Categories
Kolom Pendiri

Bendera dan Wibawa Bangsa

Tak ada yang membantah bahwa Aceh berhak memiliki bendera sendiri berdasarkan di Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan MoU Helsinki. Tak ada pula yang berhak melarang jika ada anggota dewan lebih memilih menghabiskan waktu dan tenaganya untuk isu bendera ketimbang isu yang lain. Tapi, berasumsi bahwa jika memiliki bendera sendiri maka harkat dan martabat rakyat Aceh akan naik, maka itu adalah sebuah kesesatan berpikir yang nyata.

Faktanya, bendera tidak memiliki hubungan kausalitas dengan wibawa suatu bangsa. Tidak berlaku hukum: karena negara A memiliki bendera (sebab), maka derajat bangsa A akan tinggi (akibat). Anda menyukai Turki mungkin karena Erdogan atau ekonominya, tapi pasti bukan karena warna dan bentuk bendera negara itu. Amerika Serikat punya marwah bukan karena ia punya bendera atau simbol negara, tapi disebabkan negara ini punya kekuatan militer, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi. Logika ini juga berlaku jika dibawa ke level regional: kota New York terkenal bukan karena negara bagiannya punya lambang dan bendera, tapi karena kemajuan dan keindahan kotanya.

Sebaliknya, kekuatan ekonomi memiliki hubungan kausalitas yang kuat dengan wibawa bangsa. Kaidah sebab-akibat yang berlaku: karena negara B memiliki rakyat yang sejahtera (sebab), maka derajat bangsa B akan tinggi (akibat). Turki maupun Erdogan diakui dunia karena ekonomi Turki tergolong kuat, jika besok ekonomi Turki anjlok, maka legitimasi Erogan dan Turki akan jatuh. Tiongkok saat ini dianggap sebagai negara adidaya karena kekuatan ekonominya, bukan karena warna benderanya. Di level regional pun demikian, negara bagian Victoria (Australia) terkenal karena kota Melbourne berkali-kali dinobatkan sebagai kota yang paling layak huni di dunia, bukan karena lambang dan gambar benderanya.

Selain itu, penghargaan kepada suatu bangsa diberikan oleh pihak luar bukan pihak dalam. Misalnya saja Yunani, rakyat negara itu boleh saja menganggap diri mereka sebagai bangsa terpilih karena dari merekalah lahir filsafat, demokrasi, hukum Archimedes dan Phytaghoras. Semua orang mengakui itu, tapi cuma sebatas ingatan sejarah. Selebihnya adalah Yunani sebagai negara yang bangkrut karena hutang. Jika ada orang mempelajari Yunani kontemporer, yang dipelajari ialah bagaimana negara ini bisa anjlok.

Sebaliknya, jika Yunani saat ini menjadi negara yang kuat secara ekonomi dan rakyatnya sejahtera. Maka romantisme sejarah sebagai bangsa yang melahirkan Socrates, Aristoteles, dan Plato akan menjadi pelengkap yang manis. Jika politisi Yunani tetap bercerita tentang kehebatan masa lalu, maka kesan yang muncul adalah rakyat Yunani tak mampu melihat realita dan masih tertidur pada narsisme masa lampau. Jadi tak peduli seberapa cantik bendera atau betapa hebat sejarah bangsa itu dulu, selama negara itu miskin dan rakyatnya melarat, tetap saja dipandang sebagai negara gagal dan penyakitan.

Semua bangsa boleh punya standar kebanggaannya sendiri. Seandainya besok Aceh punya bendera sendiri, apapun warna dan gambarnya. Boleh saja kita bersuka cita merayakannya. Menganggap diri telah melakukan langkah-langkah heroik demi marwah bangsa Aceh. Tapi, pihak luar akan melihatnya suatu fenomena etnonasionalisme di tengah-tengah kemelaratan rakyat. Aceh akan tetap dipelajari sebagai provinsi yang diberi dana otonomi khusus, tapi miskinnya tak sembuh-sembuh. Provinsi syariat yang peduli pada kelurusan moral, tapi tak ada qanun cambuk untuk korupsi para pejabat. Selama kita miskin dan penuh korupsi, jangan harap marwah Aceh akan diakui, walaupun kita punya bendera paling menawan di dunia.

Sebuah negara bisa dikatakan memiliki wibawa ketika ada bangsa lain ingin meniru atau setara dengannya. Ketika Zaini dan Muzakkir Manaf menjanjikan bahwa Aceh akan seperti Singapura atau Brunei Darussalam di bawah kepemimpinan mereka, itu artinya dua negara itu memiliki wibawa dalam pandangan dua elit politik itu. Dan dua negara itu memiliki wibawa karena rakyatnya yang makmur sejahtera.

Jika anggota parlemen Aceh ingin membuat provinsi ini dithe le kaphe, yang perlu dilakukan adalah membuat Aceh sebagai daerah yang berhasil bertransformasi sebagai provinsi paling miskin di Sumatera menjadi provinsi paling kaya. Inilah yang membuat suatu negara dipelajari karena marwahnya, sebagaimana orang mempelajari bagaimana Singapura berubah dari negara miskin menjadi negara kaya dan maju. Contoh hal sederhana yang bisa dilakukan para anggota dewan ialah dengan membuat qanun anti-korupsi. Tujuannya agar dana otsus tidak dirampok oleh para predator berdasi. Jika Aceh berhasil menjadi provinsi yang paling minim korupsi karena qanun itu, maka provinsi ini akan menjadi contoh mengenai good governance dan rakyatnya lebih sejahtera karena program pembangunan tidak dikorupsi. Dari sinilah marwah Aceh kita bangun kembali perlahan-lahan.

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

By Muhammad Mirza Ardi

Pembaca buku, penikmat musik, dan penonton film

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: