Categories
Kolom Pendiri

Fidel Castro: Pemberani Yang Membuktikan Kata-Katanya

“But man is not made for defeat,” he said. “A man can be destroyed but not defeated.”
― Ernest Hemingway, The Old Man and the Sea

Fidel Castro, seorang pejuang revolusioner, penganut Marxist-leninist dari Kuba telah tiada. Ia meninggal di umur yang cukup tua sebagai manusia, 90 tahun. Setelah bertahun-tahun sebelumnya berjuang dengan penyakit yang dideritanya yang juga memaksa dia untuk undur diri dari tampuk kekuasaan 10 tahun yang lalu.

Kematiannya tentu saja menimbulkan kesedihan bagi banyak orang di seluruh dunia. Hampir seluruh pemimpin-pemimpin besar dunia mengucapkan bela sungkawa. Media-media besar pun ikut memberitakan kematiannya dan membicarakan tentang kisah perjalanan hidupnya. Meski demikian, tak sedikit pula yang berbahagia atas kepergiannya dan mengutuk sikap otoritariannya selama berkuasa di Kuba.

Pemberontak keras kepala yang berhasil

Pada awalnya, Fidel tumbuh besar sebagai anak muda yang sangat menonjol dalam bidang olahraga. Sikap hidupnya mulai berubah saat ia menjadi mahasiswa hukum di Universitas Havana, Kuba. Keterlibatannya dengan aktivisme politik dan perjalanan politik ke Kolombia dan Republik Dominika telah membuat ia percaya bahwa Kuba membutuhkan sebuah gerakan revolusioner.

Kepercayaan ini mengubah dirinya menjadi seorang pemberontak sejati. Pada tahun 1953, ia melancarkan pemberontakan revolusionernya yang pertama melawan penguasa Kuba otoriter: Fulgencio Batista. Pemberontakan tersebut gagal, ia ditangkap dan dipenjarakan.
Kegagalan tersebut tidak menghentikan semangatnya. Setelah bebas dari penjara pada tahun 1955, ia kembali melancarkan revolusi keduanya pada tahun 1956. Kali ini, hanya dalam tempo kurang dari 3 tahun, dengan memimpin sendiri perang gerilyanya, Fidel berhasil menggulingkan Fulgencia Batista.

Paska keberhasilan revolusi tahun 1959, “pemberontakan” Fidel tidak berhenti. Ia mengubah Kuba menjadi negara sosialis. Sebagai seorang marxis-leninis, di dalam Kuba ia menerapkan reformasi agraria dan menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Sedang di luar Kuba, ia secara aktif mengekspor ide-ide revolusi dan mendukung secara langsung gerakan perlawanan revolusioner di seluruh dunia terutama di Amerika Latin dan Afrika dan juga rajin mengkritik kebijakan politik global kapitalisme yang merugikan negara-negara dunia ketiga. Dampak dari kebijakan-kebijakan tersebut membuat Fidel harus berhadapan dengan ratusan kali ujicoba pembunuhan dan upaya pendongkelan dirinya dari kekuasaan. Terakhir, ia juga harus berhadapan dengan embargo ekonomi politik.

Sikap ‘pemberontakannya’ juga ia terapkan dalam kehidupan pribadinya. Fidel menikahi Mirta Diaz Balart meski tanpa persetujuan kedua belah pihak keluarga. Pernikahannya bertahan selama 7 tahun hingga mereka berpisah pada tahun 1955, setahun sebelum ia memulai revolusinya. Ia kemudian menikah lagi untuk kedua kali dengan Dalia Soto Del Valle. Fidel dikenal flamboyant karena memiliki affair dengan beberapa wanita lain, setidaknya ia memiliki affair dengan 5 wanita lain. Salah satu anak dari hasil affairnya, Alina Fernandez, menjadi salah satu pengkritik keras kebijakan-kebijakan politik Fidel. Adik kandung Fidel, Juanita Castro juga menjadi pengkritik keras Fidel. Juanita bahkan mengakui bahwa dirinya bekerjasama dengan CIA dalam upaya menjatuhkan abang kandungnya, Fidel Castro.

Seluruh tekanan yang dihadapinya, tidak menghentikan langkah pemberontakannya. Sebagai seorang yang keras hatinya, ia membuktikan bahwa negara diluar sistem ekonomi politik kapitalisme tetap dapat berdiri tegak. Ia membuktikan bahwa kebijakan-kebijakanya yang berbasis sosialisme mampu membuat Kuba sejajar dengan negara-negara maju penganut kapitalisme. Di tengah kepungan para musuh dan lawan, Fidel berhasil memperbaiki kondisi masyarakat Kuba. Di bawah kepemimpinannya, tingkat melek huruf di Kuba meningkat hingga 99,7%, tingkat harapan hidup meningkat hingga 79,1 tahun, dan tingkat kematian bayi menurun hingga 5,8 per 1000 kelahiran bayi (bandingkan dengan Amerika Serikat yang tingkat melek hurufnya 99%, tingkat harapan hidupnya 79,3, dan tingkat kematian bayi 6,2 per 1000 kelahiran bayi). Hal ini tidak lepas dari kebijakan reformasi dan restrukturisasi di bidang pendidikan dan kesehatan yang dilakukannya melalui kebijakan pendidikan dan kesehatan gratis serta kampanye pemberantasan buta huruf. Khusus untuk bidang kesehatan, Fidel bahkan menyatakan ia berhenti merokok pada tahun 1985 sebagai bentuk pengorbanannya bagi Kuba.

Marxisme dan Nasionalisme Dunia Ketiga

Pergerakan revolusi Kuba yang dilakukan oleh Fidel pada tahun 50-an tentu tidak lepas dari kondisi masa itu yang dipenuhi oleh perjuangan negara-negara dunia ketiga menuju kemerdekaan atau telah merdeka dari jeratan kolonialisme. Pada saat itu, seluruh dunia, teruma negara-negara dunia ketiga juga sedang sedang gandrung dengan marxisme yang diikuti dengan bangkitnya sosialisme-komunisme di berbagai penjuru dunia ketiga. Marxisme menjadi landasan dari semangat kemerdekaan untuk lepas dari imperialisme. Ide-ide marxisme dipinjam dan dikontekstualisasikan untuk menjadi sumber semangat perlawananan di negara-negara dunia ketiga. Kontekstualisasi marxisme ini diakui sendiri oleh Fidel sebagai landasan dari revolusi yang dijalankan olehnya di Kuba dengan menyebut penerapan marxisme berbeda dengan yang diterapkan oleh Soviet/Rusia. Dalam konteks Kuba, Fidel mengkontesktualisasikan marxisme dengan nasionalisme.

Kontekstualisasi marxisme di dunia ketiga ini juga terjadi di negara-negara dunia ketiga dalam berbagai varian, sesuai dengan karakteristik masing-masing negara/kawasan. Di Indonesia, marxisme dikawinkan dengan nasionalisme ala Indonesia dan agama (terutama Islam) oleh Soekarno. Soekarno sendiri menyebutnya dengan istilah nasakom (nasionalisme, agama dan komunisme). Kontekstualisasi dengan varian yang sama juga terjadi di Timur Tengah dan negara-negara arab dengan istilah yang berbeda-beda. Ghadafi di Libya menyebutnya Sosialisme Islam, Shariati menyebutnya Marxisme Islam, Nasser menyebutnya Nasserism, Partai Ba’ath menyebutnya Sosialisme Arab. Di Afrika juga muncul varian lain yang disebut Sosialisme Afrika atau Pan-Afrika.

Varian-varian ‘unik’ marxisme ini merupakan respon atas perang dingin yang memecah dunia ke dalam dua blok besar: blok komunis Rusia-China dan blok NATO yang dikomandani oleh Amerika Serikat. Ketegangan antar kedua blok, memicu negara-negara diluar kedua blok untuk menyatukan diri ke dalam sebuah kelompok solidaritas negara-negara dunia ketiga.

Kuba juga termasuk ke dalam kelompok negara dunia ketiga ini. Bersama dengan negara-negara dunia ketiga lainnya. Paska Konferensi Asia Afrika tahun 1955 di Bandung, Joseph Broz Tito pada tahun 1961 di Belgrade Yugoslavia menginisiasi berdirinya sebuah wadah untuk gerakan negara-negara dunia ketiga ini ke dalam Gerakan Non-Blok (Non-Aligned Movement). Wadah ini kemudian menjadi penguat hubungan antara berbagai negara dunia ketiga. Disinilah pula hubungan Fidel dengan para pemimpin dunia ketiga seperti Mandela, Nehru, Soekarno, Gamal Abdul Nasser, Muammar Ghaddafi and Hafez al Assad menjadi semakin erat. Pada tahun 1979 hingga 1983, Fidel diangkat menjadi sebagai Sekretaris Jenderal Gerakan Non-Blok.

Di saat yang hampir bersamaan, di dunia ketiga juga berkembang teori-teori social yang menentang kolonialisme seperti teori ketergantungan (dependency theory) dan poskolonialisme (postcolonialism).

Dalam teori ketergantungan (dikembangkan oleh Raul Presibich dan Paul Baran; dipopulerkan oleh Andre Gunder Frank) disebutkan bahwa negara-negara miskin/dunia ketiga (pinggiran) seringkali dirugikan (atau tidak diuntungkan) oleh pertumbuhan di negara-negara maju/berkembang (pusat). Bahkan negara-negara berkembang, atas nama pertumbuhan, menyebabkan negara-negara dunia ketiga semakin terbelakang dan bergantung pada negara berkembang/maju. Alhasil, terjadi hubungan ketergantungan penjajahan ala kolonial antara negara maju/berkembang (pusat) dengan negara dunia ketiga (pinggiran). Negara dunia ketiga (pinggiran) pada akhirnya hanya menjadi penyedia sumber daya bagi pertumbuhan negara maju (pusat). Sedangkan di dalam teori poskolonial, Frantz Fanon melalui bukunya The Wretched of The Earth berargumen bahwa kolonialisme dapat berdampak sangat merusak masyarakat karena pihak colonial mencerabut atribut-atribut kemanusiaan yang melekat pada manusia yang di jajah. Edward Said melalui karyanya Orientalism menambahkan bahwa kolonialisme juga berdampak buruk karena telah memecah dunia ke dalam dua kelompok, antara “timur” dan “barat atau antara “kita” dan “mereka.”

Teori-teori sosial ini pada akhirnya juga ikut menginspirasi negara-negara dunia ketiga untuk melawan kolonialisme dan kapitalisme. Frantz Fanon bahkan secara khusus ikut mempengaruhi dan juga mengagumi revolusi Kuba. Che Guevara (kompatriot terdekat Fidel dalam revolusi Kuba) terpengaruh oleh pandangan Fanon yang yakin dan percaya bahwa revolusi sosialisme akan mengikis mental kolonial masyarakat terjajah dan melahirkan manusia-manusia baru yang lebih merdeka dalam mengembangkan seluruh potensi individunya dan mampu secara penuh untuk terlibat aktif dalam pembangunan. Fanon juga yakin bahwa Fidel akan membawa Kuba menjadi negara sosialis yang berhasil.

Penutup

Fidel adalah lambang perlawanan negara-negara dunia ketiga terhadap dominasi negara-negara maju. Dengan gagah berani dan sifat keras kepalanya, ia melawan dominasi kapitalisme di dunia. Yang paling menarik adalah dia tidak hanya berkata-kata dengan retorika tapi ia juga membuktikannya dengan sikap, tindakan dan capaian dari ‘pembangkangannya.’

Melalui tangan dingin Fidel, kita boleh percaya bahwa ada alternatif diluar kapitalisme. Kita juga boleh percaya bahwa meski sebagai bagian dari negara dunia ketiga yang terpinggirkan, bila kita mau bekerja bersama-sama, kita pun bisa sejajar dengan negara-negara maju. Fidel juga membuktikan bahwa tidak ada yang tidak mungkin selama kita meyakini dan mempercayainya.

Fidel melalui tindak tanduknya menunjukkan bahwa nyali dan kerja keras itu penting. Dengan nyali dan kerja keras, Fidel berhasil membungkam lawan-lawannya dan menasbihkan dirinya sebagai seorang penakluk para raksasa yang selalu merasa besar, kuat dan pasti menang.

Mengutip penulis favorit Fidel, Ernest Hemingway dalam novelnya Old Man and The Sea, Fidel adalah manifestasi hidup dari seorang laki-laki yang terus dicoba untuk dihancurkan hidupnya tapi dia tidak pernah terkalahkan.

Selamat jalan, Fidel! Tentu engkau sekarang bahagia bisa bertemu dengan Che dan teman-teman setiamu yang telah berpulang lebih dulu di masa-masa perjuangan. Tidak ada yang lebih membahagiakan selain berjumpa kembali dengan orang-orang yang ada disisi saat masa-masa perjuangan. Salam.

Hak cipta gambar oleh : Marcelo Montecino dibawah lisensi CC-BY-SA 2.0.

By Asrizal Luthfi

Mahasiswa S3
di Universitas Hawai'i at Manoa. Tertarik dengan ekonomi politik dan
sepakbola.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: