Categories
Kolom Pendiri

Nasib Aceh di Tangan Pilkada

Tuhan tidak akan mengubah nasib rakyat Aceh jika rakyat Aceh tidak mengubah diri mereka sendiri. Tanggal 15 Februari nanti, Tuhan memberikan kesempatan bagi rakyat Aceh untuk mengubah nasibnya. Kesempatan untuk keluar dari pemerintahan yang lamban, salah urus, dan korup. Kesempatan untuk memilih pemimpin yang lebih baik dari yang sekarang.

Saat ini, Aceh berada di titik nadir peradaban. Kemiskinan menggerogoti masyarakat bagai kanker ganas yang tak sembuh-sembuh. Pemuda-pemudi Aceh cemas akan masa depan mereka. Di provinsi yang dihujani dana otonomi khusus ini, cari kerja susahnya setengah mati. Kemelaratan hidup jualah yang membuat jumlah anak busung lapar bertambah di Aceh.

Di masa kampanye, semua calon gubernur, walikota, dan bupati berjanji akan menuntaskan kemiskinan dan pengangguran. Untuk bisa laku, semua kandidat sepertinya begitu peduli pada nasib rakyat. Tapi dari pengalaman pilkada kemarin, ketika sudah terpilih, yang dipedulikan hanya diri dan kroninya sendiri. Berjanji belum tentu akan ditepati. Dulu ada yang berjanji akan membuat Aceh seperti Brunai atau Singapura, yang ada Aceh menjadi provinsi nomor dua paling miskin di Sumatera.

Hasil pilkada Aceh nanti hanya akan menghasilkan tiga skenario. Pertama, Aceh lebih baik dari sekarang. Kedua, Aceh akan sama nasibnya seperti sekarang: miskin dan salah urus. Ketiga, kondisi Aceh lebih buruk dari sekarang. Rakyat Acehlah yang menentukan skenario mana yang mereka mau.

Skenario buruk terjadi jika yang terpilih nanti bukan pemimpin, melainkan predator uang otonomi khusus Aceh. Orang seperti ini menjadi pejabat bukan untuk melayani, tapi untuk dilayani. Bukan untuk mengabdi, tapi untuk memperkaya diri. Jabatan selama lima tahun digunakan sebaik mungkin untuk membangun bisnis pribadi. Rakyat lapar, ia kenyang. Ketika wataknya ketahuan dan tak terpilih lagi di pilkada kedepan, ia telah mampu hidup enak tujuh turunan berkat uang rakyat yang berhasil dikorupsi.

Dana otonomi khusus telah membuat Aceh dipenuhi oleh proyek-proyek infrastruktur siluman. Dalangnya ialah para kontraktor korup dan mafia politik dibelakangnya. Jika yang terpilih nanti adalah gubernur atau bupati predator, pejabat ini akan melindungi para mafia proyek, karena mereka adalah kroninya. Akan ada jembatan, jalan, atau fasilitas publik dibangun dari uang rakyat dengan jumlah milyaran, tapi kualitas bangunannya seperti seharga jutaan. Hasilnya jembatan yang cepat rubuh, jalan raya yang berlobang, dan bangunan yang terbengkalai.

Edward Aspinall, profesor di Australian National University, menulis paper yang berjudul “From Combatan to Contractor”. Di artikel akademis itu, ia menjabarkan bagaimana proyek-proyek pembangunan di Aceh pasca tsunami berhasil dikuasai oleh sebagian kelompok yang tak layak memenangi tender. Caranya, mereka melakukan intimidasi dan kekerasan. Yang tak memberikan tender kepada mereka diancam bunuh. Ritual ancaman kekerasan itu kembali berlanjut lima tahun sekali menjelang pemilu dan pilkada. Kalau rakyat Aceh tidak sadar akan hal ini, dan memilih para predator sebagai pemimpin, maka nasib Aceh tak ubahnya dengan negara-negara gagal di benua Afrika. Negerinya kaya raya, ditambah dana otonomi khusus, para pejabatnya hidup bergelimpangan harta, tapi rakyat jelata melarat miskinnya.

Minimnya investasi berdana raksasa tidak hanya membuat perekonomian Aceh lesu, tapi juga membuat sumber mata air ekonomi di Serambi Mekah semakin terbatas. Sehingga dana otonomi khusus menjadi satu-satunya lahan pencarian yang bisa membuat orang mendadak kaya. Dan cara untuk bisa mengakses ke dana otonomi ialah dengan menjadi politikus dan kontraktor proyek-proyek infrastruktur publik. Kebijakan anggaran jadi mainan elit politik. Akibatnya, pembangunan di Aceh keropos, yang kaya hanyalah segelintir orang, dan jumlah orang miskin makin subur.

Oleh karena itu, skenario yang sama (seperti sekarang) akan terjadi jika yang terpilih adalah pemimpin yang sama. Tidak ada jaminan lima tahun kedepan lebih baik dari pada lima tahun sebelum ini. Kegagalan utama mereka adalah mereformasi birokrasi di Aceh. Orang bisa dengan tenang menghabiskan uang rakyat untuk membeli Pembangkit Tenaga Listrik yang tak tahan panas. Seandainya hal serupa terjadi di perusahaan swasta, pasti pihak yang bertanggung jawab sudah dipecat, karena telah menghabiskan uang perusahaan untuk barang yang tak bisa dipakai. Akibatnya, pemadaman listrik bergilir terus berlangsung di Aceh sejak saya lahir dan akan berhenti entah kapan. Reformasi birokarasi yang gagal juga ikut berperan dalam membuat kemiskinan, pengangguran, busung lapar, kematian ibu dan bayi di Aceh termasuk tertinggi di Sumatera.

Kemiskinan juga mendekatkan orang pada kekufuran. Di Aceh, kemiskinan memperbanyak pelanggaran syariat Islam. Ketika mencari nafkah secara halal susah, orang miskin terpaksa mencari nafkah secara haram. Saya pernah menyaksikan hukuman cambuk kepada pelaku judi (maisir) yang berusia separuh baya, yang membuat hati miris ialah mereka hanya tamatan SMP dan SMU. Dalam kondisi perekonomian Aceh separah ini, apa yang bisa diharapkan dari tamatan SMP dan SMU? Menjadi PNS tidak mungkin. Sementara menjadi honorer harus bersaing dengan tamatan universitas yang berusia muda.

Maraknya pelanggaran khalwat juga terkait dengan kemiskinan. Untuk mencegah terjadinya zina, Islam menawarkan pernikahan sebagai solusi. Di Aceh, untuk bisa menikah bukan perkara gampang. Para pejaka harus mengumpulkan uang yang tidak sedikit untuk membeli mahar. Sementara harga mahar yang berupa emas semakin mahal. Masalahnya, untuk bisa membeli mahar harus ada kerja, dan cari kerja di Aceh sulit sekali. Ketika mereka tak mampu menikah karena miskin, sebagian tergelincir ke perbuatan dosa. Makanya Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “seandainya kemiskinan berwujud seorang manusia, niscaya aku akan membunuhnya.”

Oleh karena itu, pilkada bukan soal kandidat mana yang menang. Tapi soal bagaimana nasib rakyat kedepan. Aceh akan lebih baik nasibnya jika yang terpilih nanti adalah pemimpin reformis yang berani membuat gebrakan. Pemimpin yang berani melawan kontraktor-kontraktor korup dan mafia politik dibelakangnya. Sebelum mencoblos, rakyat harus benar-benar mengevaluasi kembali calon gubernur, walikota atau bupati pilihan mereka. Memperbaiki Aceh bukan perkara gampang. Pilihlah pemimpin yang sudah pernah terbukti melakukan kerja dengan baik.

(Tulisan ini sudah pernah diterbitkan oleh Serambi Indonesia tanggal 17 Januari 2017 dengan judul “Nasib Aceh dan Pilkada 2017” dengan editan seperlunya)

By Muhammad Mirza Ardi

Pembaca buku, penikmat musik, dan penonton film

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: