Categories
Penulis Tamu

Rayuan Gaya Hidup Mengganti Nilai

Suatu waktu saya harus menumpang sebuah ojek dengan ongkos yang relatif mahal di Kota Banda Aceh, tepatnya rute perjalanan dari Terminal Bus di Batoh menuju Simpang Dodik. Tujuan saya menuju Meulaboh dengan langsung menunggu angkutan L300 yang keluar dan tidak lagi menjemput penumpang. Dalam perjalanan ini, saya sempat bertanya jawab dengan pengendara ojek. Saya tanyakan, abang narik ojek dari jam berapa sampai jam berapa? Ia menjawab, saya narik dari setelah subuh sampai jam 11 siang. Ia juga melanjutkan, sebenarnya gak cukup (keuangan-red), tapi untuk apa pula kita kejar kali uang itu, pasti kita gak pernah cukup—saya memiliki tiga orang anak, yang tertua sudah kuliah. Kalau terlalu kita kejar uang itu, hubungan kita dengan keluarga menjadi jarang. (ia menjelas panjang lebar jika kita harus pulang sore, capek, nggak sempat bercanda, rentan sakit, dan lain-lain). Saya pun kembali mengingat diri sendiri dengan kondisi pekerjaan yang saya jalani.

Orang tua saya, orang tua anda, atau orang tua siapa-pun pernah berujar, ‘hidup itu hanya sesaat, berbuatlah sesuatu yang bermanfaat’. Saya berfikir ungkapan orang tua seperti ini sarat dengan makna kehidupan sebagaimana kehidupan yang penuh liku yang pernah beliau alami. Belum lagi ungkapan teman-teman sejawat kita, jika dalam bahasa Aceh sering diungkapkan begini, ‘nyan donya mandum hai rakan’. Ungkapan tersebut dapat kita artikan dengan ‘itu semua yang kamu kerjakan adalah dunia kawan’. Kalimat ini bermakna jangan terlalu lalai dengan dunia, hidup kita hanya sesaat—berbuatlah sesuatu untuk akhirat yang lebih nyata.

Hidup kita penuh persaingan, perselisihan bahkan pertikaian. Sehingga kita terus dikejar waktu, menyelesaikan banyak hal untuk menggapai harapan kehidupan. Kita terus-menerus di atur oleh pekerjaan dalam hubungan-hubungan sosial yang selalu di tuntut oleh efektivitas hukum pasar. Hubungan kerja seperti ini menuntut setiap kita untuk bisa bekerja dibawah tekanan, teliti, cekatan bahkan tanpa kesalahan. Sedikit kesalahan yang kita lakukan berhadapan rincian potongan pendapatan, dan terhambat dalam rangkaian selanjutnya.

Siapa yang tidak akan bersitegang dan berkonflik, jika tuntutan kehidupan begitu tinggi—tapi sistem hari ini memang menghendaki persaingan menjadi prinsip penggerak. Alhasil kita terus di sistem berada dalam ruang ketegangan dan konflik yang selalu mewarnai dalam hubungan sesama. Inilah yang kami maksud menggantikan nilai dalam tulisan ini—nilai itu adalah nilai solidaritas.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana mungkin perubahan ini terjadi secara drastis? Saya berfikir cerita tukang ojek di atas adalah kita—bukankah kita harus realistis dan responsif dengan kondisi sosial, karena ia sangat berhubungan dengan pembentukan karakter diri dan watak anak bangsa dimasa-masa yang akan datang. Jika kita mengutip Lipovetsky—ini semua tidak terlepas dan dimulai dari perubahan sistem ekonomi, yaitu dari kapitalisme produksi menjadi ekonomi konsumsi dan komunikasi massa. Perubahan menurut Haryatmoko dimulai oleh masyarakat dengan gaya hidup yang dibangun oleh teknik-teknik lewat-sekejap, pembaruan terus menerus. Pada titik inilah kita terus berada dalam ruang Rayuan Maut untuk menggantikan nilai dengan konsumerisme. Rayuan itu berbentuk kenikmatan yang sangat memikat; baru, banyak pilihan, swalayan, humor, merangsang, erotisme, perjalanan, hiburan, nampak muda, nampak cantik, selalu sehat, puas dan lain sebagainya.

Dunia kita nantinya akan dikuasai oleh dunia konsumsi dan komunikasi massa yang merupakan dunia mimpi yang akan menjadi kenyataan, dunia yang penuh bujuk rayu sehingga memacu gerak yang tidak pernah akan berhenti. Mungkin tidak untuk si tukang ojek dalam cerita pembuka di atas. Kita akan berada dalam perseteruan  gaya hidup yang terus merambah pada masayarakat yang selalu di nyanyikan oleh berbagai media. Sistem gaya hidup akan menjadikan pola pikir menjadi ukuran utama waktu sosial yang paling diikuti.

Gaya hidup tidak dirangsang oleh bakat bawaan, namun ia terus di organisasi oleh diri sesuai dengan posisi seseorang dalam masyarakat—dibalik itu juga tersurat tingkat pendapatan. Bukan hanya itu, bahkan kegiatan dalam keseharian tidak terlepas dari sistem-sistem representasi khas sosial suatu kelompok masyarat. Disinilah selera akan menguak posisi mereka dalam masyarakat dan memperlihatkan ambisi sosial dimana mereka menempatkan diri dalam kekuasaan.

Namun pada sisi lain posisi tidak selamanya mengontrol keberadaan masyarakat dalam gaya hidup yang sepantasnya. Namun ilusi kehidupan akan selalu berusaha mensejajarkan kehidupan dengan kekuasaan yang tidak ia dapatkan. Saya pikir, pada awal-awal tahun 80-an hingga akhir 90-an olah raga Golf adalah miliki kelas dan kuasa masyarakat tertentu di negara ini—namun masuki era 2000-an hingga saat ini masyarakat menengah juga mulai menjangkau olahraga sejenis ini, disisi lain masyarakat kelas atas yang merasa ruang kuasa dan kelasnya mulai dijangkau oleh kelas berbeda mereka memasuki ke equitasi yang mengeluarkan biaya mahal. Hal ini menjelaskan kesetaraan akses budaya dan berbeda nilai itu, memampangkan gaya-gaya hidup dan wacana-wacana yang dibangun oleh lingkungan sosial tertentu yang kemudian dibangun pondasinya oleh lembaga pendidikan.

Mengutip Sebastien Charles (2004), ada dua nilai logika gaya hidup; Pertama, gaya hidup memungkinkan mendiskualifikasi yang lalu, dan memberi penghargaan terhadap yang baru. Hal yang baru dapat memberikan ekstase yang menggantikan yang lama. Kedua, Gaya hidup dapat mengafirmasikan keberadaan individu ketika berhadapan dengan kolektivitas komunitasnya. Kedua hal inilah yang membangun budaya hedonis semakin meraja dalam kehidupan.

Ada apa dengan hedonisme…? hedonisme akan mengejar dan mendorong setiap individu untuk segera mungkin memenuhi semua kebutuhan yang ia angan-angankan. Budaya hedonisme ini tidak hanya mampu mendorong tapi juga merangsang kenikmatan. Tidak ada yang tidak membutuhkan kesehatan, tingkat kenyamanan, dan waktu yang bebas. Maka lembaga produsen yang memproduksi gaya hidup pun tumbuh bak jamur di musim hujan. Ada banyak pusat kebugaran; rumah makan bebas kolestror dan sejenisnya; industri pariwisata; cafe-cafe dengan suasana yang nyaman. Semua ini dihadirkan memenuhi gaya hidup masyarakat hipermodern.

Keseharian kaum hedonis ini sangat dekat dengan kerja, waktu luang, keluarga, hubungan sosial yang diorganisasikan sesuai dengan lingkungan privatnya. Ruang ini ditandai dengan kebebasan individu, adopsi lingkungan sejauh dapat memberikan rasa nyaman dan aman, dan tidak perduli dengan pihak lain. Mereka sangat takut ketidak nyamanan dan sangat menjaga jarak dengan hal itu. Pemahaman kaum ini sangat lekat dengan ketidaknyamanan itu, bagai lekatnya tanda yang diberikan melalui komunikasi masa. Komunikasi masa yang kerap diterima melalui berbagai tayangan televisi tentang kerusuhan, bencana alam, kemiskinan, kekejaman, disambut dengan tontonan santai sambil meneguk minuman berenergi yang penuh gizi. Hal ini hanya menjadi komunikasi tanda dan gambar yang merusak kenyamanan, tapi dengan tetap menafikan dunia real yang keras.

Situasi langit dan bumi ini membangun mentalitas kaum konsumerisme menjadi karakter yang fatalistik. Mengkonsumsi hidup dengan penuh kenikmatan—disisi lain merasa terancam dengan lingkungan yang miskin dan penuh kekerasan. Bahkan tidak berkeinginan mengulurkan tangan untuk mengurangi penderitaan—konsumerisme berparadigma gunakan kesempatan yang ada untuk sebuah kenyamanan, karena esok hari belum tentu menjadi miliknya lagi. Semua orang pun dianggap pesaing dalam era hipermodern, kondisi membuat mereka selalu berada dalam ruang dilema, jika tidak membunuh, maka ia akan dibunuh.

– Noviandy Husni –

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Hak cipta gambar sebelum olah digital oleh : jordandemuth dan stevepb dibawah lisensi CC0 Public Domain.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: