Categories
Kolom Pendiri

RESENSI BUKU – THE ORDINANCES OF GOVERNMENT

The Ordinance of Government (Al-Ahkam al –Sultaniyah w’al Wilayat al-Diniyya) Book Cover The Ordinance of Government (Al-Ahkam al –Sultaniyah w’al Wilayat al-Diniyya)
Al-Mawardi
Agama
Garnet Publishing, United Kingdom
2010
301

Bicara tentang kinerja pemerintahan dan aparatur yang terlibat didalam pelayanan publik, tidaklah bisa dilepaskan dari konsep maupun prinsip-prinsip tata-kelola, aturan dan ketentuan yang ada dalam penyelenggaraan pemerintahan (good governance). Jika istilah good governance yang dikampanyekan (ulang) oleh IMF (International Monetary Fund) dan Bank Dunia (World Bank) dan badan-badan PBB (Perseikatan Bangsa-Bangsa) atau UN (United Nations) seperti misalkan UNDP (United Nations for Development Project) di akhir dekade 90-an merupakan terma yang sekarang secara meluas diberbagai negara, khususnya negara-negara yang dianggap belum dan sedang berkembang di ‘dunia ketiga’ seperti Asia, Afrika dan Amerika Selatan (Hout, 2007) dan melulu dikaitkan dengan politik bantuan 1) ke negara-negara tersebut maka tata-kelola dan prinsip aturan pemerintahan sudah lebih dulu diterapkan oleh peradaban Islam. Zaman kepemimpinan Muhammad SAW dan khalifah yang empat menjadi saksi sejarah bagaimana Piagam Deklarasi Madinah benar-benar menjadi dokumen tata-kelola pemerintahan pertama yang bisa dijadikan model dalam pengaturan pemerintahan demi mencapai masyarakat yang bertransformasi secara mandiri dalam hal administrasi kota dan segenap perangkatnya. Beberapa abad kemudian, Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Habib al-Mawardi (untuk kemudian disebut dengan Al-Mawardi) atau di dunia Barat dikenal dengan nama Alboacen (972-1058 M) mencoba merangkum, memadukan dengan pengalaman barunya, dan menerapkan konsep tata-kelola pemerintahan baik secara agamis, juridis, filosofis maupun administratif Piagam Madinah ditengah kekacauan politik pada masanya, sesuai dengan latar belakangnya sebagai ulama, filusuf, hakim dan juga pengambil keputusan di masa Dinasti Abbasiyah tersebut. Tata-kelola pemerintahan ala Al-Mawardi bisa dibaca dalam buku berjudul Al-Ahkam al-Sutaniyya w’al-Wilayat al-Diniyya yang sudah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa. Dalam Bahasa Inggris buku itu diterjemahkan menjadi The Ordinance of Government atau ‘Aturan-Aturan Penyelenggaraan Pemerintahan’ oleh Prof. Wafaa H.Wahba dan diproduksi berkali-kali untuk kepentingan kajian politik dan administrasi pemerintahan di Barat oleh The Center for Muslim Contribution to Civilization2). Buku klasik ini ternyata masih cukup relevan dan populer dengan kondisi aktual dinamika sekarang dan menjadi salah satu literatur yang paling banyak dirujuk secara konsep awal oleh banyak ilmuwan dalam kajian studi good governance di dunia. Dalam konteks inilah, buku yang dimaksud juga secara fundamental bisa sesuai dengan kondisi kekinian yang ada di Aceh sebagai salah satu provinsi yang mengadopsi aturan syariat Islam dalam tata-kelola pemerintahannya. Buku ini akan menjadi sangat menarik bagi peminat kajian administrasi pemerintahan, baik mahasiswa, maupun para pejabat publik, pemimpin pemerintahan atau politisi, peminat diskursus good governance seperti aktivis LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan lembaga-lembaga non pemerintahan yang concern dengan tema-tema ini.

Dalam bukunya yang terdiri dari 20 bab, Al-Mawardi memulainya dengan perlunya kepemimpinan (imamah) dan juga kriteria bagaimana mendapatkan pemimpin yang baik bagi masyarakat. Dalam hal kriteria kepemimpinan, ia menyebutkan ada paling tidak tujuh indikator: adil dan jujur, berilmu dan independen, terbuka terhadap kritik, sehat secara fisik, bijaksana dan hati-hati, berani, dan terakhir berasal dari kalangan Quraisy. Sementara dalam hal mengangkat pemimpin pemerintahan, ia menyarankan dua metoda: pemilihan dan penunjukan/pengangkatan langsung. Bab kedua sampai dengan bab keenam, Al-Mawardi masih membicatakan kriteria dan model pengangkatan pejabat publik lain dibawah pemimpin tertinggi suatu negara atau wilayah. Pengangkatan menteri, hakim, panglima militer, komandan atau pemimpin ekspedisi dari pasukan yang menjalankan operasi khusus demi kepentingan publik.

Kemudian bab ketujuh ia berbicara mengenai bagaimana menyelesaikan permasalahan diantara dua pihak berkonflik oleh pejabat publik yang berwenang. Bab kedelapan ia mengusulkan agar pemerintah mempunyai satu lembaga yang mengatur agar kelompok dari kalangan terhormat dalam masyarakat tidak diperintah oleh seorang pejabat publik yang berasal dari kalangan dibawahnya. Hal ini penting menurutnya dikarenakan bisa jadi mereka yang dari golongan ’atas’ tidak mau tunduk secara psikologis atas keputusan dalam permasalahan tertentu. Kelompok ’atas’ ini sebaliknya harus menerima apapun keputusan dari salah satu diantara tiga ofisial berikut: khalifah sendiri, sesorang yang didelegasikan oleh khalifah untuk menyelesaikan konflik dimaksud, atau perwakilan khalifah yang diberikan tugas dengan kewenangan tertentu yang terbatas. Menariknya di bab kesembilan Al-Mawardi kembali ke kriteria dan metode penunjukan imam shalat, setelah diselingi dengan dua bab mengenai penyelesaian sengketa publik.

Pengelolaan kegiatan publik seperti administrasi jemaah haji, zakat dan harta rampasan perang menjadi perhatiannya pada bab-bab berikutnya. Selain itu ia juga mengupas mengenai bagaimana mengelola pajak hasil bumi dan bangunan yang ditujukan kepada pihak non-muslim. Dengan lugas ia secara bertahap membagi kategori-kategori dan tata cara pemungutan pajak, dan yang menarik adalah ketentuan bahwa ’pajak tidak bisa sama sekali dipungut sebelum waktunya jatuh tempo.

Di bab selanjutnya, bab keempat belas, Al-Mawardi membagi kategori yang disebut wilayah (kedaulatan) otorita pemerintahan Islam. Pada bab kelima belas ia kembali membahas bagaimana mengatur adminsitrasi pelayanan publik, yakni berkenaan dengan reklamasi tanah/pembukaan lahan dan pembagian pasokan air bersih. Di bab keenam belas ia fokuskan pada pembahasan mengenai pembukaan sarana dan fasilitas publik, perlindungan terhadap tanah tidak tergarap dari kepentingan individu non-publik. Hibah tanah dan pemberian hak pengelolaan tanah dan hasilnya merupakan fokus Al-Mawardi di bagian bab ketujuh belas. Ia mendefinisikan tanah dalam tiga pengertian: tanah mati dan tidak tergarap, tanah yang sudah diolah/tanah garapan, dan tanah yang jadi sumber pertambangan.

Perhatian figur cendikia asal Basra ini kemudian beralih ke persoalan status dan ketentuan pengelolaan lembaga atau pusat adminsitrasi negara (semacam LAN/Lembaga Administrasi Negara). Ia mengatakan bahwa lembaga ini diperlukan untuk menjaga keamanan dokumen dan properti pemerintahan dan kemiliteran beserta personil yang terlibat didalamnya. Lembaga itu diberi nama Diwan. Lembaga administrasi negara ini harus dibagi kedalam empat departemen yaitu: departemen arsip dan gaji kemiliteran, departemen arsip pajak dan kewajiban keuangan daerah, departemen catatan penunjukan dan pemberhentian pejabat publik, dan yang terakhir, departemen arsip penerimaan negara dan pajak dari baitul maal. Ia juga menjelaskan secara rinci dan panjang bagaimana klasifikasi data dan arsip negara disimpan secara rapi. Di akhir penjelasan, ia menekankan dua kategori wajib bagi kepala lembaga pusat administrasi dan arsip negara, yaitu: jujur dan punya kompetensi.

Sebelum menutup penjelasan panjangnya di bab keduapuluh tentang proses pengangkatan petugas dan lembaga pengawas pasar dan perdagangan (sejenis Ombudsman3) dan hisba4) ) dan memastikan semua aktivitas pelayanan publik dari negara berjalan sesuai standar ia menyinggung tentang administrasi dan prosesi penjatuhan hukuman secara gamblang di bab kesembilan belas. Beberapa kasus yang disebutkan dalam penjelasannya adalah kasus perzinahan, pencurian, pemabuk, fitnah dan pencemaran nama baik (terkait kasus asusila dan zina), kompensasi dan hak balas dalam kasus kematian dan hukuman mati, serta terakhir berkaitan dengan hukuman non-legal terkait pelanggaran disiplin dan hukuman non-publik. Sementara di bagian akhir, Al-Mawardi menjelaskan panjang lebar mengenai pentingnya lembaga pengawas dan penjaga moral ofisial negara dalam menjalankan tugas sebagai penyedia jasa layanan publik agar tidak melakukan tindakan diluar kewenangan, penyelewengan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme yang merugikan masyarakat.

Apa yang sudah ditawarkan oleh Al-Mawardi tentunya menjadi demikian penting ditengah memuncaknya rasa ketidakpercayaan publik terhadap administrasi pemerintahan kita saat ini. Meskipun konsep yang dikemukakannya sedikit klasik, namun tidak dapat dipungkiri bahwa ia telah memberikan inspirasi secara langsung dan tidak langsung terhadap penyelenggaraan aparatur pemerintahan. Konsep pengawasan pasar yang bisa dilacak jauh ke masa Khalifah Umar bin Khattab sekarang dipakai dimana-mana. Dalam pemaknaan lebih luas, konsep pengawasan pasar berkembang secara aplikatif dalam hal pengawasan moral pejabat publik. Konsep yang dibarengi dengan aturan yang sangat jelas, lugas dan tegas. Penyelesaian sengketa publik, pengadaaan fasilitas publik oleh negara, ataupun metoda dan kriteria seleksi pengangkatan pejabat publik akan terus menjadi topik hangat dalam transformasi administrasi. Latar belakang yuridisnya juga menyebabkan ia sangat paham tentang bagaimana menjaga rasa keadilan publik dan membuat aturan-aturan yang empirik berbasis kejadian sehari-hari masyarakat kedalam aturan dan hukum administrasi pemerintahan. Demikian juga dengan ide pembentukan lembaga pusat administrasi negara tidak bisa tidak adalah terobosan formal yang ternyata sudah ada sejak masa Al-Mawardi hidup. Gaya paparannya yang empirikal, kategorikal, numerikal, filosofikal , jelas, tegas, dan lugas dalam hal-hal mendasar publik (fundamental) membuat buku ini menjadi semakin dibutuhkan ditengah ‘kegalauan publik’ akan kemampuan aparatur daerah dan negara saat ini.

Namun demikian, meskipun Al-Mawardi sudah berupaya kuat untuk membukukan pengalamannya selama mengabdi sebagai hakim, politisi sekaligus ilmuwan pada masa itu, bukunya meskipun fenomenal dan fundamental juga tidak sepenuhnya komprehensif. Barangkali kondisi masyarakat pada masa itu membuat kriteria seleksi kepemimpinan, khususnya poin tentang calon pemimpin harus dari kalangan Quraisy tidak bisa sepenuhnya diterapkan saat ini. Meskipun demikian, filosofi pentingnya adalah kalau bisa memilih pemimpin yang merupakan putra lokal/pribumi jika ingin mudah diterima oleh masyarakat yang awalnya biasanya apatis dan tidak partisipatif. Hal lain yang perlu jadi catatan adalah tidak adanya tawaran mekanisme promosi aparatur publik dalam buku ini. Benar bahwa ia sempat menyebutkan prosedur pemberian hukuman bagi pelanggar aturan agama dan publik, namun bab mengenai mekanisme promosi dan degradasi pejabat juga dirasa perlu ditambahkan disini. Idenya tentang pembagian wilayah jelas tidak sesuai dengan kondisi kita disini, dimana ia membagi tiga klasifikasi daerah: daerah Haram5), Hijaz dan daerah diluar Haram dan Hijaz. Demikian juga halnya dengan penyeleggaraan badan negara yang secara khusus menyelesaikan problem antar kelas di bab delapan. Kritik lain terhadap bukunya adalah meskipun fokus dalam tema-tema tertentu, kelihatannya bukunya tidak disusun dalam urutan kronologis tematik yang membuat pembaca mudah mengikutinya. Sebagai contoh misalkan, setelah berbicara detil tentang mekanisme dan kriteria pengangkatan pejabat publik di bab-bab awal, tiba-tiba beralih ke topik penyelesaian sengketa publik di bab ketujuh. Atau misalkan saat mendeskripsikan mengenai administrasi pelayanan publik dan pengadaan fasilitas publik, mendadak beralih ke permasalahan hukuman dan kriminalitas di bab kesembilan belas untuk kemudian kembali ke tema mengenai perlunya kantor atau dinas pengawasan perdagangan dan standar pelayanan publik di bab terakhir (bab keduapuluh).

Apapun itu, buku ini telah memberikan efek serta kontribusi luar biasa bagi khasanah dan praktik tata kelola pemerintahan negara sampai saat ini. Apalagi sebagian besar tawaran Al-Mawardi cocok dengan negara-negara dan daerah yang mayoritas penduduknya muslim dan atau mengadopsi sistem pemerintahan Islam atau hukum Islam. Getaran keilmuan buku ini masih hangat diperdebatkan, diterapkan dan diperkaya saat ini. Penulis merasa berkewajiban membagi informasi ini mengingat terbatasnya akses terhadap buku-buku klasik bertemakan administrasi pemerintahan, dan kinerja aparatur publik (bernuansa Islam) di nusantara. Meski konsep Al-Mawardi jelas-jelas berorientasikan hukum Islam dan dilegkapi dengan referensi kuat dari Al-Qur’an dan Hadist, namun teori dan ide fundamentalnya sangatlah universal dan compatible untuk diterapkan di negara non-muslim sekalipun. Di beberapa negara, konsep Al-Mawardi langsung atau tidak langsung sudah berjalan dengan sangat baik. Oleh karena itulah penulis sangat merekomendasikan kepada pembaca untuk menyerap inspirasi dan belajar banyak dari buku yang satu ini.

Tulisan ini pernah diterbitkan di Jurnal Transformasi Administrasi LAN, Vol.III, Issue I, Hal. 517-521, Tahun 2013 Penerbit: PKP2 A Lembaga Administrasi Negara, Jakarta.

.