Categories
Kolom Pendiri

Politik Komen, Like dan Share

Jika media sosial semacam facebook dan twitter belum sepopuler seperti sekarang, apakah Trump, atau Jokowi, bakal memenangkan pemilihan umum di negaranya masing-masing?

Tentu apapun jawaban dari pertanyaan ini, apakah ya atau tidak, masih dapat kita perdebatkan di warung kopi. Akan tetapi, sulit dipungkiri bahwa sosial media telah mentransformasi cara kita mengambil informasi dan dalam lingkup yang sangat khusus, dapat mempengaruhi pilihan politis penggunanya.

Lihat saja, bagaimana pada awalnya Donald Trump diperkirakan tidak akan dapat memenangkan pemilihan persiden  di Amerika, ternyata dapat mengungguli tidak hanya di level partai, tapi juga mengalahkan kandidat Demokrat, Hillary yang di gadang-gadang dapat memenangkan elektorial di Amerika sana dengan mudah, jika hanya mengacu pada poling lembaga-lembaga survey Amerika Serikat.

Sebenarnya, kemenangan Trump tidak akan mengherankan bila kita menilik statistik dari aktivitas sosial media yang melibatkan kedua kandidat tersebut. Secara ringkas, pertumbuhan follower kedua kandidat selama masa kampanye jelas-jelas memihak pihak Trump, dan juga bagaimana engagement mention yang melibatkan kata kunci “Trump” lebih merajai sosial media dibanding dengan saingannya secara telak. Dari hasil analisa sosial media, sebenarnya mudah meramalkan kemenangan Donald Trump seperti hasil analisis konsultan media 4C Insights [ref]http://www.4cinsights.com/resource/election-night-2016-impact-report/[/ref]

Trump adalah personifikasi dari businessman yang tahu cara mengaplikasikan ilmu enterpreneur yang dimilikinya untuk memenangkan pertarungan nyata melalui dunia maya. Dengan semakin banyak namanya tersebut di sosial media, berarti jumlah orang yang setidaknya tahu mengenai Trump dan agenda yang dia bawa menjadi meningkat. Tidak peduli apakah berita tersebar di sosial media itu bersifat positif ataupun tidak, yang ingin diraih sebenarnya adalah ekspose publik. Bagi Trump, “any news is a good news”. Disinilah kemudian peran dari tim kampanye digital beserta para pengikut die-hardnya akan berjalan. Bagaimana mengolah ekspose itu untuk dimanajemen menjadi isu-isu yang bisa membawa nilai positif bagi kampanye Trump. Sebaliknya, kampanye konvensional yang dilakukan kandidat Hillary, terbukti kurang populis, bahkan saat dia menyadarinya belakangan, dengan mulai menggiatkan konten-konten media sosial dan melakukan hal-hal mulai dari yang eksentrik hingga simpatik demi menambah nilai jualnya dimata para pemilih, hal ini dinilai sangat terlambat dan hanya dianggap seperti desperate attempt oleh banyak kalangan.

Hal yang boleh jadi mirip dengan yang dilakukan oleh Jokowi sebelumnya  dimasa pilpres Indonesia 2014 yang lalu. Bukan tanpa sebab timses Jokowi sampai menyewa Adryan Fitra, seorang pakar pemasaran internet kelahiran Aceh yang rekam jejaknya sudah mendunia, bahkan hingga dulu dipakai dalam misi kampanye pemenangan Obama. Padahal, awalnya dia sempat didekati oleh tim pemenangan Prabowo, yang akhirnya urung menyewa jasanya dan akhirnya ia berlabuh menjadi penanggung jawab digital campaign-nya Jokowi. Dengan organisasi yang terstruktur rapi, para buzzer binaannya dapat meningkatkan ekspose lebih dan membawa isu-isu yang sengaja didengungkan untuk meningkatkan elektabilitas pasangan yang diusung, sembari menangkis isu-isu negatif yang berkembang di media sosial dengan sigap. Penulis sendiri sempat mengamati, bagaimana cepatnya respon balik yang dilakukan para netizen bayaran ini dalam merespon isu viral di media elektronik dan sosial media untuk mengcounter pemberitaan miring tentang Jokowi, yang berpengaruh pada opini publik terhadap Jokowi, terutama diantara swing voters yang masih gamang menentukan pilihan.

Sebagai gambaran, pengguna internet di Indonesia mencapai 132,7 juta dari total populasi 256,2 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, sekitar 71,6 juta merupakan pengakses facebook. Dengan latar belakang yang beragam mulai dari ibu rumah tangga hingga pengusaha[ref]https://apjii.or.id/content/read/39/264/Survei-Internet-APJII-2016[/ref] maka penggunaan sosial media sebagai media pendulang dukungan adalah lahan subur yang sangat menggiurkan.

Banyaknya ekspos mengenai suatu isu akan mengakibatkan pembentukan opini pada masing-masing individu. Dengan mensengajadirikan menerima paparan berita-berita yang muncul berkali-kali melalui timeline facebook, (dalam hal ini sebagai media sosial favorit rakyat Indonesia), akan menyebabkan pengkotakkan pikiran kesimpulan pada suatu isu. Hal ini diperparah dengan algoritma facebook yang cenderung akan lebih sering menampilkan isu yang sesuai dengan pola baca tiap penggunanya. Dengan terus-menerus menerima posting dengan genre dan pengarahan kesimpulan yang sama dari sumber berbeda di sepanjang timeline facebook, sulit bagi pemakai facebook untuk keluar dari jebakan pencucian mindset ini. Apalagi tayangan facebook adalah tayangan yang dirancang untuk dinikmati secara sambil lalu, semakin mempersulit kita untuk secara sadar memfilter dan menganalisa sumber dan apa kepentingan yang dibawa oleh pembawa kabar berita tersebut. Ujungnya, nalar kritis sulit berkembang, karena apa yang diterima selalu adalah berita dengan jenis yang sama, menyeret pada ujung kesimpulan serupa, secara massif dan berulang-ulang ditampilkan sehingga pada akhirnya diterima secara de facto sebagai kebenaran. Ini yang disadari oleh konsultan sosial media dan sudah dengan cerdiknya dimanfaatkan demi kepentingan banyak stakeholder, terutama para politikus yang sadar akan potensi tersebut.

Untungnya, dengan latar belakang jumlah pengguna yang besar di media sosial, ada dampak positif yang bisa dituai dengan maraknya para vigilante media sosial yang juga ikut hadir sebagai antitesis dari kekuatan buzzer yang terorganisir. Ia bisa menjadi semacam kontrol sosial akan tidak tanduk para politikus itu sendiri. Dengan hanya berbekal kamera ponsel, seorang netizen bisa mengadukan kampanye kotor yang dilakukan seorang kandidat pemimpin dalam ajang pilkada misalnya, yang jika isunya sensitif, mudah menjadi viral di media sosial dan bakal memaksa si calon tersebut mengklarifikasi via konverensi pers dan kedepannya lebih berhati-hati dalam membuat pernyataan publik agar tidak menjadi bulan-bulanan publik. Bisa dikatakan, pertentangan sporadis di media sosial juga berpotensi sebagai satpam pengontrol perilaku para politikus yang dulunya bisa lolos dari pengawasan lawan-lawannya.

Tentu, kontrol individu ini juga mudah dipelintirkan lagi bergantung kepada kepentingan pelakunya, dan kita sebagai pengguna media sosial akhirnya menjadi serupa Ouroboros, ular yang menelan ekornya sendiri. Terjebak dan tidak bisa keluar dari opini yang tanpa sengaja kita ciptakan di lingkungan linimasa sosial media milik kita yang dengan rutin disambangi.

Sudah saatnya kita mulai memandang media sosial dari kacamata kehati-hatian seraya terus menantang diri untuk selalu bersikap kritis dalam mengambil suatu kesimpulan. Terlebih dalam bersikap yang menyangkut isu penting, seperti politik. Seperti namanya, sosial media  memang didesain sebagai media kolektif untuk berkomunikasi dengan banyak orang. Jika kita menganggap apa yang ada didalamnya hanya satu dimensi, maka dimensi lain yang luas, yang bisa kita kaji lebih dalam sebelum mengambil sikap, menjadi terlewatkan, Apa yang kita bagikan sambil lalu boleh jadi menjadi kebenaran bagi pengikut kita di sosial media, dan ini bisa menjadi runyam, karena harga sebuah hasil pilihan politik kita sangat-sangat mahal dibandingkan dengan sebuah share, jempol, atau ketik “amin”…

Hak cipta gambar sebelum modifikasi oleh : analisahukum.com.

By Zuhra Sofyan

Lulusan Media Informatika, penyuka sains-teknologi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: