Categories
Penulis Tamu

TUHAN DAN SEJARAH AKHLAK PEMBEBASAN

Sejarah perkembangan Islam pada dasarnya tidak pernah terlepas dari tindakan-tindakan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat dalam upaya membentuk karakter akhlaqul karimah pada umatnya. Mengingat pentingnya misi ini, Nabi bersabda bahwa “Sesungguhnya Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia”. Nilai inilah yang selanjutnya melatari setiap tindakan Rasulullah dalam menyampaikan syiar Islam pada zamannya. Bahkan ketinggian nilai akhlak dalam hal tertentu dapat mengenyampingkan aspek teologi demi perdamaian dan toleransi, seperti yang telah terukir dengan baik dalam sejarah perjanjian Hudaibiyah.

Peristiwa perjanjian hudaibiyah ini terjadi pada tahun 628 M. Pada saat itu Rasulullah bersama rombongan sedang dalam perjalanan menuju Madinah untuk menunaikan ibadah haji. Namun kondisi kekhawatiran dan kesulitan menghinggapi umat muslim yang ikut bersama Rasulullah, karena pada saat itu kota Mekkah masih dikuasai sepenuhnya oleh kaum penentang dari Suku Quraisy. Menyadari hal ini dalam menempuh perjalanan dari Madinah ke Mekkah Rasululullah telah menyiapkan beberapa strategi khusus untuk mencegah timbulnya peperangan dengan kaum Quraisy yang tidak rela kaum muslimin memasuki kota mekkah. Untuk itu Rasulullah menerapkan beberapa strategi, Pertama, Memilih rute perjalanan yang tidak menimbulkan kecurigaan kaum penentang dari suku Quraisy. Kedua, Kendaraan yang ditunggangi untuk perjalanan ke Mekkah diberikan tanda khusus agar tidak dicurigai sebagai kendaraan perang. Ketiga, Rasulullah juga memerintahkan agar seluruh pedang yang dibawa agar disarungkan. Hal ini untuk menunjukkan bahwa kedatangan kaum muslimin tidak bermaksud untuk berperang, melainkan untuk beribadah semata. Namun ketika akan sampai kota Mekkah, Rombongan Rasulullah dihalangi oleh kaum penentang dan tidak mengizinkan mereka masuk ke Mekkah. Melihat hal tersebut, untuk menghindari peperangan akhirnya Rasulullah atas saran Umar Bin Khattab mengutus Usman Bin Affan untuk menemui Abu Sufyan, perwakilan dari kelompok penentang untuk menjelaskan bahwa maksud kedatangan kaum muslimin hanya untuk beribadah. Namun perundingan itu gagal, karena Abu Sufyan tetap melarang kaum muslimin memasuki kota mekkah.

Selanjutnya perundingan dilanjutkan kembali dengan Suhail Bin Amr. Hasil Perjanjian ini awalnya mendapat penolakan keras dari para sahabat dan rombongan pada saat itu, karena perjanjian ini dinilai akan sangat merugikan kaum Muslimin. Salah satu butir perjanjian tersebut adalah kaum Quraisy menolak perjanjian itu dimulai dengan kata kata “Bismillahirrahmanirrahim”, Suhail menyebutkan bahwa “kami tidak mengenal Ar-Rahman!” tulis saja seperti biasanya,“bismika allahumma”. Nabi menuruti permintaan Suhail dan meminta Ali menuliskan “bismika allahumma”. Namun Rasulullah juga meminta Ali menambahkan kata kata “hadza ma Qadha ‘alaih Muhammad Rasulullah” (inilah ketetapan muhammad rasulullah). Namun Suhail kembali menolak hal ini, karena ia dan kaumnya tidak mengakui Muhammad sebagai rasulullah, Namun Rasulullah tetap menerima perjanjian tersebut.

Butir perjanjian lainnya yang merugikan adalah gagalnya kaum muslimin menunaikan ibadah haji pada saat itu juga, karena menurut perjanjian ibadah haji baru dapat dilaksanakan tahun depan. Meskipun niat awal kaum muslimin untuk menunaikan ibadah haji pada tahun itu gagal, namun sejarah memperlihatkan bahwa setelah peristiwa perjanjian Hudaibiyah itu, kaum muslimin justru semakin berjaya pada masa-masa selanjutnya.

Kesadaran akan tingginya nilai akhlak tidak hanya bersemayam dalam ajaran Islam saja, melainkan juga mengakar pada agama agama yang menekankan pada spiritualitas seperti halnya Buddha. Tidak sulit bagi kita untuk menemukan samudera kata kata Buddha yang menganjurkan berbuat baik bagi sesama manusia dan alam, menghindari kejahatan dan saling menghormati sesama. Diantara ajaran tersebut dapat dilihat dalam ungkapan “Barangsiapa mencari kebahagiaan dari diri sendiri dengan jalan menganiaya makhluk lain yang juga mendambakan kebahagiaan, maka setelah mati ia tidak akan memperoleh kebahagiaan” (Danda Vagga 3, Dhammapada X; 131).

Pencapaian seluruh aturan “Budi Dharma” dalam ajaran Buddha hanya dapat ditempuh melalui meditasi dan pembersihan diri seperti dinyatakan “Tidak melakukan segala bentuk kejahatan, senantiasa mengembangkan kebajikan, dan membersihkan batin; inilah Ajaran Para Buddha” (Buddha 5, Dhammapada XIV; 183). Bagi Buddhist yang senantiasa memelihara ajaran tersebut maka nilai itu juga akan tertanam sampai kapanpun. Dalam lintas sejarah kemanusiaan, nilai ini telah banyak dipraktikkan oleh tokoh tokoh spiritual Buddha, seperti halnya Dalai Lama. Pada Tahun 1950 pada saat China menduduki Tibet, masyarakat Tibet seringkali menerima kekerasan dan penganiayaan dari tentara China. Sikap kekerasan tersebut tidak diladeni oleh Dalai Lama XIV, karena berpegang teguh pada ajaran Buddha yang melarang melakukan kekerasan. Namun perlawanan diplomatis tetap dilakukan Dalai Lama selama kurang lebih empat puluh tahun lamanya. Pada tahun 1950 Dalai Lama secara resmi menduduki tahta kepemimpinan tertinggi baik secara spiritual maupun temporal bagi 6 juta rakyat Tibet. Karena situasi pendudukan dan penganiayaan tentara RRC terhadap rakyat Tibet, Dalai yang ketika itu berusia 15 tahun memutuskan untuk mengakhiri konflik dengan cara diplomasi. Dalai Lama mengutus delegasi ke berbagai Negara seperti Amerika, Inggris, Nepal dan termasuk RRC sendiri. Namun upaya upaya itu gagal membuahkan hasil. Pada 17 maret 1959 muncul desas desus akan ada serangan baru dari tentara China melalui udara, sehingga Dalai Lama terpaksa mengasingkan diri ke India.

Untuk mencegah terjadinya kekerasan yang berlarut larut, Dalai Lama memutuskan untuk mengeluarkan lima poin resolusi konflik kepada Amerika, diantara point penting tersebut Dalai Lama meminta agar seluruh Tibet dijadikan sebagai wilayah ahimsa (zona tanpa kekerasan), menghormati hak azasi manusia warga Tibet, serta mendorong berlangsungnya negosiasi dan dialog antara Tibet dan masyarakat China. Pasca resolusi tersebut, dukungan dunia mulai mengalir dan ketegangan antara China dan Tibet mulai sedikit mereda. Atas usaha-usahanya menghindari kekerasan dan mendorong perdamaian dunia, Tenzin Gyatso (Dalai Lama XIV) memperoleh penghargaan Nobel Perdamaian pada Tahun 1989. Dalam konteks peristiwa aktual, untuk kasus Konflik umat Buddha dan Muslim Rohingnya, Dalai lama XIV melalui surat kabar The Australian telah berulang kali meminta Aung San Suu Kyi untuk membantu dan berbuat lebih banyak untuk muslim Rohingnya. Dalam suratkabar tersebut ia juga menyebutkan “Ada yang salah dengan cara manusia berpikir, pada akhirnya kita kurang peduli dengan kehidupan orang lain”.

Demikian juga halnya dengan dengan beberapa agama lainnya di dunia, seperti Yahudi dan Kristen. Meski bagi sebagian besar umat Islam memiliki sikap antipati terhadap Yahudi, namun tentu tidak semua umat yahudi pro terhadap zionisme dan kekerasan. Kesadaran ini telah diwujudkan dalam lensa sejarah dunia oleh sekumpulan Rabi Yahudi Ortodoks yang bermukim di Amerika Serikat untuk mengkampanyekan anti zionisme dan kekerasan.

Para Tokoh agama Yahudi ini berkumpul dalam suatu wadah organisasi yang bernama “Neturei Karta”, Organisasi ini telah berdiri mulai tahun 1935 yang dipelopori oleh Rabi Yisroel Ben Eliezer. Juru bicara Neturei Karta, Rabi Yisroel Dovid Weiss menyebutkan bahwa “Zionisme” tidak sama dengan “Yudaisme”. Bagi Yisroel, zionisme merupakan tindakan yang telah mengotori dinding ratapan. Yisroel bersama Rabi lainnya juga secara aktif mengkampanyekan gerakan anti zionisme ke berbagai Negara, termasuk Iran dan Indonesia. Selain itu mereka juga menjumpai tokoh tokoh agama muslim untuk menjalin persahabatan dan persaudaraan global.

Tidak jauh berbeda dengan itu, dikalangan umat kristiani juga telah banyak bermunculan tokoh tokoh perdamaian antar umat beragama seperti Dr. Paul Marshall, Pdt. Stephen Tong, Pdt. Benyamin F Intan dan yang cukup popular di Indonesia Franz Magnis Suseno. Mereka ini secara aktif terus menerus menyuarakan perdamaian dan toleransi antar umat beragama. Menurut Pdt. Benyamin F Intan berbuat kebajikan dan mendorong perdamaian merupakan perintah kitab suci injil seperti yang tertuang dalam Efesus 2 : 10 ; “Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan perbuatan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya”.

Pemaparan kisah sejarah diatas tentu saja bukanlah suatu upaya menghubung-hubungkan penggalan sejarah yang ada, tapi secara lebih mendasar ia merupakan suatu susunan mosaik yang membantu kita memahami makna khsusus dari kesatuan penggalan sejarah tersebut. Dari latar belakang sejarah ini, kita melihat bahwa diatas segala perbedaan yang ada, perdamaian dan toleransi adalah metode paling religius dalam upaya menghadirkan nilai nilai Tuhan di muka bumi. Jika setiap orang bisa berbeda dengan yang lainnya baik dari sisi ideologi maupun agama karena menggunakan hak kebebasan individualnya masing masing, maka tanpa adanya kebebasan dapat dipastikan tidak ada satupun pemahaman yang muncul.

Setiap manusia, apapun latar belakang hidup dan agamanya, memiliki hasrat manusiawi untuk mengetahui sesuatu yang benar. Agama yang benar, sistem politik yang benar, ekonomi yang benar dan berbagai konsep kebenaran lainnya. Karena itu, Untuk mengetahui sesuatu disebut benar atau tidak, pertama-tama manusia harus memiliki setidak tidaknya kebebasan bagi diri individunya untuk mencari dan memahami segala sesuatu, sehingga dengan memanfaatkan kebebasan yang ada dalam dirinya tersebut, setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh kebenaran hidup. Oleh sebab itu, Tuhan Yang Maha Bijaksana telah menganugerahkan kebebasan bagi setiap individu untuk memahami kalamnya yang Agung. Tuhan secara azali telah menyadari bahwa konsekuensi penciptaan makhluk yang beragam akan menimbulkan keragaman pandangan yang berpotensi melahirkan pertikaian. Namun dibalik itu semua, Tuhan telah menurunkan seperangkat pranata sosial suci yang berguna bagi harmonisasi segala keragaman itu, yakni “akhlak”. Kata akhlak dalam bahasa arab berasal dari kata “khalqun” yang terambil dari kata “Khaliq” (pencipta). Hal ini menununjukkan bahwa perilaku akhlak dapat terbentuk sebagai ekses hubungannya dengan sang Khaliq sebagai referen bagi makhluk.

Dari sinilah kita menyadari pentingnya menyemai dimensi spiritual bagi setiap manusia, karena bagi jiwa manusia yang terjebak dalam raga, ia berhenti pada keterbatasannya dan tidak mampu keluar dari ego kebenaran yang ia ciptakan sendiri. Sedangkan dimensi spiritual agama merupakan instrument khusus bagi manusia untuk membebaskan jiwa dari keterkungkungan raga yang terbatas. Melalui jiwa yang telah terbebas inilah manusia mampu membentuk karakater akhlak yang pada gilirannya menciptakan kedamaian dalam keragaman dan sekaligus menjadi rahmat bagi semesta.

– T. Muhammad Jafar Sulaiman* & Zuhri A. Sabri** –

*T. Muhammad Jafar Sulaiman,
Pemikir muda, Pengajar Filsafat Politik
**Zuhri A. Sabri, Alumnus fakultas hukum Universitas Syiah Kuala

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Foto featured image diambil dari: commons.wikimedia.org. dengan lisensi public domain

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: