Categories
Penulis Tamu

SPIRITUALITAS POLITIK, “MACHIAVELLIAN ACEH” DAN KESELAMATAN MANUSIA

“Hakikat Manusia tidak lain adalah kehendak untuk Berkuasa”, demikian sebaris kalimat dari Friedrich Nietzsche, sang filosof aforis yang menyibak hakikat keberadaan manusia di kedalamannya yang tak terbendung. Pemikir yang selalu “meresahkan” ini membongkar sisi tertajam “kehewanian” manusia dari ranah yang tanpa sadar di imani manusia, yaitu kehendak untuk berkuasa. Kita bisa saja membenci Nietzsche, hatta karena dia dicap atheis. Namun, itulah kita, kita membenci sekaligus mempraktekkan apa yang di urainya.

Dalam setiap helat pesta demokrasi pilkada, kita bisa membaca, bahwa pertarungan mendapatkan kekuasaan di Aceh adalah perkara hidup dan mati, perkara kehormatan dan marwah yang wajib di dapatkan, bahwa pekerjaan untuk merebut kekuasaan harus dilakukan dengan menghalalkan segala cara “ala machiavelian” untuk mendisiplinkan, membuat patuh dan menundukkan manusia, sehingga apabila keinginan ini tidak tercapai, maka manusia akan melukai, akan menganiaya, akan mengancam dengan berbagai kalimat hegemonik bahkan membunuh manusia lainnya untuk sebuah kekuasaan.

Dari segala kesadaran kita untuk bisa hidup nyaman di Aceh, maka kita wajar bertanya: “Bisakah setiap perhelatan perebutan kekuasaan Aceh tanpa mengorbankan manusia ?. Bisakah setiap perhelatan demokrasi kita tanpa menumbalkan manusia sebagai persembahan bagi sebuah kekuasaan ?”. Ini bukanlah pertanyaan cengeng, tetapi pertanyaan pemberontakan atas kondisi yang selalu saja berulang dimana manusia selalu jadi sasaran yang dikorbankan untuk menciptakan ketakutan agar manusia tunduk dan patuh pada kerja kekuasaan yang ingin direbut.

Melakukan kekerasan, mengancam manusia, menumbalkan manusia untuk mencapai tujuan kekuasaan dan mengorbankan manusia sebagai objek untuk menakuti yang lain adalah sebuah peradaban kuno barbarian yang sudah sangat layak ditinggalkan. Siapapun dan dimanapun keberadaan orang yang tetap melakukan ini, maka ini adalah tindakan paling pengecut dan paling tidak berperadaban dalam sejarah panjang hidup manusia.

Peristiwa penembakan yang telah lalu, di Peunaron Aceh Timur, juga di Sigli misalnya, yang melukai dan meneror, dan berbagai rangkaian kekerasan lainnya yang sudah sering terjadi disetiap kontestasi pilkada maupun berbagai ancaman paska pilkada, semakin meneguhkan bahwa keberadaan manusia di Aceh hanyalah semata-mata kehendak untuk berkuasa. Perebutan Kekuasaan bagi segelintir manusia ini dimaknakan sebagai sebuah kerja Machiavellian, yang merasionalkan kebiasaan dan kebolehan mengorbankan manusia.

Manusia di Aceh, oleh kelompok ini tidak pernah dibaca sebagai sebuah tubuh yang harus di hargai hidupnya, karena seandainya manusia dihargai hidupnya, maka narasi yang akan menjadi panduan adalah : “Jika tubuh ini hidup dan tidak mati, maka tubuh ini tetap harus memperlakukan tubuh-tubuh lain sama seperti ia memperlakukan tubuhnya sendiri. Tubuh itu sendiri berhak untuk tumbuh, berkembang, dan menjadi tubuh yang diakui dan dihormati keberadaaannya, karena tubuh  ini adalah tubuh yang penting bagi kebaikan manusia ”. Dari sekian lama cita-cita bangunan peradaban kita, maka perilaku sebagian kelompok ini adalah aib peradaban kita sebagai Aceh.

Maka sangat berbahaya bagi kemanusiaan dan peradaban kita di Aceh ketika kita terus membiarkan segelintir manusia ini mempraktekkan politik “Machiavelian”, yang terjadi persis didepan jantung kesadaran kita, karena ketika kelompok seperti ini berkuasa maka kekuasaan ini akan menjadi klaim kebenaran sebagai kekuasaan yang dianggap mewakili rasionalitas persetujuan seluruh manusia di Aceh.

MAKNA KESELAMATAN MANUSIA

Dalam agama manapun, menjaga keselamatan manusia adalah kemutlakan. Islam adalah agama yang menghargai kehidupan. Membunuh satu jiwa dalam Islam sama dengan membunuh seluruh manusia dibumi. Ruh dan spirit Islam adalah rahmat bagi semesta, melakukan kerusakan, kekacauan, teror bukanlah spirit rahmatan lil’alamin, itu adalah semangat barbarian dan machiavelian. Salah satu tujuan Islam sebagai agama adalah menjaga jiwa (menjaga keselamatan jiwa manusia). Karena itu setiap ikhtiar dalam kondisi apapun untuk menjaga keselamatan jiwa manusia adalah jihad besar, karena dengan menjaga keselamatan satu jiwa  sama dengan menjaga keselamatan seluruh jiwa lainnya.

Mengapa kita tidak melakukan kebalikannya saja, bahwa perebutan kekuasaan adalah sebuah kompetisi untuk saling menyelamatkan manusia dan bukan saling melukai dan membunuh manusia . Manusia harus dikenali sebagai manusia, memahami manusia oeh manusia adalah kesibukan tertua dalam sejarah manusia, tujuannya adalah supaya kita belajar  dan tidak mengulangi. Kekerasan, pembunuhan, teror terjadi karena manusia dikenali tidak oleh manusia, tetapi oleh hasrat kebinatangan yang saling berkompetisi sebagai predator agar eksis dan berkuasa. Karena itu, manusia Aceh dengan segala ikhtiar dan mujahadahnya, harus menjadi  manusia yang mengenal dirinya sendiri agar mengenal manusia lain dengan cara manusia.

Berabad-abad lalu, Sokrates telah mengingatkan manusia, bahwa mustahil manusia mencapai pengetahuan tentang berbagai fakta dan kondisi objektif (peradaban, kebudayaan,kebahagiaan) kalau belum memahami hakikat manusia itu sendiri dan mustahil kita mengenal manusia sebelum kita mengenal diri kita sendiri sebagai manusia. Sokrates adalah peletak dasar bagi esensialitas manusia agar mengenal dirinya sendiri, melalui ungkapannya yang sangat terkenal yaitu : “Gnothi Seauton” (Kenalilah dirimu), bahwa setiap kerja membangun peradaban kita, membangun demokrasi kita, membangun budaya kita maka harus selalu diawali dengan petanyaan : “kenalilah dirimu, agar engkau mengenal manusia  lainnya dilaur dirimu dengan cara manusia”, agar peradaban, kebudayaan dan kehidupan yang kita bangun adalah peradaban, kebudayaan dan kehidupan yang memanusiakan manusia.

SPIRITUALITAS POLITIK VERSUS “MACHIAVELLIAN ACEH”

Atas nama apapun,  praktek mengancam manusia, membunuh dan melukai manusia apalagi demi kekuasaan, adalah pengingat kita untuk tidak lupa bahwa betapa merusak dan berbahayanya gerakan politik ala Machiavellian. Fondasinya adalah nasehat Machiaveli kepada sang pengeran (penguasa), yang mengadu kepada Machiavelli, tentang bagaimana membuat rakyatnya agar takut, tunduk dan patuh. Lalu terzahirlah satu kalimat yang kelak menjadi fondasi teror didunia yaitu : “Bagi seorang Pangeran (Penguasa), ketakutan lebih penting daripada dicintai”. Sehingga untuk melaksanakan nasehat Machiaveli, penguasa harus meneror dan membunuh banyak orang.

Penanda dari betapa tidak manusiawinya merebut kuasa ala Machiavellian ini adalah karena gerak politik yang dipakai untuk merebut kekuasaan ini terjadi secara liar dalam kendali manusia irrasional baik pelaku maupun pendesain tanpa ada satu sosok yang disebut sebagai ada subyek agung dibelakangnya. Semua ini adalah gerak liar yang berjalan secara mekanis sebagai mesin perusak, tanpa bayangan Tuhan dan tanpa arah. Karena, kalau ada sosok Pencipta (Tuhan) dan sosok agung yang holisitik dan transenden dibelakang gerak politik ini, maka tidak akan ada teror, kekerasan dan pembunuhan.

Gerakan politik ala Machiavelian Aceh ini harus sesegera mungkin dihentikan dalam konteks masa depan peradaban Aceh, karena kalau tidak, keberadaannya akan semakin memperpanjang rantai kekerasan dan teror berulang yang sangat mengganggu setiap usaha memajukan Aceh. Menghilangkan ini, kita tidak bisa berharap banyak dari apapun selain kepada spiritualitas politik. Berharap pada politik yang bukan spiritualitas politik adalah “nihilisme belaka”. Hanya kekecewaan dan keberulangan yang akan kita dapatkan.

Spiritualitas politik disini adalah gerakan politik sebagai sebuah gagasan dan narasi besar pembebasan manusia, ketika sebagian manusia melalui kekuasaannya dan tujuan merebut kuasa untuk memenjara manusia dengan menciptakan ketakutan, pendisiplinan dan penciptaan kepatuhan menggunakan agama, maka spiritualitas politik berdiri digarda depan mengembalikan agama yang dibajak untuk kepentingan kekuasaan tersebut kepada ruh agama sebagai spirit pembebasan, karena di belakang gerakan spiritualitas politik ada satu sosok agung transenden (Guru/Mursyid) yang bisa menciptakan kepatuhan suci, yaitu kepatuhan dan kebersamaan pembebasan manusia.

Gerakan spiritualitas politik ini, dalam sejarah dunia banyak dipraktekkan oleh gerakan spiritualitas kaum Sufi, karena kaum Sufi tidak lagi bermain diwilayah simbolik kulit luar, tetapi sudah bermain diwilayah hakikat terdalam yaitu makrifat politik yang bekerja menurunkan keadilan Ilahiyah kepada manusia di bumi melalui kerja-kerja narasi dan aksi untuk menyelamatkan manusia dari setiap upaya upaya mematikan manusia oleh manusia. Salah satu diskursus dari narasi spiritualitas politik adalah “Kepemimpinan yang melayani”, yaitu membebaskan kekuasaan dari paradigma yang elitis dan menakutkan sehingga kekuasaan tersebut harus dilayani kepada kekuasaan sebagai pelayan, yang melayani rakyat seperti sahabat. Gerakan politk ini telah dipraktekkan dalam pilkada Aceh kemarin  dan telah memberikan pelajaran penting bagi perlawanan terhadap “industrialisasi-komersialisasi politik” dan “politik Machiavellian” yang kering dari kesejatian pembebasan manusia. Sejatinya, gerakan spiritualitas politik kaum Sufi dalam era kekinian adalah gerakan yang menyongsong segala tantangan dan permasalahan untuk menyelesaikannya sampai tuntas dan berjangka panjang, tidak temporal dan tidak berdasarkan kepentingan kelompok tetapi berdasarkan kepentingan umat.

Politik Machiavellian Aceh tidak pernah menginginkan Aceh bersatu, mencapai tujuan bersama demi kepentingan rakyat, tetapi lebih memilih mengelola ego hegemoniknya demi kepentingannya sendiri. Sedang spiritualitas politik selaku bekerja pada upaya menyatukan manusia tanpa sekat apapun, karena spiritnya adalah pengabdian dan pengabdian itu adalah penghambaan transenden dari tujuan diciptakannya manusia yaitu untuk saling membahagiakan sesama manusia. Spiritualitas politik ini adalah narasi jangka panjang bagi Aceh dan akan terus mengisi ruang-ruang perlawanan dan pendidikan karena ini merupakan jihad untuk menghilangkan politik Machiavellian di Aceh.

– T. M. Jafar Sulaiman –

T. M. Jafar Sulaiman, Pemikir muda, Pengajar Filsafat Politik

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com