Categories
Kolom Pendiri

Erdogan dan Sekularisme di Turki

“Turkey’s two halves are like oil and water, though they may not blend, neither will dissapear” – Soner Cağaptay

Tidak berlebihan jika mengatakan bahwa Erdoğan adalah salah satu presiden yang paling berpengaruh di dunia saat ini. Pada masanya, ekonomi Turki melonjak tajam dan tentunya kekuasaan politik juga semakin menguat, apalagi setelah gagalnya kudeta pada Juli 2016 lalu. Mantan penjual simit ini bahkan bisa dikatakan sebagai presiden terkuat Turki semenjak Mustafa Kemal Ataturk memimpin pada awal-awal berdirinya Republik Turki. Tetapi di saat yang sama, Erdoğan juga bukan pemimpin yang bersih dari kritikan atas kebijakan-kebijakannya di Turki, di samping banyak pula yang mempertanyakan tentang komitmennya terhadap ideologi sekularisme di Turki. Keraguan ini tentu sangat wajar mengingat latar belakang tradisi politik Erdoğan adalah politik Islam di bawah asuhan pendahulunya Necmettin Erbakan dalam Partai Refah.

Namun demikian, walaupun Erbakan merupakan “guru” politik Erdoğan, mereka berdua memiliki paradigma, jalan dan strategi yang berbeda dalam menghadapi Sekularisme di Turki. Erbakan dengan sangat lantang menentang Sekularisme di Turki, mengelukan pan-islamisme, dan berjanji akan menyelamatkan Turki dari “Para Kafir Eropa”. Ideologi Erbakan ini dikenal dengan istilah Milli Görüş. Kasus anggota dewan wanita Merve Kavakci—perwakilan wanita dari partai Refah yang memakai jilbab—adalah contoh sederhananya. Erbakan, walaupun dianggap sebagai aksi menentang ideologi negara, dengan teguh memperjuangkan Merve agar masuk ke dalam parlemen Turki.

Sebaliknya Erdoğan, ia memilih menerima bahkan mempromosikan sekularisme. Sebagai contoh sederhana, dalam kasus perwakilan wanita di Parlemen pada awal periodenya, Erdoğan memilih 13 perwakilan wanita yang tidak memakai jilbab, walaupun kebanyakan dari pemilih partai Adalet ve Kalkınma (Partai AK) memakai jilbab. Kemudian, dalam kunjungannya ke Mesir pada September 2011, Erdoğan dengan tenang menyarankan agar Mesir juga mengadopsi ideologi Sekularisme. Ia menyatakan “Saya bukanlah Muslim sekuler, tetapi saya adalah Perdana Menteri Negara Sekuler dan Saya katakan, ‘saya berharap akan ada pemerintahan yang sekuler di Mesir. Sekularisme bukanlah musuh agama. Tidak perlu takut terhadap sekularisme, Mesir akan bangkit dalam demokrasi dan bagi mereka yang akan menetapkan dan menganggarkan konstitusi harus memahami bahwa menghargai semua agama adalah sangat penting dan juga menjaga jarak dari semua pengikut agama sehingga masyarakat dapat hidup dengan agama”.[ref]Deutsche Welle Türkçe. 2011. “Mısır’da Erdoğan’a Laiklik Eleştirisi | DÜNYA | DW.COM | 15.09.2011.” http://www.dw.com/tr/mısırda-erdoğana-laiklik-eleştirisi/a-15388018.[/ref]

Setelah kunjungannya ke Mesir, ia melanjutkan kunjungannya ke Tunisia dan Libya. Dalam kunjungannya tersebut, ia menambahkan penjelasannya mengenai sekularisme. “…Bagi saya, sekularisme bukanlah ateisme, bukan pula memusuhi agama. Manusia tidak boleh sekuler, tapi negara boleh sekuler. Inilah cara pandang partai kami. Sebagai seorang Muslim, dengan menjalankan ideologi negara sekuler, maka seluruh kelompok agama yang ada dalam negara akan diperlakukan sama dan setara, baik dia seorang Muslim, Kristiani, Yahudi dan juga ateis. Semua kelompok agama ini akan berada di bawah lindungan negara. İnilah yang kami maksud dengan sekularisme…” [ref]Sözcü. 2016. “Erdoğan: Laiklik Ateizm Değildir, Korkmayın – Sözcü Gazetesi.” Sözcü. http://www.sozcu.com.tr/2016/gundem/erdogan-laiklik-ateizm-degildir-korkmayin-1202212/.[/ref]

Tapi konsistensi Erdoğan terhadap sekularisme di Turki masih dan akan terus diuji dan dipertanyakan baik dari masyarakatnya ataupun dari lingkungan pejabat terdekatnya pula. Misalnya saja, pada April 2016 lalu, salah seorang Jubir Parlemen terpercaya Erdoğan, Ismail Kahraman, tiba-tiba mengeluarkan pernyataan bahwa Konstitusi Baru Turki nantinya harus menggunakan konstitusi agama (Islam) menggantikan konstitusi sekularisme yang ada sekarang. Tak pelak, pernyataan ini langsung memicu demonstrasi di beberapa daerah di Turki. Beberapa hari kemudian, pernyataan ini langsung dikonfirmasi kembali oleh Ahmet Davutoğlu—Perdana Mentri Turki saat itu—bahwa pernyataan Kahraman tidak mewakili posisi partai Adalet ve Kalkınma. Ia menambahkan bahwa sekularisme—interpretasi liberal bukan otoriter—akan tetap dijaga di dalam draf konstitusi. Tahun lalu juga, setelah gagalnya kudeta, Mehmet Simşek juga mengeluarkan pernyataan di akun Twitternya bahwa Pemerintah Turki akan tetap mempertahankan sekularisme agar Turki tetap harmonis.

Insiden-insiden di atas membuat kita bertanya apakah Erdoğan atau partainya akan mengadopsi ideologi politik Islam (Islamist) dan meninggalkan ideologi Sekuler? Ini pertanyaan yang sulit. Di satu sisi, kemungkinan ini akan selalu ada mengingat latar belakang tradisi politik Islam Erdoğan. Namun di sisi lain, setiap kali isu negara Islam muncul, Erdoğan selalu menolak ide tersebut dan mempertahankan karakter sekular Turki. Kemudian, Devlet Bahçeli, pimpinan partai Milliyetçi Hareket (MHP) yang juga koalisi Partai AK, telah memastikan bahwa tidak ada perdebatan lagi mengenai empat dasar Negara Turki—termasuk di dalamnya sekularisme.[ref]Bianet. 2016. “Bahçeli: Anayasa’nın İlk 4 Maddesi Tartışılamaz – Bianet.” Bianet. http://bianet.org/bianet/toplum/170793-bahceli-anayasa-nin-ilk-4-maddesi-tartisilamaz.[/ref]

Di samping itu, hasil survei pada tahun 2007 PEW Research mengeluarkan hasil survei bahwa dua pertiga penduduk Turki mengidentifikasi dirinya sebagai manusia religius dan sepertiga lainnya sebagai sekuler. Namun hasil survei PEW Research Center tahun 2013 menjelaskan bahwa hanya 12 persen dari penduduk Turki yang menginginkan Islam dan syariat Islam sebagai ideologi dan hukum resmi negara. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa mayoritas masyarakat Turki—termasuk juga Erdoğan—mampu memisahkan konsep keberagamaannya dengan konsep kenegaraan. Bagi mereka, agama adalah bagian dari identitas yang sangat penting, namun bukan berarti negara harus beragama.

Realita masyarakat Turki ini dapat dirangkum dalam pernyataan Soner Cağaptay, direktur Program Penelitian Turki di Universitas Washington, “Dua sisi masyarakat Turki itu (agama dan negara-pen) seperti air dan minyak, walaupun mereka tidak akan menyatu, namun tidak juga akan menghilang”.
Hak cipta gambar wiki commonmedia dibawah lisensi Creative Common.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: