Categories
Penulis Tamu

Islam Mazhab Tutup Botol

Padebooks menerbitkan buku karya Khairil Miswar berjudul ‘Habis Gelap Terbitlah Stres’. Buku itu menyorot fenomena yang terjadi di Aceh tentang tuduhan-tuduhan sesat kepada orang atau aliran tertentu yang tidak sesuai dengan keyakinan yang dipegang.

Buku itu merupakan kompilasi tulisan-tulisan Khairil Miswar yang telah dipublikasi di berbagai media massa. Mengenai penerbitan kompilasi tulisan, itu merupakan tren yang semakin populer dewasa ini. Haidar Bagir sendiri yang awalnya tampak pesimis menerbitkan kompilasi tulisannya, akhirnya melakukan itu dengan terbitnya ‘Islam Tuhan, Islam Manusia’. Dalam testimoninya tentang buku Haidar Bagir itu, Goenawar Mohammad mengatakan “Haidar Bagir menunjukkan bahwa sebuah kumpulan tulisan adalah bentuk yang pas buat zaman ini.”

Bagaimana tidak, zaman ini adalah zaman sibuk. Orang-orang tidak sempat membaca sebuah pembahasan yang panjang. Tetapi butuh untuk menghimpun keseluruhan pemikiran seseorang. Kedua persoalan tersebut teratasi dengan sebuah buku yang merupakan kumpulan tulisan.

Dalam hal ini, Goenawan Mohammad dalam ‘Puisi dan Anti Puisi’ juga pernah mempertanyakan “Adakah yang selesai ditulis di zaman ini?”. Secara umum tentunya jawaban untuk pertanyaan tersebut adalah: Tidak! Karena, dewasa ini, setiap fenomena selalu viral dan meredup tanpa memberikan penutup memadai. Segala fenomena dan peristiwa umumnya tidak pernah terselesaikan dengan suatu alur yang jelas. Lagi pula, pada zaman ini orang-orang tidak ingin sebuah tulisan, terutama sebuah buku semacam menganut plot novel atau sandiwara radio. Publik kini tidak suka sebuah kesimpulan utuh yang dibuat seorang penulis setelah menguraikan persoalan-persoalan. Kesimpulan dalam bentuk saran atau solusi, sebagaimana umumnya terjadi dalam sebuah buku utuh, dewasa ini dikesankan sebagai sebuah bentuk dikte. Dan itu tidak disukai pembaca di zaman ini.

Dengan begitu, Khairil Miswar hadir dengan ‘Habis sesat, Terbitlah Stress’ untuk menggambarkan fenomena-fenomena ketegangan beragama di Aceh.

Fenomena kafir-mengkafirkan, sesat-menyiasati memang telah menjadi fenomena yang lagi ”ngetren” di Aceh: mulai dari adanya orang ”khutbah” di bawah mimbar saat khatib sedang menyampaikan khutbah di atas mimbar, fenomena membuang mimbar, maupun perdebatan klasik seperti jumlah rakaat tarawih dan pengulangan bacaan rukun khutbah.

Menanggapi perbedaan pandangan yang telah terjadi sejak bermulanya syiar Islam, saya melihat semua paham, baik itu aliran mampun mazhab, semuanya adalah konstruksi manusia terhadap Islam yang hikmahnya tiada terbatas. Setiap orang memiliki horison (baca: kapasitas) masing-masing dalam memahami apapun termasuk agama.

Islam itu seperti samudra. Tidak terbatas. Setiap manusia punya kapasitas masing-masing dalam memahami Islam. Analoginya seperti sejumlah orang yang datang ke pantai untuk menimba air laut. Begitulah setiap orang datang berusaha memahami Islam yang sangat dalam yang luas itu. Orang yang akalnya panjang seperti orang yang datang untuk menimba air laut dengan membawa ember. Ada yang akalnya tidak terlalu panjang seperti datang menimba air laut dengan botol. Ada juga hamba Tuhan dengan kapasitas akalnya yang rendah, seperti orang yang datang mengambil air laut dengan tutup botol.

Setiap dari mereka benar selama mengatakan “Di dalam wadah saya ini adalah air laut”. Mereka seperti orang yang mengatakan, “Mazhab (atau aliran) yang saya pegang ini saya yakini adalah benar”. Tetapi mereka menjadi salah ketika mengatakan, “Lautan adalah di dalam wadah saya.” Itu seperti mengatakan, “Hanya mazhab (atau aliran) yang saya pegang inilah yang benar.”

Kita perlu sadar bahwa Islam yang kita pelajari dari Al-Qur’an, Hadits, pengajian, ceramah-ceramah dan tulisan-tulisan, semuanya dilimit oleh batas akal kita dalam memahaminya. Sekalipun itu fatwa ulama yang kita sangat yakin akan keilmuan dan kewibawaannya, tetap saja ulama itu memahami Islam menurut batas akalnya. Lalu kita memahami fatwa ulama itu menurut batas akal kita.

Khairil Miswar, dengan corak buku yang diminati di masa kini, diharap tidak hanya sebatas memeriahkan kebangkitan intelektualisme Aceh pasca konflik-tsunami, tetapi menjadi bagian rujukan penting bagi manusia masa depan yang ingin mengetahui Aceh pasca konflik-tsunami. Semoga.

– Miswari* –

*Penulis adalah pengajar Filsafat Islam di IAIN Zawiyah Cot Kala Langsa dan Penulis buku Filsafat Terakhir.

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: