Categories
Kolom Pendiri

Menemukan Kembali Inspirasi Islam Indonesia

Beberapa negara muslim di awal abad kedua puluh mencoba untuk mendialogkan antara keislaman dan kemoderenan. Ada yang berhasil, ada pula yang gagal. Sebagai contoh yang gagal itu adalah negara Pakistan. Negara yang dapat dikatakan sebagai negara muslim pertama yang menterjemahkan diri sebagai ‘Republik Islam’, tidak mampu bergerak lebih jauh untuk mewujudkan diri sebaga negara muslim modern. Bahkan orang seperti Fazlur Rahman yang diharapkan menjadi konseptor negara Pakistan modern, harus terusir dari negara itu, akibat semakin mengkutubnya faksi konservatif di sana. Setelah Pakistan, hampir tidak ada negara muslim lainnya, sampai kemudian lahirnya revolusi Islam di Iran.

Kegagalan Pakistan dalam menterjemahkan kemoderenan dalam kehidupan publiknya untuk masyarakat muslim kemudian memang menimbulkan problem yang akut bagi perkembangan intelektuil masyarakat muslim berikutnya dalam melihat kemodernenan. Alih-alih memandang positif kemoderenan sebagai kenyataan sosiologis, malahan hal tersebut dipandang sebagai lawan yang harus diwaspadai. Makanya para intelektuil muslim kemudian lebih mengalihkan pandangan dari Fazlur Rahman kepada Al maududi, atau yang lebih celakanya kepada pemikiran Sayyid Qutb.

Situasi dalam tekanan itulah yang dapat kita lihat pula dari intelektuil Masyumi pula di awal Orde Baru juga ikut menggunakan pandangan ala Qutb untuk membaca arah politik islam di Indonesia (Panji Masyarakat, 1972). Tentu hal tersebut merupakan kemunduran kelompok tersebut secara intelektuil. Setelah sebelumnya, di masa-masa demokrasi parlementer, Masyumi, bersama PSI, menjadi partai yang sangat percaya bahwa kemoderenan, dalam hal ini demokrasi, adalah jalan baru negara yang baru lahir yang bernama Indonesia.

Akan tetapi kebuntuan itu kemudian coba didobrak oleh generasi intulektuil muslim modernis lainnya, disini kita menyebutnya Nurcholish Madjid, yang mencoba merumuskan tentang hubungan Islam dan kemoderenan setelah hiruk pikuk faksionil ideologi berakhir di awal tahun 1970-an. Disini Nurcholis, bahkan jauh sebelum dia belajar filsafat islam kepada Fazlur Rahman di Chicago, menganjurkan secara semangat tentang pandangan yang lebih positif mengenai kemoderenan, dalam hal memandang relasi Islam dengan negara. Bahkan katanya, beberapa waktu setelah polemik ditimbulkan atas kertas kerjanya di tahun 1971, Nurcholish mengkahwatirkan keterpaksaan sejarah dalam kalangan ummat Islam (Panji Masyarakat, 1972).

Inti dari gerakan intelektuil yang dibangun oleh Nurcholish dan kelompoknya adalah usaha untuk menjadikan Islam sebagai inspirasi dan sandaran utama nilai dalam memandang segala hal yang datang dari kreasi manusia – itulah mengapa kelompok progressif baru muslim itu kemudian dengan keras menolak upaya peng-ideologian dan politisasi Islam. Untuk usaha tersebut, Indonesia lebih baik dari Pakistan yang memang tidak mampu secara lebbih lama memberikan sumbangan pemikiran yang positif berkenaan hubungan Islam dan kemoderenan.

Kini bisa kita lihat hampir tidak ada lagi beban yang berat, untuk mengatakan tidak sama sekali bagi partai islam untuk menjadi sangat nasionalis, atau partai nasionalis menjadi sangat islami. Jarak keduanya kini baik dalam politik maupun sosial sudah semakin cair. Hal yang tentu tidak dapat kita saksikan di era 1950 an- 1960-an. Bahkan partai yang terinspirasi dengan ikhwanul muslimin pun, seperti PKS, juga berusaha untuk terlihat lebih ‘indonesia’ dalam panggung politik nasional.

Latar kesejarahan yang dimaksud adalah sebenarnya untuk menunjukkan bahwa kita sebenarnya memiliki modal besar dalam mendialogkan dan menjembatani keislaman dan kemoderenan kemajuan sekaligus. Bahkan tanpa ada rasa takut dan gentar sekalipun. Dengan tujuan mulia yaitu, mengambil inspirasi Islam yang luas ini.

Pengalaman kesejarahan misalnya saja menujukkan, betapa para pendiri bangsa ini – baik laki-laki maupun perempuan – memiliki corak optimisme dalam melihat masa depan. Yaitu, Indonesia hadir sebagai negara nasional. Yang ia-nya berdiri di atas semua golongan, seperti yang dikatakan Bung Karno “…satu buat semua, semua buat satu.”

Ingatan ini mesti diulang-ulang, sebab tekanan yang dirasakan akhir-akhir ini, semakin mengkhawatirkan bangunan sendi-sendi kebangsaan kita. Terlihat dengan mulai terang benderang, ada suatu gerakan mundur ketika Islam – entah itu diperlihatkan dengan perilaku ormas atau merebaknya berita-berita hoax – mulai dibentur-benturkan dengan negara nasional ini.

Padahal jauh-jauh hari, Islam telah menjadi inspirasi bagi tegaknya negara nasional ini, alih-alih, menjadi musuh terdepannya. Oleh karena itu, kita harus kembali kepada maksud untuk apa negara ini didirikan. Bahkan lebih dari itu, kita harus kembali memeriksa dengan seksama setiap inspirasi Islam bagi bangsa ini. Sebab dengan itulah kita dapat menjadi bangsa yang terdepan.

Hak cipta gambar commons wikimedia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: