menjalankan ajaran agamanya.

Dasar hukum kebebasan beragama dalam ajaran Islam tercantum jelas dalam surat Al-Kafirun: Lakum diinukum wa liyadin (bagimu agamamu dan bagiku agamaku) dan juga dalam surat Al-Baqarah 256: La Ikraha fiddin (tidak ada paksaan dalam agama). Dalam beberapa sabdanya, Nabi Muhammad secara tegas juga melarang perusakan rumah ibadah non muslim. Bahkan, dalam kondisi perang sekali pun, para pemimpin agama non muslim tidak boleh dibunuh.

Tidak hanya itu, sejarah umat Islam di masa lalu – yang dimulai dari masa kenabian, khulafaurrasyidin dan beberapa kekhilafahan Islam pada masa berikutnya, seperti Umayyah, Abbasiyah, Kerajaan Islam Andalusia (Cordoba) dan Khilafah Ottoman telah meninggalkan segudang fakta mencengangkan terkait kebebasan beragama. Pada masa-masa tersebut, komunitas non muslim dapat hidup dan menjalankan ajaran agamanya secara bebas, dan bahkan mendapat perlindungan dari negara.

Nah, jika dalam negara Islam saja non muslim diberi kebebasan, bagaimana pula dengan Indonesia yang notabene bukan negara agama? Fakta-fakta sejarah ini seharusnya menjadi dasar bagi umat Islam untuk memperteguh toleransi guna memelihara keberagaman.

Keberadaan patung Guan Yu di rumah ibadah kaum Konghucu di Tuban harus dipandang sebagai salah satu bentuk kebebasan beragama sehingga tidak perlu dirisaukan. Kebebasan beragama yang tercantum dalam surat Al-Kafirun tidak bisa dimaknai secara parsial sehingga memunculkan pemaknaan yang absurd. Kebebasan beragama tidak hanya kebebasan menjalankan ajaran, tapi juga kebebasan menggunakan simbol-simbol agama yang mereka yakini.

Kondisi akan berbeda jika patung atau pun simbol-simbol kepercayaan tertentu dipancang di arena publik dan di luar lokasi rumah ibadah. Artinya, pembangunan simbol keagamaan di arena publik memang berpeluang untuk dikritisi guna menghargai kaum mayoritas. Sebaliknya, pembangunan simbol agama dalam lokasi rumah ibadah harus terbebas dari kritik sebagai manifestasi dari kebebasan beragama.

Bireuen, 14 Agustus 2017

– Khairil Miswar* –

Khairil Miswar adalah peminat kajian sosial, politik dan keagamaan.
Pengarang buku Habis Sesat Terbitlah Stress.

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: