Categories
Penulis Tamu

Bangkitnya Right-wing Populism, dan Ringkihnya Demokrasi Liberal yang Kita Anut

Kemenangan pemilih ‘leave’ pada referendum Brexit Juni 2016 lalu dan terpilihnya seorang terduga fasis, rasis, dan xenophobic seperti Donald Trump di pemilihan Presiden Amerika sontak mengejutkan banyak pihak. Seolah tak percaya dengan hasil pemilihan demokratis ternyata telah mengkhianati nilai-nilai political correctness yang selama ini dianggap telah menjadi bagian penting dari peradaban modern barat. Analisa-analisa yang muncul kemudian bermuara pada kesimpulan; bahwa kebangkitan populisme politik sayap kanan sedang berada pada titik tertingginya selama dekade terakhir ini. Diluar dua kejadian penting dalam tahun 2016 itu, negara-negara di Eropa daratan juga menyiratkan kejadian yang kemungkinan mirip. Sebut saja, misalnya, ada Marine Le Pen dengan partai Front National di Perancis,Geert Wilders di Belanda dengan Partai untuk Kebebasan (Partij voor de Vrijheid – PVV), dan Norbert Hofer di Austria dari partai Freiheitliche Partei Österreichs (FPÖ) [ref]Simon Shuster. European Politics Are Swinging to the Right. Time.com, 22 September 2016.[/ref].

Lantas kenapa kebangkitan kaum-kaum politik sayap kanan ini kerap dihubungkan dengan populisme? Atau, pada tingkatan paling dasar, apakah itu populisme? Kenapa kebangkitan kaum politik sayap kanan ini disandingkan dengan populisme – yang adalah terma khusus untuk merujuk keinginan politik rakyat banyak? Lantas pula, apa relasinya dengan demokrasi liberal yang menjadi ratu sistem pemerintahan global ini?

Populisme pada dasarnya tidak memiliki konsep yang baku, sebagaimana kesepakatan para sarjana yang memiliki perhatian khusus pada gejala ini [ref]Lihat, misalnya, Francisco Panizza, ed. Populism and the Mirror of Democracy. Verso, 2005; Ernesto Laclau, On Populist Reason. Verso, 2005.[/ref]. Ini juga yang menjadi alasan khusus kenapa populisme tidak serta merta melekat dengan satu ideologi politik tertentu [ref]Gino Germani. Authoritarianism, Fascism and National Populism. Transaction Books, 1978: 88.[/ref] – itulah kenapa ada, misalnya, right-wing populism, left-wing populism, atau Islamic populism untuk merujuk pada kondisi seperti yang terjadi di Indonesia belakangan ini dengan ‘aksi bela Islam’ di Jakarta. Ianya bisa berafiliasi dengan ideologi politik apapun –umumnya yang menjadi oposan dari ideologi utama establishment di pemerintahan.

Sederhananya, populisme adalah sebuah keadaan dimana masyarakat kebanyakan menempatkan elit pemerintah dalam posisi yang bertentangan dan antagonistik dengan masyarakat mayoritas. Populisme muncul, menurut Laclau, karena kegagalan lembaga-lembaga sosial dan politik yang ada untuk mengatur subyek politik menjadi suatu tatanan sosial yang relatif stabil. Dalam kasus Brexit misalnya, orang-orang tua di Inggris yang cenderung melihat keterlibatan Inggris dalam Uni Eropa (EU) memberikan dampak positif sangat kecil bagi negaranya dibanding pada masa mereka muda dulu sebelum Inggris tergabung kedalam EU. Dengan alasan seperti ini mereka merasa perlu membalikkan keadaan pemerintahan, sehingga terjadilah referendum yang populer dengan nama Brexit pada Juni 2016 lalu. Kondisi nyatanya tentu tidak sesederhana ini, mengingat peran propaganda Nigel Farage dan partai United Kingdom Independence Party (UKIP) serta politisi lain pendukungnya cukup dominan dalam membentuk opini publik untuk memilih ‘leave’.

Begitu pula dengan kemenangan Trump di Amerika. Globalisasi yang menyaratkan borderless nation ternyata menumbuhkan prasangka terhadap imigran bagi pemilih Trump di Pemilu kemarin. Anggapan mereka, lapangan pekerjaan di US yang diserap oleh imigran telah mengesampingkan kesempatan penduduk lokal dalam memperoleh kesempatan yang sama. Selain itu, mereka juga menyalahkan imigran terhadap tingginya tingkat kriminal di US – sesuatu yang menjadi latar belakang Trump ingin membangun dinding pemisah dengan Meksiko. Latar kerentanan ekonomi (economic insecurity) ini tentu saja tidak mutlak, mengingat isu-isu nasionalisme dan pertentangan kultural (cultural backlash) juga berperan besar dalam mempertajam gerakan populisme politik kanan ini [ref] Amanda Marcotte. Trump and Brexit: Right-wing populism of the two is rooted more in base nationalism than in economic insecurity. Salon.com, 24 June 2016; Ari A. Perdana. Menguatnya Populisme: Trump, Brexit hingga FPI. IndoProgress.com, 23 Januari 2017.[/ref]. Itulah mengapa, baik ketika masa kampanye Trump maupun setelah inagurasi, kelompok white supremacy dan yang cenderung-fasis lainnya di Amerika lebih terang-terangan bersuara.

Beberapa analisa juga melihat gejala populisme yang sama di Asia, namun dengan keberpihakan spektrum politik yang berbeda. Aksi Bela Islam, misalnya, berhasil membentuk opini dan mindset umum bahwa ada yang salah dengan pemerintahan yang dikepalai oleh non-muslim dan non-pribumi seperti Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) di Jakarta. Terlepas dari kebijakannya yang tidak berpihak pada rakyat kecil dalam menata kota Jakarta, kita harus mengakui bahwa yang menggerakkan begitu besar massa ummah ke Jakarta kurang lebih adalah karena kasus penghinaan agama yang disasar ke Ahok. Jika ingin lebih jujur lagi, propaganda yang bermain di lini bawah tentu tak jauh-jauh dari karena Ahok berdarah Cina dan Ahok bukan muslim. Yang pasti, ada unsur-unsur nativism yang bermain dalam membentuk populisme-populisme ini – mulai dari anti-imigrasi di Amerika dan Eropa hingga paranoia infiltrasi pekerja dari Cina dan bangkitnya komunisme di Indonesia.

Ketidakbakuan hubungan antara populisme dan ideologi politik tertentu barangkali bisa menjawab pertanyaan tentang berbagai aksi populisme di belahan dunia yang berbeda. Populisme sendiri adalah konsekuensi logis dari demokrasi, atau dalam bahasa Panizza, populisme adalah cerminan dari demokrasi itu sendiri:

By raising awkward questions about modern forms of democracy, and often representing the ugly face of the people, populism is neither the highest form of democracy nor its enemy, but a mirror in which democracy can contemplate itself, warts and all, and find out what it is about and what it is lacking[ref] Francisco Panizza, ed. Populism and the Mirror of Democracy, 30.[/ref].

Demokrasi liberal yang mengedepankan kebebasan individu dan menaruh ‘rakyat’ dalam posisi dominan – karena dasarnya ia adalah pemerintahan dari rakyat untuk rakyat, meniscayakan gerakan-gerakan populisme untuk muncul ketika institusi-intitusi pemerintahan dianggap gagal memenuhi berbagai unmet demands yang ada dalam masyarakat. Dalam pendapat Laclau, populisme muncul ketika kemajemukan demands yang ada didalam masyarakat berbarengan dengan ketidakmampuan institusi pemerintahan untuk menyerap demands ini. Maka, tidak menjadi sesuatu yang aneh ketika gerakan populisme yang kita lihat belakangan ini adalah gerakan yang lintas-kelas, dari rakyat miskin kota, kelas menengah terdidik, dan bahkan elit partai, yang menemukan chain of equivalence mereka untuk menentang institusi pemerintah yang gagal memenuhi keluhan masyarakat.

Lantas bagaimana masyarakat yang lintas kelas ini mampu menampakkan diri sebagai suara yang seolah-olah satu? Jawabannya adalah melalui sistem representasi yang ditawarkan demokrasi. Demands yang ada tadi awalnya adalah keluhan-keluhan yang masing-masing berdiri sendiri sebelum representasinya muncul. Barangkali keluhan masyarakat Amerika tentang pengangguran, kriminalitas yang tinggi, dan prasangka terhadap imigran sudah ada sejak lama, namun baru mengemuka sejak seseorang seperti Trump terang-terangan di muka publik menyuarakan rencana-rencana anti imigran cenderung-fasisnya saat menjadi kandidat presiden. Begitu pula yang terjadi di Inggris, narasi tentang keinginan keluar dari EU tentu menguat setelah Nigel Farage dan UKIP menjadi signifikan di parlemen.Kepentingan dan demands itu dimobilisasi oleh elit-elit politik sayap kanan – yang tak lain adalah representasi dalam sistem demokrasi, dan menampakkan diri seolah-olah gelombang besar masyarakat nasionalis ekstrim dan xenophobic namun berlabelkan demokratis.

Dalam bahasa lain, demokrasi sendiri-lah yang memberi jalan bagi menguatnya populisme politik kanan, sebagaimana demokrasi juga yang memberi saluran yang sama bagi seluruh ‘suara rakyat’ sebagai pemegang kedaulatan dalam demokrasi. Namun, sebagaimana yang kita saksikan belakangan ini, meski ia menjadi cerminan demokrasi, populisme dalam saat bersamaan juga menjadi ancaman bagi demokrasi itu sendiri karena ia tidak hanya memberikan saluran bagi identitas-identitas yang masih bisa diterima karena politically correct, tapi juga termasuk identitas-identitas ekstrim seperti ultranasionalis dan, parahnya, fasisme.

Hal ini terjadi terutama karena definisi rakyat sebagai pemegang kedaulatan demokrasi adalah definisi yang sama sekali cair. Tidak ada satu identitas pun yang menduduki people power dalam demokrasi secara permanen. Sebagaimana argumen Claude Lefort, kedaulatan dalam demokrasi adalah ‘tempat kosong’ yang hanya bisa terisi dengan sementara sebelum direbut oleh ‘rakyat’ yang lain[ref] Claude Lefort, Democracy and Political Theory, Cambridge: Polity Press, 1986, 16.[/ref]. Dalam kekosongan inilah kelindan antara populisme dan ideologi-ideologi tertentu terjalin. Dan kebetulan, konstelasi sosial politik negara-negara di Eropa dan Amerika saat ini sedang menunjukkan kuatnya populisme sayap kanan.

Lalu, sebagai penutup reflektif, bagaimana dengan Aceh dan Pilkada yang didepan mata ini? Apakah ada gerakan populis di Aceh? Jika pun ada, kearah mana keberpihakannya?

– Muhammad Aris Yunandar –

Muhammad Aris Yunandar menyelesaikan studi paskasarjana Ilmu Politik di University of Birmingham. Sehari-hari bereksperimen makanan didapur, sementara waktu luang dihabiskan pada bacaan political theory dan isu demokrasi sambil sesekali memantau perkembangan politik lokal Aceh.

Hak cipta featured image oleh : johnhain dibawah lisensi CC0.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: