Categories
Penulis Tamu

MELIHAT SEKILAS PEMIKIRAN ANTHONY REID: “REVITALIZER DAN BORROWERS”

Pada akhir abad ke-19 kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara mengalami kemunduran. Mereka dihempaskan oleh kekuatan militer Barat. Sementara lainnya, menghadapi pilihan sama buruknya, harus bersikap akomodatif terhadap kekuatan Barat. Dengan kata lain, mereka sama-sama dijajah. Maka pada akhirnya warisan sejarah yang muncul pada masa kini adalah, khususnya di Indonesia, narasi tentang kekalahan dan keterpurukan di bawah dominasi Barat.

Lepas dari pandangan-pandangan post-kolonialis di masa kini, dan pandangan klasik dari van Leur bahwa sejarah Indonesia, juga Asia Tenggara, perlu dilihat dalam sudut pandang masyarakat asli sendiri, namun toh narasi sejarah akan keterpurukan tetap berkecamuk. Di Indonesia, narasi sejarah yang resmi senantiasa menceritakan kisah hebat para martir melawan Belanda. Namun, narasi ini kadang sulit dipahami karena makin menjelaskan akan kekalahan dan keterpurukan. Narasi ini malah menimbulkan sikap tak peduli di kalangan muda Indonesia—generasi yang lahir pada era 1980-an—akan sejarah Indonesia. Selain itu, di kalangan generasi baru yang banyak membaca komik sejarah Jepang kadang muncul pertanyaan mengapa narasi kekalahan itu selalu diceritakan, dan mengapa elit dan penguasa kerajaan di Asia Tenggara pada masa itu tidak melakukan kebijakan seperti Restorasi Meiji di Jepang. Bagaimana narasi sejarah Indonesia seandainya, misalnya, Pangeran Diponegoro tidak memutuskan perang melawan Belanda namun melakukan pilihan cerdik dengan mereorganisasi keraton Jogjakarta dan mengirimkan para pengikutnya ke Negeri Belanda untuk melakukan studi pemerintahan, sains dan teknologi, dan militer di Negeri Belanda. Sayangnya, ini hanyalah khayalan dan tulisan ini tidak membahas hal tersebut. Tulisan ini berusaha melihat sekilas bagaimana memahami narasi kekalahan dan keterpurukan itu.


Anthony Reid memberikan suatu pendekatan kritis melihat kekalahan negeri-negeri Asia Tenggara, yaitu dengan melihat tanggapan-tanggapan intelektual masa itu. Ia memaparkan dua pendekatan; Revitalizer (pembaharu) dan borrowers (peminjam). Revitalizer adalah para pembaharu, yaitu kalangan elite yang cenderung melihat masalah dari sudut pandang moral dan agama. Mereka cenderung memberi solusi atas kekalahan yang dialami negeri mereka berupa ketataan yang sungguh-sungguh pada norma-norma yang sudah mapan. Borrowers adalah para peminjam, yaitu kalangan elite yang memandang masalah keterpurukan dan kekalahan adalah semata-mata pada soal teknis. Mereka memberikan solusinya pada usaha untuk mempelajari teknik-teknik Barat.

Reid memaparkan beberapa pandangan intelektual kalangan revitalizer dalam kasus kekalahan Melaka menghadapi invasi Portugis (dalam Sejarah Melayu), kekalahan Makasar atas serangan VOC (dalam Sja’ir Perang Mengkasar), kekalahan kerajaan Aceh dalam Perang Aceh (dalam Hikayat Perang Sabil), kekalahan orang-orang Jawa dalam Perang Jawa dalam milleniarisme (dalam ramalan Jayabaya).

Dalam kasus kekalahan Makassar Reid menelaah tanggapan akan kekalahan itu dalam Sja’ir Perang Mengkasar. Syair ini adalah sebuah epos pertempuran dibuat penulis istana Makasar satu atau dua tahun setelah kejadian. Epos ini mengakui bahwa orang Makasar memang kalah. Namun, epos ini menyuarakan argumentasi kekalahan mereka lebih disebabkan pada kelaparan dan bantuan orang-orang Bugis kepada Belanda. Epos itu menyatakan bahwa ”Setan Belanda” tidak memainkan peran besar dalam perang tersebut.

Dalam kasus kekalahan Malaka Reid menelaah tanggapan akan kekalahan itu pada Sejarah Melayu. Sejarah Melayu adalah kronik istana Melaka/Johor yang sangat rinci. Alasan utama mengapa kronik itu dikarang atau seseorang memerintahkan untuk menulis ulang pada awal abad ke-16 adalah kebutuhan untuk menjelaskan kerugian tak terkira akibat jatuhnya ibukota dinasti Melaka ke tangan Portugis. Narasi Sejarah Melayu memang menyebut bola-bola meriam Portugis berjatuhan bagaikan hujan. Namun penjelasan riil atas kekalahan itu bukan dari teknologi persenjataan Portugis, namun dari dalam. Yakni, bahwa Melaka telah gagal mempertahankan aturan-aturan dasar kerajaan. Yakni, jika penguasa menghina rakyat tanpa alasan yang jelas, maka mereka tidak akan lagi terikat dengan sumpah setia mereka. Sultan Mahmud penguasa yang menyebabkan Melaka jatuh, dinasihati ayahnya saat menanti ajal, “Jika engkau menghukum mati mereka (rakyat Melaka) sedangkan mereka tidak melakukan kesalahan, maka kerajaanmu akan terbawa binasa”. Hukuman berat mendera Melaka menyusul kejahatan Mahmud melanggar dasar kontraktual kerajaan yaitu membunuh bendahara-nya (menteri utama) yang setia, SriMaharaja.

Menurut Reid, perspektif dua teks melayu itu dalam memandang kekalahan mereka masih ditafsirkan dalam konteks lokal. Sudut pandang dari kedua teks akan sama jika Melaka jatuh ke tangan Siam atau Makassar jatuh ke tangan Bugis. Dengan kata lain, serangan terburuk yang dilakukan oleh orang-orang Eropa masih ditafsirkan dalam sudut pandang lokal.

Dalam kasus Perang Aceh, menurut Reid, pada mulanya para elite pejuang Aceh sangat percaya diri. Mereka sangat yakin bahwa mereka akan menang melawan Belanda. Dengan bersandar pada tafsiran agama, mereka sangat yakin bahwa orang-orang kafir Belanda dapat dikalahkan. Namun ketika, pada tahun 1890-an, posisi mereka makin terpojok menuju kekalahan, perjuangan mirip dengan tindakan bunuh diri pun dilakukan. Dalam analisis Reid, para ulama Aceh pada masa ini mulai menanggalkan pandangan bahwa orang beriman (Islam) akan menang memperoleh kemenangan di dunia dan beralih pada gambaran keuntungan di akhirat dengan pahala lebih besar. Pandangan ini terekam jelas dalam Hikayat Perang Sabil. Hikayat yang mengilhami rakyat Aceh mati sahid melawan Belanda.

Namun ketika kemenangan makin mustahil sebagian para elit pejuang Aceh memilih menyerah kepada Belanda. Para elit yang menyerah ini memberikan alasan intelektual kepada para pejuang Aceh yang masih bertahan di perbukitan bahwa orang Islam di mana-mana telah dikalahkan dan dihina karena dunia sedang menuju akhir zaman.

Dalam Kasus Jawa, kekalahan dan keterpurukan yang dialami para elit memunculkan Mileniarisme. Menurut Reid, ada perbedaan mileniarisme sebelum abad ke-19 dan sesudah abad ke-19 terutama setelah berakhirnya Perang Diponegoro. Mileniarisme sebelum abad ke-19 cenderung memusatkan perhatian pada kemunculan seorang penguasa atau dinasti baru yang akan mempersatukan dan memperkuat Jawa. Selain itu, mileniarisme di masa ini masih menganggap Belanda sebagai bangsa Barbar yang tidak beradab.

Sebaliknya, usai perang Diponegoro, realitas akan dominasi Asing makin terlihat. Yang lebih pahit lagi, istana-istana Jawa menjalin hubungan akrab dengan Belanda. Ini menyebabkan gerakan milinearisme makin menjauh dari istana dan terfokus pada penyelamat asing yang akan menyelamatkan Jawa yaitu Raja Ngrum (Turki). Selain itu, makin kuatnya cengkraman Belanda yang sukar dipahami kekuatan dan rahasianya menimbulkan tumbuhnya kepercayaan pada penyelamat asing. Mileanarisme paling terkenal adalah ramalan Jayabaya yang meramalkan akan munculnya Ratu Adil. Gerakan-gerakan petani melawan Belanda di Jawa seringkali diilhami oleh ramalan tersebut. Pada pertengan akhir abab ke-19, penyelamat asing yang memperoleh popularitas yang makin besar bukan lagi Turki melainkan bangsa Jepang.


Tentang Borrowers, Reid memberikan argumentasi dalam Wacana Reformasi Pemerintahan, modernisasi Pendidikan, Persatuan, dan wacana Marxisme. Namun dalam tulisan ini hanya akan dibahas pandangannya tentang Wacana Reformasi Pemerintahan dan Wacana Marxisme di antara kelompok peminjam.

Pada awal abad ke-20 di dunia melayu muncul kelompok intelektual yang mengkritik penguasa-penguasa Melayu yang kalah dan terkooptasi oleh orang-orang Barat. Para pengkritik ini bersifat praktis, kosmopolit, islamis, dan keras. Contoh terkenal adalah kelompok intelektual yang berhimpun di majalah reformis Islam Al-Imam. Majalah ini sering mengecam keras penguasa-penguasa Melayu sebagai benih dari segala kejahatan dan penyebab segala kesusahan, pemboros, dan biang keladi kedunguan. Menurut Reid para pengkritisi ini sering membandingkan antara pemerintahan kerajaan di negeri melayu dengan efisiensi dan otokrasi pemerintahan kolonial, dan bukan melihat sistem dan tata cara parlementer yang sukar mereka pahami.

Tokoh utama dari kalangan peminjam paling kritis di antara penulis melayu adalah Munshi Abdullah. Ia punya kedekatan khusus dan kegandrungan luar biasa dengan pemerintah Inggris. Ia memperhatikan dengan cermat pemerintahan Inggris. Dalam pandangannya, kelaliman dan kesewenang-wenangan raja-raja Melayu adalah penyebab utama keterbelakangan dan keterpurukan negeri-negeri mereka. Dalam penutup laporan perjalanannya yang sangat kritis ke pantai timur Malaya pada 1837-1838, ia menguraikan kekurangan-kekurangan pemerintahan di Kerajaan Melayu dibandingkan pemerintahan kolonial Inggris di Singapura, yaitu :

  1. Tidak ada jaminan keamanan di negeri-negeri Melayu terhadap harta benda, jiwa atau apapun. Sementara di negeri-negeri Inggris ada jaminan keamanan dalam bentuk perlindungan dari segala mara bahaya.
  2. Kedamaian di negara Inggris ada namun di negeri-negeri Melayu tidak ada.
  3. Hamba-hamba Raja di negeri-negeri Melayu dapat melakukan pelanggaran sesuka hati terhadap makhluk ciptakan Tuhan. Karena, jika satu hamba Raja dibunuh maka tujuh orang mati. Sedangkan di negeri-negeri Inggris tidak demikian, jika anak seorang penguasa kulit putih atau penguasa itu sendiri membunuh seseorang tanpa dasar hukum dia akan dijatuhi hukuman mati.
  4. Di negeri-negeri Melayu terlalu banyak orang membuang waktu siang dan malam hari dalam kemalasan. Sementara di negeri-negeri Inggris banyak orang bekerja keras dan didorong bekerja keras. Di negeri-negeri melayu punya adat yang berbeda, jika seseorang menjadi kaya dengan bergelimang harta dan hidup senang, maka berbagai macam tuduhan dilontarkan kepadanya, sampai dia hancur, hartanya habis, dan barangkakali nyawanya direnggut.

Namun, sekali lagi dalam pandangan Reid, sedikit sekali orang-orang Asia Tenggara yang bisa melihat secara langsung jalannya demokrasi parlementer di Eropa. Dan lebih sedikit lagi yang bisa memahami bahwa parlemen adalah kunci kekuasaan Eropa. Satu kelompok yang bisa memahami itu adalah segelintir bangsawan berpendidikan Eropa. Mereka menasihati Raja Chulalongkorn pada 1886 bahwa Kerajaan Siam bisa bertahan dari tantangan Eropa melalui landasan perubahan konstitusional menuju pemerintahan monarki parlementer. Namun, usaha mereka pun juga kurang berhasil karena Raja masih berkuasa mutlak.

Bagi elit terdidik Asia Tenggara di bawah rezim penjajahan Eropa, yang telah kehilangan kepercayaan pada kemampuan kelas penguasa tradisional, model-model konstitusional Eropa umumnya dipandang jauh dari persoalan riil. Kaum nasionalis bersedia mengumandangkan “Indonesia berparlemen,” atau tanggung jawab kementerian di Birma namun sebagai taktik jangka pendek ketimbang pemecahan riil terhadap masalah dominasi asing. Lebih bermakna dari pada model-model konstitusional justru populisme revolusioner yang melibatkan massa. Karena rakyat jajahan tidak memiliki sumber kekuatan kecuali jumlah orang, maka identifikasi mereka dengan massa tidak dapat dielakkan.

Menurut Reid Kaum Marxis atau partai komunis di Asia Tengara adalah peminjam di Asia Tenggara yang paling bersemangat, punya semangat internasional, dan tidak sabar terhadap nilai-nilai dan praktik-praktik lama yang sudah usang. Mereka giat mengembangkan program-program ekonomi politik, dan pendidikan. Memang, rumusan dasar marxist khususnya dari pemikiran Lenin Imperialisme: Last Stage of Capitalisme (Imperialisme: Tahap Akhir dari Kapitalisme) berpengaruh luas dalam lingkaran elit Asia Tenggara khususnya anggota partai komunis, intelektual yang berminat pada watak kapitalisme, dan pendukung revolusi sosial. Daya tarik Marxisme terletak pada fakta bahwa paham ini dapat digunakan untuk menjawab dilema keterpurukan dan kekalahan mereka atas bangsa Asing dan janji bahwa kekuatan Barat bisa dikalahkan. Mereka mengikuti dan berusaha menjalankan tiga keyakinan:

  1. Keyakinan bahwa masalah pengaruh Barat bisa dan akan dikalahkan.
  2. Tuntutan regenerasi moral.
  3. Rasa persatuan dan Persaudaraan yang dipancarkan.

Sebagai penutup adalah bermanfaat jika narasi masa lalu negeri kita dibahas dengan cara yang ditawarkan oleh Anthony Reid—revitalizer dan borrower. Meskipun keduanya punya perbedaan, namun sudut pandang yang dipaparkan cukup kritis dalam melihat pemikiran kalangan intelektual dan elit di masa lalu yang mengalami keterpurukan. Lagi pula, sedikit sekali narasi kemenangan dalam narasi sejarah Indonesia. Dengan kata lain, beban sejarah akan kekalahan dan keterpurukan sesungguhnya masih terekam kuat di kalangan elit dan intelektual generasi selanjutnya. Rasa inferioritas akan kekuatan Barat masih nampak terutama dalam bidang ilmu pengetahuan teknologi dan ekonomi. Di masa kini pun semangat dalam bentuk yang sama seperti dilakukan oleh kaum revitalizer di masa lalu muncul kembali. Misalnya, munculnya partai-partai politik berbasis agama yang sangat yakin dengan nilai-nilai moral religius dalam menawarkan solusi akan keterpurukan negeri mereka. Barangkali memang terasa pedih khususnya bagi generasi masa kini memahami sejarah negeri mereka sendiri yang senantiasa kalah dan dikalahkan. Maka, wajar jika mereka begitu acuh dengan sejarah mereka karena tidak ada yang patut dibanggakan dari sejarah kekalahan itu. Namun akan lebih celaka bila sejarah tentang kekalahan dan keterpurukan itu tidak ditelaah generasi berikutnya.

-Saiful Hakam*

Saiful Hakam – Peneliti LIPI

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com


Tulisan ini sudah pernah dimuat dalam blog pribadi penulis.
Gambar fitur diambil dari commons.wikimedia.org

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: