Categories
Kolom Pendiri

Umat dan Logika Sejarah Islam

“There is no faith, without a critical mind” – Tariq Ramadan

Sejarah ditulis untuk mereka yang hidup, bukan untuk mereka yang mati. Sebagaimana madah (eulogy) disampaikan kepada yang menyaksikan kematian dan bukan kepada yang telah mati. Di sisi lain, kehidupan manusia selalu dinamis, maka begitu pun dengan sejarah. Sistem sosial, ekonomi dan politik pun akan terus menemukan bentuk yang berbeda-beda, sesuai dengan kebutuhan tempat dan waktunya. Dengan demikian, maka sejarah terus ditulis dan dibaca ulang dengan perspektif dan pemahaman yang sesuai zaman dan tempatnya. Sehingga kekuatan sejarah dapat digunakan dengan maksimal, untuk memberi paham kehidupan dan legitimasi untuk masa sekarang dan masa depan.

Untuk tujuan itu, maka sejarah—sebagai sebuah disiplin ilmu—minimal harus dilandasi pada akal (logika), wawasan dan sikap objektif. Tanpa landasan tersebut, maka sejarawan atau pembaca sejarah akan salah paham dan terjebak dalam mesin waktu masa lalu. Akibatnya, sejarah hanya menjadi kenangan yang melalaikan, pengantar tidur yang membuai pikiran dari dinamisnya zaman, dan kitab untuk mengutuk buruknya zaman. Sejarah hanya menjadi dongeng indah yang dibenar-benarkan. Oleh karenanya, Ibnu Khaldun tidak segan melontarkan kritik terhadap historiografi (penulisan sejarah) sebelumnya. Ia mengkritik sejarawan yang hanya mengandalkan tradisi transmisi ilmu tanpa menggunakan analisis logika untuk membuktikan keabsahan sebuah peristiwa. Sebaliknya demi menghindari kegagalan paham, ia memanfaatkan wawasan geografis, politik, ekonomi sekitarnya untuk menghadirkan pemahaman sejarah yang komprehensif dan bermanfaat.

Dengan cara pandang di atas, maka konsep khalifah, misalnya, adalah fakta sejarah penting. Namun menjadikan konsep kekhalifahan Umayyah, Abbasiyah dan Usmani sebagai patokan saklek—apa lagi menganggapnya sebagai bagian dari Syariat Islam—untuk sistem pemerintahan masa sekarang adalah gagal paham. Karena secara geopolitik, Jazirah Arab dahulunya berada di tengah-tengah dua kerajaan besar dunia: Byzantium (Roma) dan Persia. Bangsa Arab yang telah hidup ratusan tahun di bawah bayang-bayang dua kerajaan besar ini, tentunya juga akan terpengaruh dengan sistem dan gaya kepemimpinan kerajaan tersebut. Maka tidak mengherankan pula jika sistem Khalifah (Kerajaan) merupakan hasil adopsi dari sistem kerajaan Roma dan juga Persia, bukan berlandaskan Quran. Sistem ini adalah ijtihad politik, sebuah respons terhadap keadaan politik timur tengah saat itu yang tidak mesti relevan dengan zaman modern.

Kegagalan lainnya sering terjadi pada cara pandang Muslim terhadap non-Muslim. Muslim sering memandang hubungan dirinya dengan non Muslim dengan sikap hitam putih (Binari). Artinya, Muslim sering hanya menganggap non-Muslim sebagai rival semata, sehingga harus dijauhi, dimusuhi atau minimal dianggap lebih rendah dari Muslim. Paham ini selain tidak logis, juga ahistoris, karena komunitas Muslim di Madinah dan di Mekkah, misalnya, pada masa Nabi Muhammad saw. bukan lah mayoritas. Ini berarti bahwa Muslim, mau tidak mau, pastinya memiliki interaksi yang intens dengan non-Muslim. Banyak catatan yang merekam interaksi erat antara Nabi Muhammad saw. dengan non-muslim dan bagaimana Ia saw. memuliakan manusia secara umum.

Sebelum menjadi kenabian, Muhammad saw. pernah ikut serta dalam hifl al-fudul di rumah Abdullah ibnu Judan. Ini adalah perjanjian antar bani-bani (non-Muslim) di Mekkah untuk menjamin adanya keadilan bagi orang-orang yang tertindas oleh kekuasaan klan pada saat itu. Setelah Muhammad saw. menjadi Rasul pun, Ia dengan bangga menguatkan kembali perjanjian itu. Kemudian, kedua paman Muhammad saw., Abu Thalib dan Abbas, juga merupakan dua non-Muslim (politeis) yang sangat dihormati bahkan dipercaya Muhammad saw. untuk hadir dalam pertemuan-pertemuan rahasia [ref]Ramadan, Tariq. 2007. In the Footsteps of the Prophet: Lessons from the Life of Muhammad. Oxford: Oxford University Press.[/ref]. Juga, Rasulullah juga pernah mengirimkan isi Piagam Madinah kepada Pendeta Biara St. Catherine sebagai informasi bahwa hak-hak umat Kristen akan dijamin oleh Nabi Muhammad saw. Jika ada yang mengganggu mereka, maka mereka akan langsung berhadapan dengan Nabi Muhammad saw [ref]Iqbal, Mohammad. 1982. Misi Islam. Jakarta: Gunung Jati.[/ref]. Bahkan pada suatu pertemuan dengan utusan penting Kristen dari Najran, Muhammad saw mengizinkan mereka untuk beribadah di dalam Mesjid Madinah [ref]Lings, Martin. 1987. Muhammad His Life Based on the Earliest Sources. Rochester: Inner Traditions.[/ref]. Begitu juga dengan Yahudi, selama bertahun-tahun, seorang pemuda Yahudi terus menemani dan menjadi kawan Muhammad saw., karena pemuda ini sangat mencintai Nabi. Muhammad saw. pun tidak pernah memintanya untuk menjadi Muslim, hingga pada hampir akhir hayatnya ia meminta izin ayahnya untuk masuk ke dalam Islam [ref]Ramadan, Tariq. 2007. In the Footsteps of the Prophet: Lessons from the Life of Muhammad. Oxford: Oxford University Press.[/ref].

Contoh-contoh ini merupakan bentuk pemuliaan, penghormatan, dan kasih sayang Rasulullah kepada semua manusia di bumi tanpa dibatasi oleh identitas agama dan ras. Walaupun Rasulullah tetap memberikan kritik terhadap kepercayaan agama-agama lain, tapi perbedaan pandangan ini tidak membuat beliau merasa lebih berkuasa atas jiwa-jiwa manusia lainnya.

Dengan memanfaatkan akal dan wawasan luas, maka sejarah merupakan emas-emas hikmah yang tidak akan pernah berkurang nilainya dan bermanfaat di mana dan di masa apa pun seseorang hidup. Lagi pula, bukankah Allah swt. selalu menantang manusia untuk berpikir kritis (tadabbur) terhadap sejarah dan ciptaan-Nya? Sehingga cerita-cerita (sejarah) dalam Al-Quran akan semakin memperteguh iman kepada Allah.

Hak cipta foto oleh : TheUjulala dibawah lisensi CC0 Public Domain.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: