Categories
Penulis Tamu

Dari Soekarno Kepada Umat Islam

“…Kita berkata, 90% daripada kita beragama Islam, tetapi lihatlah dalam sidang ini, berapa persen yang memberikan suaranya kepada Islam? Maaf seribu maaf, saya tanya hal itu! Bagi saya hal itu adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan rakyat…” – Soekarno, dalam sidang BPUPK, 1 Juni 1945

Kita, memang tak pernah mengenal Soekarno sebagai wakil golongan Islam, dalam pada Indonesia yang dahulu tengah mencari hidayah’, untuk menegaskan ideologi normatifnya sebagai sebuah negara merdeka. Namun ia betapa perlu didengar ketika menyampaikan pidatonya itu. Soekarno, setidaknya telah mengajarkan kita, terkhusus umat Islam yang mengindonesia kini untuk melihat sejarah sebagai sebuah kenyataan, bukan harapan.

Soekarno tak sehitam-putih seperti yang sering diwartakan, bahwa ia adalah seorang nasionalis sekuler yang berhadap-hadapan dengannya golongan Islam. Penyederhanaan pengkategorian seperti ini, sama sekali tidak dapat mewakili kenyataan. Sebab, bila kita membaca secara otentik pergulatan ideologis yang terjadi dalam BPUPK, Soekarno sangat menaruh perhatian pada Islam. Bahkan kiranya adil untuk memvonisnya sebagai nasionalis-islamis. Ia memang tidak menyetujui ide negara berdasarkan Islam sepenuhnya. Namun ia sangat tulus ketika mempertahankan tujuh kata (kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya) sebagai sila pertama Pancasila dahulu.

Soekarno pernah hingga berlinang air mata memperjuangkan tujuh kata tersebut, bahkan saat digugat oleh golongan Islam sendiri oleh karena dianggap adanya tujuh kata tersebut kurang totalitas merefleksikan pemberlakuan Syariat Islam. Begitupun ketika tujuh kata tersebut mendapat interupsi dari kalangan nasionalis-kristiani yang diwakili oleh Latuharhary, Soekarno menjadi tameng untuk melindungi tujuh kata yang baginya sudah cukup ideal dan kompromistis itu

[ref]Kusuma RM. A.B. 2004. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 (Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menjelidiki Oesaha-Oesaha Persiapan Kemerdekaan), Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.[/ref]

.

Keseluruhan fakta tersebut, kiranya tidak mengherankan bila kita menyelinap jauh ke dalam riwayat pemikiran Soekarno, di mana Islam pernah menjadi habitat epistemik Soekarno muda. Tepatnya, mana kala ia bertaut erat dengan organisasi Islam seperti Muhammadiyah dan para guru di Persis seperti A. Hassan. Hal ini yang kemudian tampak pada sikapnya dalam BPUPK, ketika ia mengatakan : “…maaf beribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna, tetapi kalau saudara-saudara  membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan

[ref]Kusuma RM. A.B. 2004. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 (Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menjelidiki Oesaha-Oesaha Persiapan Kemerdekaan), Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.[/ref]

”.

Hanya saja, kita patut menduga Soekarno sebagai seorang realis, ketika dalam banyak kesempatan ia kerap memberikan penekanan pada kejamakan Indonesia. Bersamaan dengan itu, ia juga tampak khatam soal sejauh mana pengaruh Islam sebagai nilai yang menghidupi rakyat. Realisme Soekarno inilah yang menjadikannya berbeda dengan tokoh-tokoh lain dalam kontestasi ideologis perumusan dasar negara.

Bahwa ia pernah terperanjat kagum oleh gerakan sekularisasi Turki yang digulir Mustafa Kemal c.s

[ref]Sukarno. 1963. Di Bawah Bendera Revolusi Djilid Pertama, Djakarta.[/ref]

, memang tak mungkin dipungkiri. Dan fakta ini boleh jadi turut menjadi sebab perbenturan ideologisnya dengan golongan Islam. Namun sekali lagi, ia tak sehitam putih itu untuk bisa dianggap sebagai lawan dari golongan Islam. Sebab, sebagai seorang realis, diikuti dengan riwayat pertautannya kepada Islam, ikhtiar Soekarno untuk mengakomodir nilai-nilai Islam dalam persalinan Republik Indonesia, juga begitu nyata adanya.

Di dalam persalinan Indonesia itu, yang dipikirkan oleh Soekarno ialah, bagaimana menyadarkan segenap rakyat tentang postulat identitas kebangsaan kita. Soekarno jauh hari telah melakukan permenungan mengenai itu. Dan refleksi dari keseluruhan permenungannya, pernah ia ungkapkan dalam Pidato kenegaraannya di istana pada tahun 1960. Ia dengan cukup retoris menyatakan:  “Masyarakat Indonesia ini boleh saya gambarkan dengan saf-safan. Saf ini di atas saf itu, di atas saf itu, saf lagi. Saya melihat macam-macam saf. Saf pra-Hindu, yang pada waktu itu kita telah berbangsa yang berkultur dan bercita-cita. Berkultur sudah, beragama sudah, hanya agamanya lain dengan agama sekarang,…Jadi saya menggali itu dalam sekali, sampai ke saf pra hindu. Datang saf jaman hindu… datang saf lagi, saf jaman kita mengenal agama Islam… datang saf lagi, saf yang kita kontak dengan Eropah yaitu saf imperialisme. Jadi empat saf, saf pra hindu, saf Hindu, saf Islam, Saf Imperialis”.

[ref]Sunoto. 1988. Mengenal Filsafat Pancasila (Pendekatan Melalui Sejarah dan Pelaksanaannya), Yogyakarta: Hanindita.[/ref]

Saya menduga, bahwa permenungan dan pandangan Soekarno di atas, menjadi sebab mengapa ide totalitas negara berdasarkan Islam kala itu, oleh Soekarno dianggap tidak cukup realistis dengan keadaan Indonesia yang rumit. Ia dengan penuh hormat, terpaksa harus berkonfrontasi dengan Ki Bagus Hadikoesoemo yang ingin Islam menjadi dasar negara sama sekali.

Soekarno kemudian, dengan kecakapannya memahami kenyataan, melihat bahwa jalan kompromilah yang harus segera ditempuh. Maka ia kemudian menginisiasi rapat kecil, dengan melibatkan beberapa perwakilan dari golongan yang berselisih paham. Rapat itulah yang berhasil melahirkan Piagam Jakarta yang disebut oleh Soekarno sebagai Gentle Agreement.

Lebih dari itu, Soekarno tak hanya mampu menciptakan iklim untuk lahirnya Piagam Jakarta, namun ia berhasil mengukuhkan dan mempertahankannya hingga hari Proklamasi Kemerdekaan. Bahkan, ketika tujuh kata itu dianulir kemudian, dan golongan Islam juga tak mampu memperjuangkan dasar negara Islam pada Konstituante, Soekarno berusaha mengaktualisasikan kembali jiwa Piagam Jakarta (yang memberikan keutamaan khusus bagi umat Islam) itu ke dalam dekrit presidennya yang cukup menentukan perjalanan ketatanegaraan kita.

Maka tentang tujuh kata “Kewajiban Menjalankan Syari`at Islam Bagi Para Pemeluknya”, tentulah ada jasa besar Soekarno di sana yang hendaknya tidak dipungkiri. Mulai dari tahap perumusan, pengukuhan, pembelaan, hingga upaya menghadirkannya kembali sebagai semangat yang menjiwai UUD 1945, melalui dekrit Presiden 1959.

Betapa realistisnya Soekarno perlu diakui. Dan ketika Ia menyampaikan, bahwa Islam belumlah benar-benar hidup dalam jiwa rakyat, sejatinya ia sedang memberi peringatan kepada umat Islam, termasuk dirinya sendiri. Dalam pada itu, riwayat hegemoniknya nasionalisme atas Islam di masa lalu hingga kini yang berujung pada kegagalan mendirikan negara berdasarkan Islam seutuhnya, adalah referensi penting untuk perenungan kolektif umat Islam.

Dengan memahami realisme Soekarno di atas, kita akan mengerti kenapa pada akhirnya adalah Pancasila. Yang menjadi ideologi normatif negara sebagai perekat bangsa. Sebab, fakta kuantitas saja, ternyata belum cukup bagi umat Islam untuk mengantarkan Islam menjadi dasar negara seutuhnya. Dan saya jadi mengingat sebuah kaidah di dalam Islam, “al-jazaa`u min jinsin `amal; balasan itu sesuai dengan amalan”. Maka boleh jadi, Pancasila (yang tetap dijiwai oleh Piagam Jakarta),  adalah balasan yang sesuai bagi Umat Islam Indonesia untuk saat ini.

Daripada itu, bisa pula dipahami,  bahwa Pancasila itu, dengan meminjam istilah Masaji Chiba, ia merupakan sebuah “postulat identitas hukum”

[ref]Menski, Werner. 2006. Perbandingan Hukum Dalam Konteks Global (Sistem Eropa, Asia dan Afrika),  judul asli Comparative Law in Global Context, Bandung: Nusa Media[/ref]

bagi Indonesia kini. di mana postulat identitas hukum tersebut, akan tetap meniscayakan ajaran Islam sebagai sumber hukum materil dan formil.

Namun adakah Soekarno cukup tepat ketika menempatkan Pancasila bagai sebuah ideologi abadi untuk Bangsa Indonesia?  Sejatinya, tidak ada negara yang benar-benar selesai. Negara adalah sebuah konsensus, begitupun ideologi normatif yang menjadi pacang bagi sebuah kontrak sosial. Betapapun luhur dan sakralnya ia, sebuah konsensus tetap saja mengandung hukum nasikh dan mansukh. Pun di dalam riwayat pemikiran kenegaraan, sudah merupakan ijma` barangkali, bahwa “negara adalah untuk manusia, bukan manusia untuk negara”

[ref]Radbruch, Gustav. 1957. Filsafat Hukum, judul asli Outline of Legal Philosophy, Jogjakarta: Badan Penerbit Gadjah Mada.[/ref]

.

Dengan demikian, hukum sebuah negara adalah terus bergerak, sebagaimana manusianya yang bergerak. Tetapi sampai di sini, perlu diingatkan, bahwa setiap usaha yang berdarah-darah untuk merubah Indonesia, betapa perlu dikutuk. Sebuah transformasi kenegaraan, harus dirubah haluan pandangnya, dari revolusi yang berdarah-darah kepada ‘evolusi’ nilai yang ramah tamah. Dan Islam yang betapa rahmat, cukup potensial untuk itu. Namun tentu, fakta kuantitas saja tidaklah cukup.

– Nauval Pally Taran* –

Nauval Pally Taran, Alumnus Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, sehari-hari di Pondok Pesantren.

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Hak cipta gambar olah digital oleh padebooks.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: