Categories
Penulis Tamu

APA ADA OBJEKTIF PENELITIAN ILMIAH ITU?

Filsafat ilmu menuntut semua sistem epistemologi ilmu pengetahuan harus objektif. Tetapi apakah bidang-bidang ilmu ada memenuhi tuntutan itu?
Apa ada objektif penelitian ilmiah itu?

Kalau ilmu matematika itu, ada memenuhi tuntutan objektivitas. Sebab dianya tidak mungkin relatif. Ilmu itu tidak bisa dikonstruk secara subjektif. Tetapi kesimpulan-kesimpulan yang dibuat dari ilmu-ilmu yang mengandalkan matematika sebagai tumpuan utamanya, sangat sering, atau bahkan tidak mampu ilmu-ilmu itu disimpulkan dengan benar-benar objektif. Ambil contoh ilmu kimia dan ilmu fisika. Dua ilmu yang mengandalkan matematika itu tidak dapat objektif dalam kemimpulan-kesimpulan yang dibuat para ilmuannya. Para ilmuan-ilmuan ilmu-ilmu tersebut itu terpaksa, atau dengan motif tertentu yang tidak ilmiah, atau karena sebenarnya mustahil dengan sebenar-benarnya, untuk dapat membuat simpulan-simpulan objektif. Maka itu, mereka kerap membuat lompatan-lompatan, atau konstruksi-konstruksi yang tidak mengikuti kaidah matematika atapun kaidah-kaidah statistik dalam proses melahirkan simpulan-simpulan.

Dari kesadaran objektivitas matematika, kepada ilmu-ilmu sosial dituntut menggunakan matematika (dalam hal ini statistik) sebagai fondasi epsitemologis ilmu-ilmu sosial. Jadinya ilmu-ilmu sosial difardhukan menggunakan data-data yang ”diasumsikan objektif”. Data-data dari ilmu-ilmu sosial baru diabsahkan bila dianya itu diakui oleh kalangan-kalangan elit yang dianggap ahli untuk disiplin tertentu dari ilmu-ilmu sosial. Mereka tidak ingat lagi bahwa orang-orang yang mendapat pengakuan sebagai orang ahli itu tidak juga benar-benar objektif: relasi, keahlian lobi secara politis, karena dulunya pamannya adalah rektor atau menteri, sangat mempengaruhi proses orang itu diakui sebagai ahli dan mendapatkan kertas (entah itu SK, setrifikat atau ijazah) sehingga dia dianggap (bahasa normatifnya: ‘diakui’) sebagai ahli.

Kalau boleh sedikit kurang sopan, ilmu-ilmu sosial tidak dapat diakui sebagai ilmu pengetahuan (science). Dia lebih layak menjadi karya sastra (literature, jangan pula menyamakan karya sarta dengan penelitian atas karya sastra dan lagi pula penelitian itu takkan objektif juga). Dari dulu memang demikian adanya ilmu-ilmu sosial itu. Ilmu sosial bukanlah ilmu (science), tetapi dia adalah pelajaran (ibrah). Orang jaman dulu (yang jauh lebih pintar daripada profesor doktor maka kini), selalu menganggap Ilmu sosial itu sebagai pelajaran (ibrah). Mereka tidak peduli akurasi fakta harus identik dengan dengan sajiannya (cerita). Bagi mereka (dan memang itulah hakikat ilmu sosial), yang penting adalah pelajaran apa yang dapat diambil dari konstruksi (sajian atau penuturan) yang disapaikan.

(Bahkan terma ”ilmu sosial” baru layak dipakai bila tidak memahami ‘ilmu’ sebagai yang objektif-positivis, tetapi ‘ilmu’ dimaknai sebagai sesuatu yang menjadi satu kesatuan antara si pengetahu dengan pengetahuannya, sehingga ilmu tidak hanya untuk bersatu dengan indera, nalar, emosi manusia tetapi bersatu dengan keseluruhan fakultas manusia.)

Yang penting, dari ilmu sejarah misalnya, bukanlah apakah benar semut sebesar kucing (Hikayat raja-raja Pasai) itu nyata atau tidak, tetapi sejauh mana carita itu mampu menggugah pembacanya atau pendengarnya. Karena yang penting adalah sejauh mana sejarah itu mampu menggugah, maka yang penting dari ilmu sejarah khususnya dan ilmu sosial umumnya, adalah kemampuan menggugah, bukan kemampuan menyajikan data-data dan mempelototi runut statistik. Bahkan data-data untuk ilmu sosial itu semuanya harus dikonstuksi agar dia dapat diberi nama atau diberi predikat (bahasa kerennya: dimaknai).

Nah, sebagaimana dikatakan tadi, karena yang penting dari ilmu sosial adalah kemampuan menggugah, yang dituntut dari ilmuan (nanti gelar atau predikat ‘ilmuan’ bagi pegiat atau bahasa kerennya ‘peneliti’ ilmu sosial kita tinjau kembali) sosial adalah kecerdikan dalam mengkonstruksi. Dengan demikian, gelar ‘ilmuan’ untuk pengiat ilmu-ilmu sosial tidak disandangkan. Mereka lebih cocok disebuat sebagai ‘tukang konstruk’ (disebut ‘ahli konstruksi’ juga boleh, biar lebih keren asalkan gelar itu mendapat izin dari para teknik sipil).

Ya, bener loh. Yang dituntut dari pegiat ilmu-ilmu sosial adalah kecerdasan mengkonstruksi. Mereka difardhukan untuk mampu mengkonstruksi mulai dari data hingga kesimpulan ”penelitian”. Predikat peneliti juga tidak layak disandangkan kepada mereka karena keseluruhan aktivitas mereka bukan meneliti tetapi mengkonstruksi. Baik itu yang pakai pendekatan kualitatif maupun kuantitatif.

Antropologi juga begitu, semua sajian tentang laporannya adalah konstruksi berkesinambungan mulai dari menafsirkan data, membuat alur, hingga mengemasnya dalam bentuk bacaan baik itu buku, jurnal, pamflet, atau lainnya. Semua kerja itu secara keseluruhannya adalah subjektif. Bahkan Antropologi adalah ilmu yang zalim ketika mereka memaknai orang yang sangat menyatu dengan alamnya dipredikatkan sebagai masyarakat yang: primitif, terbelakang dan tidak berbudaya. Sehingga umumnya antropolog mengingkari makna antropologi sendiri yaitu kajian tentang manusia dalam hubungan utamanya yaitu alamnya. Padahal yang tidak berbudaya dalam makna budaya itu sendiri adalah masyarakat yang dipredikatkan sebagai masyarakat yang maju, canggih dan berbudaya. Standar berbudaya malah disematkan pada manusia-manusia yang tidak memahami alam, pada masyarakat yang membangun gedung tinggi tanpa peduli jumlah pasir yang dikeruk dari sungai, jumlah tanah yang dihasilkan dari meratakan gunung. Masyarakat yang dianggap berbudaya malah mereka yang sama sekali tidak pandai berhamonisasi dengan alam.

Entah kapan kegiatan kepada sosial itu disebut ‘sosiologi’?. Karena sebenarnya tidak ada logi (logos/ilmu disitu, bila ‘ilmu’ dimaknai sebagai suatu hasil penelitian objektif). Karena yang ada di sana adalah konstruksi. Sehingga istilah ‘sosiokonstruksi’ lebih akurat daripada ‘sosiologi’. Untuk menjawab pertanyaan di awal alenia ini: mungkin itu dilakukan untuk membesarkan hati anak IPS 🙂

Ow, mungkin ada yang ingin membantah dengan mengatakan bahwa statistik dijadikan andalan dalam penelitian ilmu-ilmu sosial, khususnya yang memakai pendekatan kuantitatif. Loh, bukankah statistik itu dipakai untuk mengukur data. Dan data itu sendiri, dalam ilmu-ilmu sosial, adalah hasil konstruksi?

Bahkan sejarah dan fenomena dewasa ini menunjukkan bahwa pendekatan dan kesimpulan yang dihasilkan harus sesuai dengan cita rasa pemberi dukungan untuk penelitian. Atau setidaknya tidak mengganggu sang pendukung (baca: penyelenggara penelitian). Bahkan sebuah hasil penelitian, entah itu pamflet, jurnal ataupun buku, tetap harus sesuai dengan selera penerbit. Misalnya, bila tulisan ini malah memburuk-burukkan Padebooks, apakah Padebooks bersedia menerbitkan pamflet ini?

Nah, adakah selera penerbit itu objektif? Tidak sama sekali. Bahkan bayak penerbit dewasa ini mementingkan minat khalayak, bukan kualitas isi buku. Penerbit model demikian berarti orientasinya ekonomi, bukan ilmu pengetahuan. Jadi, tidak ada yang objektif. Apalagi yang diterbitkan itu tentang ilmu-ilmu sosial.

Taruhlah seseorang menerbitkan tulisan secara mandiri hasil penelitiannya tanpa bantuan dari pihak lain. Tetap saja tulisan itu akan difilter oleh masyarakat. Bila mayoritas masyarakat merasa resah dengan tulisan itu, untuk mendapatkan citra positif, rezim penguasa pemerintah akan melarang buku itu. Dengan demikian, tidak ada yang objektif kecuali matematika dan logika (bedakan logika dengan opini, retorika dan dialektika).

Apa ada objektif penelitian ilmiah itu?

– Miswari* –

*Penulis adalah pengajar Filsafat Islam di IAIN Zawiyah Cot Kala Langsa dan Penulis buku Filsafat Terakhir.

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Sumber gambar asli sebelum olah digital: pixabay dengan lisensi CC0.