Categories
Penulis Tamu

Riwayat dan Kenangan Masa Silam A. Kasoem dan Ibnu Sutowo: Saudagar Sejati

Pembuka

Kasoem dan Sutowo adalah self made-men (Denys Lombard, 2008). Artinya, adalah bahwa keluarga asal mereka tidak berkecimpung di bidang usaha. Mereka sendiri telah mendapat pendidikan yang baik, bahkan baik sekali. Tetapi pada mulanya tidak mewarisi kekayaan besar. Dan, pada pokoknya pandai memanfaatkan keadaan yang luar biasa segera sesudah kemerdekaan, maupun hubungan-hubungan mendalam yang pernah mereka punyai dengan teknologi Barat. Meskipun begitu, ada perbedaan di antara keduanya.

A. Kasoem tetap rajin dan berhati-hati, mempunyai kecurigaan terhadap orang asing, sadar akan akar-akarnya dan setia pada prinsip-prinsipnya, mewakili dengan baik kaum borjuis Weberian yang berasal dari Kauman. Baginya tidak mungkin ada perkembangan sesungguhnya tanpa disiplin, tanpa akhlak, tanpa pendidikan.

Sebaliknya, Ibnu Sutowo lebih suka santai dan bertualang. Ia hampir tidak memisahkan ekonomi dari politik dan mengelola usahanya seakan negara di dalam negara. Ia menyedot modal asing sampai tuntas tanpa menghiraukan konjungtur yang akhirnya menjatuhkannya. Dan dengan royalnya ia membagi-bagi rejeki yang dapat dikumpulkannya, supaya terbentuk lingkaran besar kesejahteraan di sekelilingnya. Perilakunya agak mirip dengan pangeran-pangeran Pesisir (Jawa) dalam usahanya mencari pengikut, supaya lepas dari raja, atasannya.

A.Kasoem dan Ibnu Sutowo. Dua tokoh yang terkenal di masa silam yang keberhasilannya luar biasa tetapi tetap mewakili dua sikap dalam bidang ekonomi. Wakil kaum dagang Kauman (Jawa) yang penuh disiplin sesuai etika weberian dan wakil masyarakat niaga Pesisir (Jawa) yang penuh petualang.

A. Kasoem

Acum Kasum lahir pada tahun 1918 dari keluarga petani kaya di Priangan Timur, di Kadungora, tidak jauh dari Leles, di kaki Gunung Haruman. Pamannya yang lulus sekolah pendidikan guru, kweekschool, adalah guru dan semua sepupunya pernah mendapat pendidikan Belanda. Ia mencoba mencontoh mereka dan beberapa lama mengikuti pelajaran di sebuah schakelschool, sekolah tambahan untuk mengejar kekurangan pelajaran, lalu meneruskan ke Sekolah Taman Siswa sehingga ia merasakan nilai-nilai tradisional, dan pada akhirnya mengikuti beberapa kuliah di sebuah sekolah dagang di Bandung. Pada waktu itulah ia bertemu dengan orang Jerman, Kurt Schlosser, yang mempunyai toko kacamata besar di Jalan Braga, jalan raya niaga di kota itu. Schlosser menunjukkan kepadanya betapa penting industri kacamata nanti di negara Indonesia yang menjadi merdeka dan Ksoem mengambil putusan mencurahkan seluruh tenaganya pada tujuan itu. Ia mulai dengan menjajakan kacamata yang dipercayakan oleh Schlosser kepadanya dari pintu ke pintu, lalu membuka toko kecil sendiri di Jalan Pungkur. Ketika Perang Pasifik meletus, pengusaha kacamata Jerman tadi terpaksa meninggalkan tokonya dan Kasoem langsung memikirkan untuk menggantikannya. Berkat turun tangannya Ki Hajar Dewantara, yang mengenalnya sebagai mantan murid Taman Siswa, dan yang mempunyai pengaruh pada pimpinan militer Jepang, ia memperoleh dukungan dalam hal itu, dan ada bulan Mei 1943 dialah orang pribumi pertama yang membuka toko di Jalan Braga.

Karena kembalinya Belanda pada tahun 1945, dan timbulnya kekacauan Revolusi Fisik, ia meninggalkan Bandung. Ia mundur ke Tasikmalaya dan di sana melanjutkan perdagangannya selama beberapa bulan. Pada saat itulah, ia menarik perhatian Mohammad Hatta, wakil presiden Republik muda itu, yang merasa tertarik dan mengajaknya datang menetap di Jogjakarta, tempat pemerintahan. Maka terjaminlah sukses Kasoem. Selama tiga tahun ia menyediakan kacamata kepada semua orang terkemuka di Republik, termasuk Bung Karno, dan untuk mengatasi pemasokan, ia membuka bengkel pengasahan kecil di Klaten. Pada tahun 1949, pemerintahan kembali ke Jakarta, dan Kasoem memutuskan untuk pulang ke Bandung. Beberapa orang telah memanfaatkan kepergiannya untuk menempati toko Schlosser, tetapi ia berhasil mengusir mereka pada tahun 1952 sesudah perkara pengadilan yang makan waktu lama. Usahanya terus berkembang dengan tetap. Selain cabangnya di Tasikmalaya dan Jogja yang ia pertahankan, ia membuka cabangnya di Cirebon, dan tidak kurang dari empat di Jakarta. Akan tetapi, pada pokok stoknya masih berasal dari luar negeri. Dan, Kasoem memikirkan dengan sungguh-sungguh untuk membuat kacamata sendiri.

Pada tahun 1960 ia mencapai tahap baru. Ia pergi ke Jerman untuk pendidikan tambahan dalam pabrik kacamata terbesar yang dipimpin oleh Dr. Hermann Gebest. Dengan dukungan teknik Jerman, tetapi dengan modalnya sendiri sebesar 69 juta rupiah serta pinjaman Bank negara, Kasoem mulai membangun sebuah pabrik modern di desa kelahirannya, Kadungora. Peresmiannya berlangsung pada bulan September 1974, dan dihadiri oleh kenalan lama masa Yogya. Yaitu, Sultan Hamengkubuwana yang pada waktu itu adalah Wakil Presiden Republik Indonesia. Kasoem tidak hanya bermaksud membuat kaca untuk kacamata, tetapi juga lensa untuk alat foto dan mikroskop. Ia secara mutlak tidak mau minta bantuan pinjaman luar negeri dan sebelum setiap perluasan baru, ia menghendaki pelunasan utangnya dulu. Ia telah mendidik puteranya supaya kelak dapat menggantikannya dan sangat mengharapkan cucunya kelak meneruskan usahanya. Namanya terkenal di seluruh Jawa Barat. Sebab, banyak orang telah melihat sepanjang jalanan reklame bertulisan Kasoem, Optik, Bandung, yang dicat berwarna putih hampir di mana-mana di atas karang-karang, jauh sebelum ada pikiran untuk mengatur periklanan. Baiklah ditambahkan pula bahwa ia terkenal mau membantu beberapa anak muda Sunda yang layak meneruskan studinya.

Ibnu Sutowo

Karir Ibnu Sutowo mengikuti jalan yang agak berbeda. Ia lahir pada tahun 1914 di Grobogan, sebelah timur Semarang. Ia anak seorang pegawai pemerintahan Hindia Belanda. Karena itu, ia dan kesepuluh saudaranya dapat mendaftarkan diri di Sekolah Belanda dan memperoleh pengetahuan yang baik dalam bahasa satu-satunya yang pada waktu itu dapat membuka pintu-pintu sekolah tinggi. Pada umur enam belas tahun, Ia masuk Sekolah Dokter Jawa (NIAS) dan lulus sembilan tahun kemudian ada bulan Mei 1940 dengan gelar dokter dan dengan salah satu pendidikan yang paling baik yang dapat diperoleh di Hindia pada masa itu. Ia segera dikirim ke Sumatra Selatan untuk mengurus kesehatan kaum transmigran Jawa yang sangat terancam oleh penyakit malaria. Akan tetapi Perang Pasifik segera meletus. Pendudukan Jepang, lalu periode penuh kekacauan sesudah proklamasi kemerdekaan memberiknya berkali-kali kesempatan untuk memperlihatkan naluri tajamnya sebagai organisator. Ia mengerahkan anak-anak muda, memperoleh senjata, mencoba melawan Belanda, yang kembali menduduki Palembang. Ia segera tampil sebagai salah seorang yang kuat daerah itu. Ia masuk Angkatan Perang Indonesia, yang sedang menata diri TNI, dengan pangkat mayor, dan diangkat untuk beberapa lama sebagai penanggung jawab seluruh Sumatra Selatan. Bersamaan waktu, ia masih terus berurusan dengan rumah sakit dan pengendalian kesehatan dan melanjutkan fungsi ganda itu sekaligus di bidang kedokteran dan di bidang militer sampai tahun 1956, ketika ia menarik perhatian Jenderal Nasution, Kepala Staf Angkatan Bersenjata, yang memanggilnya ke Jakarta untuk mengurus logistik. Tahun berikutnya, orang Belanda diusir, dan perusahaan-perusahaan asing disia dan diambil alih untuk mengurus ladang-ladang minyak di Sumatra Utara yang baru saja ditinggalkan oleh Shell. Nasution memandang Kolonel Sutowo adalah orang yang tepat untuk itu.

Maka mulailah karirnya yang ketiga, yang paling cemerlang, sekalipun pada mulanya ia tidak tahu-menahu tentang minyak, dan industrinya. Pada bulan Desember 1957, didirikan dengan resmi Perusahaan Minyak Nasional, pendeknya Permina, yang dipimpin dengan beberapa pembantu perwira seperti Hariyono dan Mayor Geudong yang telah diketahui kesetiaannya dari pengalaman. Lalu turun tangan dua usahawan Amerika Serikat, Hutton dan Gohier, yang pada saat yang tepat menawarkan jasa baik mereka dan terutama pengalaman mereka. Sumur-sumur dipulihkan dan mulai bulan Mei 1958, ketika penganut PRRI bergejolak di seluruh Sumatara, 1700 ton minyak mentah dapat dimuatkan ke atas sebuah kapal kecil milik Jepang yang berlabuh di Pangkalan Susu. Sesudah keberhasilan pertama itu, Permina sedikit-demi sedikit ditata dengan bantuan seorang perusahaan Jepang, NOsodeco. Pertamin, mengelola sumur-sumur di daerah Jambi dan di Pulau Bunyu Kalimantan Timur, dan Permigan yang mengelola sumur-sumur di Jawa. Kira-kira awal tahun 1960-an, kemajuan yang diperoleh NASAKOM untuk beberapa lama menyuramkan bintang Dr. Ibnu Sutowo. PKI memang mempunyai banyak pengikut di kalangan pegawai industri perminyakan dan dengan sendirinya mencurigai Ibnu Sutowo sebagai orang Nasution. Meskipun begitu ia tetap mendapat kepercayaan Menteri Pertambangan Chaerul Saleh yang teramat kuat itu. Ketika terjadi G 30 S tahun 1965, ia di antara orang pertama yang membersihkan personilnya dari semua unsur komunis dan menyatakan diri di pihak Orde Baru. Pada Maret 1966. Jenderal Soeharto mempercayakan Kementerian Pertambangan kepadanya dan dengan demikian memberinya wewenang atas sebuah sektor yang sangat penting. Perusahaan-perusahaan asing segera menunjukkan kembali kepercayaan mereka. Sementara itu shell menawarkan kepada Permina pinjaman sebesar 30 juta dolar. Ibnu Sutowo pandai memanfaatkan konjungtur. Ia melancarkan kembali eksplorasi yang sangat diabaikan dan mendorong penggabungan Permina dan Pertamin. Maka lahirlah Pertamina pada bulan Agustus 1968 dan Ibnu Sutowo diangkat menjadi presiden direktur.

Karena langsung berurusan dengan para penanam modal asing yang semuanya harus melewati dia, Ibnu Sutowo adalah yang pertama yang menarik keuntungan dari boom luar biasa, yang saat itu dialami oleh industri minyak Indonesia. Dalam beberapa bulan,ia mampu membentuk kerajaan kecil yang percabangannya diatur dengan jitunya dan yang keuntungannya dikecap oleh beberapa ribu orang termasuk beberapa seniman. Cara hidupnya yang penuh kemewahan memukau orang banyak. Tetapi pembukuannya tetap kabur. Kekuasaannya dikhawatirkan oleh pemerintah. Pada tahun 1975 terjadi krach yang menjadi pokok pembicaraan pers di seluruh dunia, dan yang pergolakannya menggoncangkan seluruh ekonomi negeri. Dengan tuduhan telah menjerumuskan perusahannya ke dalam defisit sebesar 10 miliar dolar, Ibnu Sutowo dicurigai. Sesudah dua tahun dirumahkan dan dijaga, ia akhirnya dibersihkan oleh pengadilan dari semua dakwaan dan menjalankan kembali kegiatannya pada tingkat yang tetap yang sangat nyaman. Menurut pers tahun 1979, ia masih memimpin dua puluhan perusahaan, mengurus bank, pembangunan kapal, industri mobil, gedung, dan pariwisata. Konon, ia juga membantu pembentukan, perusahaan minyak, Petronas, Malaysia.

-Saiful Hakam*

Saiful Hakam – Peneliti LIPI

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: