Categories
Penulis Tamu

Bersama Jokowi, Merawat Kemerdekaan

Di tengah turbulensi politik yang begitu mengguncang, isu terorisme yang terus mengancam, tindakan-tindakan intoleransi yang kian mengoyak rajutan tenun kebangsaan, tambah lagi reinkarnasinya gagasan-gagasan yang ingin mengganti Pancasila sebagai dasar negara, seolah tanpa lelah, Jokowi terus bekerja untuk merawat kemerdekaan Indonesia.

Sejak awal menjadi Presiden, Jokowi sudah menghadapi terpaan kekuatan politik oposisi, ditambah cacian dan hinaan, fitnah, kritikan, serta desakan untuk mundur. Belakangan, eskalasinya semakin meningkat. Isu komunisme ditebar menghantui rakyat, bahkan gelombang konservatisme yang melanda umat Islam Indonesia seolah dimanfaatkan untuk melawan pemerintah.

Jokowi berbeda dengan pendahulunya yang nyaris tanpa tekanan. Di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak ada yang berani melakukan pelecehan. Suara riak parlemen kurang menggema di Senayan. Militer sebagai tulang punggung keamanan negara tunduk dan patuh pada Presiden. Dan kelompok ekstrimis Islam “dilindungi” oleh negara. Pastinya, tidak ada gelombang aksi besar yang menggoyang kekuasaan SBY selama dua periode Presiden.

Pun demikian, kita tetap apresiatif terhadap Jokowi. Sebagai Presiden pilihan rakyat, ia sangat tangguh menghadapi berbagai tekanan. Sembari tetap fokus untuk kerja, kerja, dan kerja.

Kunjungan ke daerah-daerah terpencil, penyambungan akses jalan antar daerah di kawasan terluar, pembangunan pelabuhan-pelabuhan dan jalan tol, merupakan bukti komitmennya untuk merawat kemerdekaan.

Bukan hanya itu, perlahan tapi pasti, ia merajut kembali tenun kebangsaan yang terburai, seperti menyusun serakan kepingan puzzle lalu menyatukannya menjadi Indonesia. Berlebaran di Aceh dan Sumatera Barat, mengunjungi pesantren, bersilaturrahmi dengan berbagai ulama, meresmikan tugu titik nol Islam Nusantara di Barus, semuanya adalah upaya untuk menyatukan bangsa dalam rumah besar Indonesia.

Namun pada saat yang sama, ia tegas terhadap kelompok anti ideologi Pancasila, tanpa ampun HTI dibubarkan melalui Perpu. Kampus-kampus dibersihkan dari gerakan-gerakan radikal. Sehingga tidak ada lagi yang coba-coba merongrong Pancasila.

Penertiban dan resistensi oleh negara di tengah kegentingan sosial-politik pantas dilakukan, asal tidak menjurus pada tindakan fasis, yang mencirikan adanya kediktatoran partai tunggal yang sangat nasionalis (hyper-nationalism), rasialis, militeris, dan agresif imperialis[ref]Pambudi, Agustinus. 1999. The Death of Adolf Hitler (Kematian Adolf Hitler), Jakarta: Agromedia Pustaka[/ref].

Saya tidak habis pikir melihat orang-orang yang menuduh Jokowi fasis. Padahal kebijakan-kebijakan yang ia lakukan baru sebatas menumbuhkan spirit nasionalisme untuk merawat kemerdekaan Indonesia.

Di samping itu, ia hanya ingin negara tertib, tidak ada negara dalam negara, tidak ada peradilan jalanan. Semua warga negara harus tunduk dan patuh pada aturan. Toh, pada saat yang sama, ia tidak melupakan peran reseptif pemerintah dalam menyikapi gagasan-gagasan konstruktif warga.

Syukurnya, kalangan elit mulai memberikan dukungan pada pemerintahan Jokowi. Satu persatu partai politik oposisi kian merapat. Kampus-kampus bersatu melawan gerakan radikal dan anti Pancasila. Bersama MUI, para ulama dipertemukan dalam rumah besar Islam moderat, sebuah gagasan untuk menjadikan Islam Indonesia sebagai kiblat bagi keberislaman dunia.

Gagasan ini mengemuka dalam konferensi internasional “Contending Modernities, Beyond Coexisistence in Plural Societes” di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Azra mengatakan bahwa, Islam di Indonesia sangat moderat, toleran, dan inklusif. Salah satu dari ekspresi itu adalah Pancasila, yang menjadi dasar NKRI. Dalam momentum yang sama, Ebrahim Moosa mengingatkan bahwa tantangan Indonesia ke depan adalah menerima seutuhnya penganut agama/kepercayaan yang berbeda-beda[ref]Harian Kompas, 11/7/2017[/ref].

Tantangan inilah yang menjadi “PR” terberat di era Jokowi. Padahal kemerdekaan republik ini diraih bukan atas perjuangan satu agama/kepercayaan saja, melainkan buah perjuangan penduduk seisi nusantara.

Untuk menjawab tantangan ini Jokowi perlu melakukan dua hal, pertama, memperkuat soliditas kekuatan politik pendukung pemerintah. Stabilitas politik harus terjaga, sehingga kebijakan pemerintah dapat terlaksana.

Kedua, melalui lembaga pendidikan, pemerintahan Jokowi perlu merumuskan kembali strategi implementasi pendidikan multikultural berbasis Pancasila di kampus-kampus dan sekolah-sekolah.

Dalam hal ini, Menteri Agama juga perlu merancang ulang materi ajar Pendidikan Agama Islam (PAI) ke arah yang lebih moderat di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) dan sekolah-sekolah Islam. Supaya kaum terpelajar di Indonesia tidak mudah terprovokasi isu-isu intoleransi, radikalisme, dan terorisme.

Namun Jokowi tidak bisa dibiarkan kerja sendiri. Seluruh komponen bangsa harus turut mengawal jalannya pemerintahan, menuju kemerdekaan yang hakiki.

Siapapun kita, apapun suku, agama, dan partai politik kita, semua kita adalah Indonesia untuk Indonesia. Ibarat tromol sepeda, Indonesia adalah tromolnya. Sedangkan multikulturalitas bangsa adalah jari-jarinya. Semua bergerak mengitari sang waktu secara seimbang bertumpu pada tromol yang satu menuju arah yang sama.

Bukankah Indonesia dan Jokowi merupakan rahmat dari Sang Maha Pencipta. Merawat keduanya adalah bentuk syukur kita dalam merawat kemerdekaan. Tanpa adanya kebersamaan, maka cita-cita kemerdekaan, yang ditandai tegaknya keadilan, kemakmuran, kedamaian, dan kesejahteraan sosial akan jauh panggang dari api.

– Mustamar Iqbal Siregar* –

*Mustamar Iqbal Siregar adalah pengajar pada FTIK IAIN Langsa, Aceh

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Sumber foto featured image: http://blog.jobsmart.co.id

4 replies on “Bersama Jokowi, Merawat Kemerdekaan”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: