Categories
Penulis Tamu

FRIDAY FORUM IAIN LANGSA DAN KEMBALINYA PERBINCANGAN INTELEKTUAL DI ACEH

Publik Aceh telah mengenal lama Darussalam sebagai pusat pendidikan. Kehadiran Unsyiah dan UIN Ar-Raniry telah membuat kawasan Darussalam menjadi poros utama dalam pengembangan pengetahuan di Aceh. Sulit membayangkan Aceh memiliki poros lain dalam soal pengembangan pengetahuan.

Darussalam memang dirancang sejak awal sebagai pusat pendidikan. Kondisi ini sangat berbeda dengan Meurandeh yang tidak dibuat atas desain tersebut. Alih-alih sebagai pusat pendidikan, Meurandeh pada awalnya hanya terdiri dari semak-semak dan pohon sawit. Namun kini, Meurandeh mulai berjuang menjadi produsen pengetahuan selayaknya Darussalam. Keberadaan IAIN Langsa dan Unsam Langsa di Meurandeh perlahan mulai memperlihatkan terbukanya poros baru pengembangan pengetahuan di Aceh.

Terbukanya poros baru di Meurandeh dapat terlihat pada Friday Forum IAIN Langsa. Forum yang baru dimulai 3 minggu belakangan. Meski masih berumur sangat muda, forum ini telah menyerap perhatian besar kalangan intelektual Aceh. Selain, karena tema-tema yang diperbincangkan cukup berani, kehadiran forum ini seperti oase ditengah keringnya forum-forum ilmiah di Aceh.

Setidaknya ada 2 cara pikir yang mencetuskan ide Friday Forum. Pertama, kurangnya komunikasi serta sharing pengetahuan diantara akademisi dalam forum-forum intelektual. Kedua, minimnya produktifitas publikasi yang dapat dikatakan cukup mampu bersaing dengan akademisi luar Aceh.

Padahal, secara sadar Aceh diakui merupakan wilayah yang paling banyak digali oleh para akademisi. Kita dapat melihat banyaknya tulisan yang menjadikan Aceh sebagai sebuah studi pada jurnal ternama. Namun situasi demikian kontras dengan capaian akademisi asal Aceh. Sulit menemukan akademisi asal Aceh yang menjadi kontributor dalam jurnal-jurnal ternama tersebut. Studi Aceh sampai saat ini masih dikuasai oleh akademisi dari luar Aceh.

Kesadaran seperti diatas mulai tumbuh di kalangan akademisi IAIN Langsa. Untuk itu dibutuhkan rangkaian tindakan bersama agar dapat keluar dari situasi tersebut. Tercetus sebuah ide awal untuk membuat kelas pelatihan penelitian dan penulisan artikel jurnal bagi para dosen muda di Fakultas Syariah IAIN Langsa. Harapannya agar budaya menulis berbasis penelitian mulai tumbuh dan tertanam sejak muda. Penulis dan beberapa rekan mulai membuat rangkaian materi yang akan disampaikan dalam kelas tersebut.

Akan tetapi, dalam diskusi selanjutnya muncul kesadaran baru yang pada akhirnya menggeser ide awal tersebut. Ada 2 kesadaran yang muncul dan menjadi sangat krusial dalam perbincangan penulis dan beberapa rekan. Pertama, bagaimana cara meningkatkan minat menulis dikalangan dosen-dosen muda jika tidak di imbangi oleh literasi yang baik?. Pertanyaan itu penting, mengingat IAIN Langsa bukanlah wilayah yang cukup baik dalam hal distribusi buku-buku maupun jurnal-jurnal yang bersifat akademik. Kedua, bagaimana bisa mengharapkan karya-karya yang dituliskan oleh akademisi IAIN Langsa dapat bersaing dengan tulisan luar ketika isu-isu yang saat ini sedang menjadi perbincangan akademisi di luar tidak menjadi perhatian serius di IAIN Langsa?

Melalui 2 pertanyaan diatas, penulis dan beberapa rekan mulai merubah format tindakan bersama ini. Format yang awalnya merupakan kegiatan semi-kelas, diubah menjadi forum diskusi. Namun, tujuan dari tindakan bersama ini tetap tidak berubah. Tindakan bersama ini masih bertujuan untuk membangun komunikasi dan berbagi pengetahuan yang pada akhirnya menaikkan minat publikasi tulisan-tulisan ilmiah di IAIN Langsa. Untuk itu, format forum diskusi dirasa lebih baik. Nama Friday Forum pun dipilih karena kegiatan forum diskusi dilakukan setiap hari Jum’at.

Semangat untuk berkomunikasi dan berbagi pengetahuan menjadi ruh Friday Forum. Forum ini tidak bisa didominasi oleh satu bidang ilmu ataupun satu cara pandang tertentu. Friday Forum dapat dikatakan hanya merupakan sebuah wadah yang kosong. Untuk mengisi wadah kosong tersebut, diperlukan beragam jenis pengetahuan yang berasal dari beragam bidang ilmu. Diharapkan nantinya akademisi yang berada di Meurandeh dapat mengolah pengetahuan yang berasal dari wadah tersebut untuk dikonsumsi oleh publik.

Perguruan tinggi harus kembali menengahkan perbincangan intelektual (intelectual discourse) yang bermutu dan dapat dikonsumsi oleh publik. Jangan sampai karena terlalu gersangnya intelectual discourse, berakibat pada kejumudan berpikir publik.

Harus diakui perbincangan intelektual telah lama hilang di publik kita. Aceh lebih khusus menggambarkan kehilangan tersebut. Hampir-hampir perbincangan dikuasai oleh opini publik yang saat ini mulai sulit disaring kebenarannya.

Tokoh-tokoh publik yang lahir dari media sosial kini mengambil peran besar dalam membentuk narasi publik. Mereka dibesarkan oleh media sosial dengan menyasar market-market yang sudah lama tidak mendapatkan perhatian intelektual.

Melalui peran mereka media sosial yang sejatinya memberi ruang dan kesempatan orang luas untuk dapat berbincang, justru telah mematikan perbincangan. Opini publik mendapatkan posisi strategis dalam memenangkan diskursus pengetahuan. Untuk mengatasi kondisi tersebut tidak ada cara lain kecuali merebut kembali perbincangan di media sosial.

Keberanian Friday Forum berupaya kembali menghadirkan intelectual discourse ditengah-tengah kondisi seperti sekarang ini patut dicontoh oleh perguruan tinggi lain di Aceh secara khusus. Kini, sudah saatnya masyarakat kembali disuguhi oleh perbincangan intelektual.

Perguruan tinggi harus menjadi role model narasi masyarakat. Perbincangan jangan sampai ditutup oleh kejumudan berpikir hanya karena para intelektual mulai takut berhadapan dengan publik.

– Yogi Febriandi –

Yogi Febriandi – Kurator Friday Forum IAIN Langsa

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Sumber gambar tajuk sebelum olah digital: muslimheritage.com

 

 

Categories
Penulis Tamu

Belajar Dari Kepemimpinan Khulafaur Rasyidin

Jika kita lihat dalam sejarah pasca Rasulullah wafat terjadi suksesi kepemimpinan yang selanjutnya disebut Khulafaur Rasyidin. Pertama ada Sayyidina  Abubakar yang dibaiat kaum Ansar dan Muhajirin, kala itu Abubakar menjabat sebagai khalifah dalam usia tak lagi muda, beliau wafat setelah dua tahun menjabat. Beliau dibaiat oleh beberapa kabilah, dalam teori politik kabilah-kabilah di Arab kala itu bisa disamakan dengan parlemen dimasa sekarang (Shalah Abdul Khalidi; 2010). Sehingga legitimasi kepemimpinan Abubakar adalah sah dari segi hukum.

Abubakar memerintah di akhir usianya selama lebih kurang dua tahun. Artinya usia Abubakar tak lagi muda. Tren memimpin di usia tua masih terawat sampai sekarang. Persoalan tua-muda tak menjadi masalah besar jika yang dinilai adalah produktifitas individual. Bukankah Abubakar lebih senior dari sahabat lain. Apatah lagi Abubakar bukanlah sosok yang suka kepada jabatan (Ibnu Hisyam; 1920).

Literatur sejarah kemudian mencatat  pasca wafatnya Abubakar, terjadi pergantian kepemimpinan dibawah kendali Umar bin Khattab. Ada karakter berbeda antara dua sahabat ini. Bagaimana kemudian karakter Umar yang terkenal dengan gagah dan keras memimpin selama enam tahun.

Umar tampil pasca wafatnya Abubakar. Di satu sisi karakter Umar yang idealis, sederhana dan tampil membela prinsip-prinsip Islam sangat cocok memimpin di tengah gurun pasir. Alhasil puncak kejayaan Khulafaur Rasyidin ada pada masa pemerintahan Umar (Sami Abdullah; 2004).

Reshuffle kabinet juga terjadi manakala Amru Bin Ash di Mesir diganti  dengan alasan penuh professional. Realita ini kemudian menunjukkan bahwa Umar sosok merakyat dan idealis. Umar berhasil mempraktikkan sistem pemerintahan terpusat. Yaitu sistem yang berfokus satu kepemimpinan dibantu oleh para gubernur di berbagai provinsi kala itu. Kenyataanya dalam sistem Khulafaur Rasyidin tidak dikenal dengan istilah wakil khalifah, sehingga tidak terjadi dualisme kekuasaan.

Pada masa Umar memerintah, proses musyawarah berjalan dengan sehat. Prinsip ketaatan kepada ulil amri berjalan dengan baik. Di tengah kenyamanan itu ada munafik yang ingin membalas dendam, seorang masyarakat kelas atas dari Persia yang kemudian ditawan pihak Islam dan menjadi rakyat biasa. Hal ini membuat Lukluah balas dendam,  Umar syahid terbunuh setelah ditikam belati beracun ketika menunaikan shalat. Perilaku Lukluah ini kemudian dipraktikkan juga dalam kekuasan-kekuasaan pasca Umar.

Selanjutnya Sayyidina Usman bin Affan dibaiat sebagai khalifah dan menjalani tugas khalifah selama 12 tahun. Di akhir kekuasaannya banyak sekali pemberontakan yang terjadi. Terpilihnya Usman sebagai khalifah tak terlepas dari semangat kolektif sahabat, walaupun terpilihnya Usman dipengaruhi Umar yang menjelang wafatnya menyodorkan beberapa nama untuk menjadi bakal khalifah.

Beliau adalah menantu Rasulullah, sahabat mulia yang memiliki rasa malu yang disanjung malaikat. Jika kita lihat  isu nepotisme yang dituduh kepada Usman tidaklah benar, bahkan Mu’awiyah yang menjadi sepupu Usman sudah menjadi khalifah di Syam semenjak Umar bin Khattab. Usman juga terbunuh di rumahnya oleh pemberontak.

Menariknya kaum pemberontak ini pun mendukung Sayyidina Ali sebagai khalifah. Posisi Khalifah Ali saat itu benar-benar sulit. Bagai buah simalakama karena para sahabat besar lainnya juga membaiat Ali sebagai khalifah. Ali kemudian menjalankan kebijakan dengan menganti seluruh kabinet Usman, termasuk Muawiyah. Terjadilah ketidaksepahaman antara Ummul Mukminin, Aisyah dan juga kelompok Muawiyah.

Dua kubu ini bukan bermaksud untuk melawan Khalifah sah Ali bin Abu Thalib, melainkan menuntut pembelaan atas darah Usman, supaya Ali memproses secara hukum pembunuh Usman. Lebih lanjut putusan Ali untuk berdamai dalam tahkim membuat pendukung Ali kecewa, mereka beralih menjadi khawarij. Yang akhirnya membunuh Ali ketika menunaikan shalat. Tindakan Ali melakukan sebuah resolusi konflik direspon secara biadab oleh khawarij yang mengusung jargon keadilan.

Kejadian fitnah ini dijadikan bahan untuk menjatuhkan Islam oleh barat dan islamophobia. Ada pelajaran mulia yang mesti kita ambil selaku generasi hari ini, bahwa politik sebagaimana kaidah Fiqhiyyah harus selalu mengutamakan mashlahah. Plato jauh-jauh hari sudah menggaungkan kaidah etika politik, maka dalam segala hal masyarakat untuk memenangkan kemashlahatan, kebenaran, keadilan dan kesejukan sebagaimana gaung Khulafaur Rasyidin. Semoga!

Oleh : Azmi Abubakar

Azmi Abubakar, Lc. MH,  Alumnus Universitas Al-Azhar Mesir, dan  Lulusan Magister Hukum Keluarga Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry. Peminat Hukum Keluarga dan Sejarah Islam.

Email: azmiabubakarmali@gmail.com.

Categories
Penulis Tamu

Parenting di Era Teknologi Digital

Oleh : Fatimah Zuhra & M. Amirulhaq

Peran orangtua dalam pengasuhan anak idealnya dilakukan bersama karena keduanya memiliki peran yang berbeda (Olson, DeFrain, & Skogrand, 2011). Ibu cenderung lebih terlibat dalam kebutuhan day care, mengenalkan anak pada kemampuan berbahasa dan kemandirian. Selain itu, ibu juga membantu anak memperkenalkan pada identitas diri anak. Ayah memiliki peran dalam pengasuhan yang lebih bersifat umum seperti disiplin, tata cara bersosialisasi, dan pendidikan akan norma, karena ayah dapat lebih bersifat objektif (Plomin, dalam Triani & Dewi, 2011). Positive parenting merupakan dasar-dasar dalam pengasuhan anak yang berkembang dalam Psikologi Positif. Tujuan utama dari positive parenting adalah bagaimana membantu orangtua untuk dapat menjadikan anak-anak mereka berdaya, nyaman dan kuat dengan rasa sejahtera (wellness) yang tinggi, dan mampu meraih kepuasaan hidup, sehingga dapat mencapai kebahagiaan tanpa mengenal usia (Hyoscyamina & Dewi, 2012).

Pengasuhan dalam positive parenting memiliki beberapa prinsip kunci, yaitu:

  1. Pemenuhan nutrisi anak, nutrisi dapat berpengaruh besar pada perkembangan, konsentrasi, dan kemampuan mental lainnya.
  2. Kehidupan yang seimbang, dimana anak memiliki kesempatan bermain, belajar, mengeksplorasi lingkungannya dan memiliki waktu yang berkualitas bersama kedua orangtuanya, mengajarkan kehidupan yang seimbang, dapat membantu anak memiliki regulasi diri yang baik, dan membantu memelihara kedisiplinan dalam kehidupannya.
  3. Mengembangkan rasa aman dan keamanan dalam keseharian, dilakukan untuk melindungi anak dari dampak lingkungan yang negatif, situasi yang belum waktunya dipahami, dan menciptakan lingkungan yang positif dan aman.
  4. Memelihara komunikasi yang terbuka kepada anak, teman-temannya, pihak sekolahnya, dan lingkungan sekitar anak.
  5. Menjadi orangtua yang aktif, sehingga anak-anak merasa didengarkan, memiliki ikatan yang kuat, dan memahami potensi keterbatasannya.

Kesemuanya haruslah diawali dari sikap dan karakter orangtua yang positif baik terhadap kehidupan, dunia, dan keluarga (Hyoscyamina & Dewi, 2012).

JENIS POLA ASUH

Pola Asuh Otoritarian

Jenis pola asuh dimana orang tua memberikan peraturan-peraturan yang harus dipenuhi tanpa adanya negosiasi dengan anak. Orang tua yang melakukan pola asuh otoritarian juga tidak akan segan memberikan hukuman yang keras sebagai cara mendisiplinkan anak (Riandini, 2015). Pola asuh otoritarian adalah pola asuh yang menekankan kepatuhan pada kontrol (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Anak dengan pola asuh otoritarian akan membentuk sikap hormat dan taat pada orangtua, namun sisi negatif dari pola asuh otoritarian ini adalah anak akan membangun perasaan takut, cemas, tidak bahagia, inisiatif tidak terbentuk dan juga kurang dapat membangun komunikasi dengan baik (Riandini, 2015).

Pola Asuh Permisif

Pola asuh permisif merupakan jenis pola asuh dimana orang tua memberikan segala sesuatu yang diminta oleh anak. Orang tua juga kurang memberikan batasan dan kendali yang jelas pada anak (Riandini, 2015). Ormrod (2008) menyebutkan pola asuh permisif adalah pola dimana orang tua tidak mau terlibat dan tidak mau pula peduli terhadap kehidupan anaknya. Di lain sisi, pola asuh permisif diartikan sebagai pola asuh yang menekankan ekspresi diri dan pengaturan diri sendiri. (Papalia, 2009) Anak dengan pola asuh permisif akan lebih kreatif dan percaya diri, namun di samping itu anak dengan pola asuh ini cenderung kurang memiliki kontrol diri yang baik, mendominasi, kurang dapat menghormati dan tidak dapat menjalin hubungan yang baik dengan temannya (Riandini, 2015).

Pola Asuh Otoritatif

Pola asuh otoritatif memberikan batasan dan juga kontrol terhadap anak, namun masih memberikan kesempatan bagi anak untuk dapat mandiri dan juga memiliki tanggungjawab pribadi (Riandini, 2015). Ormrod (2008) mengatakan pola asuh otoritatif (authoritative parenting) di mana orangtua yang menghadirkan lingkungan rumah yang penuh kasih dan dukungan, menerapkan ekspektasi dan standar yang tinggi dalam berperilaku, memberikan penjelasan mengapa suatu perilaku dapat atau tidak dapat diterima, menegakkan aturan-aturan keluarga secara konsisten, melibatkan anak dalam pengambilan keputusan dan menyediakan kesempatan-kesempatan anak menikmati kebebasan berperilaku sesuai usianya. Pola asuh orang tua yang otoritatif  juga diartikan sebagai pola asuh yang menggabungkan penghargaan terhadap individualitas anak dengan usaha untuk menanamkan nilai sosial (Papalia, 2009). Anak dengan pola asuh otoritatif lebih percaya diri, memiliki pengendalian diri yang baik, mampu mengelola stres dan dapat bekerja sama dengan teman sebaya maupun orang-orang yang lebih tua (Riandini, 2015).

 

POLA ASUH DI ERA TEKNOLOGI INFORMASI

Saat ini, manusia telah hidup di era digital, mengalami perkembangan teknologi yang luar biasa. Manusia tidak bisa hidup tanpa teknologi. Teknologi adalah segala-galanya bagi manusia, sehingga segala sesuatu harus disesuaikan dengan kecanggihan era teknologi masa kini seperti halnya pola asuh. Jika dulu pola asuh anak masih mengandalkan teori pola asuh paling popular yang dikembangkan oleh Diana Baumrind seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kini para pengasuh atau orangtua perlu ‘merevisi’ lagi cara mengasuh anak seiring dengan zamannya. Menurut Hurlock (dalam Aslan, 2019), untuk mengantisipasi anak-anak di zaman era digital sekarang, yang paling berkesan adalah pola asuh. Sistem pola asuh menampilkan teladan yang baik oleh orangtua kepada anaknya (Tridonanto, 2014). Selain itu juga, orangtua yang hidup di zaman era digital ini tidak hanya menguasai teknologi di zaman sekarang, tetapi juga mempunyai pengetahuan-pengetahuan terhadap perkembangan anaknya (Gunarsa & Gunarsa, 2008).

Sebelum mempelajari pola asuhan yang efektif dalam mengasuh serta membesarkan anak-anak era digital ini, perlu kita ketahui terlebih dahulu karakteristik dari sang anak. Pada umumnya, setiap populasi generasi yang muncul dalam kurun waktu setiap 15-18 tahun terakhir memiliki karakteristik demografik yang berbeda dengan generasi sebelum dan setelahnya. Pengelompokan karakteristik tiap generasi ini disebut sebagai cohort (Santosa, 2015). Artinya, pembagian suatu generasi berdasarkan periodisasi waktu tertentu dan perbedaan karakteristik kelompok tersebut. Perbedaan karakteristik setiap generasi meliputi perbedaan kepercayaan, keyakinan, karir, keseimbangan kerja, keluarga, peran gender, dan lingkungan pekerjaan. Misalnya, generasi yang lahir pada tahun 1946-1964 disebut dengan baby boomers. Sedangkan generasi yang lahir pada tahun 1965-1979 disebut generasi X (slacker atau Xers). Generasi Y adalah generasi yang lahir tahun 1980-2000. Generasi ini sering juga disebut generasi digital atau millenial. Generasi ini lahir saat internet mulai masuk dan berkembang (generasi NET). Sedangkan generasi yang lahir setelah era milenial ini disebut dengan generasi Z (Rahmat, 2018).

Karekteristik setiap generasi berbeda-beda karena ditentukan oleh perubahan dan kondisi demografik saat itu. Berbeda dengan generasi X, generasi Net atau Milenial sangat bergantung pada teknologi terutama internet. Menurut Santosa (2015), generasi Net ini memiliki karakteristik sebagai berikut; Pertama, memiliki ambisi besar untuk sukses. Anak zaman sekarang cenderung memiliki karakter yang positif dan optimis dalam menggapai mimpi dalam hidupnya. Kedua, anak cenderung berpikir praktis dan berperilaku instan (speed). Anak-anak generasi ini menyukai pemecahan masalah yang praktis dan kurang sabar mengikuti proses untuk mencermati suatu masalah. Ketiga, anak mencintai kebebasan. Generasi Net sangat menyukai kebebasan berpendapat, berkreasi, berekspresi. Keempat, percaya diri. Anak-anak yang lahir pada generasi ini mayoritas memiliki kepercayaan diri yang tinggi, memiliki sikap optimis dalam banyak hal. Kelima, anak cenderung menyukai hal yang detail. Generasi ini termasuk generasi yang kritis dalam berpikir.

Berdasarkan karakteristik generasi digital yang dijelas ini, maka orang tua perlu mendidik anak di era digital dengan menggunakan tipe-tipe pola asuh yang relevan atau sesuai dengan kehidupan anak. Orangtua dapat menerapkan pola asuh yang efektif jika orang tua mengetahui apa yang harus di buat untuk mendidik anak di era digital. Orangtua diharapkan mampu melindungi anak-anak dari ancaman era digital, tetapi tidak menghalangi potensi manfaat yang bisa ditawarkannya (Rahmat, 2018).

Singkronisasi ketiga model pola asuh otoritarian, demokratif serta otoritatif dapat diterapkan pada anak-anak era digital sesuai dengan situasi dan kondisi perilaku anak, yang tentunya dinilai sesuai mengikut tahapan umur anak. Urgensi mendidik anak di era digital, selaku orangtua, wajib mengetahui perkembangan anak. Pola asuh otoriter diberlakukan kepada anak sesuai dengan situasi dan kondisi yang diperlukan. Orangtua berhak untuk memberikan kebebasan sebagaimana pola asuh permisif tetapi dalam hal positif, sehingga ketiga pola asuh ini, baik otoriter, permisif dan otoritatif masing-masing bekerjasama terhadap dampak yang dihasilkan oleh teknologi.

*Penulis adalah mahasiswa Uin Ar-Raniry Banda Aceh Fakultas Psikologi*

 

DAFTAR PUSTAKA

Aslan. (2019). Peran pola asuh orangtua di era digital. Jurnal Studia Insania, 7(1), 20-34. doi: 10.18592/jsi.v7i1.2269

Gunarsa, S. D., & Gunarsa. Y.T., (2008). Psikologi Perkembangan Anak Dan Remaja (Cetakan Ke 13). Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Hyoscyamina, D. E., & Dewi, K. S. (2012). Pengembangan program parenting bagi anak usia dini dengan pendekatan psikologi positif dan karakter islami. Jurnal Psikologi, 18(1), 30-46.

Ormrod, J. E. (2008). Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang. Jakarta:  PT. Erlangga.

Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human Development. Jakarta: Salemba Humanika.

Rahmat, S. (2018). Pola asuh yang efektif untuk mendidik anak di era digital. Jurnal

Pendidikan dan Kebudayaan Missio, 10(2), 137-273.

 

Riandini, S. (2015). Pengaruh pola pengasuhan dengan perkembangan komunikasi anak autis kepada orang tua. Majority, 4(8), 99-105.

Santosa, E. T. (2015). Raising Children In Digital Era. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Triani, C. I., & Dewi, K. S. (2011). The Differences of Father-Adolescent Closeness Based on Father Support among Undergraduate Students in Central Java: Indigenous Psychology Analysis. Proceeding The Second International Conference of Indigenous and Cultural Psychology: Factors Promoting Happiness, Health, and Quality of Life. Denpasar: Udayana University.

Tridonanto, A. (2014). Mengembangkan Pola Asuh Demokratis. Jakarta: Elex Media Komputindo

Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human Development. Jakarta: Salemba Humanika.

Categories
Penulis Tamu

Fabrikasi Atau Induksi Penyakit Pada Anak

Tentang Gangguan Buatan (Factitious Disorders)

Gangguan buatan adalah suatu gangguan jiwa dimana pasien secara sengaja membuat tanda gangguan medisfisik atau psikologis dengan menunjukkan riwayat serta gejala palsu yang dimotivasi oleh faktor internal yang tujuannya semata-mata untuk mengambil peran sebagai pasien tanpa adanya dorongan dari luar, meski pun kadang mereka tidak sepenuhnya memahami motivasi mereka. (Shierly, 2014).

Pemahaman yang lebih dalam mengenai gangguan ini menunjukkan bahwa pasien lebih terdorong untuk tampil sakit dan kerap kali telah memiliki wawasan dari perilaku yang ditampilkan.

Sub tipe dari gangguan buatan adalah sindrom Munchausen atau Munchausen’s Syndrome. Menurut sejarah psikiatri, gangguan ini diperkenalkan pertama kali sebagai Sindrom Munchausen pada tahun 1951 oleh Rihard Asher, seorang klinisi yang menemukan kasus seorang pensiun perwira kavileri Jerman, yaitu Baron Karl Von Muncausen, yang secara dramatis menceritakan pengalamannya berpergian dari rumah sakit ke rumah sakit di berbagai kota untuk mendapatkan perawatan medis. (Jaghab, 2006). Sindrom ini tidak hanya dialami oleh individu dewasa tetapi juga berdampak negatif pada anak kecil yang memiliki pengasuh penderita sindromini.

Munchausen’s Syndrome by Proxy (MSbP) yang juga dikenal sebagai Factitious Disorder Imposed on Another adalah sebuah gangguan psikologis yang termasuk dalam kategori gangguan buatan kronis. MSbP ditandai oleh perilakuseorang pengasuh memanipulasi gejala penyakit yang diderita oleh sang anak asuh untuk mendapatkan rasa prihatin dan simpati dari orang lain. Menurut dr Jaghab (2006), pemalsuan penyakit atau gangguan buatan ini pada orang dewasa mungkin terkesan menjengkel kan, namun apabila perlakuan ini dimanipulasikan pada anak, maka akan lebih menimbulkan frustrasi karena pengasuhatau orang tua mereka bahkan rela melihat anaknya yang pada dasarnya sehat harus menjalani tes dan operasi yang menyakitkan atau berisiko untuk mendapatkan perhatian khusus dari orang lain. Robertson (dalam Lehmkuhl, 2008) menyatakan bahwa pasien atau pelaku dengan sindrom ini membuat gambaran penyakit yang kompleks, biasanya dengan riwayat yang panjang, dan mengunjungi banyak dokter dan rumah sakit, menjalani beberapa prosedur berbahaya, tetapi sering kali pergi dengan tiba-tiba dan dengan marah.

Ciri-ciri Munchausen’s Syndrome by Proxy (MSbP)

https://parenting.firstcry.com/articles/mental-disorders-in-children/

Libow (2000) menyebutkan bahwa gangguan buatan kronis (Munchausen’s Syndrome by Proxy) cenderung terjadi pada wanita berusia 20 hingga 40 tahun yang bekerja di bidang medis, seperti sebagai perawat atau klinisi. Mereka cenderung tidak menikah meski telah berusia setengah baya dan tinggal berasingan dari keluarga mereka. Pelaku Munchausen’s Syndrome by Proxy(MSbP) biasanya terjadi pada ibu yang menyebabkan penyakit pada anak-anakmereka. Namun, terkadang ayah atau orang lain juga bertanggungjawab atas terjadinya kesan destruktif sindrom gangguan buatan ini pada anak-anak.

Para peneliti telah menggaris bawahi beberapa kepribadian sifat patologis atau gangguan identitas yang muncul pada pelaku Munchausen’s Syndrome by Proxy (MSbP), yaitu hubungan interpersonal yang tidak stabil, ide bunuh diri berulang atau self-mutilating. Perilaku serupa juga ditemui digangguan kepribadian border line. Selain itu, individu dengan sindrom ini dikatakan penuh dengan muslihat dan tipu daya serta tidak mempunyai rasa penyesalan. Mereka biasanya gagal untuk menyesuaikan diri dengan norma sosial. (Ritson& Forest, 1970).

Terdapat juga studi yang mencatat bahwa pelaku Munchausen’s Syndrome by Proxy (MSbP), memiliki ciri adanya pseudologia fantastica, yaitu mengatakan kebohongan besar mengenai riwayat pendidikannya, riwayat masa lalu, riwayat sosial, riwayat sakitnya dan sebagainya. (Feldman, 2007).

Studi Kasus Munchausen’s Syndrome by Proxy (MSbP)

Kasus yang paling gempar terjadi akibat gangguan jiwa ini telah menghebohkan seluruh kota Missouri, Amerika pada tahun 2015 silam dimana seorang remaja perempuan dibawah umur bernama Gypsy Rose Blanchard, dan pacarnya telah bekerjasama membunuh ibu si gadis (Dee Dee) dirumahnya pada malam hari. Pada 15 Juni 2015, Dee Dee Blanchard ditemukan terbunuh di rumahnya di Springfield, Missouri, dan putrinya yang terikat kursi roda, Gypsy Rose Blanchard, dilaporkan hilang. Setelah Gypsy dilacak ke Wisconsin dan terlibat dalam pembunuhan itu, apa yang dimulai sebagai kisah mengerikan tentang pembunuhan seorang ibu berubah menjadi kisah aneh tentang penipuan dan pelecehan anak. (Widianingtyas, 2018)

Pembunuhan tragis ini adalah akibat fatal dari gangguan jiwa sang ibu yang menderita Munchausen’s Syndrome by Proxy (MSbP), dimana Dee Dee menuturkan Gypsy mengidap beragam penyakit. Mulai dari cacat kromosom, distrofiotot, epilepsi, asmaberat, apnea tidur, leukimia, kerusakan otak, hingga penyakit mata. Dee Dee mengaku semua itu sudah diderita Gypsy sedari kecil. Gypsy dipaksa menjalani beberapa prosedur operasi pada tubuhnya (yang tidak seharusnya ia jalani) dan ia juga dipaksa mengkonsumsi makanan dalam bentuk cairan melalui silang yang dipasang pada bagian perutnya dikarenakan kuman pada giginya yang membuat gigi nya mudah rusak. Gypsy ‘hidup’ diatas kursi roda selama hampir 19 tahun sejak ibunya memalsukan kelumpuhannya terhadap dirinya dan publik.

Gypsy pada akhirnya sadar bahwa ia tidak pernah sakit dan ibunya telah memanipulasi fakta tentang penyakit kronis yang konon ia derita, sehingga berhasil meyakinkan dunia bahwa dia seolah-olah sedang sakit. Semuanya dilakukan demi mengaut keuntungan yang banyak dari dinas sosial dan masyarakat yang prihatin akan nasib dirinya. Selama “sakit”, Dee Dee dan Gypsy memang mendapatkan banyak fasilitas secara cuma-cuma. Mulai dari tiket pesawat gratis, menginap di villa bagi pasien kanker, sampai berlibur ke Disney World. (Widianingtyas, 2018)

Menurut Lewis (2017), kasus Dee Dee adalah kasus klasik yang menyangkut penyakit Munchausen’s Syndrome by Proxy (MSbP), atau lebih dikenal sebagai sebagai gangguan buatan yang dipaksakan pada orang lain factitious disorder imposed on another. Istilah ini mengacu pada penyakit mental yang ditemukan pada pengasuh yang berbohong tentang, menghasilkan, atau melebih-lebihkan gejala penyakit atau kecacatan pada orang lain. Meskipun sangat jarang, itu paling sering terjadi antara seorang ibu dan anaknya.

Untungnya, Munchausen’s Syndrome by Proxy (MSbP), ini dapat dikategorikan sebagai gangguan langka yang jarang terjadi. Menurut Klinik Cleveland, hanya 1.000 dari 2,5 juta kasus pelecehan anak di Amerika Serikat yang dilaporkan setiap tahun berasal dari Munchausen’s Syndrome by Proxy (MSbP). Namun sayangnya, karena orang-orang seperti Dee Dee yang menyalah gunakan tanggungan mereka dengan caraini, sehingga sering tampak mencintai dan menyayangi anak jagaan mereka, dokter masih mengalami kesulitan men-diagnosis sindrom tersebut, bahkan ketika ia nya terjadi tepat di depan mereka.

Daftar Pustaka/Referensi :

Feldman MD, & McDermontt, B.M, (2007). Malingering in the medical setting. Psychatric Clinics, 30 (7), 645-662.

Jaghab, K., Kenneth B., Skodnek, Md., & Padder, A. T. (2008, March 13). Munchausen’s syndrome and other factitious disorders in children—case series and literature review. Psychiatry, 46-55.

Libow JA. Child and adolescent illness falsification. Pediatrics, 2(105), 336–422

Lehmkuhl, U., Ehrlich, S. M.D., Pfeiffer, E. M.D., Harriet, S. Ph.D., Lenz, S., & Math. Factitious disorder in children and adolescents: a retrospective study. Psychosomatics,49(5), 393-398. Diakses dari http://psy.psychiatryonline.org.

Lewis, E. (2017, August 08). Care Gone Wrong: Bad Moms, Fake Disabilities ,and Imagined Illnesses. Nursing Clio. Diakses dari    https://nursingclio.org/topics.

Ritson B, Forrest A. The simulation of psychosis: A contemporary presentation. Br J Med Psychol 70(43), 31–7.

Shirly, M. R. (2014) GangguanBuatan (Factitious Disorder). (Skripsi Dipublikasikan). Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar.

Widianingtyas, H. (2018, Juli 26) Kisah Ibu yang Ingin Anaknya Sakit, dan Anak yang Ingin Ibunya Mati. Kumparan NEWS. Diakses dari https://kumparan.com/kumparannews

Penulis : Fatimah Zuhra Mahasiswa Jurusan Psikologi Uin Ar-Raniry Banda Aceh

Disclaimer: Opini/Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

 

Categories
Penulis Tamu

Simalakama Kebijakan AMBIGU COVID-19

Hari ini dunia dihadapkan dengan hantu belau pandemi bernama Covid-19 yang mengoyak sendi-sendi kehidupan sosialmasyarakat. Virus Novel Corona Virus (NCoV) yang menyerang saluran pernafasan ini berasal dari kelompok yang sama dengan Middle East Respiratory Syndrome (MERS-CoV) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS-CoV). Pada tahun 2012 ada sembilan negara yang telah melaporkan kasus MERS-CoV, yaitu Perancis, Italia, Yordania, Qatar, Arab Saudi, Tunisia, Jerman, Inggris dan Uni Emirat Arab. SARS-Cov menjangkiti setidaknya 32 negara di dunia pada tahun 2003. Berbeda dengan pendahulunya,Covid-19 menyerang hampir seluruh negara di dunia.

Pemerintah Indonesia mengambil sikap yang menurutnya tidak mau gegabah dengan alasan menjaga stabilitas perekonomian negara agar tak goncang. Kebijakan-kebijakan yang diambil sangat hati-hati sehingga tak jarang menimbulkan masalah baru karena bersifat abu-abu seolah tidak serius dalam menghadapi bencana global ini. Antara latah dan gamang, pemerintah pusat bahkan sulit memutuskan apa yang seharusnya dilakukan untuk menangani pandemi yang terus menyerang ini.

Sementara beberapa daerah tanpa menunggu kebijakan dari pemerintah pusat, langsung mengambil tindakan sendiri dengan berbagai kebijakan yang dianggap sesuai dengan kebutuhan daerahnya mulai dari provinsi, kabutapen/kota bahkan desa mengambil langkah cepat demi mengamankan wilayahnya. Kondisi seperti ini seolah menunjukkan bahwa pemerintah pusat tidak tegas dan lamban dalam memutuskan sementara kondisi psikologis masyarakat yang sudah sangat terganggu dengan pemberitaan media yang setiap harinya menampilkan ankga-angka kematian dan korban positif terus meningkat drastis.

Kampanye untuk tetapdi rumah dan membatasi mobilitas masyarakat, gencar dilakukan oleh pemerintah. Disisilain, berita-berita yang muncul di media semakin mencekam sehingga banyak pihak yang terus mendesak pemerintah untuk segera mengambil tindakan demi mencegah penyebaran wabah ini. Imbauan terus dilancarkan namun tidak ada kebijakan yang pasti dari pemerintah. Sungguh situasiambigu bagi masyarakat, belum lagi protokol keamanan yang bisa berubah tiga kali sehari bak orang minum obat.

Desakan dari banyak pihak untuk segera melakukan Lockdowniniseolah tidak digubris oleh pemerintah pusat, mengingat masih kuatnya ketergantungan negara dari ekspor-impor barang dan komoditas, ditambah pendistribusian ke seluruh pelosok tanah air yang tentunya tidak mudah bagi pemerintah untuk buru-buru melakukan kebijakan terkait penanganan Covid-19 ini. Kebutuhan-kebutuhan dasar yang masih harus diamankan, alat pelindung diri bagi tenaga medis yang menangani masih harus diimpor dari luar.

Dalam tulisan Kompas.com 23 April 2020, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo membuat pernyataan bahwa tidak ada satupun negara di dunia yang berhasil mengatasi covid-19 dengan Lockdown. Menurut presiden Jokowi, setiap negara tentu punya konteks yang berbeda dalam menerapkan kebijakan meliputi kondisi geografis, tingkat kedisiplinan, kemampuan fiskal dan lain sebagainya.

Disatu sisi, kebijakan presiden RI memang ada benarnya jika dilihat dari kondisi sosial masyarakat kita yang sangat beragam dari tingkat kesejahteraan saja, sudah  menjadi alasan yang kuat untuk tidak memberlakukan Lockdown, mengingat sebagian besar masyarakat Indonesia masih sangat bergantung dari pendapatan harian. Oleh karenanya,Lockdown  bukanlah pilihan tepat untuk menangani Covid-19 di negara ini. Jika tetap dilakukan, akan menjadi polemik baru bagi pemerintah, ekonomi negara bisa ambruk sementara pandemi belum tentu bisa teratasi.

Terkait kebijakan Lockdown sudah diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2018, Tentang Karantina Kesehatan. Karantina yang dimaksud adalah pembatasan atau pemisahan seseorang yang terpapar penyakit menular meski belum menunjukkan gejala apapun atau sedang berada dalam masa inkubasi atau barang apapun yang diduga terkontaminasi dari orang atau sumber kontaminasi lain untuk mencegah kemungkinan penyebaran ke orang atau barang lain yang ada di sekitarnya.

Jika kebijakan Lockdown atau dapat diartikan sebagai Karantina Wilayahditerapkan maka pemerintah wajib menanggung kebutuhan hidup dasar manusia dan hewan ternak yang berada dalam wilayah karantina. Hal ini jelas akan menjadi beban yang besar bagi negara yang berpenduduk lebih dari 250 juta jiwa dengan beragam persoalan yang tentunya menjadi pilihan yang tidak mudah.

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menjadi pilihan pemerintah pusat untuk menekan laju penyebaran virus yang tak tampak oleh mata ini. Meski sangat disadari, opsi ini juga bukanlah langkah jitu dalam mengatasi penyebaran yang semakin tak terkendali, toh di beberapa tempat masih saja orang berkerumun dengan mengabaikan protokol keamanan yang saban hari diteriakkan pemerintah meskisetiap hari ada saja pendatang baru yang dinyatakan positif dan meninggal akibat virus ini. Bahkan dari tenaga medispun banyak yang menjadi korban. Entah pasrah atau masabodo namanya, sebagian masyarakat yang terpaksa berjuang di tengah pandemi tetap wara-wiri mencari rezeki.

Aceh, Antara Kebijakan dan Kebutuhan Masyarakat

Aceh selalu menarik untuk dibahas, mengingat kebiasaan masyarakatnya yang khusus dengan latar belakang agama yang kuat sehingga menjadikan daerah ini betul-betul berbeda dengan provinsi lain di Indonesia. Kebijakan pemerintah pusat untuk membatasi berkumpul dalam jumlah yang besar termasuk aktivitas shalatberjama’ah di masjid tentu menuai banyak penolakan dari masyarakat Aceh. Sehingga banyak bermunculan penyataan yang cenderung kontroversial dalam masyarakat dan ramai menghiasi dunia maya. Meski kemudian mulai mengendur seiring berjalannya waktu, melihat angka korban yang positif Covid-19 semakin bertambah bahkan ada yang meninggal dunia.

Pemerintah Aceh sempat menerapkan Jam Malam dengan alasan demi menekan penyebaran virus corona. Sementara pusat-pusat berkumpulnya orang seperti masjid dan pasar masih berjalan seperti biasa. MUI sudah mengeluarkan fatwa untuk menghentikan sementara shalat berjamaah, namun MPU Aceh mengeluarkan fatwa sebaliknya. Pernyataan-pernyataan spekulasi bermunculan secara liar mulai dari pemuka agama hingga tokoh politik mengenai shalat berjama’ah.

Kebijakan Jam Malam ini juga menimbulkan masalah baru bagi sebagian masyarakat yang justru menjalankan aktivitas perekonomian pada malam hari. Dampak jam malam jelas terasa bagi para pedagang kecil yang menggantungkan hidupnya dari penghasilan harian. Sehingga pemerintah Aceh mengevaluasi kembali kebijakan ini kemudian mencabut pemberlakuan jam malam dengan alasan, pelaku UMKM yang beraktivitas malam hari mengeluh dengan kebijakan ini.

Efek dari kepanikan pemerintah Aceh ini, beberapa desa di Aceh secara mandiri melakukan Lockdown bahkan memblokir jalan-jalan akses gampoeng dan antar gampoeng sehingga mengabaikan protokol tanggap bencana yang seharusnya tidak boleh menutup jalur-jalur evakuasi yang sudah ditetapkan.

Pemberlakuan Jam Malam ini seharusnya dilaksanakan mulai 29 Maret hingga 29 mei 2020. Namun hanya beberapa hari saja berlangsung, pemerintah Aceh mengevaluasi kembali kebijakan ini sehingga hanya beberapa hari saja pemerintah Aceh mencabut pemberlakuan Jam Malam ini.  Pencabutan kebijakan ini tertuang dalam maklumat bersama Forkopimda Aceh tentang Pencabutan Jam Malam dan efektif diberlakukan pada tanggal 4 April 2020.

Namun sangat disesalkan, akibat pengekangan yang dilakukan sebelumnya, masyarakat Aceh justru jadi tak terkendali saat status Jam Malam dicabut. Warung kopi penuh sesak sementara masjid dan meunasah tetap sepi. Yang lebih mengkhawatirkan adalah walaupun sudah dilakukan rapid test di beberapa pusat keramaian dan angka yang dinyatakan positif bertambah, masyarakat Aceh seolah tak peduli, protokol keamanan jaga jarak dan menggunakan masker seolah gadoh lam angen (menguap begitu saja).

Sungguh menghadapi virus ini, Pemerintah seperti memakan buah simalakama dengan kebijakan-kebijakannya. Disatu sisi ada tanggung jawab besar dalam menyelamatkan rakyat dari ancaman virus yang seperti hantu belau dengan memastikan tercukupinya kebutuhan dasar dengan terus membuka akses-akses massal dalam hal ini transportasi orang dan barang, sementara disisi lain terus menyuarakan pembatasan-pembatasan dalam masyarakat sementara arus keluar masuk barang tidak terdeteksi dengan baik ada atau tidaknya potensi kontaminasi termasuk penyebaran uang dalam masyarakat.

Daftar Pustaka/Referensi :

[1]https://nasional.kompas.com/read/2020/04/23/09325461/jokowi-tak-ada-negara-yang-berhasil-tangani-covid-19-dengan-lockdown

[2]https://www.researchgate.net/publication/340103987_Kebijakan_Pemberlakuan_Lock_Down_Sebagai_Antisipasi_Penyebaran_Corona_Virus_Covid-19

[3]https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200404225345-20-490380/umkm-mengeluh-aceh-cabut-penerapan-jam-malam

[4] https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e82bdc2d2dd6/kebijakan-dan-kesigapan-pemerintah-kunci-tangani-dampak-covid-19/

[5]Pedoman Umum Kesiap-Siagaan menghadapi MERS-Cov (Kemenkes-RI)

Penulis : Fendra Trisna Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry

Disclaimer: Opini/Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Categories
Penulis Tamu

Fenomena Labil Dalam Kebijakan Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Daerah Aceh Terkait COVID-19

Wabah corona masih meneror, Indonesia masih dihantui virus ini. Akan tetapi, karena sudah mulai terbiasa dengan kehadiran pembunuh yang tak kelihatan ini, rakyat sudah mulai agak tenang. Keangkeran sang virus pun sudah mulai agak memudar,walaupun angka positif makin bertambah, namun angka kematian makin berkurang. Meski demikian gerakan jurus sang virus hingga sekarang belum bisa dipatahkan, seranngan sang virus masih menakutkan dan belum bisa dikalahkan. Kehadiran sang virus masih mengancam dan belum bisa dihancurkan.

Lalu, apa tindakan hebat Pemerintah Indonesia dalam menanggulangi aksi teror corona yang masih berlangsung, apa langkah jituPemerintah Daerah Aceh menghadapi wabah pandemik corona yang masih mengancam.untuk membahas hal ini, maka kita harus menoleh kebelakang sebentar untuk melihat serangkaian intruksi Presiden Indonesia dan intruksi Plt Gubernur Aceh terkait wabah corona.

Presiden Joko Widodo mengeluarkan sejumlah kebijkan untuk menangani wabah Covid-19 yang saat ini sedang melanda Indonesia. Di antaranya keringanan biaya listrik sebagai wujud bantuan kepada masyarakat. Pemerintahmenggratiskan beban listrik bagi konsumen PLN dengan daya 450 VA selama 3 bulan ke depan, yakni untuk biaya April, Mei, dan Juni. Kebijakan lainnya PembatasanSosial BerskalaBesar (PSBB). Dalam hal ini Presiden memintaPSBB ini didampingi dengan kebijakan Darurat Sipil. Berikutnya larangan mudik.[1]

Sementara Pemerintah Aceh meluncurkan Maklumat Bersama Forkopimda Aceh tanggal 29 Maret 2020 di antaranya menghimbaumasyarakat untuk tetap tinggal di rumah, ibadah di rumah, belajar di rumah, bekerja di rumah, serta menerapkan kaidah-kaidah menjaga jarak antar sesama (physical distancing). Pemerintah Aceh juga mengimbau agar tetap menjaga persatuan, kesatuan dan kekompakan serta kerjasama semua elemen untuk memerangi Covid-19, juga berhati-hati dan bijak dalam mengkonsumsi berita dari media sosial yang belum tentu kebenarannya (Hoax/berita palsu).[2]

Pemerintah Aceh juga mengeluarkan surat Instruksi Gubernur Aceh tentang sosialisasi dan imbauan kepada masyarakat dan aparatur sipil negara agar tidak mudik guna menghindari virus korona atau Covid-19.[3]Intruksi ini bertujuan untuk meminimalisir atau memutus mata rantai virus corona baru (Covid-19) yang saat ini mewabah di Aceh.[4]

Guna mencegah penyebaran virus corona (Covid-19), Pemerintah Aceh kembali mengeluarkan maklumat bersama pemberlakukan jam malam. Kebijkan itu dikeluarkan untuk membatasi aktivitas masyarakat di luar rumah pada malam hari, sejak pukul 20.30 WIB sampai dengan pukul 05.30 WIB,pemberlakukan jam malam tersebut mulai berlaku Minggu malam (29/3).[5]Pemerintah Aceh berencana menyediakan pemakaman massal untuk orang yang meninggal karena terinfeksi Virus Corona COID-19.[6]

Kebijakan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Aceh secara umum hampir sama, intinya bagaimana memutuskan mata rantai penularan virus dengan cara menyadarkan rakyat agar menjaga jarak dengan orang lain, memakai masker, dan tidak pergi ke daerah terpapar khususnya zona merah, dan juga tidak bepergian, khususnya dari zona merah karena dikhawatirkan akan menjadi ruang bagi virus untuk menumpang.

Akan tetapi, ada fenomena labil dalam berbagai kebijakan itu, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Aceh. Misalnya ketika rakyat mulai senang dengan hadiah listrik, tiba tiba menjadi kontroversi saat tarif listrik naik, terlepas kenaikan dalam level non subsidi, karena tidak semua rakyat paham secara detil apa yang terjadi. Demikian juga ketika ada larangan mudik, baru-baru ini Menteri Perhubungan Nudi Karya Suamadi memperbolehkan semua transportasi untuk kembali beroperasi.[7]Fenomena labil ini disadari atau tidak melemahkan semangat juang rakyat melawan corona. Walau kita meyakini tentu ada alasan tersendiri berbagai paradok tersebut hadir ikut meramaikan isu pandemik yang sedang aktual dan heboh.

Khusus Aceh lebih dramatis lagi,kebijakan Aceh memberlakukan jam malam untuk mengurangi aktivitas warga di luar rumah demi mencegah penyebaran virus corona mendapat reaksi dari Ombudsman Aceh. Lembaga yang mengawasi kebijakan Pemerintah ini menilai penerapan jam malam di Aceh tidak tepat.Kepala Ombudsman Perwakilan Aceh, Taqwaddin menyarankan Pemerintah Aceh mencabut pemberlakuan jam malam di Tanah Rencong, ia menilai pemberlakuan jam malam menimbulkan trauma masa lalu bagi warga Aceh.[8] Tak lama kemudian jam malam pun dicabut.

Sebelumnya masyarakat Aceh dibuat pilu ketika muncul publikasi Pemerintah Aceh menyiapkan kuburan massal, seolah pemerintah akan segera mengubur masyarakat yang terpapar virus ganas ini secara massal. Walau kita meyakini ada niat baik dalam kebijakan ini, tetapi mental masyarakat yang sudah beberapa kali trauma seperti masa DOM, musibah Tsunami, tidak siap menerima program yang mengarah kepada kematian.

Terakhir menurut saya, langkah tepat untuk menanggulangi wabah pandemik virus corona ini, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Aceh, adalah harus menetapkan beberapa langkah yang akurat. Langkah pertama, ciptakan kondisi tenang dan tumbuhkan semangat kepada rakyat dan masyarakat agar secara psikologi siap tempur melawan corona. Kedua, harus konsisten dalam mengeluarkan kebijakan, agar tidak siampang siur yang justru menimbulkan keresahan dan multi tafsir. Ketiga, khususnya di Aceh, apalagi masih zona hijau, jangan terlalu ketat dalam menangani hal-hal yang berhubungan dengan ibadah, karena ibadah dan ketaatan kepada Allah adalah tenaga spritual dashyat untuk menghancurkan corona.

[1]Kompas.com, 01 April 2020

[2]Humas.acehprov.go.id, 3 April 2020

[3] Instruksi Gubernur Aceh Nomor 07/instr/2020 bertanggal 14 April 2020

[4]Serambinews.com, 15 April 2020

[5]CNN Indonesia, 30 Maret 2020

[6] CNN Indonesia, 29 Maret2020

[7]Kompas.com, 14 Mai 2010

[8]News.detik.com,2 April 2020

Penulis : Hermansyah Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Categories
Penulis Tamu

POLITIK UNTUK KEMANUSIAAN

Rabu, 17 April 2019 merupakan hari bersejarah bagi Rakyat dan Bangsa Indonesia. Setiap 5 tahun sekali, para pemimpin bangsa ini dipilih oleh seluruh rakyat Indonesia melalui Pemilihan Umum (Pemilu) yang Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia (Luber) serta Jujur dan Adil (Jurdil).

Setiap daerah maupun Kabupaten/Kota juga tak luput dalam mengambil bagian dari moment bersejarah ini. Para calon wakil rakyat atau Calon Legislatif (Caleg) seperti DPR, DPD dan DPRD juga menikmati peran dalam menyemarakkan pesta akbar demokrasi republik ini dalam menyongsong menuju Indonesia yang lebih baik.

Bagi para Caleg (Calon Legislatif) baik DPR, DPD atau DPRD yang telah menyiapkan dirinya menjadi anggota dewan/wakil rakyat, sebaiknya memulai kembali dalam membangun pondasi pemikiran dan implementasi politik yang segar lagi jernih.

Terutama, memupuk kembali benih-benih politik kemanusiaan yang pro-rakyat, tanpa berpolitik pragmatis (proyek abal-abal), tanpa kolusi-nepotisme, tanpa intimidasi, bersih, bersyariat serta memenangkan hati rakyat.

Sehingga pemilu Luber ini bisa dikatakan sukses apabila para calon pemimpin dan wakil rakyatnya sama-sama membangun serta menjaga kesepahaman dan pemahaman yang utuh dan menyeluruh; Caleg tidak berpolitik pragmatis dan rakyat tidak golput (golongan putih/netral).

DILEMA POLITIK INDONESIA

Dalam berbagai pandangan politik memiliki banyak makna dan kebanyakan dari makna itu berkaitan dengan kekuasaan, tahta dan jabatan. Tidak salah, namun dalam sudut pandang yang berbeda pula, sejatinya pemahaman politik itu adalah sebagai industri atau bursa pemikiran yang bertugas memberi arah yang “super positif” bagi kehidupan masyarakat banyak untuk kehidupan yang lebih baik dan bermartabat.

Politik sering dianggap sebagai medan aktualisasi sehingga ia kerap hadir tanpa nilai ataupun substansi yang sebenarnya. Kemudian muncul lah berbagai opini masyarakat (publik) yang berasumsi bahwa politik itu sangat kotor atau kejam. Namun, kita tidaklah serta merta menyalahkan opini tersebut karena masyarakat hanya mendefinisikan politik dari apa yang mereka tangkap serta berbagai informasi yang beredar ditengah mereka.

Berbagai indikator yang membuat masyarakat beropini politik itu licik/kotor sehingga mereka menjadi golongan apatisme terhadap pelaku di dunia politik praktis ialah sebuah keresahan dan kekecewan bukan hanya stigma negatif yang mereka dengar namun seringkali gambaran politik yang mereka lihat itu sangat bertolak belakang dengan hati nurani.

Keresahan dan kekecewaan mereka timbul karena banyaknya faktor internal maupun eksternal yang terjadi baik di masyarakat maupun sesama Parpol (partai Politik) seperti politik tidak pro-rakyat, intimidasi, saling menjatuhkan sesama Parpol/Caleg, kolusi-nepotisme, janji manis tapi palsu, dan lain-lain.

Sangat wajar jika muncul sebuah keresahan dan kekecewaan terkait stigma negatif tersebut meski stigma tersebut tak sepenuhnya benar, tapi juga tak sepenuhnya salah. Oleh sebab itu, sesama masyarakat perlu ditegaskan bahwa hingga sekarang ini masih ada politisi langka yang tulus dan ikhlas bekerja serta berkontibusi untuk rakyatnya. Tidak melulu bahwa politik itu kotor dan tidak bisa dibersihkan lagi.

Dalam pandangan Islam, berpolitik juga diperbolehkan. Namun politik justru bukanlah rimba belantara yang senantiasa memberi kebebesan bagi penguasa (diamanahi kuasa) untuk bertindak sewenang-wenang bahkan membabi-buta. Sehingga bagi si pemegang kuasa, jabatan maupun tahta senantiasa menjadikannya sebagai senjata/alat dimana yang kuat menghardik yang lemah serta bawahan selalu menjadi korban penindasan.

Menurut Ibnu Al-Qayyim, “Politik merupakan segala aktivitas yang mendekatkan manusia kepada kemaslahatan dan menjauhkan mereka dari kerusakan.” Meskipun tidak pernah ditegaskan oleh Rasulullah SAW dan tidak pernah disinggung oleh wahyu yang diturunkan, sebab semua jalan yang ditempuh untuk mengantarkan kepada keadilan, kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat, maka jalan itu adalah bagian dari agama ini (Islam). Termasuk jalan politik yang mencita-citakan keadilan, kesejahteraan dan kemaslahatan ummah.

Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tindakan politik mesti mendapat legitimasi dari hukum agama Islam.” Oleh sebab itu, inilah yang menyebabkan kekuatan spiritual, moral dan intelektual menjadi pilar utama bagi penyelenggara negara untuk menunjukkan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat sehingga memiliki parameter yang jelas dalam mendukung atau menjadi penguasa negeri ini.

Oleh karena itu, peran politik yang menjadi generator dalam menopang dan membangun agama sebagai kesatuan utuh dan menyeluruh dapat diimplementasikan dalam praktik politik edukatif dan kontruktif sebagai gagasan segar dalam membangun pemahaman politik yang substansinya untuk keluar dari bingkai mainstream politik yang kerap dipandang oleh sebahagian masyarakat dengan stigma-stigma yang negatif. Maka, dibutuhkanlah mereka para generasi muda yang dipupuk dengan ideologi yang berbasis dan mengakar dalam berspiritual, bermoral sekaligus berintelektual.

SUARA ADALAH AMANAH

Dimasa Khulafaurrasyidin, indikator pemimpin terbaik itu tidaklah dipilih dan diukur melalui banyaknya suara melainkan seorang pemimpin yang berkepribadian arif, bijaksana, bersahaja dan mampu membangun negeri demi kemaslahatan ummat.

Sangat berbeda di era demokrasi saat ini, kita harus mengikuti mekanisme yang ada dimana seseorang yang diklaim sebagai pemimpin bangsa apabila memegang hak/suara terbanyak.

Melalui suara dengan prinsip one man one vote sebagai legitimasi kekuasaan, setiap warga negara tanpa mengenal level dan kasta juga berwenang dalam “menghakimi” siapa saja yang berhak dipilih sebagai pemimpin.

Sebaliknya melalui suara, kita juga bukan hendak memuja mereka yang berada dalam kebenaran. Namun impian kita adalah bagaimana menggeser paradigma suara murni kuantitas menjadi suara yang berbasis kualitas. Sebab saat ini hakikat demokrasi kita sangatlah simplistis bahwa “suara” yang terbanyak dan terbesar yang dapat “bergemuruh” dalam setiap pengambilan kebijakan.

Namun, apabila konten ini dapat dimaksimalkan dengan bobot dan pengaruh kapasitas yang mampu menjadi solusi di tengah-tengah masyarakat, jadilah suara ini menjadi yang berkualitas.

Kita berharap seorang pemimpin harus menyadari bahwa ia berperan sebagai ‘wakil’ Allah untuk mewujudkan kehidupan semesta ini lebih beradab. Dasar pemahaman ini menjadi indikator perilaku politik yang diartikan melalui berbagai kebijakan pemahaman yang berdimensi moral dan integritas yang tinggi dalam menyelaraskan suara aspirasi masyarakat dan bangsanya.

Kesadaran yang tinggi inilah yang dapat membangun identitas demokratis dengan segala kemajemukannya demi menciptakan visi dan misi yang harmoni/sinergi tatanan sistem ideologi, politik, sosoial, pendidikan, hukum, sosial dan ekonomi masyarakat bangsa Indonesia yang lebih stabil, mapan dan mengakar.

KONTRIBUSI KEMANUSIAAN

Dewasa ini, tantangan terberat bagi setiap parpol sebagai pilar demokrasi bangsa ini adalah dengan menyiapkan kader-kadernya bukan hanya ketika hendak pemilu tapi jauh-jauh hari sebelum pemilu, baik dalam mempersiapkan aktor sebagai agent of change (agen perubahan) dalam setiap diri kader-kadernya maupun membentuk ideologi yang memiliki nilai-nilai kepribadian, baik intelektualitas, moralitas, maupun sosial bermasyarakat.

Tanpa menyiapkan aktor sebagai generator yang mampu bekerja, secanggih apapun ideologi yang dimilikinya akan lumpuh. Hanya saja, ia akan menjadi sebagai simbol hiasan dialektika yang dikenal masyarakat sebagai sosok pemimpin citra namun kurang memiliki idealisme dan integritas diri yang berbasis dan mengakar.

Hingga pemilu tahun ini terlepas dari beragam partai yang ada, masyarakat Indonesia sangat mendambakan baik tokoh legislatif maupun eksekutifnya mampu menjalankan mandat dan amanah masyarakat dengan baik, santun dan jujur.

Tidak hanya sekedar memenangkan perlombaan pemenangan kekuasan melalui suara pemilu saja, namun bisa berkontribusi nyata terhadap kesejahteraan, kemakmuran dan kemaslahatan ummat.

Dalam pencapaiannya dalam memenangkan simpati dari masyarakat hendaknya para pemimpin dan calegnya memiliki karakter dan kepribadian yang profesional, kreatif, populis dan mampu bersosial masyarakat untuk membawa bangsa ini menuju ke arah perubahan yang lebih baik.

Tulisan ini terilhami dari buku bacaan karya Tamsil Limrung yang berjudul Politik untuk Ummat. Sebagai catatan akhir dalam mengembalikan gagasan atau makna filosofis, moral, dan etika politik ke dalam praktek yang sebenarnya diperlukan ide orisinil politik yang memiliki nilai substansial, baik yang berbasis dan mengakar di tengah gurun sahara demokrasi Indonesia demi menyelamatkan kembali generasi muda dari siklus lubang hitam yang nihil ideologi yang berbasis adalah tanggung jawab kita bersama.

Sehingga dapat mempersiapkan dan melahirkan generasi pemimpin muda yang ideal dan politisi berkarakter kuat untuk menghancurkan penguasa zalim dan palsu, wakil rakyat yang tidak pro-rakyat, serta para koruptor yang menyedot hasil alam dan bumi Indonesia.

– Riri Isthafa Najmi * –

Riri Isthafa Najmi – Koordinator Forum Aceh Menulis

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Photo copyright of macrovector from freepix.com

Categories
Featured Penulis Tamu

THE RISE OF MOTHER DAN KEMATIAN KUASA LANGIT

“Bagi tradisi kami, kematian bukanlah akhir dari segalanya. Kematian adalah landasan penyambutan, bast dan sekhmet yang akan membimbing anda menuju ke padang hijau dimana anda dapat berlari (bermain) selamanya” – Black Phanter

Categories
Penulis Tamu

Bersyariat Dari Pinggir

Artikel ini terinspirasi dari tulisan Muhammad Alkaf tahun 2016 yang berjudul Nasionalisme dari Pinggir. Dalam hal ini, Alkaf mengajukan kritik terhadap narasi nasionalisme yang dinilai terlalu terpusat. Narasi tersebut terkesan meminggirkan peran daerah dalam menjaga status kebangsaan nasional Indonesia. Bagi Alkaf, Indonesia adalah gabungan dari berbagai kultur, sejarah, narasi dan etnik. Sehingga, mengesampingkan “narasi pinggiran” adalah kecacatan yang bertentangan dengan semangat integrasi dan kebangsaan (lihat Alkaf 2016).

Artikel ini kemudian juga mempersoalkan gagasan syari’at Islam yang terlalu terpusat. Kesan regulasi syari’at dalam bentuk qanun misalnya tidak lebih dari gagasan intelektual elit Banda Aceh, yang berdiri di menara gading dan tidak mampu melihat syari’at secara mengakar dan substantif.

Jika Alkaf menulis bahwa nasionalisme yang terlalu terfokus kepada Jakarta hanya akan mengabaikan kaum pinggiran dan menafikan sumbangsih mereka (Muhammad Alkaf 2016), maka syari’at disini – dan hari ini – pun memiliki kesan yang sama. Bahwa pembangunan narasi syari’at yang bersifat banda-sentris pada akhirnya hanya akan meminggirkan dan mengesampingkan kontribusi daerah dalam membangun peradaban keislaman melalui jalan syari’at.

Narasi banda-sentris dalam syari’at misalnya terlihat dari pembangunan qanun (khususnya qanun jinayat) yang terlalu mengadopsi teks-teks abad pertengahan dan mengesampingkan fenomena keislaman dan kearifan yang telah mengakar dalam diri masyarakat Aceh sejak abad ke-16. Persoalan ini juga dapat dibuktikan dengan rendahnya kesadaran masyarakat akan urgensi bersyari’at versi qanun. Dimana masyarakat kemudian merasakan perbedaan antara syari’at yang dibangun oleh pemerintah dengan implementasi syari’at yang telah mereka praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Keadaan yang sama juga terlihat dari regulasi yang tertatih-tatih dan penghukuman terhadap pelaku pelanggaran syari’at yang terlalu tebang pilih.

Ketika pemerintah kemudian abai dalam memperhatikan “sumber daya aparatur” dan “kesadaran masyarakat.” Seolah, persoalan apakah pemerintah mampu menjalankan suatu aturan? Ataukah apakah masyarakat kemudian bersedia untuk mengikuti aturan tersebut? Tidak pernah dijadikan pertimbangan. Dialog syari’at yang menghabiskan “anggaran” di gedung-gedung pemerintahan, di kampus-kampus dan di lembaga-lembaga formal pada akhirnya hanya akan menghasilkan konsep syari’at yang melangit. Akibatnya, kemunculan peraturan baru selalu menimbulkan polemik dan polemik tersebut sering kali tidak mampu diselesaikan.

Sulit kita pastikan apakah sebelum membuat qanun, pemerintah dan pemangku syari’at pernah terjun ke lapangan, melakukan survei, memperhatikan model keislaman di wilayah pinggiran, kawasan pedalaman dan daerah perbatasan? Sulit untuk dipastikan apakah sebelum mengimplementasikan syari’at, pemerintah benar-benar melakukan peninjauan yang dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah, ke luar kawasan Banda Aceh? Sulit untuk dipastikan apakah syari’at Islam yang hari ini dipraktekkan telah direstui bukan saja oleh ulama fikh dan akademisi Islam kampus, tapi juga oleh ulama sufi yang tinggal di luar wilayah Banda Aceh?

Akibatnya, syari’at tidak mampu mengadopsi empat komponen spiritualitas yang mengakar dalam masyarakat Aceh yakni syari’at, tarikat, hakikat dan ma’rifat. Bersyari’at sebagai syari’at pada gilirannya hanya akan mengantarkan narasi keberislaman dalam satu step yaitu step birokratik semata, tanpa sampai kepada kesadaran, substansi dan pengakraban. Dengan kata lain, menghentikan makna syari’at sebatas fikih-birokratik, hanya akan mengkooptasi makna syari’at itu sendiri.

Bersyari’at dari Pinggir

Syari’at dari Pinggir kemudian mencoba hadir untuk memastikan, apakah pergerakan syari’at bersifat bottom up, yaitu aspirasi dari bawah, kemudian diimplementasikan oleh pemimpin, bukan nyanyian para pemimpin (top down) yang kemudian membebani dirinya dan memperburuk suasana hati rakyatnya?. Kita masih ingat bagaimana pemuda Langsa beberapa tahun yang lalu menyerang kantor WH di wilayah tersebut. Atau bagaimana oknum WH di sebuah wilayah tersandung kasus pelecehan dan tindakan amoral.

Kita juga masih ingat bagaimana syari’at menjadi “stigma negatif” yang memperburuk citra Aceh di mata nasional dan internasional. Kita juga dapat melihat bahwa syari’at tidak memberi pengaruh yang signifikan bagi prilaku dan akhlak manusia Aceh. Kita wajib melihat mengapa Aceh gagal menerapkan regulasi syari’at dan lebih jauh lagi, gagal menciptakan kesejahteraan? Artinya kita harus jujur untuk mengakui bahwa kita gagal dalam mengimplementasikan syari’at dan kita harus berani mengevaluasi tanpa perlu malu-malu kucing.

Syari’at Otonom

Dalam sosiologi hukum ada tiga model hukum yang berkembang yaitu hukum represif, hukum otonom dan hukum responsif (Nonet dan Selznick, 2016:18). Hukum represif artinya hukum dibuat bukan berdasarkan kebutuhan masyarakat yang diperintah akan tetapi lebih memperhatikan kepentingan penguasa (Sabian Usman, 2010:06). Adapun hukum otonom artinya hukum yang memuja legalitas (sifat transenden) suatu aturan tanpa memperhatikan perubahan sosiologis yang berkembang. Terakhir, hukum responsif yaitu hukum yang mengimajinasikan sifat responsif yaitu hukum yang merepresentasikan kebutuhan masyarakat yang dilingkupinya (Lihat Meri Andani, 2018). Tujuan hukum responsif adalah untuk membuat hukum menjadi lebih respon terhadap kebutuhan dan perubahan sosial dalam masyarakat (Nonet – Selznick, 2015: 82-83).

Jika mengacu kepada ketiga konsep sosiologi hukum tersebut, maka syari’at Islam di Aceh sepertinya lebih bersifat otonom. Dalam arti, bahwa Syari’at Islam lebih mengutamakan regulasi dan legitimasi semata yang pernah disandarkan kepada aturan masa lalu dan telah pernah dipraktekkan di dunia Islam dalam rentang ruang dan waktu yang berbeda. Syari’at Islam tidak dapat dikatakan sebagai hukum represif karena ia bukan datang dari ide penguasa lokal di Aceh. Buktinya, banyak diantara elit yang diam-diam, enggan dan bahkan menolak untuk menjalankan syari’at. Selain itu, syari’at juga tidak dapat dikatakan sebagai hukum responsif mengingat aturan-aturan yang dibuat masih terkesan janggal dan asing serta kurang mendapat apresiasi dari masyarakat. (Meri Andani, 2018: 27-28).

Syari’at otonom pada gilirannya berangkat dari paradigma tekstual “Seandainya penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa kepada Allah, niscaya dibukakan kepada mereka, berkah dari langit dan bumi.” (Al A’raaf: 96). Sehingga ada kesan bahwa jika teks-teks syari’at ditegakkan, maka otomatis kemakmuran akan datang begitu saja. Darimana datangnya? Tidak ada yang tahu!” Kata Fuad Zakaria, seorang Ulama Mesir (Charles Kurzman: 2001:xliv)

Syari’at otonom kemudian menjadi sangat tidak mengakar. Ia bukan sepenuhnya kehendak dayah, karena bertahun-tahun dayah mempelajari syari’at, dalam prakteknya mereka tidak terlalu terfokus apakah syari’at harus diregulasikan atau tidak? (KBA & Hasbi 2013:94) Justru syari’at kemudian didesain oleh intelektual kampus yang justru, maaf, juga tidak mengerti mengapa regulasi syari’at harus dibuat?

Syari’at otonom kemudian tidak lebih dari re-regulasi hukum-hukum abad pertengahan yang diambil dari fikh syafi’i yang nyatanya juga dibentuk menurut konteks dan situasi yang berbeda. Kenyataannya, paradigma ilahiyat (transedental) lebih mendominasi hukum syari’at daripada aspek muamalat-nya sendiri. Padahal untuk membuat sebuah rancang bangun syari’at, perlu melalui metode historical approach. Karena jika selama ini hukum Islam dianggap sebagai hukum keilahian yang final maka sejatinya ia hanyalah fenomena historis yang terkait dengan realitas sosial (asbabun nuzul atau asbabul wurud) (Akh. Minhaji, 1992: 19-20) Sehingga perlu untuk mengembangkan konsep hukum Islam berbasis pendekatan sejarah dan realitas.

Akhirnya, dengan menetapkan hukum syari’at yang responsif dalam bingkai kesadaran fenomena historis (zaman) dan realitas sosial (makan), syari’at lebih merasuk dalam hati dan fikiran rakyat. Penegakan syari’at dengan memperhatikan kultur dan narasi sufisme yang berkembang, pada gilirannya akan mengembalikan sifat imanensi dalam syari’at. Sehingga, syari’at dapat mendongkrak kualitas moral dan kesejahteraan bukannya menjadi rentetan wajah buruk dan rapor merah bagi pemerintah dan rakyat Aceh.

– Ramli Cibro* –

Ramli Cibro, Penulis Buku Aksiologi Ma’rifah Hamzah Fansuri (2017) dan Dosen Ilmu Agama Islam STIT Hamzah Fansuri – Kota Subulussalam

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com

Foto featured image diolah digital dengan sumber diambil dari: pixabay.com dan freepik.com

Categories
Penulis Tamu

ISLAM NUSANTARA DALAM PANDANGAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS (BAGIAN 2 DARI 2)

PENGARUH PARA SUFI DALAM BEBERAPA FASE ISLAMISASI NUSANTARA

Untuk mengukuhkan Islam pada jiwa masyarakat Nusantara dalam pandangan al-Attas membutuhkan proses panjang hingga beberapa abad. Proses tersebut sebut adalah Islamisasi, maksudnya adalah proses pengenalan, pemahaman, serta pengukuhan terhadap makna Islam yang sebanarnya sehingga melekat pada diri manusia. Islamisasi di sini merupakan perjuangan kaum sufi serta para muballig Islam dalam menyebarkan dan sekaligus memberi pemahaman kepada masyarakat Nusantara yang masih terpengaruhi oleh mitologi, alam seni, dan metafisika kabur. Para sufi, mendoktrin Islam dengan memperhatikan tingkat kemampuan masyarakat Nusantara. Islamisasi dalam gambaran al-Attas tersebut merupakan bentuk nyata, dan sampai saat ini masih dirasakan keberlanjutannya. Dengan metode sufistik tersebut, Islam bukan hanya sekdar doktrin melainkan telah menjadi bagian amalan utama bagi masyarakat Nusantara sekaligus meruntuhkan pengetahuan lama yang terpengaruh dengan mitologi sesat ke alam baru yang lebih rasional dan saintifik.

1. Periode Awal, Pengenalan Akidah dan Syari’at Islam (578-805 H/1200-1400 M)

Menurut al-Attas pada periode awal ini, pengajaran yang sangat berperan penting dalam proses Islamisasi menuju corak Islam Nusantara adalah pengajaran aqidah dan fiqh. Proses ini merupakan kontribusi dalam menafsirkan hukum agama Islam (syari’ah) dalam menarik orang-orang Melayu Nusantara ke Islam. Siapa saja yang memeluk Islam pada tahap ini cukup diajari dengan keimanan saja, tidak mesti diikuti oleh suatu pengertian tentang implikasi-implikasi rasional dan intelektual yang terbawa oleh perpindahan agama tersebut. Pada tahap awal ini konsep-konsep Islam yang sangat fundamental tentang keesaan Tuhan (tauhid) dalam pandangan seutuhnya masih sangat kabur dalam rasio orang-orang yang bertaubat itu. Konsep-konsep yang lama sebelum memeluk Islam semua tumpang tindih, dan memberi ketidak-jelasan bahkan membingungkan dalam menerima konsep-konsep yang baru1).

Kedatangan agama Islam ke Nusantara menurut al-Attas mesti dinilai sebagai suatu pembangunan dunia baru, harapan baru, cita-cita serta kebudayaan dan peradaban baru. Islam memberikan ajaran yang lebih maju terutama dalam bidang teologi monoteismenya yang membebaskan pandangan masyarakat dari belenggu ketahayulan dan kemusyrikan. Pada tahap awal ini masyarakat Nusantara diperkenalkan dengan konsep-konsep dasar tentang Tuhan yang satu. Para pemuka agama memberikan pemahaman yang mendasar mengenai teologia monoteisme dengan sempurna, bagaimana sikap hidup pribadi manusia dalam berhubungan dengan Tuhannya. Islam membentuk konsep bagaimana manusia memiliki etika dalam berhubungan dengan sesamanya juga hubungannya dengan alam bendawi. Aturan-aturan dalam hal ibadah dan syariat pada hakikatnya adalah tidak dapat diceraikan dari yang lain mulai diperkenalkan dalam setiap aktivitas kehidupan masyarakat2).

Islam mengatur hubungan vertikal dengan Tuhan dan horizontal sesama manusia. Kehadiran Islam yang disebarkan besar-besaran oleh kaum sufi tersebut memberikan semangat baru, sehingga menyebabkan kesadaran hidup yang Islami, yaitu suatu hidup masyarakat yang berdasarkan pada logika rohani yang mengarah pada pokok-pokok hubungan individi, sosial, dan Tuhan. Islam memberikan kemerdekaan pada setiap individu, dan meruntuhkan sistem kasta dengan konsep kesamaan dan kesetaraan. Islam memberikan doktrin keseimbangan antara materi dan immateri, yakni tidak menjauhkan realitas wujud yang bisa dirasakan, dan immateri yang bersifat abstrak sebagai suatu substansi yang memiliki eksistensi dalam alam wujud. Penjelasan manusia sebagai ciptaan yang merupakan fitrah yang substansi jiwanya berasal dari substansi Tuhan, substansi jiwa manusia bersifat immateri, dan jasad manusia bersifat materi memberi pemahaman tersendiri dalam jiwa mereka. Penyatuan keduanya merupakan proses Sunnatullah, sehingga Islam menganjurkan menuntut ilmu pengetahuan yang bersumber pada wahyu dan Sunnatullah3).

Menurut al-Attas para sufi berusaha menanamkan konsepsi kepercayaan terhadap Tuhan yang tunggal ke dalam jiwa masyarakat Nusantara. Pandangan tentang keesaan Tuhan, jika ditilik dari sudut pandang filosofis melalui ilmu kalam dan tasawuf, mengemukakan suatu ontologi, kosmologi, dan psikologi tersendiri dalam suatu konsep agung yang biasa disebut dengan istilah keesaan wujud atau Waḥdat al-Wujūd. Konsep ini tegak atas dasar-dasar Al-Qur’an yang tidak dapat disamakan dengan filsafat Hindu yang mengikuti pandangan Vedanta. Konsep inilah yang ingin diperkenalkan pada keseluruhan tahap awal ini. Jiwa masyarakat Nusantara masih tumpang tindih dengan keyakinan lamanya, sehingga keseluruhan tahap awal dalam jurisprudensi dan syari’at ini dapat kita katakan sebagai sebuah tahap dalam pertaubatan “raga”4).

2. Periode Kedua, Kelanjutan dari Periode Awal yaitu Pengajaran Syari’at Berlanjut ke Metafisika Sufi (Tasawuf) (803-1112 H/1400-1700 M)

Periode ini merupakan kelanjutan dari pengenalan syari’at yang telah teruraikan pada tahap awal di atas. Tahap ini masih ada hubunga dengan tahap yang awal, tahap pengajaran ini dapat berlanjut ke pengajaran agama di ranah mistisisme filosofis (tasawuf). Selain itu, unsur-unsur rasional dan intelektual lainnya seperti teologi rasional atau ilmu kalam memberikan kontribusi sebagai fundamen pada periode ini. Selama tahap ini berlangsung, para sufi serta karangan-karangannya berperan penting, begitu juga tulisan-tulisan para ahli kalam berperanan dominan pula, sehingga tahap ini tertuju pada tahap yang lebih maju yaitu ketaubatan “roh”. Konsep-konsep fundamental Islam memperkenalkan pandangan dunia Islam yang begituh luas dan sesuai dengan apa yang dipahami saat itu masih kabur dalam memahaminya. Masyarakat Nusantara masih terpengaruh oleh pandangan dunia lama walau sudah mulai terkikis, namun terus-menerus diterangkan dan dijelaskan sehingga mengerti dengan jelas dan setengan jelas kedua-duanya5).

Pengaruh Hindu-Buddha sangat kental dalam aspek-apek kesenian, dongeng-dongeng, cerita-cerita, dan keyakina-keyakinan mistis. Metafisika Hindu-Buddha diubah menjadi pujian-pujian dan nyanyian-nyanyian kesenian yang tidak tampak kehalusan metafisikanya. Misalkan dalam Kitab Veda Parikrama yang diterjemahkan oleh G. Pudja, tertuliskan bahwa:

“Tuhan dipuja dengan nyanyian-nyanyian, nada-nada, dan alat-alat musik dan memakai mantra-mantra dalam tiruan bunyi suara-suara yang dimunculkan buunyi-bunyi itu. Tiruan-tiruan itu berupa bunyi baka-baka, paca-paca, nati-nati, baja-baja, nide-nide, dan cini-cini. Keseluruhannya diiringi oleh alat musik kesenian untuk memuji-muji Tuhan Atman. Pujian-pujiannya juga berupa lagu-lagu erotik yang membawa hanyut perasaan hingga mencapai puncaknya yaitu tingkat trans”6).

Al-Attas memandang bahwa mistik Hindu-Buddha telah diubah oleh para raja-raja dan para petinggi istana sesuai dengan keinginan mereka. Kehalusan metafisikanya tidak tampak secara jelas dalam penyampaiannya kepada masyarakat sehingga tidak berbekas dalam jiwa masyarakat Nusantara. Aspek-aspek seni yang lebih dominan menimbukal ketidak-jelasan dalam diri mereka sehingg ajarannya tidak tampak begitu jelas. Islam mengedepankan metafiska, ontologi, psikologi, konsep wujūd dan pengaruhnya memberikan pemahaman tersendiri pada jiwa masyarakat Nusantara. Konsep-konsep Islam meruntuhkan alam ketahayulan, mistik, mitologi-mitologi, digantikan dengan konsep Islam yang falsafi.

Melalui perbandingan keduanya, dapat dikatakan bahwa metafisika sufi sangat unggul terhadap proses Islamisasi masyarakat Nusantara, setidaknya hingga berakhirnya abad ke tujuhbelas. Metafisika sufi dengan segala pemahaman dan penafsiran mistisnya terhadap Islam, dalam berbagai segi tertentu, sangat sesuai dengan latar belakang masyarakat Nusantara yang terpengaruh oleh asketisme Hindu-Buddha dan sinkretisme kepercayaan anak negeri.

Islam datang ke Nusantara dalam versi sufistik berlandaskan tasawuf falsafi, memberikan semangat religius yang begitu intelektual dan rasional hingga begitu mudah masuk ke dalam alam pikiran dan jiwa masyarakat Nusantara. Metafisika sufi ini membentuk revolusi baru, menyebabkan kebangkitan rasionalitas dan intelektualisme pada tubuh masyarakat yang tidak ada pada masa-masa pra-Islam7). Para sufi memberikan pemahaman yang mendalam tentang kebenaran Tuhan sebagai realitas yang sebenarnya dari wujud dalam konteks metafisika dan merujuk kepada suatu Zat Absolut yang memanifestasikan diri-Nya dalam semua tingkatan wujud. Tuhan adalah dasar dari segala penciptaan dan Maha Tinggi dan Maha Berkuasa. Tuhan merealisasikan kemauan-Nya melalui penciptaan, penghancuran, dan penciptaan kembali secara terus-menerus tanpa batasan pada diri-Nya. Pengetahuan sufi sangat berpengaruh besar pada masyarakat Nusantara karena tidak hanya berdasarkan rasio semata, akan tetapi lebih kepada bentuk yang lebih tinggi dari itu yaitu pengalaman spiritual yang telah mencapai tahap tertentu dari realitas8).

Semangat religiusitas Islam yang begitu esensial tertuang dalam konsepsi monoteistik terbentuk dalam konsepsi yang tidak ada bandingnya. Konsep kesatuan wujud (Waḥdat al-Wujūd), kosmologi dan psikologi dirumuskan dengan logis sehingga memberi bekas pada jiwa masyarakat Nusantara. Ontologi, kosmologi dan psikologi ini tidak dapat disamakan semata-mata dengan konsep Hinduisme dan Buddhisme, karena memiliki landasan Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam yang tiada bandingnya sehingga membekas pada setiap sendi masyarakat pada saat itu9).

Pengaruh Al-Qur’an di Nusantara bersamaan dengan masuknya Islam membuat para pemuka agama khususnya kaum sufi yang menyebarkan Islam menggunakan Al-Qur’an sebagai pedoman utama dalam misi Islamisasi. Al-Qur’an mengandung unsur ontologi, wujud, tawhid, kosmologi, dan tentang keadaan Sang Pencipta. Al-Qur’an ini memberikan kesan yang mendalam bagi segi akidah pada setiap aspek keAl-Attas, Islam dalam Sejarah…, hlm. 49.hidupan mansia. Berbeda dengan konsep ontologi Hindu-Buddha yang memandang manusia memiliki kasta atau derajat dalam kehidupan. Konsep Al-Qur’an memberikan kesamaan dalam kehidupan tiada kasta maupun strata dalam diri manusia10).

Sufisme merupakan salah satu sumbangan pikiran yang bernilai tinggi dari para pemikir Islam terhadap humanisme. Sufisme tumbuh sebagai reaksi dan pemberontakan terhadap formalisme korup dalam dunia Islam, yang kekuasaanya digenggam oleh tiraninya para penguasa. Sufisme adalah antitesa daripada jiwa kecongkakan, jiwa intoleransi, jiwa kemunafikan, dan jiwa korupsi yang melanda zaman. Doktrin sufisme menekankan kepada manusia untuk menjauhkan diri dari kesenangan dan perhiasan dunia, hidup sederhana, jauh dari kelezatan, kekayaan, dan kemegahan yang merupakan keinginan banyak manusia11). Ajaran-ajaran Islam yang dibawa oleh mereka mengakomodir suatu pandangan religius monoteistik yang lebih maju dan lebih menarik dibandingkan dengan pandangan yang ada, karenanya merupakan suatu kekuatan pembebasan spiritual (“a spiritual liberating force”) terhadap berbagai macam dan bentuk mitologi yang tidak jelas12).

Faktor lain yang menurut teori sebahagian ahli mengakibatkan Islam cepat diterima menjadi dominan ialah adanya “kesamaan” antara bentuk Islam yang pertama sekali datang ke Nusantara dengan sifat mistik dan sinkretis kepercayaan nenek moyang setempat. Dalam teori ini, Islam dalam versi metafisika sufi (tasawuf falsafi) secara murni dapat diterima oleh banyak kalangan. Terhadap batasan-batasan tertentu, terutama pada tahap pertama penyebaran Islam, teori ini mungkin bisa diterima. “Kesamaan” itu mempermudah terjadi konversi agama kepada Islam secara besar-besaran. Proses pekembangan Islam lebih lanjut, ketika proses intensifikasi ajaran Islam semakin meningkat, yang terjadi adalah penghilangan proses “kesamaan” tersebut dengan berbagai konflik yang mengikutinya untuk menuju Islam yang diyakini lebih murni13).

3. Periode Ketiga, Pengekalan dari Periode Awal dan Kedua di Tengah Pengaruh Budaya Barat (1112 H/1700 M)

Periode ini merupakan penentu sejauh mana periode awal dan kedua berpengaruh dalam tubuh masyarakat Nusantara. Kelanjutan dari tahap awal dan penyempurnaan pada tahab dua yang sebahagian besarnya dapat dikatakan berhasil. Tahap ketiga ini merupakan sebagai periode pengekalan dari semangat rasionalitas, individualitas, dan intensionalitas yang telah ada landasan dasar-dasar filosofisnya telah diletakkan terlebih dahulu oleh Islam.

Tahap ketiga ini, Barat mulai memainkan peranannya dalam menghadang proses Islamisasi. Pengaruh-pengaruh kultural yang mulai meluas seiring datangnya peradaban Barat ini terus merasuki tubuh masyarakat pada saat itu. Pada periode ini muncul apa yang disebut dengan “westernalisasi” (upaya untuk membaratkan masyarakat Nusantara), akan tetapi masyarakat Nusantara telah mapan dalam memahami dasar-dasar filosofis Islam yang telah terdoktrin terlebih dahulu oleh Islam sebelum Barat berpengaruh.Kedatangan imperialisme dan kebudayaan Barat dari abad keenambelas dan ketujuhbelas hingga seterusnya memang telah memperlambat proses Islamisasi14). Kedatangan imperialisme Barat dan pengaruh kebudayaannya jelas menimbulkan suatu tantangan besar bagi proses Islamisasi di kepulauan Nusantara sehingga memudarkan proses intensifikasi Islam.

Sebelum periode ini terjadi, ada kekuatan-kekuatan lain yang beroperasi di dunia Islam sebagai suatu keseluruhan seperti pertentangan-pertentangan politik internal dan kemunduran kekuatan politik serta ekonomi. Lebih jauh lagi, kemajuan dalam bidang ilmu-ilmu tehknologi di Eropa, bersamaan dengan kebangkitan intelektual Barat melemahkan peranan Islam. Hal lain yang menyebabkan pudarnya proses Islamisasi di Nusantara ialah pengaruh sisa-sisa agama Hindu-Buddha yang masih dipertahankan oleh sebagian kecil penduduk pribumi. Sisa-sisa agama tersebut masih bercampur dengan ajaran dan keyakinan dasar Islam sehingga mengakibatkan kurang sempurnanya dan melemahnya intensifikasi Islam di Nusantara. Pemerintah kolonial mengendalikan perkara-perkara keagamaan, memilih pemimpin agama sesuai dengan utusannya. Utusan agama mendapatkan pengawasan penuh dari para kolonial sehingga keputusan apapun harus berdasarkan aturan kolonial. Puncaknya, unsur agama harus terpisah dari persoalan kenegaraan15). Pengaruh Barat juga kolonial memberika kekacauan pada semua lapisan masyarakat. Pengaruh ini membuat keseimbangan proses pengislaman terganggu oleh adanya ekspansi Barat tersebut16).

Sejauh ini tidak semestinya ada kekhawatiran yang sangat mendalam pada jiwa masyarakat Nusantara, karena pengaruh sufistik akan terus berjalan. Islam telah mempersiapkan masyarakat Nusantara untuk dunia modern yang akan datang. Perlu diketahui bahwa Islam bukan mempersiapkannya untuk menunjuk dunia yang disekulerkan, melainkan dunia yang di-Islamkan. Suatu dunia yang di-Islamkan yang sesungguhnya adalah suatu dunia yang tersadarkan atau terbebaskan dari tradisi magis, mitologis, animistik, dan dunia yang kulturnya kabur, kemudian terbebas dari sekulerisasi. Dunia Islam yang dimaksud adalah dunia yang berlandaskan syari’at, dimana aturan dan otoritasnya ada pada Tuhan, mengikuti Nabi-Nya, berlandaskan pada nilai-nilai kebaikan, menjunjunng nilai-nilai dalam bermasyarakat menurut Islam, bersih dari berbagai kedengkian dan kecongkakan, suatu dunia yang telah dilihat, diketahui, dialami, ditata, dan dibuat sadar oleh Nabi Muhammad SAW17).

KESIMPULAN

Islam Nusantara adalah Islam yang dapat menyesuaikan diri dengan budaya Nusantara, dengan karakteristik toleran, lemah lembut, membimbing, dinamis dan bersahabat dengan lingkungan kultur, sub-kultur, dan agama yang beragam. Islam Nusantara dapat memberikan dampak positif terhadap dinamika masyarakat yaitu ramah, terbuka, inklusif, mewarnai budaya masyarakat Nusantara untuk mewujudkan sifat akomodatifnya yaitu rahmat untuk semua umat manusia. Tahapan selanjutnya, Islam Nusantara merupakan sebuah upaya untuk melabuhkan nilai-nilai Islam dalam konteks budaya serta karakteristik masyarakat Nusantara yang beragam. Islam Nusantara bukan sekedar sebuah konsep geografis melainkan konsep filosofis yang membentuk nilai, cara pandang, pola pikir dalam melihat tatanan budaya dan antropologi. Islam Nusantara juga merupakan sebuah pola pikir, tata nilai, dan cara pandang dalam melihat dan menghadapi berbegai budaya yang datang ke Nusantara. Definisi yang lebih mengerucut mengenai Islam di Nusantara tidak jauh dari pembahasan tentang Islam yang membudaya, berdialog, disesuaikan, dibumikan, diadaptasikan ke dalam budaya Nusantara.

Al-Attas berpandangan bahwa Islam Nusantara adalah Islam yang mencoba masuk dalam budaya masyarakat Nusantara, merangkul, menyesuaikan diri dengan kebiasaan magis masyarakat Nusantara, kemudian menyaring dan menghilangkan praktik-praktik keyakinan magis tersebut digantikan dengan pemahaman Islam yang sesungguhnya. Islam Nusantara yang menyesuaikan diri dengan budaya Nusantara tersebut berasal dari manifestasi Islam sufistik. Islam sufistik merupakan doktrin keislaman yang dibawa oleh kaum sufi pengembara ke Nusantara yang mencapai puncaknya pada abad ke 17 M.

Para sufi pengembara menggunakan tasawuf sebagai fondasi filosofisnya untuk menyebarkan Islam di Nusantara. Islam model sufistik tersebut tidak hanya merubah pandangan masyarakat Nusantara pada dimensi estetis semata, namun lebih jauh mengubah struktur batin, pola pikir dan jiwanya. Peradaban Nusantara yang semula kental dengan unsur-unsur seni mengalami revolusi menuju pandangan hidup yang lebih rasional. Islam sufistik meletakkan pondasi pandangan hidup baru yang lebih maju dari pemahaman yang telah ada sebelumnya, meruntuhkan sistem kasta yang telah lama ditegakkan oleh agama Hindu-Buddha sehingga menjadi sistem kesamaan sesama manusia pada level zahirnya. Islam membangun sistem kesetaraan bagi seluruh umat manusia dan membedakan derajatnya dengan manusia lain adalah tingkat keimanan dan ketakwaan pada level batinnya dalam berhubungan dengan Allah Swt. Tidak hanya pengaruh itu, Islam mencapai puncaknya dengan menyebarnya risalah-risalah Islam yang terangkum dalam bahasa dan tulisan Melayu. Bahasa dan tulisan ini merupakan suatu pengantar ilmiah bagi metafisika Islam guna menyebarkan Islam ke seluruh pelosok Nusantara. Risalah-risalah tersebut sangat kental dengan konsep al-Wujūd dan metafisika sufistik yang meletakkan nilai-nilai rasional dan saintifik. Metode serta kreatifitas sufistik melekat dalam jiwa masyarakat Nusantara sehingga menjadikan Islam sebagai dasar keyakinan. Sampai saat ini, Islam sufisme masih mengakar dalam jiwa masyarakat muslim Nusantara meskipun berbagai paham asing terus berdatangan.

Perlu ditegaskan disini bahwa sebelum adanya perdebatan mengenai Islam Nusantara, jauh sebelum argumentasi ini muncul, Al-Attas telah mengantarkan teori mengenai apa itu Islam Nusantara dengan menjembataninya dengan teori Islamisasi untuk mengambarkan apa itu Islam Nusantara. Teori yang digagas Al-Attas kekinian cukup berpengaruh dalam mengembangkan model serta bentuk Islam yang ada di Nusantara. Dengan adanya teori ini maka diharapkan term Islam Nusantara bukanlah mencoba mereduksi Islam itu sendiri melainkan menguatkan Islam yang utuh sebagai Rahmatanlilalamin bagi masyarakat Nusantara.

– Mulyadi –

* Makalah singkat ini dipresentasikan pada Friday Forum Discussion, di Pepustakaan IAIN Langsa, 16 Maret 2018.
Mulyadi – Pengajar IAIN Langsa

Disclaimer: Pendapat dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak mesti mewakili pendapat atau pandangan padébooks.com


*Pastinya ada banyak perbedaan pendapat maupun persepsi bahkan kontra-versi mengenai makna dan arti Islam Nusantara sendiri. Ekspektasi para peserta Friday forum belum tentu dapat dikemukakan diwakilkan semua dalam malakah ini, mengingat tulisan ini sangatlah singkat dalam muatannya yang seharusnya sangatlah luas dan menjurus. Meskipun demikian, tulisan ini mencoba membuka wawasan kita untuk memberikan pengetahuan ilmiah dalam kajian ini sebagai sebuah teori yang dapat ditelaah secara berkelanjutan.

Gambar diambil dari http://jadeluwakcoffee.com